Edward Eyer |
Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com
***
Hari ini, jam 3 siang aku pulang kerja seperti biasa. Dari rumah ke kantor jaraknya memang cukup dekat, hanya 3 kilometer. Aku mengendarai sepeda motorku seperti biasa.
Sesampainya di rumah, ada dua keponakanku yang kebetulan sedang bermain di rumah.
"Rin, ada Yanti sama Ahmad." Nenekku tiba-tiba muncul saat aku mau memasuki kamar.
"Iya ... sebentar." Aku sudah mengetahui mereka sedang bermain di teras rumah. Mereka hanya tertawa saja ketika aku menyapa. Sepertinya mereka sungkan denganku karena kami memang jarang bertemu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja atau di luar rumah.
Usai berganti pakaian, aku menghampiri dua keponakanku dan bermain bersama mereka. Tidak seperti biasanya mereka main ke rumah seperti ini. Bisa dihitung dalam setahun mereka main ke rumahku.
"Rin, kalau masih punya uang, kasih Yanti sama Ahmad ya!" pinta Nenek saat aku mengambil air minum di dapur.
Aku terdiam beberapa saat. Aku tahu banget berapa isi uang di dompetku. Hanya satu lembar uang hijau bertuliskan dua puluh ribu rupiah. Uang itu adalah uang terakhir dari gajiku bulan lalu. Rencananya mau aku pakai untuk membeli bensin besok sebelum berangkat ke tempat kerja. Aku benar-benar bingung, kalau uang itu aku berikan pada dua keponakanku, besok aku tidak bisa berangkat kerja karena tidak punya bensin. Kalau uang itu aku pakai buat beli bensin, kasihan dua keponakan yang jarang sekali main ke rumahku ini. Aku menghela napas perlahan sembari meminum segelas air agar bisa berpikir lebih jernih dan sehat.
"Mereka jarang main ke sini. Nggak kayak Sila sama Sinta, mereka sering main dan sering kamu kasih uang." Lagi-lagi Nenek membisikan kalimat itu di telingaku.
Aku menghela napas dan mengatakan, "Iya."
Bismillah ...
Insya Allah rezeki ada aja, kok.
Akhirnya aku masuk ke dalam kamar dan mengambil selembar uang dua puluh ribu rupiah yang menjadi penghuni terakhir dompetku. "Ya Allah ... aku ikhlas. Semoga saja mereka senang menerimanya," batinku dalam hati.
Aku bergegas menghampiri Yanti dan Ahmad yang sedang asyik bermain boneka di ruang tengah.
"Yan, ini buat kalian. Dibagi berdua ya!" Aku menyodorkan selembar uang kertas berwarna hijau ke arah Yanti."
"Nggak usah, Bi." Yanti berusaha menolaknya. Dia memang salah satu keponakanku yang terlihat sangat dewasa dan memiliki jiwa keprihatinan lebih. Sulit sekali jika di suruh makan di rumah. Mungkin saja kedua orang tuanya melarang kalau dia sering makan di rumah bibinya. Sehingga, jarang sekali ia mau makan di rumahku. Berbeda sekali dengan Sila dan Sinta. Mereka sudah terbiasa ke rumahku. Tidur dan makan di rumah, tak ada rasa sungkan atau malu sehingga aku juga sering memberi mereka uang jajan. Dua anak dari dua kakakku ini memang sangat terlihat perbedaannya. Yanti dan Ahmad adalah anak dari kakak pertamaku, sedangkan Sila dan Sinta adalah anak dari kakak keduaku. Aku sendiri anak yang nomor empat dan belum berumah tangga.
"Nggak papa, ini buat kalian. Kalian jarang main ke rumah Bibi. Bibi cuma bisa kasih uang jaajan sekali-sekali aja." Aku masih mengulurkan uang tersebut sampai akhirnya Yanti meraihnya sembari mengucapkan terima kasih.
Setengah jam kemudian, mereka pulang ke rumahnya karena hari sudah sore dan kebetulan Yanti harus pergi sekolah sore. Usai mereka pulang, aku merebahkan diri ke atas kasur. Memilih untuk tidur karena tubuhku lumayan lelah.
Belum sampai memejamkan mata, ponsel yang masih aku letakkan di dalam tas berdering. Aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Halo ... Assalamu'alaikum ...!" Sapaku ketika mengangkat panggilan telepon.
"Wa'alaukumussalam ... kamu di mana, Rin?" Bu Said langsung melempar pertanyaan tanpa basa-basi.
"Di rumah, Bu. Kenapa?" tanyaku.
"Abis Maghrib bisa ke sini, kah? Ada proposal yang harus diketik," jelas Bu Said.
"Abis Maghrib ya, Bu? Insya Allah bisa, Bu."
"Ya udah. Ibu tunggu ya!"
"Iya."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Panggilan kami pun berakhir.
Alhamdulillah ... ada kerjaan tambahan. Setidaknya bisa dapat uang bensin untuk berangkat kerja besok pagi. Usai pulang kerja, aku terkadang menjadi pekerja freelance dengan menjual jasa ketik. Kebetulan Bu Said punya usaha konter pulsa dan ATK yang kebetulan juga menerima jasa pengetikkan. Jadi, setiap kali ada orang yang membutuhkan jasa ketikan, Bu Said akan memanggilku untuk membantunya. Upahnya sendiri bervariatif tergantung pada pekerjaan yang diberikan untukku.
Usai sholat Magrib, aku berangkat menuju rumah Bu Said. Di sana Bu Said dan suaminya sudah menunggu kedatanganku.
"Tolong ketikkan proposal ini ya!" Pak Said menyodorkan lembaran kertas yang masih berupa tulisan tangan.
"Oke." Aku langsung bersiap di depan layar komputer dan mulai mengetik setiap huruf yang tertera di kertas itu.
Pak Said sibuk melayani pelanggan yang berkunjung, memfotokopi atau menjual barang yang ada di tempat tersebut. Sementara Bu Said sibuk di dapur membuat kudapan. Sesekali kami bercanda dan tertawa. Pak Said adalah salah satu mantan atasan di tempatku bekerja. Aku sudah lumayan akrab dengannya. Banyak hal yang seringkali kami bahas bersama.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WITA. Pekerjaan pun sudah selesai aku kerjakan. Tinggal print out dan aku bisa pulang ke rumah.
Aku berdiri sembari meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk cukup lama.
"Pak, saya pulang ya!" pamitku pada Pak Said.
"Sudah kelar?" tanyanya sambil memainkan ponselnya.
"Sudah, Pak. Saya pulang ya, sudah malam juga ini." Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu jam dua belas malam.
"Berani, kah?" tanya Pak Said yang masih duduk di meja kerjanya.
"Insya Allah berani, Pak." Aku berusaha meyakinkan diriku kalau aku berani pulang seorang diri. Maklum saja, waktu sudah malam dan aku harus melewati jalanan sepi sepanjang 800 meter tanpa rumah satu pun.
"Ya sudah, hati-hati ya! Ini buat kamu." Pak Said menyodorkan empat lembar uang lima puluh ribuan.
"Banyak banget, Pak?" Aku tertegun menatap uang tersebut dan belum berani menerimanya. Bisa jadi dia hanya bercanda memberikan uang sebanyak itu.
"Iya, Alhamdulillah yang minta buatkan proposalnya ngasih honor lumayan." Pak Said tersenyum sambil menganggukkan kepala agar aku menerima uang darinya.
"Alhamdulillah ...." Aku meraih uang tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. "Terima kasih ya, Pak. Semoga makin banyak rejekinya! Jangan lupa panggil aku lagi kalau butuh jasa ngetik, hihihi." Aku tertawa geli saat mempromosikan diriku sendiri.
"Iya. Makasih ya sudah dibantuin," ucap Bu Said saat aku sudah berada di atas motor untuk pulang.
"Iya, sama-sama, Bu."Aku bergegas menstarter motorku, mengingat waktu sudah larut malam dan aku harus pulang ke rumah secepatnya.
Aku bersyukur, Allah tidak pernah salah memberikan rizkinya. Terkadang kita masih tidak percaya dengan kuasa Allah sebab tangan-Nya tak mampu kita lihat. Namun, banyak hal di sekitar kita yang semuanya telah diatur oleh Allah. Apa yang kita perbuat, itulah yang akan kita hasilkan. Padahal, aku hanya memberikan uang jajan dua puluh ribu rupiah pada keponakanku. Allah menggantinya dengan uang dua ratus ribu rupiah di saat yang tidak terduga. Benar, Allah akan mengganti sedekah kita menjadi sepuluh kali lipat sesuai dengan firman-Nya. Dan Allah menguji bagaimana keikhlasan hati kita ketika berada dalam titik sulit, kemudian Allah balas sesuai dengan apa yang kita perbuat ketika kita berada dalam kesulitan. Sebab Allah menciptakan kesulitan bukan untuk menjadikan kita ingkar, tapi untuk menjadikan kita manusia yang senantiasa bersyukur dan beribadah kepada Allah.
Dengan bersedekah, tidak akan mengurangi rezeki kita sedikitpun. Sedekah justru membuka pintu-pintu rezeki kita. Kalau dalam ilmu Matematika, satu dikurangi satu sama dengan nol. Di dalam ilmu Sedekah, satu dikurangi satu sama dengan dua. Banyak-banyaklah kita bersedekah semata-mata karena Allah.
Rin Muna
Samboja, 03 Februari 2019