“Minum?” Roby
menyodorkan sebotol air mineral saat aku bersandar di pagar balkon gedung
lantai 3. Usai menggelar pagelaran, aku memilih untuk menyendiri.
“Selamat ya!
Pertunjukkannya sukses,” ucap Roby sembari menatap ke arah panggung yang mulai
lengang.
Aku langsung
menenggak setengah botol air mineral sebelum menanggapi ucapan Roby.
“Alhamdulillah
... aku lega semuanya berjalan dengan lancar. Aku deg-degan sepanjang acara.”
Aku menghela napas. Melirik Roby yang berdiri di sebelahku.
“Capek ya? Kerja
kerasmu nggak sia-sia kok, Rin.”
“Bukan aku, tapi
kita semua.”
“Ya, aku tahu.
Tapi kalau nggak ada kamu, entah apa jadinya acara kita hari ini.”
“Why? Aku nggak
terlalu penting kali By, cuma main di belakang layar aja. Mereka yang hebat-hebat!”
Aku tersenyum, ikut menatap panggung pertunjukkan yang baru saja usai.
“Penting, lah.
Kalau nggak ada orang yang galak dan cerewet kayak kamu. Mungkin saja
pertunjukkan kita kacau. Aku lihat sendiri kalau yang lain latihannya
angin-anginan. Tunggu diteriaki dulu baru mereka mau serius. Belum lagi setiap
masalah yang datang saat persiapan. Semuanya bisa kamu atasi karena sikapmu
yang galak itu.” Roby terkekeh.
“Emang aku
galak?” Aku menatap tajam ke arah Roby.
Roby
menggelengkan kepalanya. “Enggak, sih. Kamu mah baik. Peduli dan tegas. Mereka
aja yang suka bilang kamu galak dan aku juga terbawa, hehehe.”
“Perez!!”
celetukku.
“Hahaha. Acara
udah kelar, mukamu masih serius aja.”
Aku menatap ke
arah Roby, mungkin benar wajahku masih sangat tegang.
“Kamu tahu kan,
kalau sampai acara ini gagal, aku akan dicaci maki banyak orang.”
“Yes, I know.
Tapi, sudah jelas kan acaramu sukses. Semua baik-baik saja.”
“Belum. Sampai
benar-benar semuanya selesai. Besok masih harus beres-beres dan mengembalikan
peralatan yang kita pinjam.”
Roby berdecak.
“Sudahlah, yang besok, pikirkan besok saja!”
“Iya. Perasaanku
belum tenang aja kalo belum kelar semuanya.”
“Kak Rin,
dipanggil Pak Zoel.” Suara Shella mengagetkan kami.
Aku dan Roby
saling pandang. Roby mengangkat kedua pundaknya. Dia sudah mengerti apa maksud
dari ekspresi wajahku tanpa aku harus mengucapkan sesuatu.
Pak Zoel hanya
akan memanggilku saat ada masalah. Dua bulan lalu beliau marah besar karena
sebuah event besar berakhir dengan sangat memalukan. Terjadi miss antara pelaku
seni dengan panitia. Aku merasa pertunjukkan kali ini sudah cukup memuaskan.
Itu bagiku, tidak bagi Pak Zoel. Bisa saja dia merasa masih ada yang kurang.
Berat sekali
kulangkahkan kaki menemui Pak Zoel di lantai bawah.
“Semangat ya,
Rin. Kamu wanita hebat!” Roby menepuk pundakku, mengalirkan energi yang membuat
hatiku lebih tegar menghadapi apa pun. Dia satu-satunya sahabat yang paling
mengerti posisiku. Tidak pernah ikut menyalahkan saat pertunjukkan kacau.
“Di balik layar memang seperti itu. Hasilnya
bagus, yang di depan yang dipuji. Kalau jelek, kita yang dicaci maki.” ucap
Roby beberapa bulan lalu saat panggung pertunjukkan ambruk diterpa hujan deras
dan angin kencang.
Aku hampir gila
menghadapi cacian, semua menyalahkan aku karena dianggap aku lalai. Padahal,
aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar panggung tetap aman dari guncangan
cuaca ekstrem. Tapi masih saja panggung yang berbahan Rigging itu masih ambruk
sebagian. Bersyukurnya tidak ada korban luka akibat kejadian itu.
Aku menepis semua
pikiran negatif itu sesampainya di dalam ruangan, tempat Pak Zoel menungguku.
Beberapa panitia yang lain sedang menikmati makan malam usai memastikan semua
sound sudah masuk ke dalam ruangan agar mereka tidak perlu tidur di atas
panggung, entah makan apa jam segini? Ini sudah tengah malam, bukan malam lagi.
“Kamu ngapain di
atas!?” sentak Pak Zoel dengan suara yang membahana di seluruh ruangan.
Aku menarik
napas, menghadapi beliau membuatku bingung. Entah dia marah sungguhan atau
hanya acting. Kalau soal acting, memang dia senior dalam dunia perfilman.
Sedangkan aku, tidak bisa acting sama sekali.
“Kenapa diam!?”
Pak Zoel menggebrak meja karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Anu ... Pak,”
“Anu-Anu apa!?
Pacaran terus kau sama Roby, hah!?”
Mataku terbelalak
mendengar ucapan dari Pak Zoel. Sejak kapan ada isu aku dan Roby pacaran? Ini
kerjaan siapa pula?
Sementara Roby
masuk ke dalam ruangan dengan santainya sambil cengengesan. Meraih satu kotak
nasi kemudian bergabung dengan yang lain. Aku melirik sinis ke arahnya. “Awas kamu ya!” batinku. Aku yakin ini
pasti ada hubungannya dengan Roby.
“Kenapa diam!?
Kamu nggak menghargai saya lagi ngomong!”
“B ... bukan
gitu, Pak. Saya masih mikir ....” Aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa kalimat
ini yang keluar dari mulutku? Kalau udah gugup, nggak karuan menghadapi Pak
Zoel.
“Mikir-mikir!
Masih bisa kamu mikir!? Kamu nggak mikir kalau lagi ada masalah!?”
“Masalah apa?”
Pikiranku melayang-layang, mencari sudut-sudut bayangan selama pertunjukkan.
Aku merasa semuanya baik-baik saja. Entah apa yang dilihat oleh Pak Zoel
sehingga ia terlihat marah. Sementara timku semuanya baik-baik saja. Tidak ada
laporan kendala selama pertunjukkan berlangsung.
“Kamu koordinator
acara dan nggak tau masalahnya apa? Ndak becus!”
Aku menarik napas
berkali-kali. Mencoba menenangkan perasaanku. “Maaf, Pak. Kali ini saya
bener-bener nggak tau masalahnya apa.”
Pak Zoel langsung
berceramah panjang lebar kali luas kali tinggi. Aku hanya mendengarkan sambil
menggaruk keningku. Sudah menjadi hal biasa seperti ini. Hatiku mulai kebal
menghadapi kemarahannya.
“Kamu tahu
tanggung jawabku, kan?” tanya Pak Zoel kemudian.
Aku menganggukkan
kepala.
“Jadi, udah tahu
masalahnya apa?”
Aku menggelengkan
kepala. Asli, aku nggak bener-bener nyimak Pak Zoel ngomong apa dari tadi.
“Masih nggak
tau!?” Pak Zoel terlihat naik pitam.
Aku menunduk,
menggelengkan kepala. Kali ini aku hanya bisa menatap kakiku sendiri, tak lagi
menatap wajah Pak Zoel yang sepertinya semakin emosi.
“Kamu nggak makan
dari pagi sampai sekarang, apa kamu pikir itu bukan masalah!?” Pak Zoel
mendelik ke arahku.
Aku mengangkat
kepalaku, menatap wajahnya yang mendelik sambil tersenyum. Aku terkekeh geli.
“Astaga ...!”
Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Sementara teman-teman yang lain
tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjaiku.
“Makan dulu! Kita
masih ada agenda pertunjukkan selanjutnya. Saya nggak mau kamu jatuh sakit.
Pertunjukkan malam ini, sangat memuaskan dan selanjutnya saya ingin lebih baik
lagi.” Pak Zoel kini merendahkan nada bicaranya.
“Baik, Pak.” Aku
melangkahkan kakiku menghampiri teman-teman yang sedang berkumpul di pojok
ruangan sembari menikmati makanan.
“Pak Zoel kok
tahu aku belum makan dari tadi pagi?” tanyaku pada Shella.
Yang ditanya
hanya meringis, menunjukkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
“Kamu ya?”
selidikku.
“Ya, kita
khawatir kali kalau kamu nggak makan dari pagi. Udah gitu sibuk lari sana, lari
sini. Sebagai seksi konsumsi pasti aku memperhatikan sejak pagi kamu belum
makan apa-apa. Hanya minta air mineral saja.”
“Iya ... tapi
nggak usah ngadu ke Pak Zoel juga kali. Kamu nggak tahu, jantungku hampir copot
dibentak-bentak. Dah gitu, sialnya aku nggak tahu kalau dia cuma acting,”
celetukku.
Aku akhirnya
membuka nasi kotak yang sudah aku pegang. Tidak ada semangat untuk
menikmatinya, terlebih ini sudah tengah malam.
Aku sedikit lega
karena akhirnya pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik. Semua pasti lelah
dan ingin segera beristirahat. Karena esok sudah ada pekerjaan lain, membereskan
area panggung juga membersihkannya. Usai malam pertunjukkan berlangsung,
pengunjung selalu meninggalkan sampah-sampah berserakan. Panitia harus bekerja
ekstra untuk mengangkut sampah-sampah yang membanjiri lapangan acara. Andai
saja penonton bisa lebih bijak dalam mengelola sampah dari makanan yang mereka
makan. Misalnya, membuangnya di tempat sampah yang sudah disediakan atau
menyiapkan kantong sendiri sampai menemukan tempat sampah jika memang tempat
sampahnya sulit untuk dijangkau. Pastilah pekerjaan kami akan terasa lebih
ringan.
Sampah-sampah
yang ditinggalkan saat event menjadi bagian dari tanggung jawab kami yang
bekerja di belakang panggung. Memanglah sangat lelah karena harus menyiapkan
dan membereskan banyak hal. Tapi, aku sudah terlanjur masuk ke dalamnya dan
harus menikmatinya. Awalnya memang dipaksa dan terpaksa. Tapi lama-lama jadi
terbiasa dan aku menikmatinya dengan bahagia.
Tulisan ini telah saya posting untuk Kompasiana.