Friday, February 15, 2019

Cerpen | Demi Bisa Membaca

Kompasiana
Semilir angin malam menembus kulitku. Sesekali aku mengusap lengan agar rasa hangat bisa menjalar ke tubuhku yang mungil. Aku duduk di tepi gubuk sembari memandang api unggun yang dibuat Bapak beberapa jam lalu. 
Malam semakin larut dan aku belum berhasil memejamkan mata. Sesekali kulihat tubuh mungil adikku yang sudah terlelap di dalam gubuk yang hanya beralas dan berdinding papan bekas. Tak ada penerangan di gubuk ini kecuali api yang dibuat Bapak sejak hari mulai gelap. Bapak dan Mamak juga belum terlelap. Sesekali Bapak menambahkan belahan kayu ulin ke pembakaran setiap kali kayu sudah mulai habis. Dan Mamak memanggang panci berisi air di atasnya. Air yang akan kami gunakan untuk minum setiap harinya.
Sejak kecil aku sudah tinggal di gubuk ini. Gubuk ini bukan milik kami, ini milik pak Burhan. Pemilik sawah yang berbaik hati memberikan gubuk untuk kami tinggal. Bapak dan Emak memang tidak memiliki rumah, terlebih hidup kami yang jauh dari kata cukup. Pak Burhan mengizinkan Bapak mengolah sawah miliknya dan tinggal di gubuk sederhana ini.
"Belum ngantuk?" Mamak menghampiriku, duduk di sisiku.
Aku menggelengkan kepala sembari memeluk sebuah buku usang yang aku temukan di belakang rumah salah seorang warga desa. Buku ini sengaja dibuang dan aku memungutnya.
Aku bercita-cita bersekolah seperti anak-anak seumuranku. Namun, keadaan sulit di keluargaku membuatku harus gigit jari dan hanya membantu Mamak di sawah setiap harinya. Jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin sekolah. Seperti yang dirasakan anak-anak berumur 10 tahun sepertiku.
"Dapet buku baru?" tanya Mamak.
Aku mengangguk. Bagiku, mendapatkan buku baru dari bekas buangan orang lain adalah kebahagiaan tersendiri. Rasanya seperti menemukan sebongkah emas berlian. Walau tidak pernah sekolah, aku beruntung karena Mamak mengajariku membaca dan menulis dengan baik. Hanya itu saja,  membaca dan menulis. Soal ilmu pengetahuan, sudah jelas Mamak tidak punya banyak ilmu pengetahuan. Sama sepertiku.
Sebab itulah aku suka sekali membaca. Dengan membaca, aku bisa melihat dunia di luar sana. Walau yang aku baca hanya buku baru yang meruakan buku bekas bagi orang lain atau bahkan memang tak bermakna sama sekali bagi mereka. 
"Maafkan Mamak dan Bapak karena tidak bisa menyekolahkanmu hingga saat ini."
"Nggak papa," jawabku lirih.
Sudah beberapa tahun lalu, kalimat itu keluar dari mulut Mamak dan Bapak. Awalnya, aku marah, sedih, menangis dan tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak bisa bersekolah karena kedua orang tuaku tidak mampu. Yang ada dalam pikiranku, tidak mungkin Bapak dan Mamak tega tidak menyekolahkanku. Aku terus merengek setiap hari, tetap saja tidak berhasil. Saat ini, aku sudah menerima semuanya. Menerima kenyataan kalau aku memang tidak akan pernah merasakan bangganya memakai seragam sekolah.
"Mak, apa Reno juga tidak akan sekolah seperti aku?" Aku memandang tubuh mungil adikku yang tengah terlelap.
"Mamak belum tahu. Semoga saja Mamak dan Bapak bisa menyekolahkan Reno."
"Apa yang bisa aku bantu supaya Reno bisa sekolah nantinya?" Aku menatap wajah Mamak yang sesekali terlihat terang terkena pancaran cahaya api unggun.
"Kamu sudah terlalu banyak membantu dan mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang berjuang untuk Reno!" pinta Mamak.
"Kenapa hanya Mamak dan Bapak yang boleh berjuang? Bukankah kita keluarga?" Aku menatap Mamak yang juga memandangku dengan rasa bersalah.
Ia tak mengatakan apa pun, hanya memeluk tubuhku yang mungil. "Tidurlah! Ini sudah malam," bisiknya.
Aku mengangguk, beranjak dari tempat dudukku dan memasuki bilik gubuk yang tidak di sekat. Di dalam bilik justru semakin dingin karena jauh dari perapian. Lantai dan dinding yang terbuat dari papan bekas terdapat banyak sela yang membuat angin berhembus dengan mudahnya dan menusuk-nusuk ke kulit.
Aku menatap wajah adikku kembali yang kini sudah di hadapanku. Aku rapikan posisi selimutnya, selimut dari sarung yang sudah lusuh dengan beberapa jahitan.
Kepalanya beralas bantal yang aku buat sendiri dengan tanganku. Setiap hari aku selalu bermain di bawah pohon randu dan mengambil kapuk-kapuk yang jatuh. Pemiliknya tidak peduli dengan kapuk yang hanya beberapa saja, mereka lebih senang membeli bantal di toko daripada harus capek-capek membuatnya. Berbeda dengan keluargaku yang hanya bisa mencari bahan gratisan. Sebelumnya, aku selalu izin pada pemilik kebun jika ingin meminta sesuatu di kebunnya. Mereka semua baik, tidak ada yang memarahiku. Justru mereka sering menyuruhku memanjat pohon kelapa, menjatuhkan buah-buahnya dan mereka memberikan aku sedikit upah. Upah yang biasanya aku tabung atau aku pakai membelikan jajan untuk Reno.
Aku merebahkan tubuhku di sisi Reno. Menarik selimut yang aku jahit dari kain-kain sisa pemberian orang. Ya, kami sering menerima pakaian dari beberapa warga yang memiliki pakaian lebih. Semuanya masih bagus-bagus dan bisa kami gunakan. Itu jauh lebih baik daripada harus membeli pakaian baru ke pasar. Pasarnya jauh, uangnya juga pasti butuh banyak.
Huft ... kenapa aku tak bisa sebahagia anak-anak lainnya? Takdir yang membuat aku terlahir dari keluarga miskin. Ah, tidak ... tidak! Bapak dan Mamak tidak miskin. Mereka sangat kaya bagiku. Memberikan aku kasih sayang setiap harinya. Mamak juga sering mengajari aku mengaji. Sekarang di usiaku yang sudah 10 tahun, aku sudah menghafal 20 juz Al-Qur'an. 
Setiap hari aku selalu mengaji, karena aku tidak pernah bersekolah. Hanya Mamaj dan Bapak yang menjadi guru mengajiku. Jelas berbeda dengan anak-anak yang bisa bersekolah. Mereka pasti pintar-pintar. Tidak sepertiku yang hanya bisa membaca dan menulis saja.
Aku menatap tumpukan buku yang ada di sudut bilik. Buku-buku itu bukan aku, Mamak atau Bapak yang membelinya. Buku itu hasil dari memungut di tepi jalan, di belakang rumah warga dan di tempat-tempat orang membuang setiap lembaran-lembaran kata itu. Aku senang sekali membaca, bahkan selembar kertas brosur saja aku ambil, aku baca dan simpan di rumah. Sehingga, buku-buku bekas tersebut sudah menumpuk di sudut ruangan. 
Di antara buku-buku itu, ada sebuah kalimat yang masih terngiang di ingatanku. "Membaca adalah jendela dunia".
Ya, aku rasa itu benar. Aku jadi tahu banyak hal dari buku itu. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku, tidak dari gubukku yang tak memiliki jendela.
Aku heran, kenapa teman-temanku sering membuang bukunya setiap kali kenaikan kelas. Katanya sudah tidak terpakai lagi. Padahal, buku itu masih bisa dibaca. Ah, mungkin saja isi buku-buku ini sudah berpindah ke otak mereka. Sehingga mereka tak lagi memerlukan buku-buku ini. 
Mereka setiap hari bersekolah, pastinya mereka semua pintar. Berbeda dengabku yang masih terus membaca setiap hari karena aku tidak bersekolah dan tidaj pintar.
Aku masih memeluk buku yang sedari tadi aku bawa. Aku sering membawanya tidur ketika dapat buku baru. Buku ini sangat bagus bagiku. Untuk pertama kalinya, buku ini bukan hasil memungut dari tempat sampah. Buku ini pemberian dari salah satu temanku yang duduk di bangku kelas 4 SD. 
Dia sering mengajakku bermain setiap kali aku mengintip dari luar jendela saat mereka sedang belajar. Dia tahu kalau aku suka membaca. Hanya saja, aku bukan anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan.
"Wardah ... aku punya buku baru. Ayah baru saja membelikan 2 hari yang lalu. Aku sudah membaca beberapa halaman dan sepertinya seru. Ini untukmu!" Irwansyah mengulurkan buku berjudul "Keliling Dunia"
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku ketika Irwansyah memberikan buku ini. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai ia bosan mendengarnya. Ini pertama kalinya aku diberi sebuah buku dan aku sangat senang. Buku dengan gambar pesawat dan beberapa gambar orang yang tertawa bahagia ini kini sudah ditanganku.
"Jaga baik-baik buku itu! Suatu hari nanti, kita pasti bisa keliling dunia!" teriak Irwansyah sambil tertawa bahagia.
Aku tahu, itu hanya teriakan mimpi seorang anak kecil. Tidak pernah tahu akan jadi nyata atau tidak. Mungkin saja bisa.jadi kenyataan baginya yang memiliki banhak uang dan cerdas. Tidak berlaku untuk aku, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.
Aku membaca doa sebelum tidur, doa untuk kedua orang tua, doa kebaikan dunia akhirat, Al-Fatihah, Ayat Qursi dan Doa Selamat. Sampai akhirnya aku terlelap dalam mimpi-mimpi indah. Aku bermimpi bisa berkeliling dunia. Mungkin saja mimpi itu datang karena aku membaca buku dan terus membayangkannya.
Keesokan harinya, aku bangun dengab tubuh yang segar. Kembali beraktivitas seperti biasa usai menjalankan ibadah sholat subuh dan mengaji. Aku sedang berusaha menghafalkan juz berikutnya. Sembari membantu Mamak melakukan pekerjaannya di sawah, aku selalu komat-kamit menghafalkan satu lembar naskah Al-Qur'an yang aku baca usai sholat subuh tadi.
Aku suka sekali membaca. Dan aku selalu memungut buku-buku bekas demi bisa membaca. Bahan bacaan terbaikku adalah kitab Al-Qur'an. Sehingga aku senang sekali membaca dan menghafalkannya.
Kata Mamak dan Bapak, ini bekal untukku keliling dunia dan akhirat sekaligus.
Cukup sampai di sini ceritaku hari ini.
Kalau kamu punya buku bacaan ya g bagus  dan tidak dibaca, mending kamu sumbangin aja deh. Terutama untuk anak-anak yang tinggal di pedalaman seperti aku. Hehehe...
  • Ditulis oleh Rin Muna untuk Kompasiana
  • East Borneo, 13 Februari 2019

1 comment:

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas