Wednesday, January 22, 2025

Bab 3 - Keluarga Kejam

 



“Tante ikut senang mendengarnya, kalian benar-benar pasangan yang serasi.” Melan tersenyum manis sambil menatap Lian dan puterinya.

 

“Kapan rencananya kamu mau melamar Bellina?” tanya Tarudi.

 

“Secepatnya, Oom,” jawab Lian.

 

“Yun, kenapa muka kamu seperti itu? Harusnya kamu ikut bahagia karena Bellina akan segera bertunangan,” tutur Melan sambil menatap Yuna.

 

“Apa aku harus bahagia kalo pacarku direbut sama saudara sendiri?” sahut Yuna ketus. “Aku nggak akan semudah itu nerima Lian sebagai kakak iparku!”

 

Melan membelalakkan mata mendengar ucapan Yuna. “Kamu ...?”

 

“Ma, aku nggak tahu kenapa dia benci banget sama aku. Sampe bilang kalau aku yang ngerebut pacarnya. Kami benar-benar saling mencintai sejak tujuh tahun lalu. Bahkan Lian, nggak pernah merasa bahagia saat jalan sama dia. Lihat! Sifatnya kasar banget,” tutur Bellina dengan nada rendah dan mendayu-dayu.

 

Yuna merapatkan bibirnya. “Nggak usah akting sok lembut di depan aku! Menjijikkan!” teriaknya dalam hati.

 

 “Mmh ... sudahlah! Kita makan aja dulu! Nggak baik ribut-ribut di depan makanan,” pinta Melan.

 

Yuna langsung mengambil semua makanan yang terhidang dan melahapnya penuh kekesalan.

 

“Yun, hati-hati makannya!” pinta Melan.

 

Yuna memperlambat ritme makannya. “Kenapa kalian begitu manis saat ada Lian?” tanyanya dalam hati.

 

“Yuna ...!” panggil Melan lembut.

 

“Hmm ...” sahut Yuna menahan kesal.

 

“Kamu nggak usah sedih! Tante sudah siapin jodoh buat kamu. Dia pria dewasa yang kaya raya. Istrinya meninggal karena kecelakaan dan dia sedang mencari wanita muda buat dijadikan istri. Kamu pasti hidup bahagia kalau menikah sama dia,” tutur Melan sambil menatap Yuna.

 

“Aku nggak mau!” sahut Yuna.

 

“Apa kamu lupa sama ayah kamu? Kalau kamu masih sayang sama ayah kamu, harus nurut apa yang Tante bilang!” pinta Melan dengan nada lebih tinggi.

 

Yuna membuka mulut, tapi tak sanggup mengatakan apa pun di depan keluarganya dan juga Lian. Ia sangat tidak menyukai tantenya karena selalu menggunakan ayahnya untuk mengancam dan membuatnya harus menuruti semua keinginan gila tantenya itu.

 

“Sebaiknya kamu segera menikah. Lebih cepat lebih baik. Kalau kamu sudah menikah, nggak perlu membebani kehidupan kami lagi!” pinta Tarudi.

 

“Iya, Yun. Lagian, Mama nggak mungkin cari jodoh sembarangan buat kamu. Laki-laki pilihan Mama, pasti yang terbaik buat kamu. Kamu nggak perlu lagi jadi benalu di keluarga kami. Terutama ayah kamu yang udah nggak bisa apa-apa itu!” Bellina menatap tajam ke arah Yuna.

 

“Tante heran, kamu mau dipersunting sama laki-laki kaya raya. Kenapa nggak mau? Dia bisa bikin hidupmu lebih baik dan menjamin masa depan kamu,” sahut Melan.

 

“Dia laki-laki dewasa dan pasti bertanggung-jawab. Kamu tidak perlu lagi mengkhawatirkan ayah kamu kalau mau menikah sama dia.” Tarudi ikut membuat suasana semakin tegang.

 

“Kalian bener-bener nggak ngerti perasaanku? Aku baru aja kehilangan pacar karena direbut sama dia!” Yuna menunjuk Bellina. “Sekarang, kalian mau jodohin aku sama laki-laki tua yang sudah beristri, hah!?”

 

“Yuna! Jaga sikap kamu! Kamu nggak ngerti lagi bicara sama siapa!?” Nada suara Melan makin meninggi.

 

Yuna terdiam sambil menatap tajam ke arah Melan.

 

“Kalau bukan karena kami, ayah kamu mungkin sudah mati. Kamu juga nggak akan bisa melanjutkan sekolah sampai ke luar negeri. Kamu bener-bener anak nggak tahu diuntung! Oom dan tantemu sudah merawat dan membesarkan kamu selama bertahun-tahun. Ini balasan kamu sekarang!?” tanya Melan.

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Ma ... dia itu besar tanpa orang tua. Wajar aja kalau dia nggak ngerti caranya berterima kasih.”

 

“Kamu ...!?” Yuna menunjuk Bellina sambil merapatkan gigi-giginya. Hidungnya berkerut dan bola matanya hampir keluar dari tempatnya.

 

Bellina tersenyum menatap Yuna.

 

Yuna mengatupkan gigi dan bibirnya rapat-rapat. Ia bangkit dari tempat duduknya. “Kalian boleh hina aku sehina-hinanya! Tapi kalian nggak punya hak menentukan masa depan aku!” tegas Yuna sambil memukul meja makan. Ia meraih tasnya dan bergegas pergi.

 

“Yuna ...!” panggil Melan saat Yuna berlalu pergi meninggalkan mereka. “Dasar, anak nggak tahu diri!” celetuknya.

 

Lian hanya terdiam melihat perseteruan antara Yuna dan keluarganya. Ia tidak tahu harus memihak pada siapa. Walau bagaimana pun, Yuna adalah wanita yang pernah menjadi kekasihnya. Ia sendiri bisa melihat kalau Yuna begitu menderita semenjak ibunya meninggal dunia.

 

“Maaf, suasananya jadi nggak enak kayak gini. Seharusnya, Tante nggak ajak dia makan malam sama-sama malam ini,” tutur Melan sambil menatap Lian.

 

“Nggak papa, Tante.” Lian tersenyum membalas tatapan Melan.

 

“Ayo, lanjutkan makannya!”

 

Lian menganggukkan kepala.

 

Mereka menikmati makan malam bersama sambil tertawa bahagia.

 

 

 

Sementara itu, Yuna terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Ia memainkan tas tangan sambil menyusuri jalanan kota yang lengang.

 

“Semuanya menyebalkan!” seru Yuna. “Melan si Maleficent, bener-bener nenek sihir yang kejam! Bellina si perek, pelacur, pelakor!” teriak Yuna sambil melangkah tanpa tujuan.

 

“Lian si bego! Laki-laki nggak punya harga diri! Tukang selingkuh! Nyebelin! Ngeselin!” Yuna terus merutuk dan memaki sepanjang jalan.  “Ya Tuhan ... kenapa aku harus dikelilingi sama orang-orang kayak gitu?”

 

“Bunda ...!” panggil Yuna sambil menatap langit malam yang gelap. “Aku rindu sama Bunda. Aku pengen, bisa bahagia kayak dulu lagi.” Air mata Yuna menetes dari sudut-sudut matanya.

 

Yuna mengusap air mata dan tersenyum. Seberat apa pun hal yang akan ia hadapi, ia berjanji akan hidup dengan baik demi ayahnya yang masih hidup. Sekalipun saat ini, ayahnya tidak bisa melakukan apa-apa. Ia masih berharap kalau ayahnya bisa kembali seperti sebelas tahun lalu.

 

Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum. Walau bibirnya selalu tersenyum, namun hatinya sangat terluka. Banyak penderitaan yang telah ia alami selama ini.

 

 Semakin hari, ia semakin menikmati rasa sakit. Selama ia masih bisa berdiri tegak, sebanyak apa pun luka di tubuhnya, ia akan terus berjalan dan tidak akan menyerah begitu saja.

 

Semakin malam, langkah Yuna semakin tidak menentu. Ia tak tahu akan ke mana kakinya melangkah. Menikmati angin malam sendirian, adalah pilihan terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.

( You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

Yuna menghentikan langkah dan merogoh ponselnya yang berdering, mendendangkan lagu All My Heart milik Sleeping With Sirens. Yuna langsung menjawab telepon setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

“Yuna ...! Tante nggak mau tahu. Besok, kamu harus ketemu sama Direktur Lukman dan menikah sama dia. Kalau kamu masih nolak, Tante akan hentikan biaya pengobatan ayah kamu!”

Yuna langsung menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar suara keras dari bibinya, Melan.

“Terserah!” sahut Yuna kesal. Ia langsung mematikan panggilan teleponnya dengan kasar dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas.

“Dasar nenek sihir! Tunggu pembalasanku! Mudahan kamu cepet kena azab!” maki Yuna.

 

Yuna menengadahkan telapak tangannya. Rintik hujan mulai membasahi tubuhnya. Ia menengadahkan kepala menatap langit malam yang gelap gulita.

 

Tetesan air yang jatuh dari langit semakin banyak dan terasa sakit saat menyentuh pipinya. Yuna memejamkan mata sambil menikmati derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia merasa kesedihannya tersapu bersama air hujan yang mengguyur tubuhnya. Ia melangkahkan kaki perlahan dan berdiri di persimpangan jalan dengan tubuh yang basah kuyup.

 

Yuna memicingkan mata menatap zebra cross yang ada di hadapannya. Kepalanya terasa berat dan berdenyut semakin kencang. Membuat penglihatannya tak begitu baik. Namun, ia tetap memaksakan langkah kakinya untuk menyebrangi zebra cross.

 

Tiin ... Tiin ... Tiin ....!

 

Tiba-tiba, sebuah mobil Land Rover berwarna putih muncul dengan kecepatan tinggi.

 

Yuna menutup wajah dengan telapak tangan saat cahaya menyilaukan menimpa dirinya. Ia tak bisa melihat apa-apa. Cahaya putih menyilaukan itu semakin meredup dan berubah menjadi kegelapan.

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya. Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

Bab 2 - Broken Heart

 


Yuna merayap di dinding lorong menuju toilet. Matanya setengah terpejam dan langkah kakinya tak teratur.

 

Yuna memicingkan mata saat melihat cowok bertubuh tinggi berdiri di hadapannya. Setelah menatapnya dua kali, Yuna tersenyum menggoda, ia melangkahkan kaki dan menjatuhkan tubuhnya ke dada cowok itu.

 

“Hei, ganteng ...!” sapa Yuna. “Aku cantik nggak?”

 

Cowok bertubuh tinggi itu langsung mengangkat kedua tangan sambil mengerutkan kening. Tubuhnya serasa digelayuti ulat bulu yang menjijikkan. Ia mendorong pundak Yuna menggunakan jari telunjuknya.

 

Yuna terhuyung dan hampir jatuh ke lantai jika cowok itu terlambat menangkap tubuhnya. Cowok itu menyandarkan Yuna ke dinding dan melepas tubuh Yuna perlahan.

 

Cowok menggelengkan kepala saat mencium aroma alkohol yang tajam dari tubuh Yuna.

 

Yuna terus tersenyum dengan mata setengah terpejam.

 

“Cewek gila!” umpat cowok itu sambil berlalu pergi meninggalkan Yuna sendirian.

 

Yuna tak menghiraukan ucapan cowok tersebut. Yuna melangkahkan kakinya perlahan memasuki toilet. Ia tak menyadari kalau ia masuk ke dalam pintu toilet dengan ikon “Male”.

 

Yuna merayap menuju westafel. Kepalanya terasa berdenyut. Ia memegangi perutnya sendiri. Ia merasa ada badai besar yang terus berputar di dalam perut hingga ia mengeluarkan semua isi perutnya ke dalam westafel.

 

“Uweeeek ...!” Yuna tak bisa mengendalikan dirinya. Ia tak peduli dengan beberapa pria yang lalu lalang di belakangnya sembari menatap aneh ke arah Yuna.

 

Yuna membuka kran air westafel begitu badai di dalam perutnya berhenti. Perlahan, ia mencuci mulut dan memercikan air ke wajahnya sendiri.

 

Yuna bergidik sambil menggelengkan kepala. Ia menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Ia tak bisa melihat dengan jelas bayangannya sendiri karena menjadi beberapa bayangan yang semakin membuat kepalanya pening.

 

Yuna menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menyandarkan kepalanya ke dinding.

 

“Yuna!” seru Jheni sambil menghampiri Yuna. “Kamu kucariin ke mana-mana, nggak ada. Sekalinya di sini.”

 

Jheni langsung menarik lengan Yuna dan membantunya berdiri. “Kita pulang sekarang!”

 

“Aku nggak mau pulang,” sahut Yuna sambil memejamkan mata.

 

“Mau tidur di sini? Bahaya, Yun. Apalagi kamu masuk ke toilet cowok. Untungnya sepi dan nggak ada yang sembrono sama kamu. Kalo kamu dibawa pergi sama laki-laki gimana?” cerocos Jheni.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak pernah berharga di mata siapa pun.”

 

“Ck, nggak usah ngomong aneh-aneh! Aku antar kamu pulang sekarang juga.” Jheni memapah Yuna keluar dari toilet pria. Beberapa cowok memandang mereka saat keluar dari toilet.

 

Jheni tak peduli dengan tatapan mata yang beragam. Orang yang tidak mengenal mereka, pasti akan menganggap Yuna adalah perempuan nakal yang suka menggoda laki-laki di dalam bar.

 

Jheni memapah Yuna menuju mobilnya. “Badannya kecil tapi berat banget!” celetuknya saat memasukkan Yuna ke dalam mobil.

 

Jheni menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan cepat. Ia menutup pintu mobil belakangnya dan melangkah menuju bagian kemudi. Tanpa pikir panjang, ia langsung melajukan mobilnya dan membiarkan Yuna berbaring di kursi belakang.

 

“Yun, malam ini kamu tidur di rumahku aja ya!” pinta Jheni.

 

Yuna tak menyahut. Ia tak bisa lagi diajak bicara karena sudah tertidur pulas.

 

Jheni menoleh ke arah Yuna sambil menggelengkan kepala perlahan. “Kamu baru aja balik dari Melbourne dan sudah sekacau ini.”

 

Jheni bergegas membawa Yuna untuk menginap di rumahnya.

 

 

 

Keesokan harinya ...

 

“Hmm ...” Yuna bergumam sambil memejamkan mata. Ia bisa merasakan kalau warna gelap yang tergambar di dalam matanya berubah menjadi cahaya putih dan terasa hangat.

 

Yuna membuka matanya perlahan. Ia memicingkan mata menatap jendela kamar yang terbuka lebar. Dari balik jendela, cahaya matahari masuk kamar dengan leluasa dan menimpa dirinya.

 

Yuna tak peduli dengan matahari yang sudah meninggi dan terasa begitu hangat menyentuh kulitnya. Ia memilih menarik selimut dan membenamkan tubuhnya kembali, memenuhi keinginan si malas untuk kembali menutup kelopak matanya rapat-rapat.

 

(You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

 

Baru beberapa detik Yuna membenamkan tubuhnya ke dalam selimut, terdengar lagu All My Heart milik Sleeping With Sirens keluar dari ponselnya.

 

“Siapa sih nelpon pagi-pagi gini!?” umpat Yuna sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.

 

Yuna meraih ponsel yang ada di atas meja, ia menatap nama yang tertera di layar ponsel sebelum ia menjawab panggilan.

 

Yuna langsung menggeser ikon anser dan meletakkan ponsel di telinganya. “Halo ... Oom! Ada apa?” tanya Yuna dengan nada tak bersemangat.

 

“Baru bangun tidur?” tanya seseorang di seberang sana.

 

“He-em.”

 

“Kata Belli, kamu sudah balik dari Melbourne. Kenapa nggak kabarin Oom?”

 

“Baru nyampe kemarin sore. Masih capek. Mau istirahat dulu.”

 

“Oh, nanti malam bisa makan malam bareng Oom dan Tantemu?”

 

“Jam berapa?”

 

“Jam tujuh.”

 

“He-em.”

 

“Oke. Oom tunggu di Bujana Coffee Shop nanti malam!”

 

“Iya.”

 

Yuna langsung melempar ponselnya begitu saja ke atas kasur. Ia membuka matanya lebih lebar dan baru menyadari kalau ia sedang tidak di dalam kamarnya sendiri.

 

“Aku di mana?” tanya Yuna sambil menatap tubuhnya yang sudah mengenakan piyama berwarna ungu muda.

 

Yuna mengedarkan pandangannya. “Huft ... kirain aku di mana,” celetuk Yuna saat mendapati bingkai foto yang menunjukkan wajah Jheni sedang tersenyum manis.

 

Yuna mengetuk-ngetuk keningnya, matanya masih terasa berat dan kepalanya sedikit berdenyut. Ia merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur, melanjutkan mimpi-mimpinya yang tertunda.

 

 

 

Sesuai janjinya, jam tujuh malam Yuna memasuki kawasan Aston Bojonegoro City Hotel. Ia melangkah perlahan menuju Bujana Coffee Shop untuk menemui Oom dan Tantenya.

 

“Halo ... Fristi Ayuna! Kamu makin cantik aja. Nggak kangen sama tantemu?” sapa Melan begitu melihat keponakannya datang menghampirinya. Ia langsung memeluk Yuna dengan mesra.

 

Yuna hanya tersenyum kecil. “Dasar nenek sihir! Pinter banget kalo akting,” celetuk Yuna dalam hati.

 

“Ayo, duduk!” pinta Tarudi. “Oom senang, kamu mau makan malam bersama kami malam ini.”

 

Yuna hanya tersenyum dan duduk di salah satu kursi, tepat berhadapan dengan Melan, tantenya sendiri. Ia tak banyak bicara saat berhadapan dengan dua orang yang sedang bersamanya.

 

“Udah lama nunggu?” Suara Bellina memecahkan suasana yang terasa canggung.

 

Yuna langsung menoleh ke arah Bellina yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk lengan Wilian. Yuna mencibir dan menundukkan kepalanya.

 

“Belum. Kami juga baru nyampe, kok. Ayo duduk!” sahut Melan.

 

“Malam, Tante ...!” sapa Lian. Ia melirik sejenak ke arah Yuna yang terus menundukkan kepala sambil mengaduk teh hangat di hadapannya.

 

“Ah, nggak usah sungkan kayak gini!” sahut Melan. “Kita sudah lama kenal. Ayo duduk!”

 

Lian menganggukkan kepala. Ia segera duduk di sebelah Bellina yang sudah duduk berdampingan dengan ibunya.

 

Lian menarik napas dalam-dalam. Satu keluarga yang ada di hadapannya tidak ada yang berbicara. Mereka terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri.

 

“Mmh ... malam ini, ada yang mau saya sampaikan sama Oom dan Tante,” tutur Lian memecah suasana hening.

 

“Oh ya? Silakan ... silakan!” Tarudi terlihat sangat antusias melihat Lian bersama dengan puteri kesayangannya.

 

“Mmh ...” Lian menggenggam tangan Bellina perlahan.

 

Bibir Yuna langsung mencibir begitu melihat Lian menggenggam tangan Bellina. “Menjijikkan!” makinya dalam hati.

 

“Kami akan bertunangan. Saya akan segera mengajak keluarga untuk melamar Bellina,” ucap Lian sambil menatap Bellina penuh kehangatan. Ia mengecup punggung tangan Bellina dengan mesra.

 

Yuna menggigit bibir sambil melirik kesal ke arah Lian. “Dasar cowok brengsek!” makinya sambil meremas sendok yang ada di tangannya.

 

“Oh ya?” Tarudi dan Melan saling pandang, kemudian tersenyum bahagia.

 

“Tapi ... bukannya selama ini kamu pacaran sama Ayuna?” tanya Melan sambil menunjuk Yuna. Ia menatap Lian dan Yuna bergantian.

 

Yuna mengunci mulutnya rapat-rapat. Apa pun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan berguna. Lian sudah mengkhianatinya selama bertahun-tahun.

 

“Kami sudah putus,” jawab Lian sambil menatap Yuna.

 

Mata Yuna terasa perih saat mendengar ucapan Lian. Bukan hanya matanya, tapi juga hatinya, juga seluruh tubuhnya terasa sangat perih karena tersayat-sayat. Ucapan Lian, benar-benar seperti belati yang sedang menyiksa perasaannya secara perlahan.

 

“Saya hanya mencintai Bellina. Dia satu-satunya wanita yang akan menjadi istri untuk saya,” tutur Lian penuh percaya diri. Ia melirik ke arah Yuna sejenak. “Maaf!” bisiknya dalam hati.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air di matanya agar tidak tumpah seperti yang sudah terjadi semalam.

 

Jangan nangis, Yun! Jangan nangis!” bisik Yuna dalam hati. “Mereka bakal makin bahagia kalau lihat kamu nangis.” Yuna mencoba menenangkan perasaannya sendiri.

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Perfect Hero Bab 1 - Perselingkuhan yang Kejam | a Romance Novel by Vella Nine

 


“Na ... na ... na ... na ...” Yuna melenggang memasuki rumah Wilian. Di tangan kirinya tergantung sebuah paper bag berisi hadiah yang yang sengaja ia siapkan untuk pacarnya.

 

Yuna menghentikan langkah kaki saat mendengar suara wanita mendesah dan mengerang dari arah kamar Wilian. Dari ujung dahinya keluar keringat dingin dan dadanya naik turun lebih cepat dari biasanya.

 

Perlahan, Yuna melangkahkan kaki menyusuri lorong menuju kamar Wilian. Langkahnya kembali terhenti saat kakinya menginjak kain yang tercecer di lantai. Yuna membungkukkan badan dan mengambil kain dari bawah kakinya.

 

Yuna membelalakkan mata saat melihat mini dress yang ada di tangannya. Ia meremas mini dress tersebut sambil mengeratkan gigi-giginya. Tanpa banyak berpikir, ia langsung melangkahkan kaki dan membuka lebar pintu kamar Wilian yang sudah terbuka selebar lima sentimeter.

 

 “Ya Tuhan ...! Dugaanku bener,” bisik Yuna dalam hati sambil menatap Wilian dan sepupunya yang sedang asyik melakukan hubungan suami-istri.

 

“Ternyata ini yang kalian lakuin di belakang aku!” seru Yuna.

 

Wilian dan Bellina langsung menghentikan aksinya, mereka menoleh ke arah Yuna bersamaan. “Yuna?” Mereka saling pandang, sama sekali tidak menyangka kalau Yuna akan datang saat mereka sedang bersenang-senang.

 

Wilian langsung melepas alat vitalnya dari tubuh Bellina dan bergegas mencari CD miliknya yang berserak di lantai kamar.

 

“Yuna, kamu kapan datangnya? Kenapa nggak kabarin aku dulu?” tanya Wilian sambil mengenakan pakaiannya dan melangkah mendekati Yuna.

 

“Kalo aku kabarin dulu, aku nggak akan tahu kelakuan asli kamu di belakangku!” seru Yuna dengan mata memerah.

 

Wilian terdiam sesaat.

 

“Kamu nyari ini?” tanya Yuna sambil melemparkan mini dress di tangannya ke arah Bellina.

 

“Yun, maafin aku. Aku nggak bermaksud buat ...”

 

“Diam kamu!” sentak Yuna.

 

“Sejak kapan kalian main di belakang aku?” Yuna menatap wajah Wilian penuh amarah.

 

Wilian hanya menundukkan kepala.

 

“JAWAB! SEJAK KAPAN KALIAN KAYAK GINI DI BELAKANG AKU!” Nada suara Yuna makin meninggi.

 

Bellina tersenyum sinis. Ia merasa, tak perlu lagi menyembunyikan hubungan gelapnya di depan Ayuna. Perlahan, ia melangkahkan kaki dan bergelayut manja di tubuh Wilian.

 

“Kita udah kayak gini sejak tujuh tahun yang lalu,” tutur Bellina sambil tersenyum ke arah Yuna. “Iya kan, Sayang,” lanjutnya sambil menatap Wilian penuh kehangatan.

 

Mata Yuna terasa sangat perih, di setiap sudutnya mengeluarkan air mata yang tak bisa ia bendung lagi.

 

“Brengsek kamu ya! Selama itu kamu main di belakang aku dan masih bilang kalau kamu bakal ngelamar aku!?” seru Yuna sambil mendorong dada Wilian yang bidang.

 

Dada Yuna semakin sesak dan sakit sehingga membuatnya sulit mengeluarkan kalimat untuk memaki dua orang yang ada di hadapannya.

 

“Seharusnya kamu sadar diri, kenapa pacar kamu bisa selingkuh!” sahut Bellina.

 

“Kamu yang sadar diri! Kamu lihat-lihat dong, Lian itu pacarnya siapa! Dia itu pacar aku, Bel. Saudara kamu sendiri!” teriak Yuna sesenggukan.

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Pacar? Pacar yang nggak bisa ngasih kepuasan buat pacarnya sendiri? Kamu itu cuma pajangan buat Lian, nggak bisa ngasih kenikmatan dan kesenangan buat dia.”

 

“Lian ... bener apa kata dia?” Yuna menatap Lian bersama derai air mata.

 

Wilian menganggukkan kepala.

 

“Kamu bilang sayang ke aku, selama ini bohong!? Kamu bilang mau ngelamar aku, itu juga bohong!?”

 

Wilian terdiam.

 

“Aku jauh-jauh datang dari Melbourne buat kasih kamu kejutan. Aku selalu setia sama kamu dan berharap kalo kamu bakal ngelamar aku saat aku pulang. Tapi kamu malah kayak gini. Kenapa kamu tega ngelakuin ini semua? Kenapa?” tutur Yuna sesenggukan.

 

“Karena aku lebih sayang sama Bellina daripada sama kamu. Dia bisa ngasih apa yang nggak pernah kamu kasih ke aku,” sahut Wilian.

 

PLAK ...!

 

Telapak tangan Yuna mendarat dengan keras di pipi Wilian. Ia masih berharap Wilian akan menyesali perbuatannya. Tapi, tidak terlihat penyesalan sedikit pun dari wajah Wilian.

 

Wilian tersenyum kecil sambil memegangi pipinya. “Sebaiknya kamu pergi dari sini dan jangan pernah ganggu kami!” pintanya.

 

“Kalian bener-bener menjijikkan!” seru Yuna.

 

Yuna menghentakkkan kaki dan berlari keluar dari kamar Wilian. Meninggalkan air mata kepedihan yang berjatuhan di lantai kamar Wilian. Dadanya terasa sangat sesak dan sakit. Hatinya tercabik-cabik dan jatuh berkeping-keping saat keluar dari halaman rumah Wilian.

 

“Dasar cowok brengsek! Ngeselin! Nyebelin!” seru Yuna. Ia melempar kotak hadiah dan menginjak-injak sampai tak berbentuk lagi.

 

Yuna mengusap air mata saat melihat seseorang sedang membakar sampah di tepi jalan perumahan. Ia langsung mengambil hadiah yang sudah ia injak-injak, perlahan ia mendekati api dan memasukkan hadiah ke dalam api yang sedang berkobar.

 

Aku sudah menghabiskan banyak waktu bikin sweeter rajut ini. Sikapmu hari ini bener-bener udah bikin semuanya jadi abu. Bahkan aku nggak akan pernah lihat kamu pake ini.”

 

Ngapain sih aku nangisin cowok brengsek kayak dia!” teriak Yuna. Tapi, air matanya tetap saja jatuh berderai. Yuna merogoh ponsel di saku celananya. “Jhen, kamu di mana?” tanyanya begitu Jheni menjawab telepon.

 

“Huaa ... temenin aku jalan!” pinta Yuna.

 

“Kamu kenapa?” tanya Jheni.

 

“Temenin aku ke bar sekarang juga! Aku mau cerita di sana.”

 

“Kamu di mana sekarang?”

 

“Masih di pinggir jalan, deket rumah Lian.”

 

“Aku jemput kamu di sana!” Jheni langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

Yuna menaikkan kedua alisnya begitu panggilannya terputus. Ia menunggu beberapa saat sampai mobil Jheni datang menghampirinya.

 

Yuna langsung menyandarkan kepalanya begitu masuk ke dalam mobil Jheni. Kepalanya terasa berdenyut dan kelopak matanya seperti menahan beban puluhan kilogram.

 

“Kamu baik-baik aja?” tanya Jheni.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Jheni tak banyak bertanya. Ia menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi ke bar, tempat ia dan Yuna biasa menghabiskan waktunya bersama.

 

Sesampainya di bar, Yuna langsung memesan sepuluh botol bir.

 

“Yun, kamu beneran pesen bir sebanyak ini?”

 

Yuna tersenyum. Ia membuka salah satu tutup botol bir yang sudah ada di hadapannya. “Malam ini, aku pengen senang-senang!” serunya.

 

Jheni hanya tersenyum kecil sambol memerhatikan Yuna yang terus menenggak bir satu per satu di hadapannya.

 

“Yun, sebenarnya kamu kenapa?” tanya Jheni.

 

Yuna memangis sejadi-jadinya di tengah hiruk-pikuk bar.

 

“Yun, jangan nangis kayak gini!” pinta Jheni berbisik sambil mengedarkan pandangannya. “Ntar dikira aku yang macem-macemin kamu!”

 

Yuna sesenggukan. “Lian, Jhen ... Lian!” seru Yuna yang sudah mulai dipengaruhi alkohol.

 

“Iya. Lian kenapa?”

 

“Aku sengaja nggak kasih tahu dia kalo aku pulang sore ini. Rencananya, aku mau kasih kejutan. Aku udah siapin sweeter yang aku rajut sendiri. Aku harap dia bisa seneng sama hadiah yang aku kasih dan secepatnya ngelamar aku. Tapi ... malah aku yang dibuat terkejut,” tutur Yuna bersama derai air mata.

 

“Waktu aku dateng ke rumahnya, dia lagi asyik main di ranjang sama Bellina.” Tangis Yuna makin menjadi.

 

“What!? Bellina sepupu kamu itu?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Tega banget sih dia! Bener-bener nggak punya perasaan. Dia tahu kan kalo kamu pacarnya Lian?” Jheni ikut tersayat melihat penderitaan Yuna.

 

Yuna mengerucutkan bibir dan menjatuhkan wajahnya ke atas meja. Ia menatap botol bir yang ada di hadapannya. “Aku kurang apa sih? Kenapa Lian sampe selingkuh di belakang aku? Lebih parahnya lagi, dia udah selingkuh sama Belli sejak tujuh tahun belakangan ini.”

 

“Kamu yang sabar ya!” Jheni mengelus rambut Yuna perlahan. “Mungkin, Tuhan punya rencana yang lebih indah. Lian bukan cowok yang baik buat kamu. Pasti ada cowok yang bisa lebih menghargai dan mencintai kamu lebih dari apa pun.”

 

Yuna tersenyum kecil. “Apa aku masih pantes buat dicintai? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi. Bellina, keluargaku satu-satunya malah nusuk aku dari belakang. Lian, satu-satunya orang yang aku harap bisa nemenin aku, ternyata dia malah milih cewek lonte itu.”

 

Yuna menertawakan dirinya sendiri. “Aku memang payah!” celetuknya. Ia terus menenggak bir yang ada di hadapannya.

 

Jheni menatap Yuna, hatinya ikut tersayat melihat sahabatnya begitu menderita. Matanya terasa perih, ia tak bisa lagi membendung air matanya untuk Yuna. Ia langsung merengkuh tubuh Yuna yang mungil. Begitu banyak penderitaan yang telah ia saksikan dalam hidup Yuna. Ia harap, sahabatnya itu bisa menemukan kebahagiaan.

 

“Yun, aku harap akan ada orang yang bisa mengeluarkan kamu dari penderitaan-penderitaan yang sudah kamu alami selama ini. Kamu perempuan yang baik, kenapa harus terus menderita seperti ini?” tuturnya Jheni lirih.

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan lupa kasih komentar juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 Novel ini telah dibaca 19,3juta kali di aplikasi Novelme.



 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas