Bagiku ... ini hari paling buruk selama hidupku. Entah kenapa aku harus putus dengan Ian, cowok terbaik yang aku kenal dalam hidupku. Yah, dia memang yang paling baik. Setidaknya sampai hari kemarin, tidak dengan hari ini.
Aku masih tidak mengerti kenapa hubungan kita harus berakhir. Tidak ada orang ketiga di antara hubungan kami, kami masih saling menyayangi walau kata pisah itu harus terucap. Kami sama-sama terbawa emosi hanya karena berbeda pendapat tentang masa depan. Banyak hal yang terjadi, banyak hal yang telah kita lewati. Bagaimana bisa aku masih berpikir kalau dia hanya bercanda, hanya main-main dengan hubungan ini sebab kita sama-sama sudah dewasa dan ia masih belum bisa memberi kepastian bagaimana akhir hubungan cinta kita yang sudah terjalin lebih dari 2 tahun.
Ketika akhirnya memutuskan untuk berpisah, kami hanya berpikir bahwa kami tidak berjodoh. Walau tak dapat dipungkiri jika hati ini masih rindu, masih sangat menyayanginya walau tak lagi bisa bersama. Sebab membencinya adalah hal tersulit dalam hidupku.
Dia bukan pacar pertamaku, tapi dialah cowok pertama yang mengajarkanku apa itu cinta, apa arti kasih sayang dan bagaimana cara menikmati kebersamaan dengan hal-hal yang akan aku ingat sepanjang hidupku.
“Aku terlalu sederhana untuk membuatmu istimewa. Tapi, aku ingin menjadi orang yang paling kamu ingat sepanjang hidupmu walau akhirnya kita tidak berjodoh. Sebab jodoh adalah rahasia Tuhan. Aku tidak pernah menyesal menjaga dan membahagiakanmu di waktu-waktu kita masih bisa bersama. Aku berharap, Tuhan menjodohkan kita.” Kalimat yang pernah diucapkan Ian terus terngiang di telingaku. Sesakit inikah rasanya merindukan seseorang yang tak lagi bisa kusapa, tak lagi bisa kulihat senyumnya, tak lagi bisa kudengar suaranya.
Entah kenapa ... kisah cintaku selalu berakhir dengan kata putus. Aku merasa permainan cinta begitu pelik membelenggu hidupku.
Pacar pertamaku, bukan laki-laki yang aku harapkan sebab aku terpaksa menerima dia menjadi pacarku. Dia selalu menghadangku setiap kali pulang sholat Isya’ dari Masjid yang tak begitu jauh dari rumah. Aku menerimanya karena rasa takut, bukan karena cinta. Dan aku harus mengucap kata putus 3 hari setelahnya melalui pesan singkat. Sejak itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Aku masih SMP kala itu, aku tidak tahu apa itu kata pacar. Sebab aku lebih sibuk mengerjakan tugas sekolah dan tugas rumah ketimbang memikirkan hal yang tak kupahami sama sekali.
Pacarku yang kedua, cowok yang terlihat baik, romantis, rayuannya begitu manis. Bagaimana aku tidak tersipu setiapp kali ia mengucapkan kalimat indah? Aku langsung tenggelam dalam pesonanya. Sesekali ia menjemputku sepulang dari SMA. Mengajakku makan siang sembari bercerita tentang usaha meubel miliknya. Namun, tak bertahan lama sebab sifat penyayangnya tidak hanya ia gunakan untuk menyayangiku, ia juga menyayangi wanita-wanita lain dan dengan kerendahan hati aku memintanya untuk melepasku pergi. Aku tidak bisa jika harus merindukan cowok yang rindunya ia bagi-bagi.
Pacar yang ketiga, cowok keren yang digandrungi banyak wanita. Daripada aku selalu cemburu setiap melihatnya didekati cewek-cewek cantik, aku memilih untuk putus saja. Dia juga tidak keberatan karena dengan mudahnya bisa berpindah dari hati ke hati.
Pacar yang keempat ... kelima ... keenam dan seterusnya juga tak ada yang berkesan di hatiku. Bagiku, semuanya sama saja. Sama-sama tidak bisa menghargai aku sebagai seorang wanita. Bagi mereka, pacar adalah bagian dari gaya hidup. Bukan untuk menyayangi seorang wanita dengan ketulusan dan kesetiaan.
Sampai akhirnya aku bertemu dengan Ian. Cowok yang aku pikir aneh. Bagaimana tidak aneh ... di usianya yang ke-25 tahun ia tidak pernah punya pacar sama sekali. Padahal, Ian adalah anak band yang keren. Kulitnya putih, matanya sipit, tubuhnya tinggi, cerdas dan ramah. Siapa yang tidak menyukainya. Semua cewek-cewek di kotaku mengidolakannya terutama saat ia manggung bersama band-nya.
Aku sendiri tidak pernah tahu kenapa Ian justru tertarik untuk dekat denganku. Padahal, sudah jelas kalau aku bukan cewek yang layak ada di sisinya. Aku cewek yang berganti-ganti pacar. Kalau kata orang, berganti-ganti pacar adalah cewek yang nggak bener. Terlebih lagi sahabat dekatku semuanya laki-laki. Aku tidak bisa berteman baik dengan cewek karena beberapa hal. Yang pertama, cewek itu baperan. Nggak semua bisa diajak bercanda dengan bebas. Yang kedua, cewek yang deket sama aku seringkali berprasangka kalau aku bakal ngerebut pacarnya. Bisa-bisa berantem cuma gara-gara cowok dan itu hal yang paling memalukan dalam hidupku.
Ian bilang ... aku berbeda dengan cewek-cewek yang lainnya. Aku tidak begitu cantik, tapi bisa membuatnya tertarik. Padahal, ada banyak cewek cantik yang mengelilinginya. Tak satu pun yang bisa menarik perhatiannya.
"Entah kenapa, setiap lihat kamu ... aku selalu bahagia," ucap Ian saat kami bersama di sebuah galeri seni miliknya.
Dan sejak saat itu, aku menjadi satu-satunya cewek yang ada di dalam hatinya. Cewek biasa yang bisa menyingkirkan banyak cewek istimewa yang berusaha merebut perhatian Ian. Mungkin benar apa yang dibilang sama Ian. Ia bosan dengan cewek cantik. Ia lebih suka dengan wanita baik yang selalu ceria dan bisa menghidupkan suasana.
Selama 2 tahun jalan bareng. Dia adalah cowok terbaik yang aku kenal. Dan dia cuma satu-satunya cowok yang bisa pacaran sama aku sampai 2 tahun. Karena pacar yang sebelumnya cuma bisa jalan paling lama 3 bulan. Aku seringkali putus karena cowok-cowok itu cuma sayang di awal dan menjadikan aku pacar hanya karena bagian dari gaya hidup. Jauh berbeda dengan Ian yang tak hanya menganggapku pacar, ia juga menganggapku sebagai teman, sebagai partner, sebagai pendengar yang baik dan pencerita yang handal.
Aku dan dia saling melengkapi. Seperti wajan dengan spatula. Seperti galon dengan airnya.
Hal inilah yang membuatku begitu terluka saat harus berpisah dengannya. Alasannya sebenarnya sangat sederhana. Aku memintanya untuk menikahiku karena usia kami bukan lagi usia remaja. Saling mengenal selama 2 tahun, aku rasa sudah cukup untuk maju ke hubungan yang lebih serius lagi. Tapi, dia menolak dengan alasan belum siap. Dan penolakan itu terjadi saat aku mengajukan pertanyaan yang sama tiga bulan kemudian. Yang ada dibenakku saat itu hanyalah ... Ian tidak serius menyayangiku.
Aku mengakhiri hubunganku dengan cara dewasa. Walau kami masih saling menyayangi ... kami tidak berjodoh. Dan hubungan pertemanan kami masih berjalan baik-baik saja. Bahkan tidak ada teman atau keluarga yang tahu kalau aku dan Ian sudah putus. Sejak putus, aku memilih untuk tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sebab mengingatnya saja sudah menyakitkan, apalagi bila harus menatapnya, duniaku serasa hancur.
"Udah siap?" sentuhan di kedua bahu menyadarkan lamunanku. Aku menatap wajahku di cermin. Memaksakan bibirku untuk tersenyum agar semua orang melihat kalau aku sedang bahagia. Tak perlu mereka tahu apa yang ada di dalamnya. Aku bangkit, menengadahkan tangan yang telah berhias henna. Berdoa agar aku bisa menyayangi laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupku.
Aku keluar dari kamar, menuju ruangan di mana aku akan mengikat janji di hadapan seorang penghulu. Mengikat janji dengan laki-laki yang tidak aku cintai karena permintaan ayah yang sedang sakit. Beliau takut jika sisa hidupnya tidak lama lagi dan dia belum menikahkan anak perempuan satu-satunya.
Ini bukan akhir dari sebuah cerita cinta, bukan pula awalnya sebab tidak melakukannya dengan cinta. Ini adalah awal di mana aku menyerahkan hidupku pada laki-laki yang aku tidak tahu hati dan jiwanya bisa menyayangiku dengan tulus atau tidak. Aku telah menyerahkan hidupku pada laki-laki yang tidak aku cintai, tapi aku akan berusaha mencintai semampuku. Sebab aku tidak akan pernah tahu pada akhirnya aku akan mencintainya atau justru membencinya.
Aku bisa memilih diriku menikah siapa, tapi hatiku tak bisa memilih cinta ini untuk siapa. Andai bisa aku buat proposal kepada Tuhan agar Ian yang menjadi jodohku, maka sudah kubuat jutaan proposal agar aku bisa hidup bersama orang yang aku cintai ...
Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 13 Juni 2019