Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Tuesday, June 17, 2025

Sebuah Renungan : Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial


Sebuah Renungan
Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial 




Halo, teman-teman.
Kita semua setuju, ya, kalau bullying itu nggak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Nggak lucu, nggak keren, dan jelas-jelas menyakitkan. Tapi, belakangan ini aku mulai resah dengan satu fenomena yang muncul diam-diam: gerakan anti-bullying yang terlalu ekstrem, sampai-sampai semua bentuk kritik dianggap kekerasan, dan kontrol sosial pun menjadi melemah.

Aku tahu ini topik sensitif. Tapi justru karena itu, kita perlu ngobrol.
Aku berharap bisa menemukan orang-orang yang masih memiliki welas asih dan kepedulian terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat selama beberapa tahun terakhir.



Anti-Bullying: Dari Empati Menuju Kekebalan Sosial?

Dulu, kita kampanye anti-bullying dengan tujuan yang mulia: membela yang lemah. Tapi sekarang? Rasanya seperti semua orang berlomba-lomba jadi korban.

Anak ditegur karena malas? "Itu bullying!"
Teman dikritik karena bohong? "Jangan gaslighting!"
Guru memberi sanksi? "Toxic authority!"

Batas antara mendidik dan menghakimi jadi kabur. Kita kehilangan keberanian untuk mengatakan, "Kamu salah!" karena takut dituduh kasar.

Padahal, dalam kehidupan sosial yang sehat, teguran itu bagian dari kontrol sosial.
Kalau semua intervensi sosial dianggap bentuk penindasan, maka siapa lagi yang akan menjaga nilai?
Pada akhirnya, kita menjadi orang yang tidak peduli pada nilai-nilai sosial dan semua bentuk penyimpangan dianggap sebagai hal yang wajar (menormalisasi). 

Normalisasi pelanggaran sosial membuat orang-orang yang melakukan kesalahan tidak lagi ditegur. Dibiarkan saja dan membuat semakin menjamur ke mana-mana, bahkan menjadi sebuah trend.

Akhir-akhir ini kita mulai melihat banyak penyimpangan sosial di sekitar kita, seperti:

Anak-anak merokok di jalan, tapi kita takut menegur karena takut dibilang "sok suci".

Teman seenaknya membatalkan janji, tapi saat ditegur malah baper dan mem-posting di story, "Toxic people need to be left behind."
Pencurian kecil-kecilan dianggap wajar karena pelakunya mengalami "trauma masa lalu".

Banyak pelanggaran sosial yang dibiarkan karena kita terlalu takut menyakiti perasaan orang lain, hingga membuat penyimpangan sosial menjadi hal yang wajar, bahkan tindakan kriminalitas menjadi perbuatan yang dibenarkan.
Ironis, ya? Gerakan yang awalnya bertujuan melindungi justru membuat kita tak berani lagi menegakkan nilai di kehidupan ini.

Tidak adanya nilai-nilai sosial di masyarakat, sama dengan lunturnya hukum sosial. Hukum sosial yang luntur, membuat kriminalitas tumbuh dengan subur.

Aku pernah baca satu hasil riset sosiologi (iya, aku masih suka baca jurnal juga kok 😌), yang bilang:

"Ketika kontrol sosial informal melemah, maka hukum formal akan kewalahan. Dan akhirnya, pelanggaran menjadi budaya."

Kita bisa lihat sendiri kriminalitas remaja meningkat, kekerasan verbal di media sosial makin menggila, dan semua berlindung di balik klaim "aku sedang trauma". Bukan empati yang salah. Yang salah adalah jika empati dijadikan tameng untuk pembenaran.
 
Sebagai contoh, kita bisa menilik kasus anak yang membunuh ibu dan anak kandungnya sendiri di Cianjur, Jawa Barat. Berikut ini link video lengkapnya: Blak-blakan! Pelaku Mutilasi Beberkan Aksi Kejinya Habisi Ibu dan Anak | Fakta tvOne
Kabupaten Malang, juga punya cerita kriminal yang sama Anak Bunuh Ibu Kandung Karena Sering Dimarahi
Dan masih banyak kasus kriminalitas yang semakin merajalela dan dilakukan oleh remaja, bahkan ada anak di bawah umur yang sudah tersandung kasus kriminal berat. Seperti kasus anak yang membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Anak Bawah Umur Diduga Bunuh Ayah & Nenek di Lebak Bulus, Psikologi Tersangka Diperiksa padahal anak tersebut dikenal berprestasi dan kerap dibanggakan oleh orang tuanya.


Apakah Kita Kembali ke Zaman Tanpa Teguran?

Aku percaya kita butuh keseimbangan. Anti-bullying itu perlu, tapi harus ada ruang untuk kontrol sosial yang sehat. Teguran yang bijak, sanksi yang mendidik, dan keberanian untuk berkata jujur — walau tak nyaman.
Jangan sampai kita menciptakan generasi yang kebal kritik tapi rapuh dalam tantangan. Karena dunia ini keras, dan jika kita tak diajari tangguh sejak dini, maka luka yang lebih dalam bisa menunggu di luar sana.


Saatnya Introspeksi, Bukan Sensasi

Teman-teman, yuk kita bedakan mana bullying, mana didikan.
Mana kritik, mana kebencian.
Mana empati, mana manipulasi emosi.

Kalau kita terlalu sibuk merasa tersakiti atas setiap teguran, kita akan kehilangan kemampuan untuk bertumbuh. Dan jika semua hal dianggap penindasan, maka pada akhirnya tidak akan ada lagi nilai yang bisa ditegakkan.

Pelindung tidak boleh berubah menjadi pelindung keburukan. Sebab, tidak dibenarkan dengan alasan apa pun bahwa keburukan harus dilindungi, kecuali pelindungnya lebih buruk dari yang sedang dilindungi.
Mari tetap peka, tapi jangan buta.

With all love and care, 


Rin Muna

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas