Wednesday, January 22, 2025

Bab 4 - The Hero

 


“Heh!? Udah bosan hidup?” gertak Riyan dari balik jendela mobilnya.

 

Yuna menurunkan tangan dari wajahnya. Ia langsung menoleh ke arah sumber suara.

 

“Heh!? Kamu yang ngasal bawa mobil. Jelas-jelas aku mau nyebrang di zebra cross!” sahut Yuna sambil menendang bagian depan mobil Land Rover yang berhenti di hadapannya.

 

“Lampunya masih ijo! Kamu buta warna!” teriak Riyan sambil menunjuk lampu lalu lintas yang tak jauh dari hadapannya.

 

Yuna menoleh ke arah lampu lalu lintas yang berwarna hijau, kemudian berganti dengan warna kuning.

 

“Nah, itu merah!” sahut Yuna.

 

“Itu baru aja ganti!” sentak Riyan geram.

 

Yeriko yang duduk di sebelah Riyan langsung mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan mengulurkannya pada Riyan. “Kasih ke dia. Mungkin dia butuh duit!” perintahnya. “Modus penipuan zaman sekarang ada-ada aja.”

 

“Iya, Bos!” Riyan langsung mengambil uang dari tangan Yeriko dan memberikannya pada Yuna.

 

“Apa-apaan ini!?” Yuna merasa terhina saat Riyan mengulurkan beberapa lembar uang kertas ke arahnya.

 

“Udahlah, nggak usah pura-pura. Udah banyak modus penipuan kayak kamu. Pura-pura ketabrak buat meras pengendara mobil. Ambil ini!” Riyan langsung melemparkan uang tersebut ke dada Yuna.

 

“Heh!? Kurang ajar kamu ya!” teriak Yuna. Secepat kilat tangannya sudah meraih kerah baju Riyan. “Kamu lihat aku baik-baik! Emang ada penipu secantik aku?”

 

“Aku ... aku cuma ...” Riyan gagap saat wajah Yuna begitu dekat dengannya.

 

“Cuma apa? Kamu udah nuduh aku penipu, hah!? Aku bakal bikin perhitungan sama kamu. Keluar dari mobil sekarang juga!” teriak Yuna.

 

Riyan membelalakkan matanya menatap Yuna. Ia tak menyangka kalau cewek mungil di hadapannya itu memiliki nyali yang begitu besar.

 

“Bos ...!” panggil Riyan lirih sambil melirik ke arah Yeriko.

 

Yeriko melepas safety belt dan melangkah keluar menghampiri Yuna.

 

“Lepasin dia!” pinta Yeriko.

 

“Kamu siapanya dia?”

 

“Aku atasannya, aku yang nyuruh dia ngasih uang ke kamu.”

 

“Oh ... jadi, kamu supirnya dia?” tanya Yuna sambil menatap Riyan.

 

Riyan menganggukkan kepala perlahan.

 

“Jadi supir aja belagu!” Yuna melepaskan kerah baju Riyan dari genggaman tangannya.

 

Yuna melangkah perlahan mendekati Yeriko. “Oh ... jadi, kamu yang udah nuduh aku ini penipu?”

 

Yeriko bergeming menatap Yuna.

 

“Kamu lihat aku baik-baik!” pinta Yuna sambil menyodorkan wajahnya ke wajah Yeriko. “Emang ada penipu secantik aku?”

 

Yeriko menarik wajahnya agar tidak terlalu dekat dengan Yuna.

 

“Heh!? Lihat baik-baik!” pinta Yuna.

 

Yeriko menatap mata Yuna yang bersinar. Di tengah gelapnya malam, mata Yuna terlihat begitu indah.

 

“Kenapa diam? Terpesona sama kecantikan aku?” tanya Yuna sambil membusungkan dada.

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Kamu ... cewek pemabuk yang di bar semalam?”

 

Yuna mengangkat kedua alis menatap Yeriko. Wajahnya memerah dan langsung membalikkan tubuh. Ia mengetuk keningnya beberapa kali, namun tetap tak bisa mengingat kejadian saat di bar kemarin malam.

 

Duh ... kenapa dia bilang aku cewek pemabuk?” batin Yuna. “Dia pasti udah mikir kalo aku cewek nggak bener,” lanjutnya dalam hati.

 

“Kakek yang nyuruh kamu?” tanya Yeriko.

 

“Kakek!?” Yuna membalikkan tubuh sambil mengernyitkan dahi. “Kakek siapa?”

 

“Nggak usah akting di depanku. Trik kayak gini, aku udah hafal dan nggak akan mempan!” ucap Yeriko. Dengan santai, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

 

Yuna menatap cowok bertubuh tinggi yang berdiri di hadapannya. “Ganteng banget! Tapi ... mukanya dingin banget,” tutur Yuna dalam hati sambil menatap cowok bersetelan jas warna biru itu.

 

“Walau kakek yang ngatur ini semua. Setidaknya kamu jangan keliaran di luar tengah malam begini!” pinta Yeriko.

 

“Kakek siapa sih yang kamu maksud? Aku nggak paham,” sahut Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Aku nggak akan terkecoh. Mau sampai kapan bertahan akting di depanku?”

 

“Aku nggak paham maksud kamu,” sahut Yuna.

 

“Sudah banyak perempuan yang kakek deketin ke aku dengan cara kayak gini. Kamu nggak usah pura-pura! Kamu sama sekali nggak menarik.”

 

Yuna menarik napas dalam-dalam, menahan rasa kesal di kerongkongannya. “Kamu bilang apa? Aku nggak menarik?”

 

Yuna melangkah mendekati tubuh Yeriko. Ia langsung menarik dasi Yeriko dan menatap mata cowok itu. “Lihat aku baik-baik! Hari ini, aku bisa narik dasi kamu. Suatu saat, aku bakalan bisa narik hati kamu dan bikin kamu cinta mati sama aku!”

 

Yeriko setengah tersenyum. Ia langsung menepis tangan Yuna dan mengangkat tubuhnya kembali. “Jangan mimpi!”

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Kita lihat nanti!”

 

“Bilang sama kakek, jangan coba-coba ngatur sandiwara kayak gini lagi!”

 

“Kakek siapa?” Yuna masih tidak mengerti.

 

“Nggak usah pura-pura! Banyak cewek yang mau jadi istriku. Sayangnya, aku nggak tertarik. Apalagi cewek pemabuk kayak kamu,” ucap Yeriko sambil tersenyum sinis.

 

“Bodo amat! Yang jelas, aku nggak ada hubungannya sama sekali sama kakek yang kamu maksud.” Yuna langsung membalikkan tubuh dan melangkah pergi.

 

Baru berjalan dua langkah, Bentley emas menepi dan berhenti di sebelah Yuna. Pintu Bentley terbuka, pengendara Bentley itu menghampiri Yuna sambil tersenyum sinis.

 

“Kamu masih keliaran tengah malam begini. Cari mangsa?” tanya Lian sambil menatap cowok yang berdiri tepat di belakang Yuna.

 

“Jangan ngomong sembarangan ya! Aku bukan cewek murahan kayak dia!” sahut Yuna sambil melirik ke arah Bellina yang duduk di dalam mobil Lian.

 

“Oh ... iya. Aku tahu, kamu tipe cewek setia, polos dan penurut. Sayangnya ... kamu terlalu kuno buat aku,” tutur Lian sambil menyentuh dagu Yuna.

 

Yuna menepis tangan Lian sekuat tenaga. “Jangan sentuh aku! Aku udah jijik sama kamu!”

 

“Hahaha. Kamu? Jijik sama aku? Bukannya kamu masih cinta mati sama aku? Siapa sih yang nggak mau sama cowok ganteng dan kaya kayak aku? Kalo kamu nggak bisa ngelepasin aku, kamu bisa jadi simpananku,” ucap Lian setengah tersenyum.

 

“Heh!? Bahkan jadi pacar kamu lagi, aku nggak bakal mau. Apalagi jadi simpanan kamu!” sentak Yuna.

 

Lian tersenyum kecil menanggapi ucapan Yuna.

 

“Aku bukan dia! Aku nggak akan pernah jadi cewek simpanan. Sekalipun kamu cowok satu-satunya di dunia ini!” tegas Yuna.

 

“Yah ... aku cuma kasih saran aja sama kamu. Daripada kamu keliaran malam-malam begini. Jangan-jangan ... selama di Melbourne, kamu memang jadi cewek malam yang suka keliaran di jalanan buat cari pelanggan?”

 

PLAK ...!!!

 

Telapak tangan Yuna langsung mendarat di pipi Lian.

 

Yeriko yang berdiri di belakang Yuna ikut merasa ngilu saat Yuna menampar Lian.

 

Yuna menatap Lian dengan mata berkaca-kaca. “Kamu boleh ninggalin aku. Kamu boleh selingkuhin aku. Kamu boleh ngelakuin apa aja yang kamu mau. Tapi jangan hina aku kayak gini!” pinta Yuna. “Aku salah apa sama kamu? Apa masih kurang puas udah nyakitin aku?”

 

“Biar gimana pun. Kamu pernah jadi pacar aku. Aku nggak akan tega lihat bekas pacarku hidupnya menderita. Dengan jadi simpananku, kehidupan kamu bakal baik-baik aja,” ucap Lian sambil tersenyum.

 

“Nggak perlu. Aku udah punya pacar!” sahut Yuna.

 

“Oh ya? Secepat itu?” tanya Lian.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Cewek cantik kayak aku, nggak akan sulit cari pengganti kamu.”

 

“Aku nggak percaya.”

 

Yuna membalikkan tubuhnya, ia menatap Yeriko yang berdiri di hadapannya.

 

Yeriko mengangkat kedua alisnya menatap Yuna yang memainkan mata, memberi isyarat untuk berpura-pura menjadi pacarnya.

 

“Please ...!” pinta Yuna dalam hati.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia tidak mengiyakan dan tidak menolaknya juga.

 

Yuna tersenyum, ia langsung menarik lengan Yeriko.

 

“Dia pacar aku, sekarang,” tutur Yuna sambil memperkenalkan Yeriko pada Lian.

 

Lian mengangkat kedua alis menatap Yeriko. “Dia cuma cowok yang kamu pungut di pinggir jalan. Apa kamu nggak takut?”

 

“Hati-hati kalo ngomong!” sahut Yeriko. Ia sudah tak tahan mendengar Lian terus-menerus menghina Yuna.

 

Lian tersenyum sinis.

 

“Baru kemarin kamu nangis-nangis karena putus dari aku. Sekarang, kamu udah gandeng laki-laki lain. Apa kamu udah nggak cinta lagi sama aku?” tanya Lian.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Sejak aku tahu kamu selingkuh sama dia. Perasaan aku ke kamu udah bener-bener mati!”

 

“Bagus. Kalo gitu, nggak akan ada yang ganggu hubungan aku sama Bellina. Oh ya, kalo suatu hari cowok ini nyakitin kamu. Ingat, masih ada aku yang mau nerima kamu jadi simpananku,” sahut Lian sambil tersenyum.

 

“Aku nggak akan pernah nyakitin dia!” sahut Yeriko. Ia merangkul tubuh Yuna yang basah.

 

Yuna menatap Yeriko. “Makasih ...!” ucapnya dengan mata berbinar. Cowok di sampingnya ini kini menjadi pahlawan yang menyelamatkan hidupnya.

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Kamu nggak perlu khawatir! Aku bakal jaga kamu terus.”

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 3 - Keluarga Kejam

 



“Tante ikut senang mendengarnya, kalian benar-benar pasangan yang serasi.” Melan tersenyum manis sambil menatap Lian dan puterinya.

 

“Kapan rencananya kamu mau melamar Bellina?” tanya Tarudi.

 

“Secepatnya, Oom,” jawab Lian.

 

“Yun, kenapa muka kamu seperti itu? Harusnya kamu ikut bahagia karena Bellina akan segera bertunangan,” tutur Melan sambil menatap Yuna.

 

“Apa aku harus bahagia kalo pacarku direbut sama saudara sendiri?” sahut Yuna ketus. “Aku nggak akan semudah itu nerima Lian sebagai kakak iparku!”

 

Melan membelalakkan mata mendengar ucapan Yuna. “Kamu ...?”

 

“Ma, aku nggak tahu kenapa dia benci banget sama aku. Sampe bilang kalau aku yang ngerebut pacarnya. Kami benar-benar saling mencintai sejak tujuh tahun lalu. Bahkan Lian, nggak pernah merasa bahagia saat jalan sama dia. Lihat! Sifatnya kasar banget,” tutur Bellina dengan nada rendah dan mendayu-dayu.

 

Yuna merapatkan bibirnya. “Nggak usah akting sok lembut di depan aku! Menjijikkan!” teriaknya dalam hati.

 

 “Mmh ... sudahlah! Kita makan aja dulu! Nggak baik ribut-ribut di depan makanan,” pinta Melan.

 

Yuna langsung mengambil semua makanan yang terhidang dan melahapnya penuh kekesalan.

 

“Yun, hati-hati makannya!” pinta Melan.

 

Yuna memperlambat ritme makannya. “Kenapa kalian begitu manis saat ada Lian?” tanyanya dalam hati.

 

“Yuna ...!” panggil Melan lembut.

 

“Hmm ...” sahut Yuna menahan kesal.

 

“Kamu nggak usah sedih! Tante sudah siapin jodoh buat kamu. Dia pria dewasa yang kaya raya. Istrinya meninggal karena kecelakaan dan dia sedang mencari wanita muda buat dijadikan istri. Kamu pasti hidup bahagia kalau menikah sama dia,” tutur Melan sambil menatap Yuna.

 

“Aku nggak mau!” sahut Yuna.

 

“Apa kamu lupa sama ayah kamu? Kalau kamu masih sayang sama ayah kamu, harus nurut apa yang Tante bilang!” pinta Melan dengan nada lebih tinggi.

 

Yuna membuka mulut, tapi tak sanggup mengatakan apa pun di depan keluarganya dan juga Lian. Ia sangat tidak menyukai tantenya karena selalu menggunakan ayahnya untuk mengancam dan membuatnya harus menuruti semua keinginan gila tantenya itu.

 

“Sebaiknya kamu segera menikah. Lebih cepat lebih baik. Kalau kamu sudah menikah, nggak perlu membebani kehidupan kami lagi!” pinta Tarudi.

 

“Iya, Yun. Lagian, Mama nggak mungkin cari jodoh sembarangan buat kamu. Laki-laki pilihan Mama, pasti yang terbaik buat kamu. Kamu nggak perlu lagi jadi benalu di keluarga kami. Terutama ayah kamu yang udah nggak bisa apa-apa itu!” Bellina menatap tajam ke arah Yuna.

 

“Tante heran, kamu mau dipersunting sama laki-laki kaya raya. Kenapa nggak mau? Dia bisa bikin hidupmu lebih baik dan menjamin masa depan kamu,” sahut Melan.

 

“Dia laki-laki dewasa dan pasti bertanggung-jawab. Kamu tidak perlu lagi mengkhawatirkan ayah kamu kalau mau menikah sama dia.” Tarudi ikut membuat suasana semakin tegang.

 

“Kalian bener-bener nggak ngerti perasaanku? Aku baru aja kehilangan pacar karena direbut sama dia!” Yuna menunjuk Bellina. “Sekarang, kalian mau jodohin aku sama laki-laki tua yang sudah beristri, hah!?”

 

“Yuna! Jaga sikap kamu! Kamu nggak ngerti lagi bicara sama siapa!?” Nada suara Melan makin meninggi.

 

Yuna terdiam sambil menatap tajam ke arah Melan.

 

“Kalau bukan karena kami, ayah kamu mungkin sudah mati. Kamu juga nggak akan bisa melanjutkan sekolah sampai ke luar negeri. Kamu bener-bener anak nggak tahu diuntung! Oom dan tantemu sudah merawat dan membesarkan kamu selama bertahun-tahun. Ini balasan kamu sekarang!?” tanya Melan.

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Ma ... dia itu besar tanpa orang tua. Wajar aja kalau dia nggak ngerti caranya berterima kasih.”

 

“Kamu ...!?” Yuna menunjuk Bellina sambil merapatkan gigi-giginya. Hidungnya berkerut dan bola matanya hampir keluar dari tempatnya.

 

Bellina tersenyum menatap Yuna.

 

Yuna mengatupkan gigi dan bibirnya rapat-rapat. Ia bangkit dari tempat duduknya. “Kalian boleh hina aku sehina-hinanya! Tapi kalian nggak punya hak menentukan masa depan aku!” tegas Yuna sambil memukul meja makan. Ia meraih tasnya dan bergegas pergi.

 

“Yuna ...!” panggil Melan saat Yuna berlalu pergi meninggalkan mereka. “Dasar, anak nggak tahu diri!” celetuknya.

 

Lian hanya terdiam melihat perseteruan antara Yuna dan keluarganya. Ia tidak tahu harus memihak pada siapa. Walau bagaimana pun, Yuna adalah wanita yang pernah menjadi kekasihnya. Ia sendiri bisa melihat kalau Yuna begitu menderita semenjak ibunya meninggal dunia.

 

“Maaf, suasananya jadi nggak enak kayak gini. Seharusnya, Tante nggak ajak dia makan malam sama-sama malam ini,” tutur Melan sambil menatap Lian.

 

“Nggak papa, Tante.” Lian tersenyum membalas tatapan Melan.

 

“Ayo, lanjutkan makannya!”

 

Lian menganggukkan kepala.

 

Mereka menikmati makan malam bersama sambil tertawa bahagia.

 

 

 

Sementara itu, Yuna terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Ia memainkan tas tangan sambil menyusuri jalanan kota yang lengang.

 

“Semuanya menyebalkan!” seru Yuna. “Melan si Maleficent, bener-bener nenek sihir yang kejam! Bellina si perek, pelacur, pelakor!” teriak Yuna sambil melangkah tanpa tujuan.

 

“Lian si bego! Laki-laki nggak punya harga diri! Tukang selingkuh! Nyebelin! Ngeselin!” Yuna terus merutuk dan memaki sepanjang jalan.  “Ya Tuhan ... kenapa aku harus dikelilingi sama orang-orang kayak gitu?”

 

“Bunda ...!” panggil Yuna sambil menatap langit malam yang gelap. “Aku rindu sama Bunda. Aku pengen, bisa bahagia kayak dulu lagi.” Air mata Yuna menetes dari sudut-sudut matanya.

 

Yuna mengusap air mata dan tersenyum. Seberat apa pun hal yang akan ia hadapi, ia berjanji akan hidup dengan baik demi ayahnya yang masih hidup. Sekalipun saat ini, ayahnya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia masih berharap kalau ayahnya bisa kembali seperti sebelas tahun lalu.

 

Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum. Walau bibirnya selalu tersenyum, namun hatinya sangat terluka. Banyak penderitaan yang telah ia alami selama ini.

 

 Semakin hari, ia semakin menikmati rasa sakit. Selama ia masih bisa berdiri tegak, sebanyak apa pun luka di tubuhnya, ia akan terus berjalan dan tidak akan menyerah begitu saja.

 

Semakin malam, langkah Yuna semakin tidak menentu. Ia tak tahu akan ke mana kakinya melangkah. Menikmati angin malam sendirian, adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.

( You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

Yuna menghentikan langkah dan merogoh ponselnya yang berdering, mendendangkan lagu All My Heart milik Sleeping With Sirens. Yuna langsung menjawab telepon setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

“Yuna ...! Tante nggak mau tahu. Besok, kamu harus ketemu sama Direktur Lukman dan menikah sama dia. Kalau kamu masih nolak, Tante akan hentikan biaya pengobatan ayah kamu!”

Yuna langsung menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara keras dari bibinya, Melan.

“Terserah!” sahut Yuna kesal. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya dengan kasar dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.

“Dasar nenek sihir! Tunggu pembalasanku! Mudahan kamu cepet kena azab!” maki Yuna.

 

Yuna menengadahkan telapak tangannya. Rintik hujan mulai membasahi tubuhnya. Ia menengadahkan kepala menatap langit malam yang gelap gulita.

 

Tetesan air yang jatuh dari langit semakin banyak dan terasa sakit saat menyentuh pipinya. Yuna memejamkan mata sambil menikmati derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia merasa kesedihannya tersapu bersama air hujan yang mengguyur tubuhnya. Ia melangkahkan kaki perlahan dan berdiri di persimpangan jalan dengan tubuh yang basah kuyup.

 

Yuna memicingkan mata menatap zebra cross yang ada di hadapannya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut semakin kencang. Membuat penglihatannya tak begitu baik. Namun, ia tetap memaksakan langkah kakinya untuk menyebrangi zebra cross.

 

Tiin ... Tiin ... Tiin ....!

 

Tiba-tiba, sebuah mobil Land Rover berwarna putih muncul dengan kecepatan tinggi.

 

Yuna menutup wajah dengan telapak tangan saat cahaya menyilaukan menimpa dirinya. Ia tak bisa melihat apa-apa. Cahaya putih menyilaukan itu semakin meredup dan berubah menjadi kegelapan.

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya. Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

Bab 2 - Broken Heart

 


Yuna merayap di dinding lorong menuju toilet. Matanya setengah terpejam dan langkah kakinya tak teratur.

 

Yuna memicingkan mata saat melihat cowok bertubuh tinggi berdiri di hadapannya. Setelah menatapnya dua kali, Yuna tersenyum menggoda, ia melangkahkan kaki dan menjatuhkan tubuhnya ke dada cowok itu.

 

“Hei, ganteng ...!” sapa Yuna. “Aku cantik nggak?”

 

Cowok bertubuh tinggi itu langsung mengangkat kedua tangan sambil mengerutkan kening. Tubuhnya serasa digelayuti ulat bulu yang menjijikkan. Ia mendorong pundak Yuna menggunakan jari telunjuknya.

 

Yuna terhuyung dan hampir jatuh ke lantai jika cowok itu terlambat menangkap tubuhnya. Cowok itu menyandarkan Yuna ke dinding dan melepas tubuh Yuna perlahan.

 

Cowok menggelengkan kepala saat mencium aroma alkohol yang tajam dari tubuh Yuna.

 

Yuna terus tersenyum dengan mata setengah terpejam.

 

“Cewek gila!” umpat cowok itu sambil berlalu pergi meninggalkan Yuna sendirian.

 

Yuna tak menghiraukan ucapan cowok tersebut. Yuna melangkahkan kakinya perlahan memasuki toilet. Ia tak menyadari kalau ia masuk ke dalam pintu toilet dengan ikon “Male”.

 

Yuna merayap menuju westafel. Kepalanya terasa berdenyut. Ia memegangi perutnya sendiri. Ia merasa ada badai besar yang terus berputar di dalam perut hingga ia mengeluarkan semua isi perutnya ke dalam westafel.

 

“Uweeeek ...!” Yuna tak bisa mengendalikan dirinya. Ia tak peduli dengan beberapa pria yang lalu lalang di belakangnya sembari menatap aneh ke arah Yuna.

 

Yuna membuka kran air westafel begitu badai di dalam perutnya berhenti. Perlahan, ia mencuci mulut dan memercikan air ke wajahnya sendiri.

 

Yuna bergidik sambil menggelengkan kepala. Ia menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Ia tak bisa melihat dengan jelas bayangannya sendiri karena menjadi beberapa bayangan yang semakin membuat kepalanya pening.

 

Yuna menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menyandarkan kepalanya ke dinding.

 

“Yuna!” seru Jheni sambil menghampiri Yuna. “Kamu kucariin ke mana-mana, nggak ada. Sekalinya di sini.”

 

Jheni langsung menarik lengan Yuna dan membantunya berdiri. “Kita pulang sekarang!”

 

“Aku nggak mau pulang,” sahut Yuna sambil memejamkan mata.

 

“Mau tidur di sini? Bahaya, Yun. Apalagi kamu masuk ke toilet cowok. Untungnya sepi dan nggak ada yang sembrono sama kamu. Kalo kamu dibawa pergi sama laki-laki gimana?” cerocos Jheni.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak pernah berharga di mata siapa pun.”

 

“Ck, nggak usah ngomong aneh-aneh! Aku antar kamu pulang sekarang juga.” Jheni memapah Yuna keluar dari toilet pria. Beberapa cowok memandang mereka saat keluar dari toilet.

 

Jheni tak peduli dengan tatapan mata yang beragam. Orang yang tidak mengenal mereka, pasti akan menganggap Yuna adalah perempuan nakal yang suka menggoda laki-laki di dalam bar.

 

Jheni memapah Yuna menuju mobilnya. “Badannya kecil tapi berat banget!” celetuknya saat memasukkan Yuna ke dalam mobil.

 

Jheni menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat. Ia menutup pintu mobil belakangnya dan melangkah menuju bagian kemudi. Tanpa pikir panjang, ia langsung melajukan mobilnya dan membiarkan Yuna berbaring di kursi belakang.

 

“Yun, malam ini kamu tidur di rumahku aja ya!” pinta Jheni.

 

Yuna tak menyahut. Ia tak bisa lagi diajak bicara karena sudah tertidur pulas.

 

Jheni menoleh ke arah Yuna sambil menggelengkan kepala perlahan. “Kamu baru aja balik dari Melbourne dan sudah sekacau ini.”

 

Jheni bergegas membawa Yuna untuk menginap di rumahnya.

 

 

 

Keesokan harinya ...

 

“Hmm ...” Yuna bergumam sambil memejamkan mata. Ia bisa merasakan kalau warna gelap yang tergambar di dalam matanya berubah menjadi cahaya putih dan terasa hangat.

 

Yuna membuka matanya perlahan. Ia memicingkan mata menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Dari balik jendela, cahaya matahari masuk kamar dengan leluasa dan menimpa dirinya.

 

Yuna tak peduli dengan matahari yang sudah meninggi dan terasa begitu hangat menyentuh kulitnya. Ia memilih menarik selimut dan membenamkan tubuhnya kembali, memenuhi keinginan si malas untuk kembali menutup kelopak matanya rapat-rapat.

 

(You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

 

Baru beberapa detik Yuna membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, terdengar lagu All My Heart milik Sleeping With Sirens keluar dari ponselnya.

 

“Siapa sih nelpon pagi-pagi gini!?” umpat Yuna sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.

 

Yuna meraih ponsel yang ada di atas meja, ia menatap nama yang tertera di layar ponsel sebelum ia menjawab panggilan.

 

Yuna langsung menggeser ikon anser dan meletakkan ponsel di telinganya. “Halo ... Oom! Ada apa?” tanya Yuna dengan nada tak bersemangat.

 

“Baru bangun tidur?” tanya seseorang di seberang sana.

 

“He-em.”

 

“Kata Belli, kamu sudah balik dari Melbourne. Kenapa nggak kabarin Oom?”

 

“Baru nyampe kemarin sore. Masih capek. Mau istirahat dulu.”

 

“Oh, nanti malam bisa makan malam bareng Oom dan Tantemu?”

 

“Jam berapa?”

 

“Jam tujuh.”

 

“He-em.”

 

“Oke. Oom tunggu di Bujana Coffee Shop nanti malam!”

 

“Iya.”

 

Yuna langsung melempar ponselnya begitu saja ke atas kasur. Ia membuka matanya lebih lebar dan baru menyadari kalau ia sedang tidak di dalam kamarnya sendiri.

 

“Aku di mana?” tanya Yuna sambil menatap tubuhnya yang sudah mengenakan piyama berwarna ungu muda.

 

Yuna mengedarkan pandangannya. “Huft ... kirain aku di mana,” celetuk Yuna saat mendapati bingkai foto yang menunjukkan wajah Jheni sedang tersenyum manis.

 

Yuna mengetuk-ngetuk keningnya, matanya masih terasa berat dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur, melanjutkan mimpi-mimpinya yang tertunda.

 

 

 

Sesuai janjinya, jam tujuh malam Yuna memasuki kawasan Aston Bojonegoro City Hotel. Ia melangkah perlahan menuju Bujana Coffee Shop untuk menemui Oom dan Tantenya.

 

“Halo ... Fristi Ayuna! Kamu makin cantik aja. Nggak kangen sama tantemu?” sapa Melan begitu melihat keponakannya datang menghampirinya. Ia langsung memeluk Yuna dengan mesra.

 

Yuna hanya tersenyum kecil. “Dasar nenek sihir! Pinter banget kalo akting,” celetuk Yuna dalam hati.

 

“Ayo, duduk!” pinta Tarudi. “Oom senang, kamu mau makan malam bersama kami malam ini.”

 

Yuna hanya tersenyum dan duduk di salah satu kursi, tepat berhadapan dengan Melan, tantenya sendiri. Ia tak banyak bicara saat berhadapan dengan dua orang yang sedang bersamanya.

 

“Udah lama nunggu?” Suara Bellina memecahkan suasana yang terasa canggung.

 

Yuna langsung menoleh ke arah Bellina yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk lengan Wilian. Yuna mencibir dan menundukkan kepalanya.

 

“Belum. Kami juga baru nyampe, kok. Ayo duduk!” sahut Melan.

 

“Malam, Tante ...!” sapa Lian. Ia melirik sejenak ke arah Yuna yang terus menundukkan kepala sambil mengaduk teh hangat di hadapannya.

 

“Ah, nggak usah sungkan kayak gini!” sahut Melan. “Kita sudah lama kenal. Ayo duduk!”

 

Lian menganggukkan kepala. Ia segera duduk di sebelah Bellina yang sudah duduk berdampingan dengan ibunya.

 

Lian menarik napas dalam-dalam. Satu keluarga yang ada di hadapannya tidak ada yang berbicara. Mereka terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri.

 

“Mmh ... malam ini, ada yang mau saya sampaikan sama Oom dan Tante,” tutur Lian memecah suasana hening.

 

“Oh ya? Silakan ... silakan!” Tarudi terlihat sangat antusias melihat Lian bersama dengan puteri kesayangannya.

 

“Mmh ...” Lian menggenggam tangan Bellina perlahan.

 

Bibir Yuna langsung mencibir begitu melihat Lian menggenggam tangan Bellina. “Menjijikkan!” makinya dalam hati.

 

“Kami akan bertunangan. Saya akan segera mengajak keluarga untuk melamar Bellina,” ucap Lian sambil menatap Bellina penuh kehangatan. Ia mengecup punggung tangan Bellina dengan mesra.

 

Yuna menggigit bibir sambil melirik kesal ke arah Lian. “Dasar cowok brengsek!” makinya sambil meremas sendok yang ada di tangannya.

 

“Oh ya?” Tarudi dan Melan saling pandang, kemudian tersenyum bahagia.

 

“Tapi ... bukannya selama ini kamu pacaran sama Ayuna?” tanya Melan sambil menunjuk Yuna. Ia menatap Lian dan Yuna bergantian.

 

Yuna mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa pun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan berguna. Lian sudah mengkhianatinya selama bertahun-tahun.

 

“Kami sudah putus,” jawab Lian sambil menatap Yuna.

 

Mata Yuna terasa perih saat mendengar ucapan Lian. Bukan hanya matanya, tapi juga hatinya, juga seluruh tubuhnya terasa sangat perih karena tersayat-sayat. Ucapan Lian, benar-benar seperti belati yang sedang menyiksa perasaannya secara perlahan.

 

“Saya hanya mencintai Bellina. Dia satu-satunya wanita yang akan menjadi istri untuk saya,” tutur Lian penuh percaya diri. Ia melirik ke arah Yuna sejenak. “Maaf!” bisiknya dalam hati.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air di matanya agar tidak tumpah seperti yang sudah terjadi semalam.

 

Jangan nangis, Yun! Jangan nangis!” bisik Yuna dalam hati. “Mereka bakal makin bahagia kalau lihat kamu nangis.” Yuna mencoba menenangkan perasaannya sendiri.

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas