“Ay, kamu ngapain?” tanya Nanda
saat melihat Ayu sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper.
“Beresin pakaian aku,” jawab
Ayu sambil melipat pakaiannya perlahan dan memasukkan ke dalam dua koper besar
miliknya.
“Buat apa dimasukin ke koper?
Kamu mau ke mana?”
“Mau pulang ke rumah orang
tuaku, Nan. Ayah minta aku pulang sore ini. Dia mengajukan permohonan
pembatalan nikah. Kita nggak bisa tinggal sama-sama lagi, Nan,” jawab Ayu
sambil menutup koper dan menguncinya.
“Ay, kamu jangan kayak gini,
dong! Aku masih sakit. Lihat! Aku masih sarungan gini. Tega banget ninggalin
aku dalam keadaan kayak gini?”
Ayu menarik napas dalam-dalam
sambil memejamkan matanya. “Kamu juga tega kayak gitu saat istri kamu lagi
hamil, Nan,” ucapnya.
“Aku sama dia nggak ngapa-ngapain,
Ay. Aku udah jelasin ke kamu berkali-kali ‘kan? Kamu nggak usah baperan gini,
deh! Kita berdua ini nikah tanpa cinta. Kamu nggak bisa cinta sama aku, aku
juga sama. Aku suka sama semua cewek cantik di dunia ini dan aku nggak percaya
ada cinta di dunia ini! Semua rasanya sama, nggak ada yang beda!” sahut Nanda
kesal.
Air mata Ayu langsung menetes
perlahan mendengar ucapan Nanda. Ia semakin yakin untuk pergi dari sisi pria
ini. Sekuat apa pun ia berusaha menjaga hubungan ini, memang tidak pernah ada
cinta di dalamnya.
Ayu menarik dua koper besar
miliknya dan melangkah perlahan.
“Ay, kamu jangan kayak anak
kecil gini, deh! Aku nggak pernah memperlakukan kamu dengan buruk. Semua cewek
yang deket sama aku, selalu kuperlakukan dengan baik. Gitu juga dengan kamu.
Kamu satu-satunya perempuan yang berhasil jadi istriku. Harusnya kamu bangga
punya suami ganteng, kaya raya dan dipuja banyak cewek di luar sana,” cerocos
Nanda sambil menghadang tubuh Ayu. Ia tidak tahu lagi apa yang seharusnya ia
ucapkan untuk mencegah wanita itu pergi dari hadapannya.
Ayu menarik napas dalam-dalam
sambil memejamkan mata. Ingin rasanya ia meneriaki pria ini. Memakinya sesuka
hati, tapi ia masih takut membuat dosa pada suaminya ini.
“Ay, kenapa diam?” tanya Nanda.
“Aku capek berdebat kayak gini
terus sama kamu, Nan. Hubungan kita itu nggak sehat. Udah enam bulan kita nikah
dan tetap aja kayak gini. It’s a relationSHIT!” sahut Ayu.
“Terus, kamu maunya apa? Aku
udah perlakukan kamu dengan baik, kamu malah bertingkah di luar sana. Tetep aja
cuek sama aku,” tutur Nanda.
“Yang cuek itu aku atau kamu
sih, Nan!?” seru Ayu. Ia langsung menepis tubuh Nanda dan melangkah keluar dari
kamar.
“Ayu ...!” panggil Nanda sambil
mengejar langkah Ayu dan mencegah wanita itu keluar dari rumahnya. “Ay, ingat
anak kita!”
“Aku ingat, Nan. Ingat banget!
Harusnya kalimat itu aku tujukan ke kamu yang tega janjian sama perempuan lain
di hotel!” sahut Ayu sambil menepiskan tangan Nanda dari tubuhnya. Ia
benar-benar kesal dan ingin membuat pria ini mengetahui kalau hidupnya tidak
akan bergantung pada lelaki seperti dia.
“Sudah siap?” tanya Edi Baskoro
yang sudah berdiri di depan pintu rumah Nanda.
“Udah, Yah,” jawab Ayu.
Edi langsung memerintahkan supir
pribadinya untuk memasukan dua koper milik Ayu ke dalam mobilnya.
“Ayu ...! Ay ...!” Nanda
langsung menghentikan langkahnya saat melihat sang papa mertua sudah berdiri di
teras rumahnya.
“Masuk ke mobil!” perintah Edi
sambil menatap wajah Ayu.
Ayu melangkah perlahan sambil
menatap wajah Nanda yang masih terus menatap kepergiannya. Sungguh, ia tidak
tega meninggalkan Nanda dalam keadaan sakit seperti ini. Ia tidak tahu
bagaimana Nanda mengurus dirinya sendiri jika ia pergi.
“Pa, jangan bawa Ayu pergi!”
pinta Nanda sambil menatap wajah Edi.
Edi tersenyum sinis. “Temui istri
dan anakmu di pengadilan saja!” ucapnya dingin dan bergegas masuk ke dalam
mobil.
“Ay ...! Ayu ...!” panggil
Nanda sambil berusaha menghampiri mobil Edi dengan susah payah karena ia masih
belum bisa berjalan normal seperti biasa. Alat vitalnya masih terasa sakit dan
nyeri. Membuatnya tidak tidak bebas bergerak.
Ayu terus menatap tubuh Nanda
saat mobilnya bergerak pergi. Ia meneteskan air mata ketika ia harus
meninggalkan pria itu dalam keadaan masih sakit dan membutuhkan bantuannya.
“Nggak usah nangis! Laki-laki
itu perlu diberi pelajaran. Ini saatnya dia menunjukkan keseriusannya pada
keluarga kita. Ayah tidak mau kalau puteri Ayah diperlakukan semena-mena. Lihat
saja! Wanita mana yang akan dia minta untuk mengurusnya di saat sakit seperti
ini. Kalau masih ada wanita-wanita lain lagi, lebih baik kalian bercerai saja!
Sonny jauh lebih baik dari Nanda!” tegas Edi.
“Ayah, aku kasihan sama dia.
Dia tetap ayah untuk anakku,” ucap Ayu lirih.
“Zaman sekarang, sudah biasa
anak terlahir tanpa ayahnya. Sonny masih mencintai kamu dan mau menerima anak
ini. Kamu menikah saja dengan Sonny! Daripada hidup sama laki-laki bajingan
itu!”
Ayu menyandarkan kepalanya ke
kaca mobil. Keramaian kota Surabaya, tidak membuat hatinya ikut ramai. Ia masih
tidak tahu bagaimana cara menghadapi hubungan yang kacau ini. Apakah dia masih
bisa mencintai Sonny dengan semua kekurangan yang ia miliki? Ia merasa, sudah
tidak layak untuk pria itu. Sonny berhak mendapatkan wanita yang lebih baik.
Jika hari ini Tuhan memberinya jodoh yang tidak baik, mungkin karena ia juga
belum bisa menjadi wanita yang baik pula.
Begitu mobil BMW yang membawa
Roro Ayu pergi dari halaman rumah Nanda, sebuah mobil Maserati berjalan
perlahan memasuki rumah pria itu.
Nanda mengernyitkan dahi sambil
menerka-nerka siapa orang yang akan keluar dari mobil tersebut. Begitu melihat
wanita paruh baya keluar dari mobil itu, ia langsung bergegas merapikan sarung
dan kaos yang ia kenakan. Kemudian melangkah menghampiri wanita itu. “Tante
Yuna? Tumben ke sini? Ada apa?”
“Tante mau ngobrol sebentar
sama kamu. Bisa?” tanya Yuna sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan.
“Bisa, Tante. Silakan masuk!”
jawab Nanda sambil mempersilakan Yuna untuk masuk ke rumahnya.
“Roro Ayu di rumah?” tanya
Yuna.
“Eh!? Dia lagi main ke rumah
orang tuanya,” jawab Nanda.
“Kalau gitu, Tante Yuna di
teras aja. Gimana kondisi kamu? Udah sehat?” tanya Yuna sambil menatap bagian
bawah perut Nanda.
“Lumayan, Tante,” jawab Nanda
sambil meringis. Ia menahan malu melihat keadaannya yang terlihat payah seperti
ini.
“Rusak parah? Masih bisa
berdiri, nggak?” tanya Yuna sambil menahan ngilu melihat Nanda yang masih
mengenakan sarung. Ia tidak bisa membayangkan jika hal ini terjadi pada suami
atau dua puteranya.
Nanda kebingungan dan pandangannya
mengedar tak terarah. Ia hanya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. Tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya
itu. Pertanyaan Nyonya Ye terlalu vulgar dan berhasil membuat ia sangat
canggung.
Yuna menghela napas. Ia
mengulurkan tangan ke arah asisten pribadinya.
Asisten pribadi itu langsung memberikan
satu bundel dokumen ke tangan Yuna.
“Tante, saya cuma ngurus
perusahaan satu doang. Nggak mungkin Tante Yuna mau bisnis dengan perusahaan
kecil kayak saya ‘kan?” tanya Nanda.
“Lihat dulu!” perintah Yuna
sambil menyodorkan dokumen ke hadapan Nanda. “Papa dan Mama kamu yang minta
Tante untuk menyelesaikan masalah kalian. Kamu ini nggak sayang sama keluarga
kamu sendiri? Apa susahnya jadi suami setia!?”
Nanda menghela napas. “Aku udah
bertanggung jawab, Tante. Aku nggak bisa jatuh cinta ke dia. Dipaksain pun, aku
nggak bisa. Aku ...”
“Kenapa kamu bisa hamilin dia?
Kenapa nggak pacar kamu itu yang kamu hamilin?” tanya Yuna.
“Pake pengaman,” jawab Nanda.
“Terus, ke Ayu nggak pake
pengaman? Makanya sampe kebobolan?” tanya Yuna.
Nanda terdiam mendengar
pertanyaan Yuna.
“Nan, kamu itu cinta sama Ayu.
Kamu cuma nggak menyadarinya aja. Orang mabuk itu orang yang paling jujur. Do
you remember ... apa yang kamu ucapkan ke Ayu malam itu?” tanya Yuna.
Nanda terdiam sejenak sambil
berusaha mengingat-ingat apa yang ia katakan pada Ayu di malam di mana ia
memaksa wanita itu melayaninya.
Yuna langsung memutar rekaman
suara yang ia dapatkan dari tim pengacara keluarganya.
“Hhh ... I love you, Ay ...!
Yo’re mine ...!” bisikan Nanda terdengar sangat pelan di detik-detik terakhir
rekaman tersebut.
Nanda melebarkan kelopak
matanya. Ia tidak menyangka jika malam itu Ayu merekam semua hal yang ia
lakukan.
“Rekaman ini senjata paling ampuh
untuk keluarga keraton itu menuntut kamu. Itulah sebabnya orang tuamu sampai
menandatangi perjanjian yang mempertaruhkan semua harta keluarga kalian,” ucap
Yuna.
“Perjanjian itu beneran ada?
Aku pikir hanya ancaman papa untuk menakut-nakutiku saja,” tanya Nanda.
Yuna langsung membuka dokumen
yang sudah ada di atas meja. “Ini copy berkas tuntutan keluarga keraton dan
surat perjanjian mediasi antara keluarga kalian. Roro Ayu punya bukti kuat
untuk menuntut kamu, Nan. Dia bahkan sudah melakukan visum tanpa sepengetahuan
orang lain. She’s smart. But, dia masih memberimu kesempatan untuk berubah.”
Nanda terdiam sambil menatap
dokumen yang ada di hadapannya.
“Kalau kamu tidak cinta,
bisakah kamu berusaha keras mencintainya? Ini demi kebaikan semuanya. Untuk apa
kamu mempertahankan wanita yang jelas-jelas tidak baik untukmu?” tanya Yuna
sambil membuka lembar lain dalam dokumen
itu.
“Ini foto-foto yang didapatkan
orangku yang telah menyelidiki kekasihmu yang bernama Arlita Holsler itu. Dia
bukan hanya model, tapi dia ada dalam daftar pekerja prostitusi kelas dua. Ini
foto-foto dia yang sering keluar-masuk ke Galaxy Gotel dengan pria-pria
berbeda. Apa yang kamu banggakan dari
dia selain tubuh seksi dan cantiknya yang akan hilang saat anakmu sudah tumbuh
dewasa sepertimu. Dia bisa menjamin masa depan yang baik untuk keluarga
kecilmu, Nan?” tanya Yuna.
Nanda tertegun menatap
potret-potret Arlita bersama wanita lain di dalam sebuah hotel dan memang
bergonta-ganti pria. “Aku nggak nyangka kalau dia seperti ini. Aku pikir dia
setia. Aku sudah memenuhi semua kebutuhan dia, Tante.”
“Dia setia sama uang kamu
doang. Waktu kamu sakit, dia bantu kamu apa?” tanya Yuna sambil membuka lembar
lain dalam dokumen tersebut.
“Ini mutasi rekening milik
Nyonya Rindu. Selama ini, Roro Ayu masih menggunakan ATM milik ibunya. Dia
mengeluarkan uang delapan ratus juta untuk biaya pengobatan kamu, Nan. Dia sama
kamu itu, siapa yang lebih kaya?” tanya Yuna lagi.
Nanda terdiam mendengar
pertanyaan Yuna. Perasaannya mulai berkecamuk saat nyonya itu membeberkan
banyak kenyataan yang tidak ia ketahui.
“Kamu bilang, kamu tidak pernah
mencintai Ayu. But, aku dapet foto-foto ini semasa SMA kalian,” ucap Nyonya Ye
sambil menunjukkan sebuah foto saat Nanda berkelahi dengan banyak preman untuk
melindungi Ayu.
“Ayu juga mengorbankan nyawanya
untuk kamu dua kali. Sekarang, dia sedang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk
melahirkan anakmu, Nan. Where your heart? Hatimu tidak tersentuh sedikitpun
dengan apa yang dia korbankan untukmu? She is love you. But, dia gengsi karena
wanita berprestasi seperti dia ... merasa kalau pria impiannya harus lebih baik
dan berprestasi seperti dia. Show you ...! Tunjukan kalau cinta itu ... bisa
jatuh pada hati siapa saja, bahkan pada pembunuh sekalipun,” ucap Yuna panjang lebar.
Nanda terdiam. Ada banyak hal
yang tidak pernah ia pedulikan tentang Ayu. Baginya, Ayu adalah wanita baik dan
berprestasi. Ia sadar, ia tidak mungkin mendapatkan cinta wanita itu. Ia pernah
menyukai Ayu saat SMA. Tapi perasaan itu ia kubur dalam-dalam saat mengetahui
kalau Ayu lebih mencintai Sonny dan lebih layak berada di sisi pria itu.
“Waktu kamu hanya dua minggu.
Buat dia jatuh cinta sama kamu dengan menunjukkan kesungguhan hatimu, Nan! Masa
depan semua keluargamu, kini tergantung bagaimana kamu menyikapi hubunganmu
dengan bijak,” ucap Yuna sambil tersenyum.
Nanda terdiam sejenak. Ia tidak
tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Ayu jatuh cinta kepadanya. Ia juga
tidak tahu bagaimana caranya mengejar wanita. Biasanya, semua wanita akan
datang dengan sendirinya dan ia hanya cukup membuka sedikit mulut untuk
mendapatkannya, tanpa harus berusaha keras.
“Shit! Seumur hidup, cuma cewek
satu ini yang bikin hidupku kacau balau!” umpat Nanda dalam hati.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah jadi sahabat
setia bercerita!
Jangan lupa beli paket supaya
bisa baca lebih murah, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi