Thursday, May 29, 2025

Then Love Bab 1 : Putus Cinta Sebelum Jadian

 


“Delana!” teriak Ivona dari kejauhan.

 

Delana membalikkan tubuhnya dan menatap Ivona yang setengah berlari ke arahnya.

 

“Ada apa?” tanya Delana. Delana Aubrey adalah anak perempuan yang selalu berambut pendek seperti laki-laki.

 

“Aravin mana?” tanya Ivona.

 

Delana mengernyitkan dahinya, “Kenapa nanyain dia?” tanya Delana balik dengan nada ketus.

 

“Idih ... sensi amat!? Aku kan cuma tanya doang. Biasanya kamu nggak pernah pisah sama Aravin,” tutur Ivona dengan wajah tanpa dosa.

 

“Nggak usah sebut nama dia lagi di depanku!” dengus Delana.

 

“Eh!? Kenapa?” Ivona melirik tajam ke arah Delana yang sudah berjalan beriringan di sisinya, “marahan?” Ivona mendekatkan wajahnya ke wajah Delana.

 

“Iya!” jawab Delana sembari mendelik kesal.

 

“Astaga... rasanya kemarin kalian masih akrab banget. Aku pikir udah jadian.”

 

“Belum. Kemarin dia nembak aku, tapi aku tolak.”

 

What!?” Ivona membelalakkan matanya, “bukannya kamu suka sama dia? Kenapa ditolak?” Ivona langsung menghadang langkah Delana. Menatap cewek berambut pendek yang ada di depannya itu. Ia mengerutkan hidungnya, ingin sekali ia memaki sahabatnya itu karena sudah menolak laki-laki yang ia sukai.

 

“Aku kesel sama dia. Selama ini dia manggil aku Bungas. Kata Atma, Bungas itu dalam Bahasa Melayu Sambas artinya cuci muka. Masa iya, dia nembak aku tapi dia ngehina aku banget dengan manggil aku Bungas? Maksudnya dia ngatain muka aku kumel gitu?” tutur Delana kesal, “aku nggak bakalan mau jadian sama cowok kayak gitu. Keliatannya aja baik, sekalinya tega ngehina aku. Aku sakit hati banget!” lanjut Delana.

 

Delana dan Aravin telah menjalani banyak hari bersama. Di SMA Heksa, Delana tak punya banyak teman karena mereka berasal dari SMP yang berbeda. Ia hanya memiliki dua orang teman baik laki-laki yakni Aravinda Farhan dan Atma Anugerah.  Aravinda Farhan adalah siswa yang cerdas dan memiliki nilai sangat bagus sementara Atma Anugerah nilainya tidak begitu bagus, tapi dia sangat tampan.

 

Delana sebenarnya pintar, tapi dia tidak rajin belajar sama sekali. Keberuntungan telah membuat ia tetap bisa masuk ke SMA Heksa, salah satu sekolah ternama di kota Balikpapan. Di SMA Heksa, terbagi menjadi dua kelas yakni kelas unggulan dan kelas reguler. Nilai Delana Aubrey hanya bisa masuk ke kelas reguler.

 

Selama tiga tahun di SMA, Aravin yang memberikan kursus tambahan untuk Delana agar ia bisa masuk ke salah satu universitas ternama di ibukota.

 

Aravin berharap bisa masuk ke universitas yang sama dengan Delana. Usahanya gagal setelah Delana menolak perasaan cintanya hanya karena termakan fitnah dari Atma.

 

Sebenarnya, Bungas artinya adalah cantik atau tampan dalam Bahasa Banjar. Sebab, Delana terlihat begitu cantik dalam kesederhanaannya, penuh semangat dan selalu riang.

 

 “Jadi, kamu mau daftar kuliah ke mana?” tanya Ivona.

 

“Kayaknya deket rumah aja, deh.”

 

“Kenapa? Bukannya kamu pengin bisa kuliah bareng Aravin di ibukota?” tanya Ivona.

 

“Aku nggak tega kalau harus ninggalin Ayah dan Bryan. Aku kepikiran siapa yang mau masak buat mereka, siapin pakaian mereka, dan ngurus keperluan mereka sehari-hari.”

 

Ivona menghela napas, ia menggenggam pundak Delana, “I know, you are a special girl. Always be strong and always cheerful. Aku bangga punya sahabat kayak kamu,” Ivona tersenyum menatap Delana.

 

Delana membalas senyum Ivona, “Makasih.”

 

“Hei, lagi pada apa sih kok kelihatan mesra banget? Aku iri, deh!” seru Belvi sambil menepuk punggung Ivona dari belakang. Cewek tomboy yang satu ini memang senang sekali berteriak sesukanya.

 

“Astaga.. Belvi!” Ivona mengelus dadanya, “jantungku mau copot. Kamu ngagetin aja sih!” maki Ivona.

 

Belvi cengengesan menanggapi makian dari Ivona, “Kalian ngomongin apa sih? Kelihatannya serius banget?” tanyanya. Ia asyik mengunyah permen karet yang ada di dalam mulutnya.

 

“Ngomongin kuliah.”

 

“Oh ya? Kamu jadi kuliah di Jakarta?” tanya Belvi.

 

Delana menggelengkan kepalanya.

 

“Kenapa?” tanya belvi penasaran, “bukannya selama ini kamu semangat banget pengin kuliah ke Jakarta bareng Aravin?”

 

Ivona mendelik ke arah Belvi, ia menginjak sepatu Belvi agar menghentikan pertanyaannya yang tidak ada habisnya.

 

“Ada apa sih, Ivo!” celetuk Belvi kesal karena jari kakinya terasa linu setelah diinjak oleh Ivona.

 

Delana menghela napas panjang, “Nggak usah berantem. Biar aja si Belvi tahu.”

 

“Eh!?” Belvi mengerutkan keningnya, tanda bahwa di kepalanya ada pertanyaan yang tak bisa ia ungkapkan.

 

“Aku abis nolak Aravin,” tutur Delana pelan.

 

“Loh, loh? Kenapa?” tanya Belvi.

 

“Aku suka sama dia. Tapi, aku nggak akan pernah memulai hubungan apa pun sama dia. Dia nggak tulus sama aku. Dia udah nyakitin aku, Bel,” Bulir air mata terlihat menggenang di mata Delana.

 

“Sabar ya!” Belvi merentangkan tangannya dan langsung memeluk Delana. Ivona juga ikut merengkuh tubuh Belvi dan Delana.

 

 

 

***

 

Beberapa minggu kemudian, Delana memilih mendaftar di salah satu universitas yang dekat dengan rumahnya. Ia tak lagi menginginkan kuliah di ibukota dan mengubur dalam-dalam kisahnya bersama Aravin. Cowok yang telah berhasil membuatnya putus cinta sebelum jadian.

 

Usai mendaftar kuliah, Delana dan Belvi bersama-sama pergi ke rumah Ivona. Mereka langsung menyerbu kamarnya, apalagi kalau bukan ingin menghamburkan semua isi kamar Ivona. Mulai dari peralatan sekolah sampai baju dan make-up.

 

“Von, kalau aku panjangin rambutku cocok nggak ya?” tanya Delana sembari memandang dirinya sendiri di depan cermin.

 

“Hah!? Serius!?” tanya Ivona dan Belvi bersamaan. Mereka memandang ke arah Delana yang sibuk memperhatikan wajahnya di depan cermin sembari mengutak-atik rambutnya.

 

Delana menganggukkan kepalanya.

 

Ivona dan Belvi saling pandang, mereka saling bertanya dalam hati. Kemudian tersenyum bersama. Sepertinya, putus cinta telah membuat Delana mulai merubah penampilannya. Tak biasanya ia berdiri lama di depan cermin hanya untuk melihat dirinya sendiri. Meski ia berasal dari keluarga yang berkecukupan, tapi ia tak begitu peduli dengan penampilannya. Sikapnya kali ini sungguh berbeda.

 

Ivona menghampiri Delana dan berdiri di sampingnya, “Like this?”

 

Ivona percaya diri menatap bayangannya di cermin. Ia memang sangat cantik dan memesona. Tak heran jika banyak lelaki yang berebut ingin menjadi pacarnya. Bagi Ivona, ia bisa mendapatkan pria manapun yang ia mau dan juga dengan mudah mencampakkan lelaki yang sudah tak ia suka. Di dalam pikirannya, Life is simple. Mati satu tumbuh seribu.

 

Delana menghela napas, ia tertunduk lesu begitu melihat bayangan di sampingnya terlihat jauh berbeda dengannya. Dari gaya berpakaian saja, Ivona terlihat sangat modis dan kekinian. Sementara Delana terlihat sangat sederhana dengan kaos oblong dan celana tiga perempat. Rambut Ivona ikal panjang berwarna cokelat, sedangkan rambutnya sangat pendek seperti laki-laki. Bagaimana bisa laki-laki akan tertarik dengannya jika penampilannya saja seburuk ini.

 

“Hei, jangan sedih!” tutur Ivona lembut. “Kamu cantik. Hanya butuh dipoles sedikit saja,” Ivona mengedipkan mata ke arah Delana.

 

Ivona memaksa Delana duduk dan mulai mengeluarkan peralatan make up-nya. Kali ini, Ivona berubah bak penata rias profesional.

 

“Gimana, Bel?” tanya Ivona pada Belvi yang sedang asyik berbaring di atas tempat tidur sembari bermain ponsel.

 

Belvi langsung bangkit dan menghampiri Delana, “Wow...! Cantik banget! Aku mau juga didandanin!” seru Belvi. Walau secara fisik Belvi terlihat cewek banget, tapi gaya tomboy-nya masih sangat kental. Terlebih saat bicara suka berteriak-teriak sesukanya tanpa memperhatikan orang lain.

 

“Bantu aku dulu!” pinta Ivona. Ia melangkahkan kaki menuju lemari pakaian empat pintu yang ada di dalam kamarnya. Semua pintunya ia buka dan ia sibuk memilih baju yang cocok untuk Delana.

 

Belvi membantu Ivona memilih baju yang cocok untuk Delana.

 

Ivona sudah mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari dan meletakkannya di atas ranjang, “Cari lagi yang bagus, Bel!” pinta Ivona.

 

Ia berpindah ke salah satu lemari, mengambil rambut palsu panjang dan ikal. Ia memasangkan rambut palsu tersebut di kepala Delana sementara Belvi masih sibuk memilih baju yang cocok.

 

Belvi meletakkan beberapa helai gaun ke atas ranjang Ivona. “Baju kamu bagus semua. Aku bingung mau pilih yang mana,” gumamnya.

 

Ivona tertawa kecil. Ia meminta Delana mencoba bajunya satu persatu. Ivona dan Belvi jatuh cinta pada gaun berwarna biru arctic yang terlihat begitu lembut membalut tubuh Delana. Kulit putihnya terlihat begitu menyatu dengan warna gaunnya.

 

“Aargh...! Cucok!” teriak Ivona kegirangan. Ia dan Belvi berjingkrak kegirangan. Ivona langsung mencari keberadaan ponselnya dan langsung membidik Delana dengan kamera ponselnya. Mereka berpose beraneka model di dalam kamar.

 

Delana yang belum terbiasa dengan make up di wajahnya sudah mulai merasa gatal. Ia ingin sekali membersihkan wajahnya secepatnya. Sementara Ivona masih mendandani Belvi dan meminta untuk melakukan sesi foto bersama Delana.

 

“Cepetan, Ivo! Mukaku udah gatel banget, nih!” gerutu Delana.

 

“Hah!? Seriusan?” Ivona mendongakkan kepalanya menatap Delana. “Make up aku ini make up mahal. Masa iya bikin kulit gatal? Aku udah pakai make up ini lama dan baik-baik aja, kok.”

 

Delana menghela napasnya, “Ya udah, cepet lanjutin dandannya. Aku udah nggak betah pake make up menor kayak gini.”

 

“Oke. Wait!” pinta Ivona.

 

Setelah selesai merias wajah Belvi, mereka melakukan sesi foto. Ivona langsung memasang story di Instagram dan mendapat banyak pujian dari pengikutnya karena hasil make up yang ia buat sangat cantik.

 

“Aargh ...! Baca, deh!” Ivona menunjukkan komentar yang ada dalam postingan Instagram-nya. “Aku seneng banget!” serunya ketika membaca komentar positif yang membuat dirinya merasa bangga untuk pertama kalinya.

 

“Ini bersihinnya gimana?” Delana menarik tisu dan langsung mengusapkan di wajahnya.

 

“Idih, jangan pakai tisu! Kasar banget, sih!” Ivona merebut tisu dari tangan Delana.

 

“Terus pakai apa?” tanya Delana.

 

Ivona meraih kapas dan micellar water yang terletak di meja riasnya, “Pakai ini!”

 

Delana langsung membersihkan riasannya. Sementara Belvi masih sibuk foto selfie dan tidak mau membersihkan riasannya.

 

“Kalian itu, aslinya cantik. Cuma dipoles make up dikit aja udah kelihatan cantik banget,” Ivona menatap kedua sahabatnya.

 

Drrt... Drrt...

 

Ponsel Delana bergetar. Ia meraih ponselnya dan melihat panggilan dari ayahnya.

 

“Iya, Ayah. Ini udah mau pulang!” seru Delana. Ia langsung terburu-buru membersihkan riasannya, berganti pakaian, kemudian pulang ke rumah secepatnya.

 

 

 

***

 

Setelah sekian purnama terlewati, Delana pun akhirnya resmi lulus dari siswa dan menjadi mahasiswa. Ini hari pertama Delana masuk ke universitas. Ia masih tak percaya kalau dirinya kini mulai bertransisi dari remaja menuju wanita dewasa. Ia melangkahkan kaki penuh percaya diri memasuki halaman kampus.

 

Delana berjalan perlahan melewati taman kampus, ia berpapasan dengan seorang cowok tampan yang sedang lari pagi. Matanya tak berkedip dan kepalanya hampir saja lepas dari tempatnya karena mengikuti arah cowok itu berlari. Ia begitu terpesona dengan cowok tampan yang ada di kampusnya itu.

 

Duh, udah ganteng ... macho ... fresh dan cute banget! Ternyata ada juga cowok di sini yang gantengnya kayak di drama Korea,” batin Delana.

 

Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari cowok itu meski ia sudah berlari menjauh dari tempatnya berdiri dan menghilang.

 

Delana menggigit bibirnya dan mulai memikirkan cara untuk bisa berkenalan dengan cowok itu. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah dan tak satu pun sosok mahasiswa kampus yang ia kenal. Bagaimana ia bisa tahu nama cowok itu, apa dia bisa bertemu lagi dengan cowok itu?

 

Sepulang dari kampus, Delana langsung bertemu dengan kedua sahabatnya di rumah Ivona seperti biasa.

 

“Von, tadi di kampus aku ketemu sama cowok ganteng banget!” seru Delana dengan wajah gemas.

 

“Seriusan? Seganteng apa?” tanya Ivona.

 

“Hmm... mirip-mirip artis Korea gitu. Tinggi, putih, atletis. Pokoknya, cowok idaman banget!”

 

“Cocok sama aku tuh,” sahut Ivona sambil menahan tawa.

 

“Iih, enak aja! Ini spesial buat aku ya! Lagian, kamu kan gampang dapetin cowok-cowok keren. Kasih aku satu napa?” celetuk Delana.

 

“Tajir nggak, dia?” tanya Belvi.

 

Delana mengedikkan bahunya, “Aku belum kenalan. Mana tau tajir atau enggaknya.”

 

What!?” Belvi dan Ivona membelalakkan mata bersama mendengar ucapan Delana. “Wah, gawat! Belum kenalan sudah jatuh cinta. Kemarin, belum jadian sudah putus cinta,” celetuk Belvina.

 

Delana mencebik ke arah Belvi. Belvi memang terkesan ceplas ceplos dalam berbicara, tapi dia sangat peduli dan memperhatikan Delana.

 

“Gimana caranya biar aku bisa kenalan sama dia ya?” tanya Delana.

 

“Ya langsung tegur aja kalau pas papasan!” jawab Belvi sekenanya.

 

“Yee ... kesannya aku gatel banget. Iya kalo dia nanggepin. Pas aku bilang ‘Hai’ terus dia buang muka gimana? Malunya sampe ubun-ubun!” celetuk Delana.

 

“Emang dia kelihatannya gimana? Dingin gitu ya sampe kamu nggak berani nyapa duluan?”

 

“Kelihatannya sih gitu. Di sana banyak cewek yang ngikutin dia jogging dicuekin juga.”

 

“Dia suka jogging?” tanya Belvi.

 

Delana menganggukkan kepalanya.

 

“Wow...! Aku ngebayangin ... cowok yang suka jogging itu body-nya pasti keren,” Belvi menatap langit-langit kamar, membayangkan sosok cowok keren versinya sendiri.

 

“Ya udah, kamu ikutan jogging aja kayak cewek-cewek yang lain!” sahut Ivona.

 

Delana mengedikkan bahunya, “Nggak, ah. Kesannya aku kecentilan banget. Yang lain yang lebih cantik dari aku aja dia cuekin. Gimana sama aku?” ucap Delana lemas. “Kasih saran yang rada elegan, dong!” pintanya.

 

“Hmm ... apa ya?” Belvi dan Ivona sama-sama membantu mencari ide agar Delana bisa menaklukan cowok ganteng yang menjadi bintang di kampusnya itu.

 

Ia terus berpikir bagaimana caranya bisa bicara dengan cowok itu. Ia tak ingin menggunakan cara umum seperti yang dilakukan cewek-cewek lain. Sepertinya cowok itu tidak akan terkesan dengan yang suka menggoda alias cewek yang kecentilan.

 

Namun, takdir membawanya berkenalan dengan cowok itu tanpa sengaja. Hari berikutnya ia berjalan kaki menuju kampusnya karena memang tidak terlalu jauh dari rumah. Di perjalanan ia bertemu dengan seorang anak penjual jeruk.

 

 “Kak, mau beli jeruk?” tawar seorang anak kecil itu.

 

“Berapaan?” tanya Delana saat ia melihat anak kecil tersebut membawa keranjang buah yang berisi jeruk. Ia merasa iba dan ingin membeli buah jeruk tersebut untuk membantunya.

 

“Seribuan, Kak,” jawab anak kecil itu.

 

“Ya sudah. Beli sepuluh ribu ya!” Delana merogoh sakunya dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan.

 

Anak kecil itu dengan senang hati menerimanya dan langsung membungkuskan 10 buah jeruk.

 

Delana kembali melenggangkan kakinya menuju kampus. Ia berjalan melewati taman seperti biasa. Tapi, sosok cowok yang ia cari belum terlihat. Sementara sudah banyak cewek-cewek yang terlihat juga menanti kehadirannya. Ada yang sekedar duduk-duduk sembari menikmati ketampanan cowok itu melintas di depannya. Ada juga yang sengaja ikut berlari pagi demi menarik perhatian cowok itu. Kenapa Delana bisa menyadari hal tersebut? Jawabannya terlihat jelas dari wajah yang dipoles make up tebal. Mana ada orang yang mau olahraga tapi dandan dulu?

 

Saat Delana melenggang di jalanan taman, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia langsung menerima panggilan dari ayahnya tersebut.

 

“Ya, Ayah. Ada apa?” tanyanya pada Harun Aubrey, ayah Delana.

 

“Sudah sampai kampus?” tanya Harun.

 

“Iya. Kenapa, Ayah?”

 

“Ayah harus lembur hari ini. Kamu nggak usah masak buat Ayah, ya,” pinta Harun.

 

“Bryan gimana?” tanya Delana.

 

“Dia ada ekskul tambahan sampai sore. Udah Ayah tambahin uang jajannya. Jadi, kamu nggak perlu masak buat kami.”

 

“Oh ... oke, Ayah. Oh ya, Ayah mau jeruk? Tadi di jalan aku ketemu anak-anak jualan jeruk. Karena kasihan, aku beliin deh.”

 

“Oh, ya? Manis nggak?” tanya Harun.

 

“Mmh... belum aku coba, sih,” Delana memiringkan kepalanya dan menjepit ponsel ke pundak. Tangannya merogoh kantong plastik berisi jeruk.

 

Brug!

 

Tiba-tiba tubuhnya menabrak sesuatu dan  membuatnya terjatuh. Buah jeruk yang ia beli terhambur di jalanan dan ponselnya ikut meluncur ke pangkuannya. Ia merasa lega karena ponselnya tidak jatuh ke jalanan. Ponselnya bisa hancur bila itu terjadi.

 

“Sorry! Aku nggak sengaja. Kamu nggak apa-apa?” tanya cowok itu. Ia membungkukkan tubuhnya dan menatap Delana. Ia segera memunguti buah jeruk yang menggelinding bebas ke berbagai arah dan memasukkannya kembali ke dalam kantong plastik.

 

“Nggak apa-apa. Aku kok yang salah. Jalan nggak lihat-lihat,” ucap Delana sembari menengadahkan kepala menatap sumber suara.

 

Ia terkejut karena cowok yang ia tabrak adalah cowok yang selama ini ingin ia kejar. “Ah, jodoh emang nggak ke mana. Dia dateng sendiri,” batin Delana dalam hatinya.

 

“Serius nggak apa-apa?” tanya cowok itu sekali lagi.

 

“Iya, nggak apa-apa,” Delana berusaha bangkit namun kesulitan. Cowok itu dengan cepat mengulurkan tangan dan membantunya untuk bangun.

 

“Eh, kaki kamu terkilir? Duduk dulu, aku bantu,” cowok itu membantu Delana untuk duduk di salah satu kursi taman yang tak jauh dari mereka.

 

Delana duduk di kursi, sementara cowok itu memijat bagian kakinya yang terkilir.

 

“Masih sakit?” tanya cowok itu begitu selesai memijat kaki Delana.

 

“Udah lumayan, sih,” Delana mengelus lututnya yang kotor. “Untungnya pakai celana panjang. Kalau enggak, udah lecet nih dengkul,” gumam Delana.

 

“Maaf, ya.”

 

“Iya, nggak apa-apa. Aku juga salah karena jalan sambil nelepon.”

 

Cowok itu tersenyum menatap Delana. Delana hampir saja meleleh menjadi air ketika disuguhi senyuman dari cowok itu.

 

“Bener kamu nggak kenapa-kenapa? Aku tau tadi kenceng banget aku nabraknya,” tanya cowok itu lagi.

 

“Iya. Nggak apa-apa,” jawab Delana. Entah kenapa pertanyaan ‘nggak apa-apa?’ dari cowok itu seperti bentuk kekhawatiran dan perhatian cowok itu kepadanya. Ia tak bisa memungkiri kalau ia menyukai cowok itu untuk pertama kalinya.

 

“Kamu emang sering jogging di sini ya?” tanya Delana.

 

Cowok itu menganggukkan kepalanya.

 

“Selain di sini, pernah jogging di tempat lain?” tanya Delana.

 

“Pernah. Tapi tetep nyaman di sini. Aku bisa nyium aroma bunga yang lagi mekar,” cowok itu menunjuk rimbunan bunga mawar dan melati yang tersusun rapi dan terawat dengan baik. “Seger.”

 

“Oh ya? Setiap pagi aku lewat sini. Tapi nggak pernah perhatiin aroma bunga. Mungkin hidung aku emang nggak peka,” celetuk Delana.

 

“Coba pejamkan mata,” pinta cowok itu.

 

“Nggak mau!”

 

“Kenapa?”

 

“Nanti kamu pergi.”

 

Cowok itu tertawa kecil, “Coba pejamkan mata dan tarik napas dalam-dalam. Kamu bakal ngerasain wangi bunga-bunga yang ada di taman ini.”

 

Delana mengikuti perintah cowok itu. Ia perlahan menutup matanya. Menarik napas dalam-dalam. Ia merasakan aroma wangi melintas di dalam lubang hidungnya sampai masuk ke jantung. Seketika ia merasakan jantung dan hatinya begitu sejuk dan nyaman.

 

I feel it,” tutur Delana lirih. Ia membuka matanya perlahan dan menatap cowok yang masih membungkuk di depannya.

 

Cowok itu hanya membalas dengan senyuman kecil.

 

“Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Delana.

 

“Raditya Chilton. Panggil aja Chilton!” jawab cowok itu.

 

Delana mengangguk-anggukkan kepala sembari menghafal nama itu di dalam hatinya. Oh, tidak, tidak! Dia tidak sedang menghafal, tapi ia sedang mengukir nama itu di dalam hatinya. Sebab hatinya bergetar memikirkan nama itu.

 

“Nama kamu?” tanya Chilton.

 

“Delana Aubrey. Panggil aja Delana atau Dela.”

 

“Oh, di kelas mana?” tanya Chilton.

 

“Aku? Di kelas yang paling ujung lantai dua.”

 

Chilton mengernyitkan dahinya, “Kita satu kelas?” tanyanya.

 

“Eh!? Masa sih? Aku nggak pernah lihat kamu di dalam kelas.”

 

“Emang belum masuk kelas seminggu ini.”

 

“Kenapa?” tanya Delana.

 

“Pelajaran nggak begitu efektif di minggu-minggu pertama. Jadi mau santai dulu,” Chilton bangkit. “Aku pamit. Sampai ketemu besok.”

 

Chilton bergegas pergi meninggalkan Delana yang masih terpaku menatap kepergian Chilton.

 

Delana bangkit, ia melangkahkan kakinya perlahan menuju kelasnya sambil bersenandung ria. Beberapa cewek yang ia lewati menatapnya sinis, tapi ia tak peduli. Ia tahu kalau cewek-cewek itu menyukai Chilton dan pastinya cemburu melihatnya berbicara dengan salah satu cowok yang menjadi bintang di kampusnya.

 

 

 

 

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas