“Delana!” teriak Ivona dari kejauhan.
Delana membalikkan tubuhnya dan menatap Ivona yang setengah
berlari ke arahnya.
“Ada apa?” tanya Delana. Delana Aubrey adalah anak
perempuan yang selalu berambut pendek seperti laki-laki.
“Aravin mana?” tanya Ivona.
Delana mengernyitkan dahinya, “Kenapa nanyain dia?” tanya
Delana balik dengan nada ketus.
“Idih ... sensi amat!? Aku kan cuma tanya doang. Biasanya
kamu nggak pernah pisah sama Aravin,” tutur Ivona dengan wajah tanpa dosa.
“Nggak usah sebut nama dia lagi di depanku!” dengus Delana.
“Eh!? Kenapa?” Ivona melirik tajam ke arah Delana yang
sudah berjalan beriringan di sisinya, “marahan?” Ivona mendekatkan wajahnya ke
wajah Delana.
“Iya!” jawab Delana sembari mendelik kesal.
“Astaga... rasanya kemarin kalian masih akrab banget. Aku
pikir udah jadian.”
“Belum. Kemarin dia nembak aku, tapi aku tolak.”
“What!?” Ivona
membelalakkan matanya, “bukannya kamu suka sama dia? Kenapa ditolak?” Ivona
langsung menghadang langkah Delana. Menatap cewek berambut pendek yang ada di
depannya itu. Ia mengerutkan hidungnya, ingin sekali ia memaki sahabatnya itu
karena sudah menolak laki-laki yang ia sukai.
“Aku kesel sama dia. Selama ini dia manggil aku Bungas.
Kata Atma, Bungas itu dalam Bahasa Melayu Sambas artinya cuci muka. Masa iya,
dia nembak aku tapi dia ngehina aku banget dengan manggil aku Bungas? Maksudnya
dia ngatain muka aku kumel gitu?” tutur Delana kesal, “aku nggak bakalan mau
jadian sama cowok kayak gitu. Keliatannya aja baik, sekalinya tega ngehina aku.
Aku sakit hati banget!” lanjut Delana.
Delana dan Aravin telah menjalani banyak hari bersama. Di
SMA Heksa, Delana tak punya banyak teman karena mereka berasal dari SMP yang
berbeda. Ia hanya memiliki dua orang teman baik laki-laki yakni Aravinda Farhan
dan Atma Anugerah. Aravinda Farhan
adalah siswa yang cerdas dan memiliki nilai sangat bagus sementara Atma
Anugerah nilainya tidak begitu bagus, tapi dia sangat tampan.
Delana sebenarnya pintar, tapi dia tidak rajin belajar sama
sekali. Keberuntungan telah membuat ia tetap bisa masuk ke SMA Heksa, salah
satu sekolah ternama di kota Balikpapan. Di SMA Heksa, terbagi menjadi dua
kelas yakni kelas unggulan dan kelas reguler. Nilai Delana Aubrey hanya bisa
masuk ke kelas reguler.
Selama tiga tahun di SMA, Aravin yang memberikan kursus
tambahan untuk Delana agar ia bisa masuk ke salah satu universitas ternama di
ibukota.
Aravin berharap bisa masuk ke universitas yang sama dengan
Delana. Usahanya gagal setelah Delana menolak perasaan cintanya hanya karena
termakan fitnah dari Atma.
Sebenarnya, Bungas artinya adalah cantik atau tampan dalam
Bahasa Banjar. Sebab, Delana terlihat begitu cantik dalam kesederhanaannya,
penuh semangat dan selalu riang.
“Jadi, kamu mau
daftar kuliah ke mana?” tanya Ivona.
“Kayaknya deket rumah aja, deh.”
“Kenapa? Bukannya kamu pengin bisa kuliah bareng Aravin di
ibukota?” tanya Ivona.
“Aku nggak tega kalau harus ninggalin Ayah dan Bryan. Aku
kepikiran siapa yang mau masak buat mereka, siapin pakaian mereka, dan ngurus keperluan
mereka sehari-hari.”
Ivona menghela napas, ia menggenggam pundak Delana, “I know, you are a special girl. Always be strong
and always cheerful. Aku bangga punya sahabat kayak kamu,” Ivona tersenyum
menatap Delana.
Delana membalas senyum Ivona, “Makasih.”
“Hei, lagi pada apa sih kok kelihatan mesra banget? Aku
iri, deh!” seru Belvi sambil menepuk punggung Ivona dari belakang. Cewek tomboy yang satu ini memang senang
sekali berteriak sesukanya.
“Astaga.. Belvi!” Ivona mengelus dadanya, “jantungku mau
copot. Kamu ngagetin aja sih!” maki Ivona.
Belvi cengengesan menanggapi makian dari Ivona, “Kalian
ngomongin apa sih? Kelihatannya serius banget?” tanyanya. Ia asyik mengunyah
permen karet yang ada di dalam mulutnya.
“Ngomongin kuliah.”
“Oh ya? Kamu jadi kuliah di Jakarta?” tanya Belvi.
Delana menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?” tanya belvi penasaran, “bukannya selama ini kamu
semangat banget pengin kuliah ke Jakarta bareng Aravin?”
Ivona mendelik ke arah Belvi, ia menginjak sepatu Belvi
agar menghentikan pertanyaannya yang tidak ada habisnya.
“Ada apa sih, Ivo!” celetuk Belvi kesal karena jari kakinya
terasa linu setelah diinjak oleh Ivona.
Delana menghela napas panjang, “Nggak usah berantem. Biar
aja si Belvi tahu.”
“Eh!?” Belvi mengerutkan keningnya, tanda bahwa di
kepalanya ada pertanyaan yang tak bisa ia ungkapkan.
“Aku abis nolak Aravin,” tutur Delana pelan.
“Loh, loh? Kenapa?” tanya Belvi.
“Aku suka sama dia. Tapi, aku nggak akan pernah memulai
hubungan apa pun sama dia. Dia nggak tulus sama aku. Dia udah nyakitin aku, Bel,”
Bulir air mata terlihat menggenang di mata Delana.
“Sabar ya!” Belvi merentangkan tangannya dan langsung
memeluk Delana. Ivona juga ikut merengkuh tubuh Belvi dan Delana.
***
Beberapa minggu kemudian, Delana memilih mendaftar di salah
satu universitas yang dekat dengan rumahnya. Ia tak lagi menginginkan kuliah di
ibukota dan mengubur dalam-dalam kisahnya bersama Aravin. Cowok yang telah
berhasil membuatnya putus cinta sebelum jadian.
Usai mendaftar kuliah, Delana dan Belvi bersama-sama pergi
ke rumah Ivona. Mereka langsung menyerbu kamarnya, apalagi kalau bukan ingin menghamburkan
semua isi kamar Ivona. Mulai dari peralatan sekolah sampai baju dan make-up.
“Von, kalau aku panjangin rambutku cocok nggak ya?” tanya
Delana sembari memandang dirinya sendiri di depan cermin.
“Hah!? Serius!?” tanya Ivona dan Belvi bersamaan. Mereka
memandang ke arah Delana yang sibuk memperhatikan wajahnya di depan cermin
sembari mengutak-atik rambutnya.
Delana menganggukkan kepalanya.
Ivona dan Belvi saling pandang, mereka saling bertanya
dalam hati. Kemudian tersenyum bersama. Sepertinya, putus cinta telah membuat
Delana mulai merubah penampilannya. Tak biasanya ia berdiri lama di depan
cermin hanya untuk melihat dirinya sendiri. Meski ia berasal dari keluarga yang
berkecukupan, tapi ia tak begitu peduli dengan penampilannya. Sikapnya kali ini
sungguh berbeda.
Ivona menghampiri Delana dan berdiri di sampingnya, “Like this?”
Ivona percaya diri menatap bayangannya di cermin. Ia memang
sangat cantik dan memesona. Tak heran jika banyak lelaki yang berebut ingin
menjadi pacarnya. Bagi Ivona, ia bisa mendapatkan pria manapun yang ia mau dan
juga dengan mudah mencampakkan lelaki yang sudah tak ia suka. Di dalam
pikirannya, Life is simple. Mati satu
tumbuh seribu.
Delana menghela napas, ia tertunduk lesu begitu melihat
bayangan di sampingnya terlihat jauh berbeda dengannya. Dari gaya berpakaian
saja, Ivona terlihat sangat modis dan kekinian. Sementara Delana terlihat
sangat sederhana dengan kaos oblong dan celana tiga perempat. Rambut Ivona ikal
panjang berwarna cokelat, sedangkan rambutnya sangat pendek seperti laki-laki.
Bagaimana bisa laki-laki akan tertarik dengannya jika penampilannya saja
seburuk ini.
“Hei, jangan sedih!” tutur Ivona lembut. “Kamu cantik.
Hanya butuh dipoles sedikit saja,” Ivona mengedipkan mata ke arah Delana.
Ivona memaksa Delana duduk dan mulai mengeluarkan peralatan
make up-nya. Kali ini, Ivona berubah bak penata rias profesional.
“Gimana, Bel?” tanya Ivona pada Belvi yang sedang asyik
berbaring di atas tempat tidur sembari bermain ponsel.
Belvi langsung bangkit dan menghampiri Delana, “Wow...!
Cantik banget! Aku mau juga didandanin!” seru Belvi. Walau secara fisik Belvi
terlihat cewek banget, tapi gaya tomboy-nya
masih sangat kental. Terlebih saat bicara suka berteriak-teriak sesukanya tanpa
memperhatikan orang lain.
“Bantu aku dulu!” pinta Ivona. Ia melangkahkan kaki menuju
lemari pakaian empat pintu yang ada di dalam kamarnya. Semua pintunya ia buka
dan ia sibuk memilih baju yang cocok untuk Delana.
Belvi membantu Ivona memilih baju yang cocok untuk Delana.
Ivona sudah mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam
lemari dan meletakkannya di atas ranjang, “Cari lagi yang bagus, Bel!” pinta
Ivona.
Ia berpindah ke salah satu lemari, mengambil rambut palsu
panjang dan ikal. Ia memasangkan rambut palsu tersebut di kepala Delana
sementara Belvi masih sibuk memilih baju yang cocok.
Belvi meletakkan beberapa helai gaun ke atas ranjang Ivona.
“Baju kamu bagus semua. Aku bingung mau pilih yang mana,” gumamnya.
Ivona tertawa kecil. Ia meminta Delana mencoba bajunya satu
persatu. Ivona dan Belvi jatuh cinta pada gaun berwarna biru arctic yang
terlihat begitu lembut membalut tubuh Delana. Kulit putihnya terlihat begitu
menyatu dengan warna gaunnya.
“Aargh...! Cucok!” teriak Ivona kegirangan. Ia dan Belvi
berjingkrak kegirangan. Ivona langsung mencari keberadaan ponselnya dan
langsung membidik Delana dengan kamera ponselnya. Mereka berpose beraneka model
di dalam kamar.
Delana yang belum terbiasa dengan make up di wajahnya sudah
mulai merasa gatal. Ia ingin sekali membersihkan wajahnya secepatnya. Sementara
Ivona masih mendandani Belvi dan meminta untuk melakukan sesi foto bersama
Delana.
“Cepetan, Ivo! Mukaku udah gatel banget, nih!” gerutu
Delana.
“Hah!? Seriusan?” Ivona mendongakkan kepalanya menatap
Delana. “Make up aku ini make up mahal. Masa iya bikin kulit gatal? Aku udah
pakai make up ini lama dan baik-baik aja, kok.”
Delana menghela napasnya, “Ya udah, cepet lanjutin
dandannya. Aku udah nggak betah pake make up menor kayak gini.”
“Oke. Wait!”
pinta Ivona.
Setelah selesai merias wajah Belvi, mereka melakukan sesi
foto. Ivona langsung memasang story di Instagram dan mendapat banyak pujian
dari pengikutnya karena hasil make up yang ia buat sangat cantik.
“Aargh ...! Baca, deh!” Ivona menunjukkan komentar yang ada
dalam postingan Instagram-nya. “Aku seneng banget!” serunya ketika membaca
komentar positif yang membuat dirinya merasa bangga untuk pertama kalinya.
“Ini bersihinnya gimana?” Delana menarik tisu dan langsung
mengusapkan di wajahnya.
“Idih, jangan pakai tisu! Kasar banget, sih!” Ivona merebut
tisu dari tangan Delana.
“Terus pakai apa?” tanya Delana.
Ivona meraih kapas dan micellar water yang terletak di meja
riasnya, “Pakai ini!”
Delana langsung membersihkan riasannya. Sementara Belvi
masih sibuk foto selfie dan tidak mau membersihkan riasannya.
“Kalian itu, aslinya cantik. Cuma dipoles make up dikit aja
udah kelihatan cantik banget,” Ivona menatap kedua sahabatnya.
Drrt... Drrt...
Ponsel Delana bergetar. Ia meraih ponselnya dan melihat
panggilan dari ayahnya.
“Iya, Ayah. Ini udah mau pulang!” seru Delana. Ia langsung
terburu-buru membersihkan riasannya, berganti pakaian, kemudian pulang ke rumah
secepatnya.
***
Setelah sekian purnama terlewati, Delana pun akhirnya resmi
lulus dari siswa dan menjadi mahasiswa. Ini hari pertama Delana masuk ke
universitas. Ia masih tak percaya kalau dirinya kini mulai bertransisi dari
remaja menuju wanita dewasa. Ia melangkahkan kaki penuh percaya diri memasuki
halaman kampus.
Delana berjalan perlahan melewati taman kampus, ia
berpapasan dengan seorang cowok tampan yang sedang lari pagi. Matanya tak
berkedip dan kepalanya hampir saja lepas dari tempatnya karena mengikuti arah
cowok itu berlari. Ia begitu terpesona dengan cowok tampan yang ada di
kampusnya itu.
“Duh, udah ganteng
... macho ... fresh dan cute banget! Ternyata ada juga cowok di sini yang
gantengnya kayak di drama Korea,” batin Delana.
Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari cowok itu meski
ia sudah berlari menjauh dari tempatnya berdiri dan menghilang.
Delana menggigit bibirnya dan mulai memikirkan cara untuk
bisa berkenalan dengan cowok itu. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah
dan tak satu pun sosok mahasiswa kampus yang ia kenal. Bagaimana ia bisa tahu
nama cowok itu, apa dia bisa bertemu lagi dengan cowok itu?
Sepulang dari kampus, Delana langsung bertemu dengan kedua
sahabatnya di rumah Ivona seperti biasa.
“Von, tadi di kampus aku ketemu sama cowok ganteng banget!”
seru Delana dengan wajah gemas.
“Seriusan? Seganteng apa?” tanya Ivona.
“Hmm... mirip-mirip artis Korea gitu. Tinggi, putih,
atletis. Pokoknya, cowok idaman banget!”
“Cocok sama aku tuh,” sahut Ivona sambil menahan tawa.
“Iih, enak aja! Ini spesial buat aku ya! Lagian, kamu kan
gampang dapetin cowok-cowok keren. Kasih aku satu napa?” celetuk Delana.
“Tajir nggak, dia?” tanya Belvi.
Delana mengedikkan bahunya, “Aku belum kenalan. Mana tau
tajir atau enggaknya.”
“What!?” Belvi
dan Ivona membelalakkan mata bersama mendengar ucapan Delana. “Wah, gawat!
Belum kenalan sudah jatuh cinta. Kemarin, belum jadian sudah putus cinta,”
celetuk Belvina.
Delana mencebik ke arah Belvi. Belvi memang terkesan ceplas
ceplos dalam berbicara, tapi dia sangat peduli dan memperhatikan Delana.
“Gimana caranya biar aku bisa kenalan sama dia ya?” tanya
Delana.
“Ya langsung tegur aja kalau pas papasan!” jawab Belvi
sekenanya.
“Yee ... kesannya aku gatel banget. Iya kalo dia nanggepin.
Pas aku bilang ‘Hai’ terus dia buang muka gimana? Malunya sampe ubun-ubun!”
celetuk Delana.
“Emang dia kelihatannya gimana? Dingin gitu ya sampe kamu
nggak berani nyapa duluan?”
“Kelihatannya sih gitu. Di sana banyak cewek yang ngikutin
dia jogging dicuekin juga.”
“Dia suka jogging?” tanya Belvi.
Delana menganggukkan kepalanya.
“Wow...! Aku ngebayangin ... cowok yang suka jogging itu body-nya pasti keren,” Belvi menatap
langit-langit kamar, membayangkan sosok cowok keren versinya sendiri.
“Ya udah, kamu ikutan jogging aja kayak cewek-cewek yang
lain!” sahut Ivona.
Delana mengedikkan bahunya, “Nggak, ah. Kesannya aku
kecentilan banget. Yang lain yang lebih cantik dari aku aja dia cuekin. Gimana
sama aku?” ucap Delana lemas. “Kasih saran yang rada elegan, dong!” pintanya.
“Hmm ... apa ya?” Belvi dan Ivona sama-sama membantu
mencari ide agar Delana bisa menaklukan cowok ganteng yang menjadi bintang di
kampusnya itu.
Ia terus berpikir bagaimana caranya bisa bicara dengan
cowok itu. Ia tak ingin menggunakan cara umum seperti yang dilakukan
cewek-cewek lain. Sepertinya cowok itu tidak akan terkesan dengan yang suka
menggoda alias cewek yang kecentilan.
Namun, takdir membawanya berkenalan dengan cowok itu tanpa
sengaja. Hari berikutnya ia berjalan kaki menuju kampusnya karena memang tidak
terlalu jauh dari rumah. Di perjalanan ia bertemu dengan seorang anak penjual
jeruk.
“Kak, mau beli
jeruk?” tawar seorang anak kecil itu.
“Berapaan?” tanya Delana saat ia melihat anak kecil
tersebut membawa keranjang buah yang berisi jeruk. Ia merasa iba dan ingin
membeli buah jeruk tersebut untuk membantunya.
“Seribuan, Kak,” jawab anak kecil itu.
“Ya sudah. Beli sepuluh ribu ya!” Delana merogoh sakunya
dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.
Anak kecil itu dengan senang hati menerimanya dan langsung
membungkuskan 10 buah jeruk.
Delana kembali melenggangkan kakinya menuju kampus. Ia
berjalan melewati taman seperti biasa. Tapi, sosok cowok yang ia cari belum
terlihat. Sementara sudah banyak cewek-cewek yang terlihat juga menanti
kehadirannya. Ada yang sekedar duduk-duduk sembari menikmati ketampanan cowok
itu melintas di depannya. Ada juga yang sengaja ikut berlari pagi demi menarik
perhatian cowok itu. Kenapa Delana bisa menyadari hal tersebut? Jawabannya
terlihat jelas dari wajah yang dipoles make up tebal. Mana ada orang yang mau
olahraga tapi dandan dulu?
Saat Delana melenggang di jalanan taman, tiba-tiba
ponselnya berdering. Ia langsung menerima panggilan dari ayahnya tersebut.
“Ya, Ayah. Ada apa?” tanyanya pada Harun Aubrey, ayah
Delana.
“Sudah sampai kampus?” tanya Harun.
“Iya. Kenapa, Ayah?”
“Ayah harus lembur hari ini. Kamu nggak usah masak buat
Ayah, ya,” pinta Harun.
“Bryan gimana?” tanya Delana.
“Dia ada ekskul tambahan sampai sore. Udah Ayah tambahin
uang jajannya. Jadi, kamu nggak perlu masak buat kami.”
“Oh ... oke, Ayah. Oh ya, Ayah mau jeruk? Tadi di jalan aku
ketemu anak-anak jualan jeruk. Karena kasihan, aku beliin deh.”
“Oh, ya? Manis nggak?” tanya Harun.
“Mmh... belum aku coba, sih,” Delana memiringkan kepalanya
dan menjepit ponsel ke pundak. Tangannya merogoh kantong plastik berisi jeruk.
Brug!
Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu dan membuatnya terjatuh. Buah jeruk yang ia beli
terhambur di jalanan dan ponselnya ikut meluncur ke pangkuannya. Ia merasa lega
karena ponselnya tidak jatuh ke jalanan. Ponselnya bisa hancur bila itu
terjadi.
“Sorry! Aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?” tanya cowok
itu. Ia membungkukkan tubuhnya dan menatap Delana. Ia segera memunguti buah
jeruk yang menggelinding bebas ke berbagai arah dan memasukkannya kembali ke
dalam kantong plastik.
“Nggak apa-apa. Aku kok yang salah. Jalan nggak
lihat-lihat,” ucap Delana sembari menengadahkan kepala menatap sumber suara.
Ia terkejut karena cowok yang ia tabrak adalah cowok yang
selama ini ingin ia kejar. “Ah, jodoh
emang nggak ke mana. Dia dateng sendiri,” batin Delana dalam hatinya.
“Serius nggak apa-apa?” tanya cowok itu sekali lagi.
“Iya, nggak apa-apa,” Delana berusaha bangkit namun
kesulitan. Cowok itu dengan cepat mengulurkan tangan dan membantunya untuk
bangun.
“Eh, kaki kamu terkilir? Duduk dulu, aku bantu,” cowok itu
membantu Delana untuk duduk di salah satu kursi taman yang tak jauh dari
mereka.
Delana duduk di kursi, sementara cowok itu memijat bagian
kakinya yang terkilir.
“Masih sakit?” tanya cowok itu begitu selesai memijat kaki
Delana.
“Udah lumayan, sih,” Delana mengelus lututnya yang kotor.
“Untungnya pakai celana panjang. Kalau enggak, udah lecet nih dengkul,” gumam
Delana.
“Maaf, ya.”
“Iya, nggak apa-apa. Aku juga salah karena jalan sambil nelepon.”
Cowok itu tersenyum menatap Delana. Delana hampir saja
meleleh menjadi air ketika disuguhi senyuman dari cowok itu.
“Bener kamu nggak kenapa-kenapa? Aku tau tadi kenceng
banget aku nabraknya,” tanya cowok itu lagi.
“Iya. Nggak apa-apa,” jawab Delana. Entah kenapa pertanyaan
‘nggak apa-apa?’ dari cowok itu seperti bentuk kekhawatiran dan perhatian cowok
itu kepadanya. Ia tak bisa memungkiri kalau ia menyukai cowok itu untuk pertama
kalinya.
“Kamu emang sering jogging
di sini ya?” tanya Delana.
Cowok itu menganggukkan kepalanya.
“Selain di sini, pernah jogging di tempat lain?” tanya
Delana.
“Pernah. Tapi tetep nyaman di sini. Aku bisa nyium aroma
bunga yang lagi mekar,” cowok itu menunjuk rimbunan bunga mawar dan melati yang
tersusun rapi dan terawat dengan baik. “Seger.”
“Oh ya? Setiap pagi aku lewat sini. Tapi nggak pernah
perhatiin aroma bunga. Mungkin hidung aku emang nggak peka,” celetuk Delana.
“Coba pejamkan mata,” pinta cowok itu.
“Nggak mau!”
“Kenapa?”
“Nanti kamu pergi.”
Cowok itu tertawa kecil, “Coba pejamkan mata dan tarik
napas dalam-dalam. Kamu bakal ngerasain wangi bunga-bunga yang ada di taman
ini.”
Delana mengikuti perintah cowok itu. Ia perlahan menutup
matanya. Menarik napas dalam-dalam. Ia merasakan aroma wangi melintas di dalam
lubang hidungnya sampai masuk ke jantung. Seketika ia merasakan jantung dan
hatinya begitu sejuk dan nyaman.
“I feel it,”
tutur Delana lirih. Ia membuka matanya perlahan dan menatap cowok yang masih
membungkuk di depannya.
Cowok itu hanya membalas dengan senyuman kecil.
“Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Delana.
“Raditya Chilton. Panggil aja Chilton!” jawab cowok itu.
Delana mengangguk-anggukkan kepala sembari menghafal nama
itu di dalam hatinya. Oh, tidak, tidak! Dia tidak sedang menghafal, tapi ia
sedang mengukir nama itu di dalam hatinya. Sebab hatinya bergetar memikirkan
nama itu.
“Nama kamu?” tanya Chilton.
“Delana Aubrey. Panggil aja Delana atau Dela.”
“Oh, di kelas mana?” tanya Chilton.
“Aku? Di kelas yang paling ujung lantai dua.”
Chilton mengernyitkan dahinya, “Kita satu kelas?” tanyanya.
“Eh!? Masa sih? Aku nggak pernah lihat kamu di dalam
kelas.”
“Emang belum masuk kelas seminggu ini.”
“Kenapa?” tanya Delana.
“Pelajaran nggak begitu efektif di minggu-minggu pertama. Jadi
mau santai dulu,” Chilton bangkit. “Aku pamit. Sampai ketemu besok.”
Chilton bergegas pergi meninggalkan Delana yang masih
terpaku menatap kepergian Chilton.
Delana bangkit, ia melangkahkan kakinya perlahan menuju
kelasnya sambil bersenandung ria. Beberapa cewek yang ia lewati menatapnya
sinis, tapi ia tak peduli. Ia tahu kalau cewek-cewek itu menyukai Chilton dan
pastinya cemburu melihatnya berbicara dengan salah satu cowok yang menjadi
bintang di kampusnya.

0 komentar:
Post a Comment