Langkah Pertama di Panggung Pesta Laut
Tak ada sponsor, tak ada tim rias profesional. Hanya aku, jarum, dan benang.
Aku meminta anak-anak untuk merias wajah mereka sendiri. Sebab, mereka jauh lebih pintar untuk bersolek ketimbang diriku. Anak-anak Gen Z memang generasi yang pandai dalam merias diri, tidak seperti generasiku.
Aku hanya menyiapkan beberapa bahan make-up yang mereka butuhkan. Aku bukan perias, apalagi desainer, tapi hari itu aku bertekad menghadirkan sesuatu yang pantas untuk mereka, sesuatu yang bisa membuat mereka percaya diri di depan orang banyak.
Dalam diam, aku sempat bertanya pada diri sendiri: Apakah ini terlalu nekat?
Tapi saat kulihat mata mereka berkilat penuh semangat, keraguan itu luruh begitu saja.
Ketika nama Rumah Literasi Kreatif dipanggil oleh pembawa acara, dunia seakan berhenti sesaat.
Langkah kecil mereka menapaki panggung megah itu penuh percaya diri. Musik tradisional berpadu dengan denting modern, dan di situlah aku melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan:
Anak-anak itu, yang dulu pemalu dan tak berani tampil, kini berjalan dengan kepala tegak.
Mereka tersenyum lebar di atas panggung dengan jiwa yang penuh keyakinan.
Dari sisi panggung, aku menahan napas. Air mata menitik tanpa bisa kutahan. Semua lelah dan kekhawatiran seolah terbayar lunas malam itu.
Tak ada yang tahu bagaimana aku harus menjahit hingga tengah malam, atau bagaimana aku menukar sebagian uang jahitan untuk membeli cat wajah murah di pasar. Tapi di hadapan gemerlap lampu panggung, semua pengorbanan itu berubah menjadi cahaya kecil yang menyinari langkah mereka.
Ketika acara usai, aku bertemu dengan Dayat (Founder Aksara Nusantara). Dia selalu menyapa dengan senyuman khasnya dan berkata, "Kak Rin keren banget!".
Aku tahu, karya dia jauh lebih keren dari apa yang aku ciptakan. Tapi dia selalu memberikan afirmasi positif kepadaku. Mungkin, dia tahu kalau aku adalah wanita yang mudah menyerah dalam melakukan berbagai hal. Dan kata sederhana yang keluar dari bibirnya adalah bentuk dukungan kekuatan yang tidak akan terlupakan.
Dalam hati aku tahu, penampilan itu bukan sekadar ajang fashion show, tapi tonggak pertama perjalanan mereka untuk berani bermimpi.
Dari sebuah panggung sederhana di tepi laut, kami belajar bahwa karya bisa tumbuh dari keterbatasan asal ada kemauan, keberanian, dan cinta yang tulus.
Di pengujung acara aku menyampaikan permintaan maaf pada anak-anak yang sudah membantuku. Tapi mereka selalu berkata,"Nggak papa, Mbak. Kita senang bisa tampil di sini karena kita bisa ketemu banyak artis di belakang panggung."
Aku merasa sangat senang karena mereka tidak keberatan. Mereka tidak menuntut apa pun. Sebab, mereka menganggap acara ini adalah petualangan. Jika mereka tidak ikut denganku, mereka akan menjadi bagian dari penonton yang berdesak-desakan. Bahkan, tidak memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan artis yang mengisi acara malam itu.
Kini, setiap kali aku melihat foto-foto malam itu, aku selalu tersenyum.
Aku teringat suara musik, sorak penonton, dan mata anak-anak yang bersinar.
Malam itu, kami tidak hanya mempersembahkan busana yang aku ciptakan, tapi juga keyakinan bahwa keindahan bisa lahir dari perjuangan kecil yang jujur.
Dan mungkin, itulah makna sebenarnya dari mendampingi mereka. Bukan sekadar membimbing langkah, tapi ikut berjalan bersama, meski kadang dengan sepatu yang sama lusuhnya.
0 komentar:
Post a Comment