Wednesday, March 12, 2025

Perfect Hero Bab 180 : Lega | a Romance Novel by Vella Nine

 


“Mbak Refi, tolong kasih tanggapan dong soal pernyataan Mbak Refi yang dibantah langsung oleh Pak Yeriko. Kenapa pernyataan Mbak Refi yang sebelumnya berbeda dengan hari ini?” tanya wartawan setelah Refi keluar dari gedung kantor Galaxy Group.

 

“Iya, Mbak. Apa yang sebenarnya terjadi?”

 

“Apa gosip ini sengaja diciptakan buat cari sensasi aja?”

 

Refi hanya tersenyum dan tidak memberikan jawaban apa pun.

 

“Maaf, Mbak Refi harus kembali istirahat!” Salah seorang ajudan Rullyta menengahi. Ia dan dua orang ajudan lainnya menghalau wartawan yang menghalangi Refi. Mereka bergegas membawa Refi kembali ke rumah sakit sesuai dengan perintah Rullyta.

 

Rullyta dan Yuna tersenyum lega saat melihat Refi keluar dari gedung kantor Wijaya Group.

 

“Huft, akhirnya ... Mama lega banget,” tutur Rullyta.

 

Yuna tersenyum menatap Rullyta. Ia langsung memeluk tubuh mama mertuanya itu. “Makasih ya, Ma! Udah bantuin aku.”

 

“Kamu tenang aja. Mama pasti selalu jadi yang paling depan buat ngelindungi rumah tangga anak Mama.”

 

Yuna mengeratkan pelukkannya sambil menciumi pipi Rullyta. “Mama memang mamaku yang paling the best!” serunya.

 

“Iya, dong. Mamanya siapa dulu?” sahut Rullyta membanggakan dirinya. “Konferensi pers udah selesai. Kamu nggak perlu khawatir lagi. Kalo si Refi nyari gara-gara sama kamu. Langsung bilang ke Mama!” pinta Rullyta. “Biar Mama yang hadepin dia.”

 

Yuna menatap manja ke arah Rullyta. “Mmh ... apa aku menantu yang sangat merepotkan?”

 

“Nggaklah. Kamu menantu yang sangat imut,” sahut Rullyta sambil mencubit pipi Yuna. “Ayo, kita makan bareng!” ajaknya.

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia celingukan mencari sosok suaminya yang tiba-tiba menghilang. “Yeriko ke mana?”

 

“Eh!? Iya, tiba-tiba ngilang. Mungkin, dia naik ke ruangannya.”

 

Yuna merogoh ponsel dari dalam tas dan langsung menelepon Yeriko, tapi tak kunjung mendapat jawaban.

 

TING ...!

 

“Aku masih ada sedikit urusan. Tunggu aku di lobi!” pinta Yeriko lewat pesan singkat yang ia kirim ke ponsel Yuna.

 

“Gimana? Yeri masih ada kerjaan?” tanya Rullyta.

 

“Iya, Ma. Katanya, suruh tunggu di sini.”

 

“Oh. Oke. Kita tunggu sebentar.”

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko menghampiri Yuna dan Rullyta bersama dengan dua sahabatnya.

 

“Lihat! Tiga cowok ganteng kesayangan Mama Rully udah dateng.” Rullyta berbisik di telinga Yuna sambil menatap tiga pria muda yang melangkah menghampirinya.

 

Yuna tertawa tanpa suara mendengar ucapan Mama Rully.

 

“Ayo, kita pergi makan!” ajak Rullyta.

 

Yeriko mengangguk sambil merangkul pinggang Yuna dengan mesra.

 

“Eh, wait!” seru Lutfi.

 

Semua orang langsung menoleh ke arah Lutfi.

 

“Kenapa?’ tanya Rullyta.

 

“Tante, nggak kasihan kalo lihat kami?” tanya Lutfi sambil menatap Yuna dan Yeriko. “Mereka mesra-mesraan terus. Aku mau bawa ayang bebku juga.”

 

“Ayang beb?” Rullyta mengernyitkan dahi. “Yang mana? Bukannya pacar kamu banyak?”

 

“Eh!? Tante, aku udah tobat. Sekarang, pacarku cuma satu.”

 

“Sekarang? Nggak tahu besok,” sahut Rullyta menggoda.

 

“Iih ... Tante!? Tante udah mulai nyabelin kayak Kakak Ipar ya?” dengus Lutfi.

 

“Hahaha.” Semua tergelak mendengar ucapan Lutfi. Hanya Yuna yang memilih membenamkan wajahnya di ketiak Yeriko.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko berbisik.

 

“Nggak papa,” jawab Yuna dengan wajah merona.

 

“Kenapa sih?” tanya Yeri sambil tertawa kecil menatap Yuna yang menyelipkan kepala di ketiaknya.

 

“Dia pasti ngerasa bersalah karena udah pengaruhin Tante Rully,” sahut Lutfi sambil menunjuk Yuna.

 

Yuna terus tertawa sambil memeluk tubuh Yeriko.

 

Yeriko, Rullyta dan Chandra juga ikut tertawa setiap kali melihat tingkah Lutfi dan Yuna yang saling menjahili.

 

“Bentar, aku telepon Icha dulu! Kalian duluan aja!” pinta Lutfi. “Ntar aku nyusul bareng Icha. “Mau makan di mana?”

 

“Tempat biasa, Lut. Aku tunggu ya!” jawab Yeriko sambil memutar tubuh Yuna dan merangkulnya keluar.

 

Yuna menoleh ke arah Chandra. “Kamu nggak telepon dia?” goda Yuna sambil menepuk lengan Chandra.

 

Chandra tersenyum kecil menanggapi pertanyaan Yuna.

 

“Udah, ayo pergi!” ajak Yeriko sambil menarik pinggang Yuna. “Sempat-sempatnya masih mau jahilin Chandra.”

 

Yuna meringis sambil menatap Chandra.

 

Yeriko langsung memutar kepala Yuna dan membawanya keluar bersama dengan Rullyta.

 

“Kenapa Chandra nggak inisiatif banget sih buat deketin Jheni?” celetuk Yuna sambil memasang safety belt di pinggangnya.

 

“Bukannya mereka udah lebih deket?” sahut Yeriko sambil menyalakan mesin mobilnya.

 

“Iya. Karena mereka udah kelihatan deket. Kenapa Chandra nggak mau ngajak Jheni makan bareng kita?”

 

“Kamu aja yang ajak!” perintah Yeriko.

 

“Aku? Jadi lain ceritanya kalo aku yang ajak dia pergi.”

 

“Emang kamu mau ceritanya  jadi gimana?” tanya Yeriko sambil melajukan mobilnya.

 

“Aku tuh maunya si Chandra yang ngajakin Jheni. Biar kelihatan kalo Chandra itu peduli sama Jheni. Kalo di belakang kita, mereka deket banget. Kenapa Chandra masih ragu buat ajak Jheny makan bareng. Kita bisa bantu mereka supaya cepet jadian. Dari dulu demen tapi cuma temen. Kapan jadiannya?” cerocos Yuna.

 

“Yun, mana bisa mau maksain perasaan orang. Biarkan aja mereka deket secara alami. Toh, sudah jauh lebih baik dari sebelumnya kan? Chandra nggak bisa kamu samain sama Lutfi. Chandra orangnya tertutup. Waktu masih tunangan sama Amara, dia jarang banget ngajak Amara kumpul sama kita.”

 

“Masa sih?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna memainkan bola matanya. Di kepalanya tiba-tiba muncul sebuah ide yang membuat bibirnya terus tersenyum.

 

“Kenapa senyum-senyum sendiri? Kamu lagi ngerencanain sesuatu?” tanya Yeriko sambil menoleh ke arah Yuna yang duduk di sampingnya.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi pertanyaan Yeriko.

 

Yeriko langsung menghentikan mobilnya begitu sampai di halaman parkir Sangri-La.

 

“Oh ya, tadi aku lihat si Lutfi sama Chandra bawa Deny keluar waktu konferensi pers. Kalian lagi ngerencanain sesuatu?” tanya Yuna.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Apa itu?”

 

“Nggak boleh tahu.”

 

“Why?”

 

“Kalau sudah berhasil, aku kasih tahu kamu.”

 

“Kenapa harus nunggu berhasil dulu?”

 

“Yun, ini masih rencana. Kalo rencananya gagal, bukannya itu hal yang memalukan?”

 

“Jadi, kamu udah berencana nggak akan ngasih tahu aku kalo rencana kamu gagal?”

 

“Mmh ... aku yakin berhasil. Jadi, aku kasih tahu kamu setelah semuanya beres. Okay?”

 

Yuna mengembungkan pipinya. “Kamu ... selalu aja kayak gitu ke aku,” tutur Yuna manja.

 

“Kenapa?”

 

“Selalu ngerahasiain sesuatu dari aku.”

 

Yeriko memutar tubuhnya menatap Yuna. “Yun, ada banyak hal nggak kamu ngerti di dunia ini. Nggak semua harus aku kasih tahu ke kamu. Semuanya bakal ngebebani kamu. Kemampuan kamu ini, nggak akan sanggup menerima semuanya, jelas Yeriko sambil mengetuk dahi Yuna.

 

Yuna memonyongkan bibirnya. “Emang aku seburuk itu?”

 

“Kamu nggak buruk. Aku cuma mau kamu jadi Nyonya Ye yang santai. Nggak perlu mikir macam-macam! Semuanya, tanggung jawabku untuk menyelesaikannya. Oke?” tutur Yeriko sambil menangkup wajah Yuna dengan kedua telapak tangannya.

 

Yuna meletakkan kedua telapak tangannya di pundak Yeriko. “Aku boleh nanya sesuatu?”

 

“Apa?”

 

“Masalah perusahaan dan masalah keluarga, mana yang lebih sulit?” tanya Yuna.

 

“Kamu.”

 

“Aku?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Kenapa aku?”

 

“Karena kamu yang paling sulit diatasi. Kamu selalu bikin aku nggak tenang. Selalu bikin aku kangen dan nggak bisa hidup tanpa kamu,” jawab Yeriko.

 

“Iih ... gombal!” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

“Ck, kamu ini ... “ Yeriko langsung menjauhkan tubuhnya dari Yuna dan membuka pintu mobilnya.

 

“Idih ... marah?” Yuna bergegas melepas safety belt, membuka pintu mobil dan mengejar langkah Yeriko.

 

“Tuan Ye yang tampan, ngambek?” tanya Yuna sambil menghadang langkah Yeriko.

 

Yeriko menghela napas. “Yun, setiap aku serius, kamu selalu aja bercanda. Giliran aku bercanda, kamu yang marah.”

 

“Kapan aku marah?”

 

Yeriko langsung mengetuk dahi Yuna. “Kamu lupa kalo kamu pernah marah sama aku?”

 

“Aku nggak beneran marahnya,” sahut Yuna. “Bukannya kamu yang lebih sering marah?”

 

“Mmh ... aku laper.” Yeriko melangkahkan kakinya memasuki restoran.

 

Yuna tersenyum kecil menatap punggung Yeriko. “Huh, dasar tukang ngambek!” dengusnya sambil melangkah mengikuti Yeriko memasuki pintu restoran.

 

Mereka bergegas menghampiri Rullyta dan orang-orangnya yang sudah duduk di salah satu meja makan yang ada di restoran tersebut.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Perfect Hero Bab 179 : Press Conference || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yeriko menatap semua wartawan yang ada di hadapannya. “Buat rekan-rekan wartawan, konferensi pers akan kita mulai lima belas menit lagi. Silakan bersiap-siap. Semua pertanyaan kalian, akan kami jawab saat konferensi pers!” pinta Yeriko.

 

“Baik!” Semua wartawan mengangguk, mereka bergegas menuju ruangan yang telah dipersiapkan untuk konferensi pers.

 

“Yan, tolong bawa Refi!” pinta Yeriko pada Riyan yang berdiri tak jauh darinya.

 

“Baik, Pak Bos!” Riyan langsung menghampiri Refi dan mendorong kursi rodanya menuju ruang konferensi pers.

 

Refi terus menoleh ke arah Yeriko dengan mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka kalau semua usahanya telah gagal. Bukannya membuat hubungan Yuna dan Yeri berantakan, keduanya justru terlihat semakin mesra.

 

Yuna dan Yeriko saling pandang, mereka tersenyum dan melangkah sambil bergandengan tangan.

 

Lima belas menit kemudian, semua telah bersiap untuk konferensi pers. Yeriko duduk di antara Yuna dan Refi. Rullyta juga ikut hadir, ia duduk di sebelah Yuna.

 

“Selamat pagi teman-teman wartawan semuanya!” sapa Pak Bagio, PR Manager yang duduk di samping Refi. “Perkenalkan, nama saya Subagio, kalian bisa panggil saya Pak Bagio. Mungkin ada beberapa temen wartawan yang udah nggak asing lagi dengan saya.” Pak Bagio membuka pembicaraan.

 

“Kalian semua tahu rumor yang tersebar tentang pimpinan tertinggi di perusahaan kami. Kali ini, kami menghadirkan beliau di tengah-tengah kalian untuk mengklarifikasi rumor yang beredar. Kalian bisa mengajukan pertanyaan ke beliau. Poin pentingnya saja. Waktu beliau tidak banyak. Jangan mengajukan pertanyaan yang bertele-tele! Satu orang, satu pertanyaan. Bisa?” pinta Pak Bagio.

 

Semua wartawan saling pandang. Awalnya, mereka keberatan, namun mereka tak punya pilihan lain lagi.

 

Yeriko tersenyum menatap semua wartawan yang ada di hadapannya. “Selamat pagi semuanya!” sapa Yeriko sambil tersenyum ramah.

 

“Pagi ...!” balas semua orang yang ada di ruangan tersebut.

 

“Pak Bagio, langsung saya ambil alih ya!” pinta Yeriko. “Waktu kami nggak banyak. Perkenalkan, nama saya Yeriko Sanjaya Hadikusuma. Yang di ujung sana, ibu saya, Rullyta Fitria Hadikusuma. Wanita yang ada di samping saya ini ...” Yeriko menatap Yuna penuh kehangatan. “Fristi Ayuna Linandar, wanita yang saya nikahi secara sah lima bulan yang lalu.”

 

Semua orang yang ada ruangan tersebut tersenyum menatap Yeriko dan Yuna yang saling bertatapan begitu mesra.

 

“Mmh ... wanita yang ada di sebelah kiri saya ini ... kalian sudah sangat mengenal dia siapa. Tidak perlu saya perkenalkan lagi.”

 

Refi tersenyum kecut menatap semua wartawan yang ada di ruangan tersebut.

 

“Kalian sudah bisa ajukan pertanyaan satu persatu.” Yeriko mempersilakan wartawan untuk mulai mengajukan pertanyaan.

 

“Pak, apa benar kalau hubungan Pak Yeri dan Refina retak karena orang ketiga?”

 

“Nggak bener,” jawab Yeriko singkat.

 

“Lalu, apa yang sebenarnya menjadi penyebab hubungan kalian retak?”

 

Yeriko tersenyum sambil menoleh ke arah Refi sejenak. “Dia yang ninggalin saya ke Paris untuk mengejar impiannya.”

 

“Mbak Refi, apa benar yang dikatakan Pak Yeri?”

 

Refi hanya tersenyum kecut menanggapi pertanyaan wartawan. Ia tidak dapat mengelak ucapan Yeriko.

 

“Pak, masih ada pertanyaan besar dalam diri kami. Hubungan Pak Yeri dan Refina tidak pernah terekspose selama ini. Kenapa, tiba-tiba menjadi viral dengan skandal orang ketiga di antara kalian? Sebenarnya, hubungan Pak Yeri dan Refina terjalin sejak kapan?”

 

“Kami berteman baik sejak masih SMA. Baru menjalin hubungan setahun terakhir sebelum dia pergi ke Paris.”

 

“Kalau gitu, rumor bahwa istri Anda sebagai orang ketiga itu tidak benar?”

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Saat kami berpisah, saya belum mengenal istri saya ini.”

 

“Saya mau mengajukan pertanyaan untuk Mbak Yuna. Berita yang beredar, Anda mengancam Refina untuk melompat dari atas gedung. Apa itu benar?”

 

Yuna menggelengkan kepalanya.

 

“Istriku bukan orang yang seperti itu,” sela Yeri. “Bahkan, dia yang meminta saya untuk sering menjenguk Refi yang lagi sakit. Saya rasa, dia nggak mungkin melakukan hal keji seperti itu.”

 

Wartawan yang hadir mengangguk-anggukkan kepala.

 

“Jadi, berita yang tersebar di media itu nggak bener?”

 

“Sangat tidak benar,” sahut Yeriko.

 

“Oh ya, soal skandal istri Anda dengan laki-laki lain, apa itu benar?”

 

Yeriko tertawa kecil. “Laki-laki yang ada di foto itu, saya sangat mengenalnya. Dia adalah sahabat istri saya sejak mereka masih kecil.

 

“Jadi, gosip yang beredar memang nggak bener?”

 

“Nggak bener,” jawab Yeriko.

 

“Mbak Refi, kalau semua pernyataan Mbak Refi dibantah oleh Pak Yeri. Lalu, mana pernyataan yang benar? Pernyataan Mbak Refi atau Pak Yeri?” tanya wartawan lagi.

 

“Mmh ...” Refi memutar bola mata sambil menggigit bibirnya.

 

“Kalian seharusnya sudah bisa menilai sendiri,” sahut Yeriko.

 

“Pak Ye, apa yang membuat Anda lebih memilih menikahi Ayuna?”

 

“Karena mencintai dia.”

 

“Pak Ye, dua orang wanita yang ada di sebelah Anda sangat cantik. Andai belum menikah, Anda pilih yang mana?”

 

“Saya tetap pilih Ayuna,” jawab Yeriko sambil tersenyum hangat.

 

Semua jawaban singkat yang keluar dari mulut Yeriko membuat Refi semakin kesal.Yeriko dan Refi terlihat sangat tenang. Jika ia banyak bicara, itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.

 

“Wah, Pak Ye orang yang sangat jujur dan apa adanya. Lalu, bagaimana dengan hubungaN Anda dan Refina saat ini?”

 

“Kami berteman saja,” jawab Yeriko santai.

 

“Pak Ye, Anda dan Refi saling mengenal cukup lama. Apakah masih ada perasaan cinta untuk Refina sampai saat ini?” tanya wartawan lagi.

 

Yeriko tersenyum menatap semua orang yang ada di hadapannya. Ia menoleh ke arah Yuna yang duduk di sampingnya. Menatapnya penuh kehangatan. Lengannya perlahan melingkar di pinggang Yuna.

 

Di hadapan semua orang, Yeriko mencium bibir istrinya penuh cinta. Kemesraan yang ia tunjukkan adalah jawaban yang paling tepat untuk menunjukkan pada dunia bahwa Yuna adalah satu-satunya wanita yang ia cintai.

 

 “Aargh ...! Romantis banget!” seru salah seorang jurnalis wanita yang ada di ruangan tersebut.

 

Refi makin kesal melihat Yeriko yang memamerkan kemesraannya di hadapan semua orang. Hatinya sangat sakit melihat keduanya menjadi pusat perhatian banyak orang.

 

“Ternyata, Pak Yeriko adalah pria penyayang istri,” celetuk salah seorang wartawan.

 

Rullyta tersenyum melihat kemesraan Yeriko dan Yuna. Ia melirik ke arah Refi yang terlihat sangat buruk. Ia harap, hal ini bisa membuat Refi menyerah mengejar cinta Yeriko.

 

“Mbak Yuna, kasih komentar, dong!”

 

“Eh!? Komentar apa? Semua pertanyaan udah dijawab sama suamiku,” sahut Yuna sambil tersenyum manis.

 

“Ah, senyumnya manis banget!” puji salah seorang wartawan. “Bu Rully, kasih tanggapan, dong!”

 

“Saya?” Rullyta tertawa kecil. “Saya adalah seorang mama yang akan mendukung apa pun langkah baik anak saya. Yuna adalah wanita terbaik pilihannya dan keluarga kami sangat menyayangi menantu kami seperti anak sendiri.”

 

“Wah ...! Keluarga yang harmonis!” celetuk salah seorang wartawan.

 

“Masih ada pertanyaan lagi?” tanya Yeriko sambil melihat arloji di tangannya.

 

“Saya, Pak.” Seorang wartawan wanita berdiri. “Rumor yang beredar di luar cukup lama, kenapa Anda baru muncul sekarang untuk mengklarifikasi hal ini?”

 

Yeriko tersenyum kecil. Matanya tertuju pada Deny yang ada di antara wartawan itu. “Karena saya harus mengumpulkan banyak bukti terlebih dahulu untuk menghukum orang yang telah berani bermain di belakang kasus ini,” tutur Yeriko dingin.

 

Deny menyadari tatapan mata Yeriko yang bersiap menerkam dirinya. Ia bangkit dari tempat duduk dan melangkah pergi. Namun, langkahnya tertahan saat dua orang pria menghadangnya.

 

“Mau ke mana?” tanya Lutfi sambil tersenyum, ia memainkan alis sembari menoleh ke arah Chandra yang berdiri di sisinya.

 

“Mau ke toilet,” jawab Deny santai.

 

“Oke. Ayo!” Lutfi langsung merangkul Deny. Ia dan Chandra membawa Deny ke salah satu ruangan yang telah disiapkan oleh Yeriko.

 

Yeriko tersenyum sinis saat melihat dua sahabatnya telah berhasil mengamankan Deny.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Monday, March 10, 2025

Kenapa Kita Ditinggal Di Hutan?


“Mak, kenapa kita ditinggal di hutan? Sedangkan bapak di kota?”
Lagi-lagi, pertanyaan itu muncul dari bibir mungil milik puteriku, Livia.
Beberapa jam lalu, kami baru saja kembali dari minimarket. Livia yang masih berusia 6 tahun, mengajak untuk jajan ke minimarket yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumah. Sebenarnya, ada banyak toko di desaku, tapi Livia minta ke luar karena aku tahu yang sebenarnya dia inginkan adalah jalan-jalan.
Saat perjalanan pulang, tiba-tiba Livia mengajukan pertanyaan itu. Aku cuma tersenyum dan menjawab “Bapak kerja, Nak. Makanya dia di kota”.
Di tahun itu, Livia masih sangat menginginkan kedekatan dengan ayahnya. Ia masih sering mempertanyakan keberadaan sang ayah. Dia tidak mengetahui jika aku dan ayahnya sudah bercerai. Kami tidak bisa lagi tinggal bersama.
Aku sudah sering bilang pada mantan suami kalau soal anak, kita urus sama-sama. Yah, meski pada akhirnya aku harus mengurus semuanya sendiri. Karena dia tidak peduli sama sekali pada anak-anaknya.
Aku harus banting tulang setiap hari. Memikirkan bagaimana caranya bisa menghidupi dua anakku yang masih kecil-kecil. Livia masih duduk di bangku TK, sementara adiknya baru berusia 1,5 tahun.
Rasanya sangat berat, apalagi aku tinggal di wilayah pelosok yang tidak banyak lapangan kerja. Aku masih dilema memilih antara mengurus anak dan pergi bekerja. Karena aku sangat menyayangi kedua anakku dan akulah yang tidak bisa hidup tanpa mereka.
“Bapak jahat sama kita!” ucap Livia lagi. “Masa kita ditinggal di hutan, sedangkan bapak enak di kota.”
“Bapak itu nggak jahat. Bapak sayang sama Mbak Pii sama adek, kok. Sekalipun nanti bapak jadi jahat dan nggak mau sayang sama kalian, Mbak Pii dan adek harus tetap sayang sama bapak, ya!” ucapku dengan lembut sembari mengelus pipi mungil Livia.
Livia mengangguk tanda mengerti. Tapi tak dapat kubaca bagaimana isi hatinya. Manik matanya menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang bisa aku pahami karena ia harus kehilangan sosok ayah dalam hidupnya, padahal sosok itu masih ada di dunia ini.
“Ya udah, unboxing dulu jajannya, ya! Tadi Mbak Pii beli apa aja?” pintaku sembari menatap ke arah kantong belanja yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Livia mengangguk. Ia dengan semangat membuka kantong belanja tersebut. Mengeluarkan barang satu per satu. Ada beberapa jajanan yang ia pilih untuk ia berikan pada adik tercintanya. Setiap kali ia pergi keluar untuk jajan, ia tidak pernah lupa membelikan susu kotak kesukaan sang adik yang baru berusia satu setengah tahun.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Aku mendapati ibuku sedang tertidur pulas di kamar bersama Arga. Tapi, Arga sudah bangun lebih dahulu. Ia duduk di atas kasur sambil memainkan mainannya. Ia langsung turun dari tempat tidur dan berlari ke arahku begitu ia menyadari keberadaanku.
“Mama ...!” seru Arga. Ia langsung memeluk kedua kakiku dengan hangat.
Aku tersenyum. Aku segera menggendong Arga, kemudian kuciumi kedua pipinya dengan gemas. Aku kembali menutup pintu kamar perlahan agar ibuku tidak terganggu tidur lelapnya. Dia pasti sudah sangat lelah menjaga Arga lebih dari setengah hari. Terlebih, putera kecilku ini termasuk anak yang hyperaktif. Menemaninya bermain selama dua jam saja sudah sangat terasa lelahnya.
“Itu, Mbak Pii belikan jajan buat adek,” ucapku sambil melangkah menghampiri Livia yang masih asyik menyusun barang-barang belanjaannya di lantai.
Livia langsung tersenyum. Ia segera bangkit dan mengajak adiknya untuk bermain. Tak lupa, ia memberikan satu buah kotak susu cokelat berukuran kecil.
“Jagain adek, ya! Mama mau masak dulu.”
Livia mengangguk tanda mengerti. Aku pun segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak ada menu istimewa malam ini, sama seperti biasanya. Hanya ada seikat kacang panjang pemberian tetangga. Tetangga kerap mengirimkan sayur-mayur ke rumah untuk nenekku. Selain merawat dua anak, aku juga merawat nenekku yang sudah renta. Meski terkadang menyebalkan karena tingkahnya seperti anak kecil, aku tetap menyayanginya sepenuh hati.
Aku menghela napas sambil menatap dua butir telur yang ada di dapur. Tidak ada makanan lain lagi selain telur ini. Aku juga sudah tidak punya uang untuk belanja dapur. Setiap kali anakku meminta sesuatu, aku selalu mendahulukan keinginannya. Tak apa aku menahan kebutuhanku dulu. Karena aku tidak tega melihat anak-anakku bersedih karena tidak bisa beli jajan seperti yang lain.
Pagi tadi, uangku hanya tersisa lima puluh ribu rupiah. Livia merengek minta jajan ke minimarket. Akhirnya, aku pilih menghaniskan uang untuk menyenangkan anakku. Aku hanya berdoa, semoga Allah cepat kembalikan dan aku bisa mendapatkan uang lagi untuk biaya hidup keesokan harinya, entah dari mana saja.
Menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, rasanya sangat berat. Terutama ketika dihadapkan oleh dua pilihan, bekerja atau mengurus rumah. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kedua anakku dan nenekku terlalu lama. Tapi, aku juga tidak bisa berdiam diri di dalam rumah tanpa uang. Bagaimana aku bisa menghidupi mereka semua?
“Ya Allah ... kenapa takdirku begitu berat? Jika memang sudah ini jalannya, maka kuatkanlah aku, ya Allah. Aku tidak minta bebanku diringankan, tapi aku minta Engkau selalu memberikan kekuatan di setiap tahapan ujian kehidupan ini,” batinku sambil menitikan air mata.
Kuraih dua butir telur ayam yang tersisa di dapur hari ini. Tidak ada lagi stok makanan untuk besok. Hari sudah mulai gelap dan aku tidak tahu harus pergi ke mana mencari uang agar anak-anakku tetap bisa makan esok hari.
“Oh, God! Help us!”

Sunday, March 2, 2025

Puisi "Dalam Jengkal" oleh Rin Muna

                                                                DALAM JENGKAL 



Dunia terlalu kejam mencabik-cabik tubuhku yang mungil

Dalam sejengkal, aku ditusuk belati berkali-kali. 

Dalam dua jengkal, aku diiris-iris oleh orang yang kucintai. 



Dalam tiga jengkal, dadaku ditusuk pedang oleh orang yang selalu aku perjuangkan

Dalam empat jengkal, aku dihantam oleh batu-batu yang terlahir dari sebuah pengorbanan. 


Dunia terlalu kejam mencabik-cabik tubuhku yang lemah. 

Dalam lelah, aku dihimpit oleh perkara tanpa kata-kata

Dalam letih, aku diterpa oleh badai tanpa pilih kasih. 

Dalam lelap, aku dihantui oleh neraka tanpa kisah gemerlap. 


Oh, dunia ... 

Kurasa kamu ilusi, tapi sakitnya sampai ke ulu hati. 

Bisakah aku gadaikan waktuku agar kita sering bertemu?



Kutai Kartanegara, 21 Februari 2025


Rin Muna

Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 178 : Sandiwara || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Buat apa nyari aku? Mau ngajak berantem lagi?” tanya Yuna sambil menatap Refi.

 

Refi tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Yun, aku terlalu lemah buat ngajak kamu berantem. Kamu lihat sendiri, aku bahkan nggak punya kekuatan buat berdiri tegak. Gimana bisa aku ngajak kamu berantem?”

 

Yuna menarik napas, ia mencoba menenangkan perasaannya. Ia tersenyum sambil menatap Refina. “Terus?”

 

“Aku cuma mau minta maaf sama kamu.”

 

“Nggak perlu,” sahut Yuna ketus.

 

“Aku serius, Yun. Aku mau datang ke sini karena mau minta maaf. Setelah ini, aku nggak bakal ganggu hidup kalian lagi.”

 

Yuna tersenyum sambil menatap Refi. “Aku harap, kamu bener-bener bisa berubah. Aku tahu, nggak mudah menghadapi hidup kamu yang kayak gini. Kamu boleh bersandar sama siapa aja. Tapi, jangan sampai kamu ngerusak kebahagiaan orang lain buat dapetin ambisi kamu.”

 

“Yun, aku nggak pengen ngerusak kebahagiaan kalian. Tapi, kamu juga harus tahu kalau aku beneran sayang sama Yeriko. Cuma dia satu-satunya orang yang peduli sama aku selama ini. Please, Yun! Biarin aku sama dia, setidaknya sampai kakiku bener-bener sembuh!” pinta Refi.

 

Yuna menghela napas menatap Refi. “Ref, aku nggak pernah ngelarang Yeriko ketemu sama kamu. Dia sama Chandra udah ngelakuin banyak hal biar kamu bisa sembuh dan kembali ke kehidupan normal kamu. Kamu jangan manfaatin kebaikan Yeri!” pintanya. “Aku nggak akan ngelepasin suamiku!” tegas Yuna.

 

Refi menggigit bibirnya menatap Yuna. “Apa kamu selalu tahu kalau Yeri jenguk aku ke rumah sakit?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Aku yang minta dia buat jenguk kamu. Walau aku nggak suka sama kamu, aku masih punya hati. Aku juga percaya sama Yeri, dia nggak akan ngehianati aku.”

 

“Gimana kalo ternyata dia bohongin kamu?” tanya Refi.

 

“Mmh ... cukup ngasih hukuman kecil.” Yuna mendekatkan bibirnya ke telinga Refi. “Aku suruh dia tidur di luar kamar dan aku pastikan dia nggak akan tahan ngabisin waktu dua puluh empat jam tanpa belaian istrinya,” bisik Yuna di telinga Refi. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan tersenyum manis ke arah Refi.

 

Refi menatap Yuna penuh kebencian. “Kamu sengaja mau manas-manasin aku?”

 

“Oh. Kamu panas?” Yuna mengedarkan pandangannya. “Nanti, aku suruh Yeriko buat nambah AC di sini.” Ia tersenyum ke arah Refi.

 

“Setan kamu, Yun!” maki Refi.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Refi. “Emang harus jadi setan buat ngadepin iblis kayak kamu!” dengus Yuna sambil menjulurkan lidahnya.

 

Refi makin emosi melihat tingkah Yuna. “Aku heran, kenapa Yeriko bisa tergila-gila sama cewek berandal kayak kamu. Kalo dia tahu kelakuan asli kamu, udah pasti dia bakal ninggalin kamu secepatnya.”

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Refi. “Yeriko yang ngajarin aku kayak gini buat ngadepin kamu. So, kamu nggak perlu repot-repot mikirin soal image aku di depan Yeri. Lebih baik, kamu pikirin aja diri kamu sendiri!”

 

Refi menatap Yuna penuh amarah. Ia menatap wajah Yuna dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak akan bisa melawan perkataan Yuna. Satu-satunya cara, adalah membuat dirinya terlihat sangat lemah agar mendapatkan simpati dari banyak orang.

 

Yuna mengernyitkan dahi begitu melihat Refi meneteskan air mata. “Gila, nih cewek!” batin Yuna sambil mendelik ke arah Refi. “Bisa-bisanya dia tiba-tiba nangis kayak gini?” gumam Yuna

 

Yuna mengedarkan pandangannya. Ia khawatir kalau reaksi Refi kali ini akan mengundang banyak pasang mata ke arahnya, terutama mata kamera wartawan yang ada di depan gedung.

 

“Yun, aku tahu kamu benci banget sama aku karena aku suka sama suami kamu. Apa kamu nggak bisa maafin aku dan bersikap baik sama aku?” tanya Refi sambil terisak.

 

“Ref, nggak usah nangis juga kali,” sahut Yuna. “Kamu sengaja mau menarik perhatian banyak orang?”

 

“Aku cuma mau minta maaf sama kamu, Yun. Maafin aku ...”

 

“Iya, aku maafin kamu!” seru Yuna. “Nggak usah nangis lagi!” pinta Yuna sambil berbalik dan melangkah pergi.

 

“Yun!” panggil Refi sambil bangkit dari kursi rodanya dan menahan lengan Yuna.

 

Yuna memutar tubuhnya menatap Refi yang ada di belakangnya.

 

Refi langsung melepas genggaman tangannya dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai.

 

“Ref, kamu nggak papa?” Yuna berjongkok dan langsung meraih pundak Refi untuk membantunya bangkit. “Sini, aku bantu!”

 

Refi langsung menepis kedua tangan Yuna sambil menangis.

 

“Ref ...! Kenapa?”

 

“Aargh ...!” teriak Refi sambil menangis histeris. “Tolong ...!” teriaknya sambil menoleh ke arah pintu gedung.

 

Wartawan yang berkerumun di depan pintu gedung langsung menerobos masuk. Mereka menghampiri Yuna dan Refi. Dengan cepat, mata kamera mereka membidik Yuna dan Refi.

 

Pikiran Yuna seketika kosong begitu melihat segerombolan wartawan dan kamera yang menyorot ke arahnya. Ia langsung bangkit sambil menatap Refi yang masih terisak di lantai.

 

“Yun, aku tahu aku salah. Aku ke sini cuma mau minta maaf karena nggak bisa nurutin permintaan kamu buat ngerahasiain hubungan kita. Kenapa kamu jahat banget sama aku? Aku udah minta maaf  berkali-kali. Kamu masih aja bersikap kasar sama aku,” tutur Refi bersama derai air matanya.

 

“Hah!?” Mulut Yuna menganga tanpa suara. Ia langsung mengedarkan pandangannya dan menatap wartawan yang ada di hadapannya satu per satu. Ia tak menyangka kalau sekarang ia sudah masuk ke dalam perangkap Refi untuk kesekian kalinya.

 

“Kalian lihat sendiri, kan? Dia sering banget ngancam aku. Waktu itu, aku lompat dari gedung memang karena paksaan dari dia. Saat aku mau minta maaf, dia malah mau nyelakain aku lagi,” tutur Refi sambil menatap semua wartawan yang ada di hadapannya.

 

“Apa bener yang diucapkan Mbak Refi?” tanya salah seorang wartawan yang mendapat dukungan dari semua wartawan yang ada di sana.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi pertanyaan wartawan. Ia langsung menatap Refi sambil mengulurkan tangannya ke hadapan Refi. “Bangun!” pintanya.

 

Refi membuang wajahnya, ia sama sekali tak ingin menyambut uluran tangan Yuna.

 

Yuna tertawa kecil. “Kamu pintar banget kalo akting,” tutur Yuna. Ia menoleh ke arah semua wartawan yang ada di ruangan itu. “Kalian lihat sendiri! Dia yang menolak bantuanku, bukan aku yang nyelakain dia.”

 

 “Bohong! Mana ada maling mau ngaku! Pasti kamu yang udah dorong Refi sampe jatuh!” sahut wartawan yang berdiri di paling belakang.

 

“Dorong? Siapa yang bilang aku dorong Refi? Ref, kamu nggak ada bilang ke mereka juga kan?” tanya Yuna sambil menatap Refi. “Kamu mau ngarang cerita lagi?” sentak Yuna sambil menunjuk pria berkacamata yang ada di paling belakang.

 

“Aku nggak ngarang. Aku bisa lihat dari luar kalo kamu dorong Refi sampe jatuh.”

 

Yuna langsung menatap pria berkacamata yang meneriaki dirinya. “Emangnya kamu punya bukti?” tanya Yuna. “Jelas-jelas dia yang jatuhin dirinya sendiri ke lantai,” jelasnya. Ia menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Ref, jelasin ke mereka!” pinta Yuna.

 

“Apa bener yang diucapkan Mbak Yuna?” tanya salah seorang wartawan sambil mengarahkan kameranya ke wajah Refi.

 

“Hiks ... hiks ... Sebenarnya ... dia emang dorong aku. Tapi, dia ngancam buat nggak ngasih tahu siapa pun. Di sini, nggak ada satu orang pun yang percaya sama aku,” jelas Refi terisak.

 

“Kamu!?” Yuna geram menatap wajah Refi. “Mau kamu apa sih, Ref? Aku sama suamiku udah baik banget sama kamu. Kamu malah kayak gini ke aku?”

 

 “Huu ... mana ada penjahat mau ngaku!” seru pria berkacamata yang ada di barisan belakang.

 

“Diam kamu!” sahut Yuna sambil menunjuk wajah pria itu. “Kamu kira, aku nggak tahu siapa kamu? Kamu sengaja berkomplot sama Refi buat jatuhin aku di depan semua orang kan? Deny Kaswara? Kamu juga yang ikut andil dalam konspirasi buatan Refi.”

 

“Kamu jangan nuduh sembarangan tanpa bukti!” sahut Deny yang ada di balik kerumunan wartawan.

 

“Aku punya banyak bukti. Kita lihat aja nanti!” sahut Yuna.

 

Deny menerobos kerumunan wartawan dan langsung berhadapan dengan Yuna. “Bukti apa yang kamu punya? Keluarin sekarang juga kalo emang punya!” Ia menantang Yuna.

 

“Kami akan keluarin buktinya saat konferensi pers kalo kamu masih cari masalah sama kami,” tutur Yeriko yang tiba-tiba muncul dan langsung menghampiri Yuna.

 

Yuna tersenyum ke arah suaminya.

 

Yeriko melingkarkan lengannya ke pinggang Yuna sambil menatap Refi yang masih duduk di lantai. “Bangun, Ref! Akting kamu cukup sampe sini!” pinta Yeriko.

 

Refi mengepal tangan sambil menatap Yuna dan Yeriko yang ada di hadapannya. Ia memukul lantai dan berusaha bangkit.

 

Yuna bergerak ingin membantu Refi bangkit, namun tangan Yeriko menahannya.

 

“Dia udah bisa bangun sendiri,” tutur Yeriko.

 

“Tapi ...” Yuna tetap saja mengkhawatirkan keadaan Refi.

 

Yeriko menunjuk Refi dengan dagunya. Benar saja, Refi sudah bisa bangkit sendiri dan kembali duduk di kursi roda.

 

Yuna tersenyum senang melihat perkembangan kaki Refi. Ia berharap Refi bisa sembuh secepatnya dan berhenti menempel pada Yeriko.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Baca juga karyaku yang lain ...

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas