Yuna terduduk lesu di salah satu kursi. Ia memejamkan mata sambil
menyandarkan punggungnya.
“Minum?” Juan menghampiri Yuna sambil menyodorkan satu botol air
mineral.
“Makasih.” Yuna langsung meraih botol air mineral tersebut dan
menenggaknya.
“Capek ya? Semalam, kenapa nggak bisa dihubungi?”
“Aku udah tidur. Nggak sadar kalau baterai hp-ku habis. Soalnya
abis teleponan lama sama temenku.”
“Oh.”
“Icha mana? Kok, nggak kelihatan ya?”
“Standby di kantor.”
“Oh.” Yuna mengangguk-anggukkan kepala.
Juan duduk di samping Yuna. Sesekali ia memerhatikan wajah cantik
Yuna. Meski sudah menikah dan menjadi istri orang, Yuna tetap memiliki pesona
dan menarik perhatian banyak pria.
“Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak dateng
secepatnya. Pak Lian aja, kebingungan sendiri. Dari subuh cuma mondar-mandir
nggak jelas,” tutur Juan.
Yuna tertawa kecil. “Masa sih?”
Juan menganggukkan kepala. “Eh, aku ke sana dulu ya!” pamit Juan
sambil menunjuk timnya yang sedang menyiapkan audio untuk acara tersebut.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
Juan melangkah pergi meninggalkan Yuna. Membantu audio-man
menyiapkan peralatannya sambil sesekali menikmati wajah Yuna yang cantik dari
kejauhan. “Yuna ... Yuna, kamu tuh dilihat dari sudut mana aja tetep cantik.
Sayangnya, udah jadi istri orang,” gumam Juan dalam hati.
Yuna terus mengamati timnya yang sedang bekerja memperbaiki venue
yang sempat berantakan.
“Mbak Yuna, lampu di ruang make-up kurang terang.” Seorang pria
setengah wanita menghampiri Yuna.
“Eh!? Coba ngomong sama Mas yang di sana!” pinta Yuna. “Dia yang
bagian penerangan.”
“Iih... eike dah bilang ke dia. Tapi, dia bilang nunggu instruksi
dari Mbak Yuna.”
Yuna mengernyitkan dahi. “Oke. Ntar aku kasih tahu dia.”
“Buruan, Mbak! Kita mau make-up!”
“Iya!” dengus Yuna sambil bangkit dari duduknya. Ia menghampiri
seorang pria yang sedang mengatur lighting di atas panggung.
“Mas, ada yang bilang kalau lampu ruang make-up kurang terang.
Kenapa?”
“Nanti saya ganti lampunya, Mbak. Kayaknya, memang sudah redup.”
“Bukannya ada lampu kaca ya? Masih kurang terang lagi?”
“Nggak tahu tuh si Banci. Bawel amat!”
“Ya udah. Nanti disesuaikan aja sama permintaan dia. Maunya kayak
gimana.”
“Iya, Mbak. Saya kelarin ini dulu.”
“Oke.” Yuna menautkan jari telunjuk dan jempolnya sambil tersenyum
manis. Ia bergegas kembali ke tempat duduk dan menghampiri asisten model yang
masih menantinya.
Pria itu tersenyum menatap Yuna. “Coba dari kemaren Mbak Yuna yang
di sini. Bawaannya tenang aja. Udah cantik, baik, sabar dan pengertian. Nggak
kayak satunya itu yang selalu ngeburu-buru dan marah-marah terus,” celetuknya
saat Yuna sudah pergi dari hadapannya.
“Gimana, Mbak?”
“Ntar diganti,” jawab Yuna santai sambil duduk di kursi.
“Kok, ntar sih? Kita udah mau make-up nih!”
“Acaranya ntar sore. Masih lama. Ngapain make-up sekarang?”
“Mau tes make-up dulu, Mbak.”
“Kamu yang mau make-up model kamu?”
“Iya.”
“Udah berapa lama jadi make-up artisnya dia?”
“Udah lima tahun lebih.”
“Ya udah, sih. Ngapain pakai acara tes make-up segala? Udah
profesional kan? Harusnya bisa make-up dalam waktu singkat.”
“Kamu!?” Asisten tersebut geram dengan kata-kata Yuna. Ia
menghentakkan kaki sambil berbalik pergi meninggalkan Yuna.
Yuna tersenyum kecil sambil menatap pria yang berjalan bak model
internasional tersebut. “Mau cari gara-gara sama aku? Dikira aku bego banget
apa yak?” dengus Yuna kesal.
Yuna langsung memutar bola matanya saat Bellina dan dua pelayannya
berjalan menghampirinya. “Dateng lagi Mak Lampir satu ini,” celetuknya dalam
hati. Ia pura-pura tidak melihat kedatangan Bellina. Meminum air mineral yang
ada di tangannya sambil memerhatikan timnya yang sedang merapikan kursi untuk
tamu undangan.
“Heh!? Kamu tuh sebenarnya istrinya Yeriko beneran atau nggak?”
tanya Bellina saat ia sudah berdiri di depan Yuna.
Yuna pura-pura tidak mendengarkan ucapan Bellina.
“Kayaknya sih bukan. Kalau emang istrinya beneran. Buat apa masih
harus kerja keras kayak gini?” sahut Lili.
“Hahaha. Bisa jadi. Dia cuma pura-pura jadi istrinya Yeriko.
Makanya, nggak dapet uang belanja.”
Yuna merapatkan bibirnya sambil menatap Bellina.
“Kenapa? Marah? Berarti beneran?” sahut Bellina saat melihat
ekspresi wajah Yuna yang kesal.
Yuna tersenyum sinis. “Kamu itu, nggak punya kerjaan lain ya?
Hidup kamu nggak tenang kalau nggak ngusik aku?” tanya Yuna kesal.
“Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah ngebiarin kamu hidup
tenang dan bahagia!” Bellina menatap Yuna penuh kebencian. Ia tak pernah
menutupi kebenciannya terhadap Yuna.
Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. “Emang
bener-bener pengangguran!” celetuk Yuna sambil bangkit dari tempat duduknya.
“Heh!? Kamu jangan kebanyakan gaya! Miskin aja belagu!” sentak
Bellina sambil mendorong pundak Yuna.
“Bel, kamu nggak ada puas-puasnya cari masalah sama aku!?” sentak
Yuna balik. “Mending kamu cari kerjaan yang banyak! Nggak cuma ngurusin hidup
orang aja!”
“Kamu!?” Bellina menunjuk wajah Yuna sambil menahan amarah.
Yuna tersenyum sinis. “Lihat tuh!” Yuna menunjuk Lian dengan
dagunya. “Daripada kamu sibuk ngata-ngatain aku, mending kamu sibuk jagain
tunangan kamu yang kegatelan itu!”
Bellina langsung menoleh ke arah Lian yang sedang berbincang
dengan salah satu model fashion show. Kepalanya langsung panas begitu melihat
Lian bersama dengan wanita cantik. Ia menghentakkan kaki dan langsung
menghampiri Lian.
“Dasar, provokator!” Lili mendengus ke arah Yuna.
Yuna tertawa kecil. “Apa bedanya sama kamu?” Ia menjulurkan
lidahnya. Yuna berbalik sambil mengibaskan rambutnya di depan Lili dan berlalu
pergi.
“Eh, busyet! Berasa kayak model iklan shampoo kali ya?” celetuk
Lili kesal melihat tingkah Yuna. “Sok cantik banget!”
“Emang cantik kali, Li.” Sofi menimpali.
“Kamu belain dia?” dengus Lili sambil menatap Sofi.
“Nggak belain. Namanya perempuan kan emang cantik, gak mungkin
ganteng,” sahut Sofi meringis.
“Alesan!” dengus Lili sambil berlalu pergi.
Sofi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Apa aku salah
ngomong?” tanyanya sambil mengikuti langkah Lili.
Sementara itu, Bellina menghampiri model yang bersama Lian.
“Eh, ngapain kamu deket-deket sama laki orang!?” sentak Bellina
sambil menarik lengan Lian.
“Bel, kamu ini kenapa?” tanya Lian sambil mengernyitkan dahinya.
“Bisa jaga sikap atau nggak?”
“Kamu belain cewek ini!?” seru Bellina makin kesal. “Jelas-jelas
dia berusaha buat deketin kamu!”
“Maaf, Mbak ... jangan nuduh sembarangan ya! Saya sama Pak Lian
cuma ...”
“Halah ... alasan!” sentak Bellina. “Kamu sengaja deketin laki
orang. Model kayak kamu itu cuma bisa jual badan aja buat ngerayu pengusaha
muda kayak Lian!”
“Bel, kamu bisa nggak sih jaga sikap?” sentak Lian sambil menarik
Bellina pergi.
Bellina melangkah mengikuti Lian, tatapannya tak lepas dari wajah
model yang berseteru dengannya.
“Bel, kamu ini kenapa sih? Aku cuma ngobrol biasa aja. Nggak enak
sama yang lain kalau sikap kamu kayak gini,” tutur Lian sambil merangkul
pinggang Bellina.
“Kamu juga yang bikin aku kayak gini,” sahut Bellina. “Ngapain sih
ngobrol sama model segala?”
Lian menghela napas. “Nggak enak lah. Mereka kan udah mau bantu
perusahaan kita. Masa aku mau cuek gitu aja?”
Bellina mengerutkan bibirnya.
“Eh, kamu bilang ... mau periksa kandungan ke dokter kan?”
Bellina menganggukkan kepala.
“Aku antar kamu. Gimana?”
“Mmh ...” Bellina menggigit bibirnya.
“Kenapa?”
“Aku janjian sama dokter masih dua jam lagi. Aku bisa pergi
sendiri, kok. Kamu urus aja kerjaan yang di sini!”
“Huft, ntar kamu cemburu lagi. Sembarang aja ngelabrak orang.”
“Enggak, kok,” sahut Bellina sambil tersenyum. “Aku minta maaf
soal sikapku yang tadi. Aku bener-bener nggak berpikir dan nggak bisa
mengendalikan diriku.”
Lian tersenyum sambil mengusap pundak Bellina.
Bellina balas tersenyum. Ia tidak akan membiarkan Lian
mengantarnya ke rumah sakit san mengetahui kebenaran tentang kehamilannya.
((
Bersambung ... ))
Terima kasih
sudah baca Perfect Hero sampai di sini. Jangan lupa kasih star vote biar aku
makin semangat update cerita terbarunya. Thank you so much yang udah ngasih
hadiah. I Love you ...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment