Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 177 : Gelisah || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Van, ikut kami ya!” ajak Yeriko saat ia melangkah menuruni anak tangga bersama Yuna dan Irvan.

 

“Nggak bisa, Yer. Aku masih ada job lain.”

 

“Sibuk banget ya? Pegawai kamu banyak. Suruh mereka tangani!”

 

“Mmh ...” Irvan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Kenapa?”

 

“Gimana ya, Yer? Aku nggak bisa ninggalin klienku kali ini. Dia minta aku langsung yang ngerias dia. Apalagi, lokasinya lumayan jauh.”

 

“Ah, sudahlah. Kamu urus kerjaanmu aja!” pinta Yeriko. “Kasih asistenmu satu orang buat dateng ke kantorku!” pinta Yeriko. “Kamu tahu kalo istriku nggak pandai dandan. Aku mau, penampilannya tetap terjaga.”

 

“Nggak usah kali, Yer,” sahut Yuna. “Make up aku bagus-bagus aja, kok. Bakal tahan lama sampe sore.”

 

Yeriko memerhatikan detail wajah Yuna. “Aku nggak yakin.”

 

“Kamu nggak yakin sama hasil karya Irvan?” sahut Yuna.

 

“Bukan itu. Aku nggak yakin sama kamunya.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya.

 

“Ayo, kita berangkat!” Yeriko merangkul pinggang Yuna, membawanya masuk ke dalam mobil.

 

“Jalan, Yan!” perintah Yeriko pada Riyan yang duduk di belakang kemudi.

 

Riyan mengangguk dan bergegas melajukan mobilnya menuju gedung kantor Galaxy Group.

 

Yuna menarik napas beberapa kali. Ia teringat beberapa waktu lalu saat wartawan mengejarnya di depan kantor Wijaya Group. Ia sangat takut dengan banyak pertanyaan yang diajukan kepadanya, juga banyak mata kamera yang membidik wajahnya.

 

Yeriko menyadari kegelisahan yang ada dalam hati Yuna. Ia langsung menggenggam tangan Yuna yang dingin. “Jangan khawatir!” pintanya.

 

Yuna tersenyum kecut sambil menatap Yeriko. “Aku takut,” ucap Yuna lirih.

 

Yeriko langsung memeluk tubuh Yuna. “Nggak ada yang perlu ditakutkan. Ini cuma konferensi pers.”

 

Yuna tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Yeriko.

 

“Yan, Ibu udah berangkat?”

 

“Udah sampai duluan, Pak Bos,” jawab Riyan.

 

“Hati-hati, Yan!” seru Yuna saat sebuah mobil melaju kencang dari arah persimpangan dan bersiap menghantam mobilnya.

 

“Aaargh ...!” Yuna berteriak sambil menutup matanya.

 

Riyan langsung membanting setir menghindari tabrakan dengan mobil Jeep yang nyaris menabrak badan mobilnya.

 

CIIIT ...!

 

Ban mobil Yeriko berdecit saat Riyan tiba-tiba menginjak rem mobilnya.

 

Yeriko memeluk erat tubuh Yuna agar tak terbentur. “Kamu nggak papa?” tanya Yeriko.

 

Yuna membuka mata dan menatap wajah Yeriko. “Nggak papa.” Ia mengedarkan pandangannya ke luar jendela. 

 

“Hati-hati, Yan!” perintah Yeriko.

 

Riyan mengangguk. Ia menjalankan mobilnya perlahan. “Pak Bos, apa perlu nambah orang untuk keamanan?”

 

“Orang Mama udah berapa?”

 

“Sepuluh.”

 

“Cukup. Security kantor hari ini masuk semua kan?”

 

Riyan menganggukan kepala. Ia kembali melajukan mobilnya menuju kantor Galaxy Group.

 

Yuna langsung mencengkeram paha Yeriko saat melihat banyak wartawan berkerumun di depan kantor suaminya. “Banyak banget orangnya?”

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Nggak usah khawatir!”

 

Riyan tidak menjalankan mobilnya ke depan pintu masuk gedung. Ia memutar lewat pintu belakang gedung sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan kepadanya.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam, perlahan ia keluar dari mobil dan memasuki kantor beriringan dengan langkah Yeriko.

 

“Mama di mana?” tanya Yuna.

 

“Tuh!” Yeriko menunjuk Rullyta dengan dagunya.

 

Yuna langsung menghampiri Rullyta yang sedang berbincang dengan Kepala Departemen Humas.

 

“Pagi, Ma!” sapa Yuna. Ia langsung menyalami tangan Rullyta.

 

“Pagi ...!” balas Rullyta langsung bersalaman pipi dengan Yuna. “Gimana? Udah siap?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

“Rileks ya, jangan tegang kayak gitu wajahnya!” pinta Rullyta.

 

“Kelihatan kalo aku tegang?” tanya Yuna.

 

Rullyta mengangguk. “Santai ya!” pinta Rullyta sambil menggenggam pundak Yuna.

 

“Mmh ... aku nggak terbiasa di depan kamera. Apalagi, disorot wartawan sebanyak itu, Ma.”

 

“Kamu harus membiasakan diri!”

 

“Hah!?”

 

“Yun, kamu istrinya direktur di perusahaan ini. Kamu harus percaya diri. Ini baru awal. Suatu hari, kamu bakal sering berbicara di depan orang banyak menemani Yeri. Mama percaya sama kamu.”

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

Yeriko tersenyum menatap dua wanita yang ada di hadapannya. “Aku mau naik dulu, kamu mau ikut?” tanyanya sambil menatap Yuna.

 

“Nggak usah. Aku di sini aja sama Mama.”

 

“Oke.” Yeriko bergegas melangkahkan kakinya menuju lift untuk mencapai ruang kerjanya yang berada di lantai paling atas.

 

“Ma, si Refi udah datang?” tanya Yuna.

 

“Mama belum tahu. Mama juga baru sampai.”

 

Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum.

 

“Mbak, silakan istirahat di dalam ruangan!” Salah seorang karyawan menunjuk ruang kerja yang tak jauh dari tempat Yuna dan Rullyta berdiri.

 

“Istirahatlah dulu! Mama mau lihat persiapan di depan,” perintah Rullyta.

 

Yuna mengangguk. Ia menatap pintu ruangan bertuliskan PR Manager. Ia langsung masuk ke dalam ruangan tersebut dan duduk di sofa. Di lantai dasar gedung kantor Galaxy Group memang diisi oleh staff PR (Public Relation) atau Departemen Humas dan bagian pelayanan yang menangani tujuh belas anak perusahaan dan empat puluh outlet penjualan yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

“Huft, ternyata jadi istri orang kaya raya memang cukup melelahkan. Rasanya, pengen balik ke zaman sekolah. Walau banyak tugas, aku cuma perlu bertanggung jawab sama diriku sendiri” celetuk Yuna.

 

“Eh, Nyonya Direktur di sini?” Salah seorang pria tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Saya Manager Humas di sini.”

 

“Oh. Ini ruangan Bapak? Maaf, saya nyelonong masuk.”

 

“Ah, semua ruangan yang ada di sini milik Nyonya Ye. Lagipula, di ruangan ini memang bebas untuk siapa saja keluar masuk.”

 

“Oh. Gitu ya?”

 

Manager tersebut mengangguk

 

 Ia meraih map di atas meja. “Istirahatlah dulu! Konferensi pers kita mulai setengah jam lagi,” tutur manager tersebut sambil melangkah keluar dari ruangannya.

 

“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

Yuna langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka. Ia menatap seorang wanita dengan setelan rapi berdiri di depan pintu.

 

“Permisi, Nyonya. Ada orang yang nyari Nyonya.”

 

“Siapa?”

 

“Nggak tahu, Nyonya. Orangnya nunggu di depan.”

 

“Oke.” Yuna bangkit dari sofa dan melangkah mengikuti pegawai tersebut.

 

Pegawai tersebut menghampiri seorang wanita cantik yang duduk di kursi roda. Dari kejauhan, Yuna sudah bisa mengenali wanita yang ada di kursi roda tersebut.

 

Yuna melangkah perlahan mendekati Refi yang sedang duduk di kursi roda. Pandangannya tertuju pada sekelompok wartawan yang berkerumun di depan gedung.

 

“Hai ...!” sapa Refi sambil tersenyum manis ke arah Yuna. Ia terlihat sangat tenang menghadapi Yuna yang berdiri di hadapannya.

 

Yuna memaksa bibirnya untuk tersenyum ke arah Refi. Senyuman di wajah Refi penuh tanda tanya. Ia tidak bisa membedakan senyuman tulus dan niat buruk yang akan dilakukan Refi pada konferensi pers kali ini.

 

“Apa kabar, Nyonya Ye?” sapa Refi sambil menatap Yuna.

 

“Baik.” Yuna tersenyum. Matanya masih saja tertuju pada sekelompok wartawan yang berkerumun di depan kantor.

 

Refi tersenyum. Ia bisa menangkap kegelisahan yang ada dalam diri Yuna. Ia ikut melirik ke luar, bibirnya menyunggingkan senyum sambil menatap Yuna. Ia memerhatikan gaun mewah yang dikenakan oleh Yuna.

 

Kemewahan yang didapat oleh Yuna, membuatnya semakin kesal dan murka setiap kali menatap wajah Yuna. Sementara, ia sengaja membuat penampilannya berantakan agar berhasil menarik simpati banyak orang.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 176 : Persiapan Konferensi Pers || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yer, di bawah ada apa sih? Kok, ribut banget?” tanya Yuna yang masih enggan membuka mata.

 

“Nggak tahu,” jawab Yeriko yang masih setengah sadar dari mimpinya.

 

“Ini jam berapa?” tanya Yuna lagi.

 

Yeriko mengangkat kepala, memicingkan mata menatap jam dinding yang ada di kamarnya. “Masih jam empat subuh. Tidur lagi! Aku masih ngantuk.”

 

“Aku juga masih ngantuk,” sahut Yuna dengan suara melayang.

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

“Ini masih pagi banget. Kenapa udah ada yang ngetok pintu kamar kita?” gumam Yuna.

 

“Buka pintunya! Aku masih ngantuk.” Yeriko berbalik membelakangi Yuna.

 

“Aku juga masih ngantuk,” sahut Yuna. Ia memaksa diri mengangkat tubuhnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah perlahan menuju pintu sambil mengucek matanya. Ia langsung membuka pintu kamarnya.

 

“Halo ...!” sapa seorang pria yang sudah berdiri di depan pintu kamar.

 

Yuna langsung melebarkan pandangannya. Ia mengucek matanya beberapa kali. “Irvan!?” serunya. “Ngapain pagi-pagi ke sini?”

 

“Siapa?” tanya Yeriko saat mendengar teriakan Yuna.

 

“Irvan,” jawab Yuna.

 

Yeriko mengangkat tubuhnya sambil menatap ke arah pintu. “Van, ngapain sih pagi-pagi udah ganggu orang? Lagi enak-enaknya kelonan.”

 

Irvan tertawa kecil. “Sorry ...! Bu Rully yang nyuruh aku ke sini pagi-pagi. Suruh dandanin Mbak Yuna. Katanya, mau ada konferensi pers gitu ya?”

 

Yuna langsung mengernyitkan dahi menatap Irvan. “Mama Rully? Emangnya mau konferensi pers harus pake make up artis segala ya?”

 

“Harus, dong! Biar kelihatan cantik dan mengagumkan di depan kamera.”

 

Yeriko turun dari tempat tidur. Ia melangkah mendekati pintu. “Urus, Van!” pintanya sambil menepuk bahu Irvan. Ia keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang kerjanya.

 

“Kamu mau ke mana?” seru Yuna sambil menatap punggung suaminya.

 

“Lanjut tidur,” jawabnya santai. Ia bergegas masuk ke ruang kerja yang tak jauh dari kamarnya dan berbaring di sofa.

 

Yuna mengernyitkan dahi. “Enak banget, malah tidur lagi,” celetuknya.

 

“Udah, biarin aja! Laki-laki mah santai. Nggak perlu dandan berjam-jam kayak perempuan.” Irvan masuk ke dalam kamar Yuna.

 

“Ayo, bawa masuk semua!” pinta Irvan pada dua orang asistennya.

 

Dua asisten Irvan langsung menyeret koper dan masuk ke dalam kamar Yuna.

 

Yuna merebahkan tubuhnya ke atas kasur. “Van, bisa nggak kalo dandaninnya jam enam aja? Aku masih ngantuk banget.”

 

“Nggak bisa. Harus perawatan tubuh full biar seger waktu acara nanti. Rania sama Sinta yang bakal ngerawat kamu. Aku turun dulu!”

 

“Mmh .. dipijit?”

 

“Iya.”

 

“Baguslah. Aku bisa sambil tidur,” sahut Yuna. “Lama-lama aja di bawah!” seru Yuna sambil menatap punggung Irvan yang melangkah keluar dari kamarnya. “Kopi buatan Bibi War enak banget,” tambahnya sambil tertawa senang.

 

“Mbak, kita mulai sekarang ya?”

 

“Lama atau nggak nih?” tanya Yuna pada dua asisten Irvan.

 

“Satu setengah jam. Sisa waktunya, Mas Irvan yang make up.”

 

“Oh. Oke.”

 

Dua asisten Irvan memasang matras di atas tempat tidur Yuna.

 

“Di bawah aja!” pinta Yuna sambil menunjuk lantai.

 

Dua asisten tersebut mengangguk dan menurunkan matras tersebut ke lantai.

 

“Bisa ngomel sampe setahun suamiku kalo tempat tidurnya dikotorin,” celetuk Yuna.

 

“Maaf, Mba.”

 

“Udah, nggak papa.” Yuna langsung turun dari tempat tidur dan melepas pakaiannya. Ia langsung menelungkupkan tubuhnya di atas matras kecil yang dibawa oleh Irvan untuknya.

 

“Kita lulur sambil pijat dulu ya, Mbak.”

 

Yuna mengangguk. “Yang enak mijatnya!” pintanya. “Ntar aku kasih bonus kalo pijatan kamu enak.”

 

“He-em.” Rania menganggukkan kepala. “Sin, kamu siapin airnya buat berendam ya!”

 

Sinta mengangguk. Ia bergegas masuk ke kamar mandi dan menyiapkan peralatannya untuk memandikan Yuna.

 

Yuna menenggelamkan wajahnya ke bantal yang ada di bawahnya. Pijatan-pijatan kecil dari tangan Rania, membuatnya kembali terlarut dalam mimpi.

 

“Mbak, Mbak Yuna!” panggil Rania lirih di telinga Yuna.

 

“Hmm ...”

 

“Sudah selesai, Mbak. Waktunya berendam.”

 

Yuna mengangkat dan meliukkan tubuhnya. Ia menggulung kain yang menyelimuti tubuhnya dan berjalan menuju kamar mandi. Aroma segar dari bunga-bungaan menyeruak ke seluruh ruang kamar mandinya.

 

“Wangi banget!” tutur Yuna. Ia langsung melangkah masuk dan berendam di dalam bathtub.

 

“Mbak, laper atau nggak?” tanya Sinta.

 

Yuna menggeleng dan menyandarkan kepalanya.

 

“Haus?”

 

Yuna mengangguk.

 

“Aku ambilkan minum dulu. Mbak Yuna mau minum apa?”

 

“Apa aja.”

 

Sinta mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi. Ia langsung turun ke dapur.

 

“Bi, Mbak Yuna biasanya minum apa?”

 

“Oh. Mijatnya udah?”

 

Sinta mengangguk. “Sekarang lagi berendam.”

 

“Kasih cokelat hangat atau susu aja, Sin,” sahut Irvan yang sedang duduk di meja makan.

 

Sinta mengangguk.

 

“Biar Bibi aja yang siapin buat Mbak Yuna. Kamu temenin Mbak Yuna aja di atas. Nanti, Bibi antar ke atas.”

 

“Nggak papa, Bi. Ada Rania di atas.”

 

“Oh. Kamu tunggu dulu! Biar Bibi yang buatkan minum buat Mbak Yuna.”

 

Sinta mengangguk. Ia memerhatikan Bibi War yang sedang membuatkan cokelat hangat untuk Yuna.

 

“Ini, kasih ke Mbak Yuna!” Bibi War menyodorkan nampan berisi segelas cokelat hangat dan beberapa potong buah-buahan segar di atas piring.

 

Sinta mengangguk. “Makasih, Bi!”

 

Bibi War mengangguk.

 

Sinta bergegas naik ke kamar Yuna dan langsung membawa nampan tersebut ke hadapan Yuna.

 

“Mmh ... Mbak!” panggil Sinta lirih karena Yuna menyandarkan kepala sambil memejamkan matanya.

 

Yuna langsung membuka mata dan menatap Sinta. “Ya.”

 

“Ini, minuman dan cemilan yang disiapin sama Bibi.”

 

“Oke. Makasih, ya!” Yuna mengambil gelas dari nampan dan meminumnya. “Taruh aja di situ! Nanti aku makan,” pinta Yuna sambil menunjuk meja kecil yang ada di samping bathtub.

 

Sinta mengangguk dan bergegas keluar dari kamar mandi.

 

Usai berendam dan membersihkan tubuhnya. Yuna akhirnya duduk di meja rias bersama Irvan yang sudah ada di dalam kamarnya.

 

“Baju kamu cantik banget! Pasti mahal ya?” tanya Irvan sambil memakaikan Hairdresser Cape Gown  ke tubuh Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil. “Nggak juga, kok.”

 

“Huu ... nggak juga, tapi harganya jutaan.”

 

“Nggak tahu kalo soal harga.”

 

“Dibeliin Yeri?”

 

Yuna mengangguk.

 

“Dia itu emang suami idaman. Kalo aku jadi cewek, udah aku kejar-kejar tuh dia,” celetuk Irvan sambil mengeluarkan peralatan tempurnya untuk mengubah wajah Yuna menjadi lebih memesona.

 

“Untungnya kamu bukan cewek,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

“Biar cowok, kalo Yeriko mau, aku juga mau.”

 

“Apa!?” Yuna langsung memutar kepalanya menatap Irvan.

 

“Bercanda. Kamu serius banget,” sahut Irvan. “Duduk yang bagus! Ntar make up-nya berantakan!” perintah Irvan.

 

Yuna memonyongkan bibirnya, ia kembali menatap wajahnya di cermin.

 

“Jangan cemberut kayak gitu! Jelek tahu!” seru Irvan. “Aku nggak mau make-up kalo kamu masih kayak gini.”

 

“Iya. Iya. Cepet make up-nya. Ntar kamu godain suamiku pula,” sahut Yuna.

 

“Nggak, Mbak Yuna yang cantik. Aku cuma bercanda.” Irvan mulai merias wajah Yuna dengan serius.

 

“Van ...!”

 

Irvan tak menyahut panggilan Yuna.

 

“Mas Irvan!” seru Yuna.

 

“Eh!? Kenapa?”

 

“Mmh ... apa bener, di luar sana banyak cewek yang suka sama Yeriko?”

 

Irvan mengangguk. “Siapa sih cewek yang nggak mau punya pasangan kayak Yeriko? Semua juga mau, kali. Udah ganteng, kaya raya pula.”

 

Yuna memonyongkan bibirnya mendengar pendapat Irvan.

 

“Kamu harusnya senang, dong. Dari jutaan cewek di dunia ini, Yeriko milih kamu sebagai istri. Pasti nggak mudah ya dapetin hatinya dia? Walau ganteng, dia itu dingin dan sombong banget.”

 

“Tahu dari mana?”

 

“Mmh ... aku ini make-up artist. Banyak model yang aku kenal. Mereka semua ngincar suami kamu. Tapi ... mereka bilang, Yeriko terlalu dingin dan nggak mudah buat ditaklukan.”

 

“Oh ya?” Yuna merasa sangat bahagia karena ia berhasil mendapatkan hati Yeriko dengan mudah.

 

“Masih lama, Van?” tanya Yeriko sambil bersandar di bibir pintu kamarnya.

 

Irvan dan Yuna langsung menoleh ke arah pintu. “Lumayan. Kenapa?”

 

“Nggak papa.” Yeriko melangkah perlahan memasuki kamarnya. “Aku mau mandi.”

 

“Kamu mau pakai jas yang mana?” tanya Yuna sambil menatap Yeriko yang akan masuk ke dalam kamar mandi.

 

“Sesuaikan aja!” pintanya.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah menyiapkan kemeja hitam dan jas warna maroon untuk Yeriko, agar senada dengan warna mawar yang ada pada gaun yang ia kenakan. “Van, pakai itu serasi nggak sama gaunku?” tanya Yuna sambil menunjuk pakaian Yeriko yang telah ia siapkan.

 

Irvan mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

Yuna langsung tersenyum riang menanggapi reaksi Irvan yang begitu baik.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas