“Lo kenapa?” Ardan menatap wajah Ule yang
terlihat tak bersemangat ketika mereka sedang berada dalam perjalanan pulang
menuju kota Jakarta.
“Gue males balik.” Ule membuang pandangannya
ke arah jendela pesawat, dari situ ia bisa melihat bagaimana rasanya meninggalkan
Tana Toraja. Bentuk rumah Tongkonan yang khas itu mulai mengecil dan
menggetarkan dadanya. Ada rasa getir ketika harus melangkahkan kaki pergi dari
tempat itu. Ia sendiri tidak yakin kalau ia akan kembali ke tempat itu.
“Kenapa? Karena cewek itu?”
Ule menggelengkan kepalanya. “Karena janji gue
sama bokap dan nyokap gue. Lo kan tahu kalau gue bener-bener nggak mau ngurus
perusahaan itu. Gue belum siap jadi gila!”
Ardan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
Ule. “Le, lo harusnya bersyukur terlahir jadi anak orang kaya. Lo nggak harus
ngerasain hidup susah. Tinggal nerusin aja warisan perusahaan bokap lo.”
“Lo nggak bakal ngerti gimana rasanya. Gue
bakal jadi robot di sana. Gue tahu kalo gue bakal kehilangan waktu gue buat
kerjaan. Kita nggak mungkin bisa jalan bareng kayak gini lagi. Perusahaan itu
bakal banyak menyita masa-masa muda gue yang harusnya hepi-hepi.”
“Le, gue yakin lo bisa kok.” Ardan menggenggam
perlahan bahu Ule, berharap ia bisa menyalurkan energi dan rasa percaya diri
untuk sahabatnya itu.
“Kalo Cuma ngatur management perusahaan aja
sih nggak begitu berat. Lo kan tahu gue juga kuliah jurusan managemen. Yang
jadi masalah buat gue adalah sumber daya manusianya. Lo tahu berapa ribu orang
yang bergantung hidup sama perusahaan bokap gue? Banyak, Dan!” jelas Ule
panjang lebar.
Ardan menghela napas panjang. “Oke, Le. Gue
ngerti gimana posisi lo. Tapi, kalo misalnya lo nggak mulai semuanya dari
sekarang. Mau kapan lagi? Perusahaan bokap lo butuh penerus, dan itu Cuma lo
satu-satunya. Lo mau ribuan karyawan perusahaan bokap lo kehilangan pekerjaan
karena lo nggak bisa nerusin perusahaan bokap lo itu?”
“Lo apaan sih, Dan!? Jangan nakut-nakutin gue,
deh! Gue bukan anak kecil.” Ule menatap tajam ke arah Ardan.
Ardan menahan tawa melihat tingkah sahabatnya
yang masih labil dan sering plin plan. Bagi Ardan, Ule adalah orang yang mudah
untuk dipengaruhi olehnya. Ardan seringkali menakut-nakuti Ule. Terlebih soal
pengorbanan kedua orang tuanya dalam mendirikan sebuah perusahaan hingga
menjadi besar.
“Atau ... lo mau pesawat ini putar balik ke
Toraja dan lo menetap di sana. Biar perusahaan lo, gue yang urus?” Ardan
nyengir menawarkan solusi yang membuat Ule makin bad mood.
“Ide lo nggak ada yang bagus!” umpat Ule,
wajahnya makin kesal dan Ardan tidak henti-hentinya meledek sepanjang ia ada di
dalam pesawat. Rasanya, ia ingin secepatnya sampai di Jakarta atau memilih
melompat dari pesawat.
***
Dua Bulan Kemudian ...
Hari pertama Ule memasuki kantor perusahaan
milik ayahnya, disambut dengan karyawan yang berjejar rapi sampai ia masuk ke
dalam ruangannya.
“Le, kamu harusnya bersikap manis sama
staff-staff kamu!” protes Papa Ule ketika mereka memasuki ruangan.
“Udah, Pa ....” Ule merebahkan tubuhnya di
sofa yang ada di ruang kerja ayahnya.
“Udah apa? Muka kamu itu masam, nggak ada
senyum-senyumnya sedikit pun. Mereka ini yang akan bantu kamu ngurus
perusahaan. Harusnya kamu bisa bersikap baik sama karyawan supaya karyawan itu
senang kerja sama kita ...,” cerocos Papa Ule panjang lebar.
Ule tidak mendengarkan sedikit pun kata-kata
yang keluar dari mulut papanya. Ia malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Sibuk
memperhatikan foto-foto Resi yang kini berdiam di galeri ponselnya. Ia juga
membuka instagram milik Resi yang menampilkan foto-foto Resi dalam berbagai kegiatan.
Tanpa sadar ia tersenyum senang sambil mengirimkan pesan singkat melalui
Whatsapp.
“Res, lagi apa?” tanya Ule dalam pesan
Whatsappnya. Karena tak cepat mendapatkan balasan, akhirnya Ule memandangi foto
profil Resi, sesekali ia zoom out dan zoom in sambil terus tersenyum.
“Le, kamu dengerin Papa, nggak?” sentak Papa
Ule dengan suara yang lebih keras.
“Dengerin, Pa,” kilah Ule tanpa menoleh ke
arah papanya.
“Kalo dengerin, Papa ngomong apa barusan?”
“Papa nyuruh aku supaya ramah sama karyawan.
Nggak sombong, nggak arogan dan selalu tersenyum setiap ketemu karyawan. Karena
mereka bagian dari kita dan kita harus memperlakukan mereka layaknya keluarga,”
jelas Ule yang sudah hafal setiap ucapan papanya soal perusahaan.
“Dan satu lagi, tetap bersikap tegas dan
bijaksana. Kita buat tempat kerja ini enak tapi tidak seenaknya. Kamu ngerti
kan gimana caranya kamu bersikap dengan rekan kerja dan temen main?”
“Iya, Pa.” Ule tak kunjung mengalihkan
pandangannya dari ponsel. Membuat Papa akhirnya menarik ponsel yang ada di
tangannya.
“Pa ... kok, diambil?” protes Ule sembari
menatap tajam ke arah papanya.
“Gara-gara ini kamu nggak konsen sama
kerjaan!”
“Pa ... jangan bawa-bawa privacy aku dong!”
Ule menarik ponselnya dari tangan Papa.
Papa memandang Ule tajam. “Kamu ... lagi jatuh
cinta?”
Ule menggelengkan kepalanya. “Ruangan aku yang
mana, Pa?” elak Ule agar terhindar dari pertanyaan-pertanyaan lain.
“Itu.” Papa menunjuk sebuah pintu kaca yang
ada di seberang meja kerjanya.
Ule terkejut melihat ruangan kerja yang
disiapkan berada di dalam ruang kerja Papa. “Ini serius?”
Papa menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
“Pa, apa setiap aku masuk ruangan harus
lewatin meja kerja Papa dulu? Gimana kalau mau ketemu klien aku, Pa?”
“Ini ruang kerja kita. Kamu bisa ketemu klien
di ruangan kamu atau di ruangan Papa. Papa rasa ruangan ini cukup luas untuk
menampung 10 klien sekaligus.” Papa memandang sekeliling ruangan sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pa ... kalau kayak gini, aku nggak punya
privacy!”
Papa mengangkat kedua alisnya. “Kamu sudah
punya rumah dengan kamar yang nyaman. Ini ruangan untuk kerja, bukan untuk
kepentingan pribadi.”
Ule mendengus kesal, mengepal tangannya dan
berlalu memasuki pintu kaca yang ditunjuk oleh ayahnya. Ia merasa tak begitu
buruk ketika sudah memasuki ruang kerjanya. Ruangannya cukup luas dan papanya
tidak sepenuhnya bisa memperhatikan setiap sudut ruangan dari balik pintu kaca
itu. Hanya meja kerjanya yang terlihat berhadapan dengan meja kerja papanya.
Dari sana Ule bisa memperhatikan papanya bekerja, begitu juga sebaliknya.
Ule berjalan perlahan mengamati seluruh ruang
kerjanya. Matanya kemudian tertuju pada benda kecil yang berada di pojok atas
ruangannya. “Shit! Ruangan ini dikasih CCTV!?” umpatnya.
Ia langsung menjatuhkan dirinya ke atas kursi
kerjanya. Membuka laptop yang sudah disiapkan di sana. Beberapa kali ia membuka
aplikasi dan menutupnya kembali. Ia bahkan belum tahu apa yang harus ia
kerjakan di hari pertamanya masuk kerja. Dengan pengawasan CCTV, ia tidak bisa
banyak tingkah.
Ting ...!
Ule meraih ponselnya, ia menemukan pesan
Whatsapp yang dikirim oleh Resi.
“Aku lagi di Bandara.” Pesan singkat yang
dikirim Ule baru saja mendapat balasan dari Resi.
Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol Video Call untuk melihat Resi.
“Hai ...!” Resi terlihat melambaikan tangan di
kamera.
“Kamu di Bandara mana?” tanya Ule penasaran
melihat background yang ada di belakang Resi.
“Coba tebak! Kira-kira aku ada di mana nih?”
Resi mengangkat ponselnya tinggi-tinggi sehingga Ule bisa melihat dengan jelas
kalau Resi berada di sebuah tempat yang sudah familiar baginya.
“Jakarta!?” Ule tak bisa menyembunyikan rasa
bahagianya.
Resi menganggukkan kepalanya.
“Ngapain ke Jakarta? Liburan?”
Resi menganggukkan kepalanya. “Sekalian daftar
kuliah.” Ia tersenyum di kamera.
“Mau daftar kuliah di mana?”
“Di—,” Tiba-tiba Resi menoleh ke arah lain.
“Eh, jemputan aku sudah datang. Udah dulu ya! Bye ....” Resi melambaikan tangan
dan menutup panggilan video yang sedang berlangsung. Sementara Ule masih
gelagapan karena sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan.
***
Ule terlihat uring-uringan di kamarnya. Sudah
beberapa kali ia bolak-balik seperti setrikaan. Ardan yang asyik di depan
laptop lama-lama memperhatikan sahabatnya yang sedang risau seperti ayam yang
ingin bertelur.
“Kenapa sih?” Ardan akhirnya bertanya. Ule
masih saja mondar-mandir sembari memutar-mutar ponselnya.
Ule duduk di sisi Ardan. “Menurut lo, Resi itu
gimana ya?”
Ardan menaikkan kedua alisnya. “Lo masih ingat
sama dia terus?”
“Gak tau, Dan. Gue nggak bisa lupain dia.
Malah gue pengen banget bisa ketemu dia lagi.”
“Loh? Gue kira lo jadian sama Selva.”
“Nggak. Dia aja yang kecentilan deketin gue
mulu.”
“Dia cantik, deket, kasih perhatian sama lo
setiap hari. Kenapa lo nggak suka sama dia?”
Ule mengedikkan bahunya. “Resi sekarang di
Jakarta.”
“Serius? Lo tahu dari mana?”
“Tiga bulan lalu, gue sempet video call sama
dia. Dia lagi di Bandara sini. Dia bilang mau kuliah di Jakarta. Tapi ... gue
belum sempet tau dia tinggal di mana dan kuliah di mana. Keburu dimatiin
telepon gue.”
Ardan tergelak. “Telpon aja lagi! Gitu aja kok
repot?”
“Udah. Tapi dia nggak ada angkat sama sekali.
WA pun nggak dibaca, apalagi di balas,” keluh Ule kesal.
“Mungkin aja dia sibuk.”
“Gue cek, kadang dia online. Tapi pas gue WA
nggak dibalas.”
“Serius?”
“Iya.”
“Gue telpon Morin dulu, ya!” Ardan meraih
ponselnya.
“Kenapa dia yang ditelpon?”
“Le, cinta udah beneran bikin lo bego ya!
Morin ini sahabatnya Resi, dia pasti tahu apa yang terjadi sama Resi.”
“Oh ... ya, ya.” Ule menatap kosong ke arah
Ardan.
“Nggak diangkat.” Ardan meletakkan kembali
ponselnya di atas sofa.
“Telpon lagi!” pinta Ule.
“Iya. Entar aja. Kalau dia udah nggak sibuk,
pasti telpon balik.”
“Kok, lo tau dia bakal telpon balik?”
“Biasanya begitu.”
“Lo sering komunikasi sama Morin.”
“Iya.”
“Lo suka sama dia?”
“Dia lumayan cantik dan gue cowok normal, cuma
LGBT yang nggak suka sama dia.”
“Bukan gitu maksud gue. Apa lo juga punya rasa
kangen sama dia?”
Ardan menggelengkan kepalanya. “Biasa aja.”
Ule terdiam, ia menyandarkan punggungnya di
sofa sembari menatap langit-langit kamarnya.
“Lomba foto gimana? Udah berapa peserta yang
daftar?” Ule melirik Ardan di sampingnya.
“Oh ... iya. Gue juga belum ngecek.” Ardan
kembali mengamati laptopnya. Ia mengecek aplikasi peserta pendaftaran melalui
situs online yang sudah mereka siapkan bersama panitia.
“Cek, dah!”
“Lo nggak mau ngecek juga? Siapa tahu ada
peserta yang nyangkut di hati,” ledek Ardan.
“Ogah! Lo aja.”
Ardan tersenyum sembari memandangi foto-foto
wanita cantik yang mengikuti ajang lomba foto yang diselenggarakan oleh Ule dan
komunitas fotografinya. Ia terdiam ketika melihat profil dan foto peserta
pendaftar terakhir. Wajah cantik natural itu familiar di matanya, mengenakan
mini dress warna pink muda dengan motif etnik daerah di bagian bawahnya.
“Le ...!” Ardan menarik-narik lengan Ule tanpa
mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Apaan sih!?” sahut Ule kesal karena sudah
beberapa kali mengirim pesan WA ke Resi dan belum dibaca juga. Ia merasa
semakin kesal dengan cewek yang satu ini. Tidak biasanya dia mengalami perasaan
aneh seperti ini. Hampir tiga bulan dia chat nggak pernah dibalas. Tapi, Ule
sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya untuk terus mengirim pesan/
“Lihat deh!” Ardan menyodorkan laptop ke wajah
Ule.
Ule terbelalak melihat foto yang terpampang di
layar laptopnya. “Dia ikutan lomba?” Ule memandang Ardan yang membalasnya
dengan senyuman.
“Alamatnya ada nggak?” Ule langsung menarik
laptop di tangan Ardan dan mengecek profil peserta yang tertera di situs online
tersebut. Ia langsung mencatat alamat di ponselnya kemudian memberikan
laptopnya kembali pada Ardan.
Ule berjalan menuju lemari dan meraih
jaketnya.
“Mau ke mana?”
“Gue mau ke rumah Resi.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Lo nggak lihat ini jam berapa? Dia pasti udah
tidur.” Ardan menunjuk jam dinding dengan dagunya.
Ule memandang jam dinding di kamarnya. “Aargh
...!” Ule menendang kursi yang ada di dekatnya. Kemudian berjalan menuju
ranjang dan merebahkan tubuhnya. Ia terus mengumpat kesal karena waktu tak
memberinya kesempatan bertemu dengan seseorang yang ia rindukan.
“Masih ada waktu besok. Lo bisa ke sana besok.
Gue tau Resi bukan tipe cewek yang bakal nerima tamu tengah malam gini.”
Ule mengusap wajahnya. Ia berharap pagi segera
tiba agar ia bisa secepatnya menemui Resi di rumahnya.
Keesokan harinya Ule kembali menelan rasa
kecewa karena Resi tak ada di rumahnya. Menurut penuturan tetangga, Resi sudah
berangkat kuliah. Namun, tidak tahu kuliah di mana. Hal ini membuat Ule semakin
kesal dan uring-uringan. Ia ingin menunggu sampai Resi pulang, namun telepon
dari papanya membuat ia harus pergi dan kembali ke kantor.