Menu BacaanMu
- Perfect Hero (309)
- Puisi (121)
- My Experience (118)
- Rumah Literasi Kreatif (86)
- Novel MLB (80)
- Cerpen (70)
- Then Love (57)
- Belajar Menulis (52)
- Esai (47)
- Artikel (42)
- Puisi Akrostik (40)
- Review Novel (21)
- Review Drama (18)
- Relima Perpusnas RI (16)
- Ekonomi & Bisnis (9)
- Novel The Cakra (8)
- Wisata (8)
- Aku dan Taman Bacaku (6)
- Review Aplikasi (6)
- Kumpulan Novel (5)
- Novel ILY Ustadz (4)
- Pendamping Nakal (3)
- Biografi Penulis (2)
- Opini (2)
- Daily (1)
- Donasi (1)
- Dongeng (1)
- Komunitas (1)
- Materi Cerdas Cermat (1)
Wednesday, August 23, 2023
Wednesday, August 16, 2023
Perjuangan Dapatkan Tim Kaligrafi Yang Tidak Mudah
Cerpen Kompetisi : Satu Hari dalam Ingatan Kakek karya Amelia Rizki
Satu Hari dalam Ingatan Kakek
Penulis: Amelia Rizki
Semarang, 17 Desember 1945
Empat bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, Santo kembali ke rumahnya di Semarang.
Suasana malam terasa mencekam akibat Belanda yang masih bercokol di tanah air. Tak banyak yang berani beraktivitas di malam hari, begitu juga dengan Santo. Sebagai seorang pejuang, ia harus lebih berhati-hati agar tak menarik perhatian para pasukan Belanda.
Malam itu terasa berbeda karena menjadi saksi kemarahan Mutia. Ia terdiam dengan tangan yang tergenggam kuat, setelah perselisihan dengan Santo, suaminya, hingga membuat kepalanya terasa pening. Dadanya naik-turun dengan helaan napas yang diambil sembarangan. Jantungnya berdentam-dentam begitu kuat, terasa ingin lepas dari tempatnya.
"Tolong mengertilah, Mutia. Ini demi negara kita." Santo mengusap wajahnya kasar.
"Tetapi Bagas itu masih berusia 16 tahun, Mas. Apa ndak kasihan sama anakmu?" Mutia menahan air yang akan jatuh di sudut matanya.
Santo menggeleng pelan, pertanda ia tetap pada keputusan. Pernyataannya yang ingin membawa anak mereka turut serta menjadi pejuang, menorehkan kecemasan yang mendalam di hati Mutia. Ingin rasanya ia menjelaskan betapa rasa khawatir itu juga datang menghampirinya, tetapi kecintaannya kepada negara ini lebih besar dari segala yang ia miliki.
Mutia terisak lirih, sadar bahwa tak ada lagi yang bisa menghentikan keputusan suaminya.
"Pergilah ke rumah simbok di Demak. Di sana kamu akan aman sementara waktu. Aku dan Bagas akan datang menjemputmu jika kondisi Semarang sudah membaik."
Santo mengecup puncak kepala Mutia, lalu memeluknya sebentar.
"Berhati-hatilah dalam perjalanan. Jadilah wanita yang tangguh lagi kuat."
Mutia mengemas pakaiannya ke dalam sebuah kain yang diikat sedemikian rupa. Bersamanya juga ia membawa secercah harapan atas keselamatan suami dan putra semata wayang. Mutia harus kuat. Menjadi istri seorang pejuang memanglah tak mudah. Dengan mengendap-endap, ia berjalan keluar meninggalkan rumah yang telah memberikan naungan belasan tahun lamanya.
"Aku menunggu kalian datang dalam keadaan bernyawa," ucap Mutia lirih sembari menengok ke arah rumah yang baru saja ia tinggalkan.
Akan tetapi, betapa terkejutnya Mutia ketika mendengar suara ledakan granat bergema dari arah belakang. Ia menjerit kala melihat rumahnya telah berlobang di beberapa bagian. Entah bagaimana dengan nasib Santo dan Bagas. Satu yang ia pahami, keputusan Santo menyuruhnya pergi adalah demi keselamatan dan kebaikannya sendiri.
Tanpa Mutia ketahui, detik di mana granat itu meledak dan membuat lubang di dinding rumahnya, detik itu pula Santo dan Bagas bergerilya menuju basecamp para pejuang. Mereka menyamar menjadi warga sipil biasa tanpa senjata, agar para tentara musuh tak curiga dengan keberadaan mereka.
"Kita akan melakukan gerakan senyap. Semua akan dilakukan dengan cermat dan hati-hati." Letkol Basuni memberikan penjelasan.
"Kita akan menyerang mulai malam ini. Tentu saja ini akan berhasil jika kita semua bekerja sama. Musuh telah membakar rumah-rumah warga dan juga gudang persenjataan. Kita hanya memiliki tekad kuat dan bambu runcing sebagai senjata. Apakah kalian bersedia?!"
"Siap, bersedia!" Gemuruh suara penuh rasa nasionalisme mengobarkan semangat juang yang tinggi.
Mereka mulai membagi tugas agar penyerangan dapat sukses terlaksana. Golongan Toekang Listrik yang biasanya bertugas mengaliri listrik di seluruh kota, kini bekerja sama untuk memadamkan seluruh listrik di dalam kota. Sabotase ini dilakukan agar
konsentrasi Belanda terpecah belah.
"Santo! Maju ke arah jantung kota kemudian kepung markas musuh. Bawa beberapa pasukan bersamamu!" Dengan tegas Komandan Basuni memberikan perintah. Dalam situasi seperti ini, titah komandan menjadi keharusan dlyang harus dipatuhi tanpa ada perlawanan.
Santo mengangguk. Matanya berkilat tajam, dengan bendera merah putih terikat kuat di atas bambu runcing miliknya. Ia dan beberapa pasukan muda untuk bergerilya menuju markas musuh.
"Kita berpencar! Lumpuhkan musuh dengan senjata apa pun yang kita punya. Takada kata menyerah demi mempertahankan kemerdekaan kita," teriakan Santo berhasil memantik semangat para pemuda.
Akan tetapi, baru saja Santo hendak menyergap musuh, derap langkah sepatu terdengat mendekat.
"Hou je mond!"
Santo mematung merasakan dinginnya moncong senjata tepat berada di keningnya.
"Bajingan!" umpat Santo sembari meludah ke arah pasukan Belanda.
Terang saja tindakannya itu membuat berang tentara Belanda. Ia bergumam, lalu memukulkan senjata laras panjang itu ke kepala Santo hingga membuat kepalanya berambut gondrong miliknya mengeluarkan darah.
Pandangannya mulai kabur, lalu samar-samar ia mendengar beberapa pejuang berlari menuju ke arahnya.
"Mati kowe!" Santo berteriak sambil mendorong tubuh tegap si Belanda hingga terhuyung.
Melihat kesempatan baik ada padanya, ia menangkap tinggi-tinggi bambu runcing miliknya, lalu menghujamkannya berulang kali. Senyuman terbit di ujung bibirnya. Perasaan puas telah mengalahkan seorang musuh seakan memenuhi ruang di dalam hati. Ia kemudian bergabung bersama pasukannya untuk terus menggempur musuh.
Semangat membara para Toekang Listrik yang sebelumnya membantu memadamkan listrik kini telah turun lapangan. Mereka bergerak dengan menggenggam berbagai macam keahlian mereka seperti;kunci-kunci, linggis, palu dan lain sebagainya.
"Merdeka!"
"Merdeka!"
"Usir Belanda dari Bumi Pertiwi!"
Teriakan-teriakan itu terus menggema dari para pejuang tanah air. Beberapa saat, Santo mulai ingat keberadaan Bagas. Bagaimana pun ia bertanggung jawab atas keselamatan anaknya. Mutia, sang istri, tak akan memaafkannya jika sesuatu hal terjadi kepada anak semata wayang mereka.
"Hendro! Di mana Bagas?" tanyanya sambil menepuk pundak teman seperjuangannya.
"Bagas tadi sudah lebih dulu berangkat ke daerah di sebelah utara. Pasukannya berhasil menakuti para Belanda itu," ujar Hendro sedikit berkelakar.
"Syukurlah kalau begitu." Santo meringis memegangi keningnya yang masih berdarah. Ia menyobek kain baju miliknya, lalu membebatnya kuat agar pendarahan segera berhenti.
Jarum jam terus berputar pada porosnya. Dalam dinginnya malam, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur. Beberapa bangunan penting tadinya berhasil dikuasai musuh, akhirnya bisa direbut kembali oleh pejuang tanah air. Markas besar berisi beberapa berkas penting dan perlengkapan senjata lengkap beserta amunisi juga aman terkendali.
Malam yang melelahkan telah terlewati. Matahari pagi bersinar hangat menerpa wajah-wajah dingin yang penuh bekas luka. Namun, wajah-wajah itu tetap menampilkan senyuman terbaik meski rasa lelah seakan mematahkan tulang belulang. Mereka tetap bersorak bangga karena berhasil memukul mundur Belanda dan mempertahankan Ibu Kota Jawa Tengah.
Santo sudah mendapatkan perawatan agar lukanya tak semakin parah. Bagas pun tak terluka parah. Hanya beberapa goresan di tangan dan kakinya. Berita kemenangan pejuang tersebar melalui radio-radio tanah air.
"Berita pagi hari itu dari sekitar Mranggen para pejuang republieken menyataken bahwa niat moesoeh menggempoer Mranggen tidak berhasil. Peloeroe-peloereo moesoeh djatoeh berhamboeran dimoeka Kota, di belakang Semarang, dan sekitar Mranggen!"
Tak terlukiskan betapa gembiranya hati Mutia mengetahui keberanian para pejuang telah berhasil mengalahkan Belanda.
"Mbok! Simbok! Belanda sudah pergi, Mbok. Mas Santo dan Bagas sebentar lagi pasti datang menjemputku di sini." Mutia berlari-lari menyampaikan kabar gembira kepada ibunya.
Bibir yang sejak semalam hanya terkulum kini mulai tersenyum manis. Begitu bahagianya hingga masih pagi-pagi sekali ia sudah mandi dan bersolek demi menunggu kedatangan anak dan suaminya. Kebanggaannya menjadi berlipat-lipat kala teringat perdebatan mereka malam itu. Mutia merasa beruntung karena suaminya bersikeras membawa Bagas berjuang bersamanya.
"Mutia!"
"Ibuk!"
Teriakan Santo dan Bagas memudarkan lamunan Mutia. Senyumnya makin melebar tatkala ia melihat dua sosok lelaki berjalan menuju ke arahnya.
17 Agustus 2023
78 tahun Indonesia merdeka.
Hari ini Kota Semarang begitu semarak dengan bendera merah putih berdiri tegak di depan rumah para warga. Seorang lelaki renta memakai topi veteran duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan. Matanya berkaca-kaca dengan tangan yang sesekali gemetar.
Tujuh puluh delapan tahun lalu, ia berjuang memukul mundur pasukan Belanda yang hampir saja kembali menduduki Ibu Kota Jawa Tengah. Meski bukan di hari yang sama, tetapi ia masih ingat keringat dan darah yang menetes dari dahinya.
Ia menggenggam kuat kain berwarna merah dan putih. Menghidu aromanya dengan sepenuh hati, lalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Meski suaranya tak sekuat dulu, meski tenaganya telah rapuh dimakan usia, tetapi ingatannya tentang hari itu takpernah hilang walau sedetik saja.
Ia terus bergumam, hingga seorang anak kecil bertubuh tambun dengan rambut sebahu itu menghambur ke dalam pangkuannya.
"Kakek Bagas, ayo pasang bendera!" ujarnya sambil menarik-narik kain yang dipegang sang kakek.
Di belakangnya, seorang lelaki berpakaian TNI juga turut menghampiri.
"Ayah, terima kasih telah berjuang bersama seluruh warga Semarang kala itu."
"Terima kasih telah menjadi tentara yang tangguh. Tugasmu menjaga tanah air, aku yang melanjutkan."
Kemudian mereka bersama-sama memasang bendera pada tiang kayu yang telah disediakan sebelumnya. Memberikan hormat pada sang saka merah putih yang demi dirinya telah rela bertumpah darah.
Semarak bulan Agustus selalu saja ditunggu warga. Berbagai lomba diadakan demi memeriahkan suasana. Dari anak-anak hingga dewasa semua larut dalam bahagia yang nyata. Pasukan gerak jalan, panjat pinang, tarik tambang dan sepak bola menjadi pertandingan rutin setiap tahunnya.
Tak lupa yang selalu menjadi topik utama adalah karnaval dengan berbagai jenis kostum kepahlawanan. Jika sudah begini, Kakek Bagas akan setia duduk di kursi miliknya, lalu mulai bercerita tentang hebatnya para pejuang memukul mundur para penjajah. Tentang bagaimana mempertahankan bendera merah putih tetap berkibar di udara. Tentang duka kehilangan teman dan saudara di waktu yang nyaris berdekatan.
Selanjutnya ia akan bercerita tentang bahan makanan yang hanya terbuat dari umbi singkong semata, serta senjata yang tak seberapa, para pejuang tetap gigih membela. Lalu, Kakek Bagas mulai membanding-bandingkan, bagaimana hidupnya semasa menjadi pejuang muda dengan para muda mudi jaman sekarang.
"Dulu, menjadi prajurit itu begitu membanggakan, sekarang disuruh hormat bendera saja banyak yang tidak mau."
"Zaman dulu, senjata hanya milik penguasa. Kini pasukan adalah kita yang bergerak bersama melindungi tujuan negara."
Kakek Bagas meneteskan air mata yang sempat menggantung di pelupuk. Hatinya campur aduk melihat perkembangan Indonesia yang semakin modern. Satu hal yang selalu ia katakan, "Kita sudah lama merdeka, tetapi hari ini aku melihat rakyat dijajah oleh bangsa sendiri. Orang susah semakin susah karena mereka yang berkuasa berbuat semena-mena. Sungguh kasihan!"
PROFIL PENULIS
Amelia Rizki adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis cerpen. Ia telah mengikuti beberapa event dan berhasil menjuarainya. Selain itu, ia juga turut serta menjadi penulis di beberapa antologi bersama. Jika ingin berkomunikasi dengannya bisa melalui FB: Amelia Rizki
Cerpen Kompetisi : Surga yang Tak Pernah Ada karya Riri Rosy
Surga yang Tak Pernah Ada
Oleh : Riri
Rosy
Surga, tidak selamanya tampak indah dan sempurna. Bukan juga tempat
yang dipenuhi aneka bunga cantik nan harum, dengan berbagai pohon buah yang
ranum. Apalagi tempat yang akan dialiri susu dan madu. Surga tidak seperti itu
bagi sepasang kekasih, Anneliese dan Wirojoyo. Bagi mereka surga itu hanyalah
tempat mereka biasa bersua, dengan pohon bambu di tepi sungai dengan air jernih
meneduhkan keduanya.
Tempat rahasia mereka jauh dari keramaian. Mereka terpaksa selalu
bertemu diam-diam karena ayah Anneliese, Meneer Aart Leonard Langenberg,
melarang putri semata wayangnya menjalin hubungan dengan orang pribumi. Baginya
tidak akan mudah menyatukan banyak perbedaan di antara mereka.
Anneliese Beatrix Aart, wanita Belanda berkulit seputih susu itu duduk
terpaku. Dengan wajah bermendung penuh kegalauan, ia menatap Wiro, pemuda
pribumi yang menjadi tambatan hatinya. Pemuda itu duduk di sampingnya dengan
mata menerawang jauh. Dahinya sedikit berkerut. Kemudian ia menghela napas
dalam-dalam. Anneliese bisa merasakan betapa berat beban perasaan Wiro saat
ini.
Anneliese menatap wajah pemuda di sampingnya. Rambutnya hitam legam
bergelombang dipotong pendek dan rapi. Alisnya tebal, garis wajah tegas dengan
mata beriris hitam. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran pemuda pribumi.
Kulitnya cokelat dengan sedikit bulu halus di lengan dan kakinya. Bibir
tipisnya murah senyum, tetapi sangat hemat berkata-kata.
"Zeg eens¹, Wiro," pinta Anneliese.
"Mungkin kita memang harus berpisah." Wiro berpaling menatap
sepasang mata cokelat gadis di sampingnya itu.
Seketika mata Anneliese tampak membulat, sepasang alis cantiknya
terangkat. Ia menutup mulut dengan jemarinya.
"Nee². Kamu menyerah?"
"Meneer Aart benar. Kebahagiaanmu yang utama. Aku belum tentu
bisa membahagiakanmu."
"Tidak, Wiro. Kebahagiaanku bersamamu. Ingat, ons paradijs³ .
Surgaku bukanlah rumah megah, tapi di sini, bersamamu. Jangan pernah tinggalkan
aku."
Wiro kembali berpaling, menatap pucuk-pucuk daun yang bergoyang oleh
semilir angin. Gemericik air sungai bagai simponi indah mengiringi nyanyian
burung yang sesekali hinggap di pohon sekitar sungai. Keduanya membisu,
tenggelam dalam kekalutan masing-masing.
Anneliese, gadis berambut ikal sepinggang itu menunduk. Diamnya Wiro
terasa menyiksanya. Ia menggigit bibirnya yang kemerahan. Jemarinya merapikan
selendang penutup kepalanya yang sedikit melorot tertiup angin. Gadis langsing
itu sengaja berpenampilan seperti wanita Jawa, menggunakan kain batik dan
kebaya. Ia juga memakai selendang di kepalanya hingga menutup sebagian wajah
untuk menyamarkan wajah Belandanya dengan hidung yang begitu mancung.
Anneliese mulai menaruh hati pada Wiro sejak pemuda itu menolongnya
saat rombongan tentara Jepang berusaha menculiknya untuk dijadikan budak pemuas
nafsu. Sejak Jepang berkuasa, banyak warga Belanda yang dibantai atau
dipulangkan. Anneliese dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri dan pindah ke
tempat yang agak terpencil dengan bantuan seorang saudagar kaya, Tuan Suryo.
"Anneliese, hari Jumat aku akan pergi." Kata-kata Wiro
membuat Anneliese langsung berpaling menatapnya.
"Aku ikut!"
"Maaf, Anneliese. Aku rasa itu tidak mungkin."
"Bawa aku, atau aku mati?"
Wiro terdiam. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Anneliese tidak sedang
bercanda. Wiro sangat paham sifat keras kepalanya.
"Aku tak mau menikah dengan saudagar tua gendut itu." Wajah
Anneliese menampakkan kemarahan. "Keluargaku berhutang budi pada Tuan
Suryo yang telah membantu kami menyelamatkan diri dan ternyata duda itu
menginginkanku. Kamu rela?"
Wajah Wiro memerah. Dadanya seakan-akan bergemuruh dan ingin meledak.
Sungguh tak ada pilihan mudah baginya.
"Kamu sungguh-sungguh ingin ikut?" tanya Wiro seraya menatap
gadisnya yang juga sedang memperhatikannya.
Anneliese mengangguk, matanya berbinar penuh harap.
"Tak akan menyesal apapun risikonya?"
Anneliese tersenyum.
"Jumat malam selepas Isya', aku akan pergi dengan bendi. Kita
bertemu di jembatan." Wiro akhirnya mengambil sebuah keputusan setelah
melihat Anneliese yakin untuk ikut bersamanya.
Senyum Anneliese mengembang penuh mendengar kata-kata Wiro.
"Semoga kita menemukan surga yang lebih indah," katanya berharap.
"Semoga aku tak akan membuatmu kecewa."
"Wiro, kenapa kamu takut membuatku kecewa? Aku senang bersamamu.
Kamu tahu, kan?"
Wiro menghela napas. Bibirnya menyungging senyum sekilas.
"Bagaimanapun kehidupan kita sangat berbeda, Anneliese. Aku takut
tak bisa menghadirkan surga untukmu."
"Percayalah. Surgaku ada padamu, Wiro."
***
Sejak istrinya meninggal akibat peluru pejuang pribumi yang salah
sasaran dan Anneliese nyaris ditangkap tentara Jepang, Meneer Aart mulai
depresi. Ia ingin kembali ke negaranya tetapi tidak bisa. Pria itu menyesali
nasib harus kehilangan istri dan setelah Jepang berkuasa, kehidupannya berubah
drastis. Kesehatannya agak menurun. Ia khawatir memikirkan masa depan
Anneliese, hingga ketika Tuan Suryo yang kaya tampak tertarik pada putrinya,
kekhawatirannya mulai berkurang.
Sementara, sang putri justru sangat tak menyukai Tuan Suryo yang
dianggapnya hanya mencari untung di atas deritanya. Ia juga terlanjur mencintai
Wiro, pemuda pribumi yang sederhana tetapi membuatnya nyaman bersamanya.
Rasa sedih untuk meninggalkan ayahnya tak urung dirasakan Anneliese
juga. Bagaimanapun, Meneer Aart adalah ayah yang menyayanginya. Sebenarnya ia
tidak ingin meninggalkan ayahnya, tetapi ia benar-benar muak dengan Tuan
Suryo. Tidak ada jalan lain baginya
untuk menghindari Tuan Suryo selain lari bersama Wiro.
Anneliese mengucapkan selamat malam, lalu memeluk ayahnya erat.
"Kamu mau tidur sekarang, Anneliese?" tanya Meneer Aart yang
sedikit heran.
"Aku merasa lelah dan ingin tidur sekarang," jawab Anneliese
sambil berpaling ke arah pintu. Ia tidak ingin ayahnya curiga.
"Baiklah. Tidurlah sekarang."
Setelah gelisah menanti kesempatan yang tepat untuk menyelinap ke luar
rumah, Anneliese melihat kedatangan dua orang pria, Tuan Suryo dan temannya.
Meneer Aart menyambut mereka dengan gembira dan mereka pun langsung terlibat
percakapan serius di ruangan tempat Meneer Aart biasa membaca.
Samar-samar ia mendengar radio menyiarkan bahwa Bung Karno telah
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia hari itu jam sepuluh pagi. Pekik merdeka
kemudian mulai diperdengarkan.
Dengan debar dada yang tak karuan oleh berbagai perasaan, Anneliese
mengambil beberapa potong pakaian dan menyelipkan sebuah pisau di dalamnya
untuk berjaga-jaga. Ia segera melompat ke luar melalui jendela kamarnya dan
berjalan dengan cepat menuju jembatan menembus gelapnya malam yang hanya
diterangi sinar lampu minyak dari rumah penduduk dan cahaya bulan.
Wiro duduk di atas bendinya, menatap lurus ke jalan arah Anneliese
akan datang. Jantungnya mulai berdentam-dentam tanpa irama. Seumur hidupnya ia
belum pernah melakukan hal senekat ini, membawa lari seorang gadis. Bibir
tipisnya menyungging senyum saat dilihatnya Anneliese samar-samar muncul dengan
berjalan mengendap-endap ke arahnya.
Setelah jarak mereka tinggal kira-kira dua puluh meter, terdengar deru
mobil mendekat. Mobil tentara Jepang yang berkeliling. Mata Wiro membulat, ia
tak menyangka tentara Jepang itu bisa berkeliling sampai ke kampungnya. Mungkin
keberadaan beberapa orang Belanda di wilayah itu sudah tercium.
Saat mereka melihat Anneliese berjalan seorang diri, mobil berhenti.
Dua orang tentara turun dan langsung menarik gadis itu ke mobil mereka.
Anneliese berontak, tetapi tenaganya kalah jauh dengan tentara-tentara bermata
sipit itu. Mobil kembali melaju. Jeritan Anneliese terdengar menyayat hati saat
mobil itu melintasi jembatan.
Wiro berusaha mengejar mobil itu meskipun kecepatan tak sepadan,
tetapi kemarahannya yang memuncak membuatnya bertekad untuk menyelamatkan
Anneliese. Dokar Wiro tertinggal cukup jauh, tetapi sebagai pria penduduk asli
wilayah tersebut, Wiro sangat hafal jalan-jalan di sana.
Anneliese memeluk erat bungkusan berisi bajunya. Sepanjang perjalanan,
para tentara itu memperlakukannya dengan sangat tak sopan. Ia seolah-olah hanya
permainan bagi mereka. Tangan-tangan pria bermata sipit itu tak henti
bergerilya di atas tubuhnya. Semakin ia meronta, semakin mereka bernafsu
melakukannya. Bahkan pakaian Anneliese bagian atas sudah sebagian robek dan
terbuka. Anneliese menutup dadanya dengan bungkusan yang dibawanya. Air matanya
tak henti mengalir.
Para tentara itu bukannya merasa iba, tetapi justru tertawa semakin
kencang. Benar-benar biadab. Tak puas melihat pakaian Anneliese yang mulai
terbuka, seorang tentara bertubuh agak gemuk mendekati Anneliese dan dengan
kasar menarik kain di tubuh gadis itu hingga memperlihatkan pahanya. Anneliese
menjerit, pria itu tertawa keras.
Anneliese semakin marah dengan perlakuan mereka. Ia teringat pisau di
dalam bungkusan bajunya. Sambil menunduk, ia memasukkan tangan kanannya untuk
mengambil pisau. Begitu tangannya berhasil memegang pisau itu, dengan cepat ia
menghujamkan pisau ke tubuh tentara yang menyingkapkan kainnya. Sayang, salah
satu temannya dengan sigap menangkap tangannya.
"Oh, rupanya kamu diam-diam membawa senjata. Baiklah, pisau ini
yang akan membuatmu menuruti semua perintah kami!" sergah tentara itu
setelah berhasil merebut pisau.
Dengan bibir menyeringai, ia menyentuhkan pisau itu ke pipi, leher,
lalu dada Anneliese. Ia tampak begitu menikmati ekspresi ketakutan gadis itu.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah kosong
bercat putih. Anneliese diseret masuk ke rumah kosong itu. Seorang tentara
menamparnya saat ia berteriak meminta tolong. Gadis itu dibawa masuk ke sebuah
ruangan bersama beberapa tentara.
Rumah kosong itu hanya menyisakan beberapa perabot besar, setelah
penghuninya pergi, mungkin ada yang menjarah barang-barang di dalamnya.
Anneliese dibawa masuk ke sebuah kamar yang hanya berisi lemari
kosong. Salah satu tentara yang memegang pisaunya segera mendorongnya ke
lantai. Ia tersungkur. Saat ia meringis menahan sakit tubuhnya yang terbentur
lantai, tentara bertubuh gemuk langsung menarik pakaiannya dan tertawa melihat
bagian atas tubuh gadis itu terbuka.
Tentara yang memegang pisau langsung menarik kain bagian bawah
Anneliese. Gadis itu menjerit dan berontak, tetapi salah satu tentara memegang
erat kedua lengannya.
Bulan mengintip dari jendela yang terbuka. Ia menjadi saksi malam
jahanam yang merenggut mahkota sang gadis Belanda.
Tentara bermata sipit itu tak peduli jerit tangis Anneliese. Mereka
bergantian melampiaskan nafsu bejatnya.
Meskipun sempat kehilangan jejak, pada akhirnya, Wiro beruntung bisa
menemukan mobil itu berhenti di depan rumah peninggalan Belanda yang kosong.
Beberapa lama kemudian, Wiro muncul dan langsung menghambur ke arah
dua tentara yang berjaga di depan pintu. Baku hantam terjadi, satu tentara
tersungkur. Satu lagi baru berhasil menembakkan senjatanya dan mengenai paha
Wiro, tetapi pria itu justru menabraknya. Ia berhasil merebut senjata, menembak
tentara itu lalu masuk mencari Anneliese.
Ia mendengar tangisan Anneliese dan tawa lelaki dari dalam sebuah
ruangan. Wiro menendang pintu sambil menahan sakit di pahanya. Ia menembakkan
senjata ke arah tentara Jepang yang sedang melampiaskan nafsu bejatnya pada
Anneliese. Sayang, hanya tinggal satu peluru. Dua orang tentara merangsek ke
arahnya dan berhasil merobohkannya. Salah satu kemudian menarik senjata dari
balik bajunya dan menembakkan ke arah Wiro. Darah segar mengalir dari perut
Wiro. Tak puas dengan itu, dua orang temannya ikut menendang dan menginjaknya.
Wiro terkapar tak berdaya.
Ketiga tentara tertawa puas lalu melangkah pergi meninggal Wiro dan
Anneliese yang tak berdaya. Di bawah temaram cahaya bulan yang masuk dari
jendela, Anneliese samar-samar melihat tubuh Wiro yang bersimbah darah. Kali
ini bersama Wiro, ia merasakan seolah-olah berada di neraka. Tubuhnya terasa
sakit terutama di bagian bawah. Tangisnya tak lagi terdengar. Ia merangkak
sekuat tenaga mendekati Wiro.
"Wiro," panggilnya sambil menyentuh wajah Wiro.
Ia masih merasakan embusan napas lemah dari hidung Wiro. Ia mencoba
mengguncang tubuh pria itu.
"Wiro," panggilnya menahan tangis.
Mata Wiro terbuka perlahan.
"Ma-afkan aku, Anneliese." Terbata-bata Wiro berkata dengan
nada sesal.
"Jangan tinggalkan aku, Wiro. Bertahanlah. Kamu tahu, negaramu
sudah merdeka."
"A-palah artinya jika kita ... tak merdeka. Tak ada lagi surga.
Ma-afkan aku membuatmu ... men-derita." Napas Wiro tersengal-sengal lalu
tampak makin sulit bernapas dan matanya menutup.
Anneliese menangis memeluk jasad Wiro. Hidup terasa tidak adil
baginya. Tak ada lagi surga.
Ia merangkak mengambil pisaunya yang tergeletak di dekat tempatnya
berbaring sebelumnya.
"Aku akan menyusulmu, Wiro," bisiknya sambil menghunjamkan
pisau ke jantungnya.
***
Catatan kaki:
1. zeg eens: katakan padaku
2. nee: tidak
3. ons paradijs: surga kita
***
Profil Penulis
Riri Rosy, wanita
introvert yang suka melukis, membaca, dan membuat aneka kerajinan ini mulai
mencoba menulis dengan menulis antologi cerpen. Meskipun awalnya menulis hanya
sebuah cara untuk healing, kini ia benar-benar mencintai dunia menulis fiksi.
Oleh karena itu, ia berniat terus belajar sehingga bisa menghasilkan tulisan
yang berkualitas. Riri bisa disapa di akun facebook Riri Rosy dan instagram
@riri.rosy.9.
.jpg)
.png)