Tiba-tiba saja aku merasa hari ini waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Ada hal yang ingin aku lewatkan dengan cepat. Aku ingin hari ini cepat berakhir, supaya aku bisa lihat hari esokku seperti apa. Masih sama kah dengan hari ini?
Waktu terasa berjalan lambat, mungkin karena aku sedang menunggu sesuatu. Bukan sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Aku sedang menunggu seseorang hadir dalam hari-hariku. Orang yang pernah istimewa mengisi hari-hariku. Katanya, besok dia akan tiba di Bandara. Aku sudah tidak sabar menunggu esok akan datang. Dan karena rasa tidak sabarku lah yang membuat waktu seolah-olah berjalan lambat. Bahkan aku memaki jarum jam yang tak segera beranjak dari tempatnya.
"Lun, kamu nunggu siapa?" Mama membuyarkan lamunanku saat aku melamun di antara bingkai jendela rumahku.
"Nunggu Ariel, Ma."
"Dia mau datang?"
Aku menganggukkan kepala.
"Hari ini?"
Aku menggeleng.
"Terus kapan?"
"Besok."
"Oh. Kalau begitu, bantu Mama bikin kue, yuk!" ajak Mama.
Aku membalikkan tubuhku dan melihat Mama tersenyum ke arahku. Ia tak bergerak sedikit pun sampai aku benar-benar melangkahkan kakiku ke arahnya.
Mama senang sekali membuat kue. Hampir setiap hari ia membuat kue untuk adik-adikku. Terlebih lagi dia tahu kalau Ariel akan datang setelah 5 tahun ia menetap di Birmingham untuk melanjutkan studinya.
Kali ini aku lebih bersemangat membantu Mama membuat kue. Setidaknya, ada yang aku suguhkan ketika Ariel berkunjung ke rumah.
"Kamu tidak jemput dia di Bandara?" tanya Mama.
Aku menggelengkan kepala. "Sudah ada keluarganya yang menjemput."
Mama mengangguk-anggukkan kepala dan kami melanjutkan membuat kue kering hingga matang.
***
Keesokan harinya ...
Aku masih duduk di teras rumah sambil memandangi rintik hujan yang menghiasi pagi. Tanganku tak henti memutar-mutar ponsel. Duduk, berdiri, duduk, berdiri, mondar-mandir, duduk lagi. Aku bingung harus berbuat apa. Harusnya Ariel sudah datang ke rumah jam segini. Tapi, ponselnya belum juga bisa dihubungi.
Satu jam
Dua jam
Tiga jam
Aku masih mondar-mandir penuh kecemasan. Saat matahari mulai tenggelam, kecemasanku semakin tinggi. Membuat pikiranku semakin tak karuan. Harusnya Ariel sudah bisa menghubungiku. Kalau sesuai jadwal, pesawat yang ditumpangi Ariel sudah sampai pagi tadi. Tapi sampai sore hari, Ariel tak juga bisa dihubungi.
Perasaanku semakin kacau. Aku takut terjadi apa-apa dengan Ariel. Secepatnya aku berlari dan menyalakan televisi. Siapa tahu ada berita tentang ...??? Ah! Tidak seharusnya aku berpikir seperti ini. Rasa takut itu belum hilang. Kejadian sepuluh tahun silam yang merenggut nyawa pacarku, terus terbayang di pelupuk mata. Bagaimana kalau yang terjadi pada Azka juga terjadi pada Ariel?
Aku terus menggigiti jariku, tubuhku terasa mengigil tiba-tiba dan aku tidak mampu mengendalikannya.
"Luna ...!" Mama tiba-tiba memeluk erat tubuhku agar aku tenang. Ia mematikan televisi dan memapahku masuk ke dalam kamar.
Aku berbaring di atas kasur, memandang wajah Mama yang terlihat cemas.
"Kamu nggak papa?" Mama mengusap anak rambutku perlahan.
Aku mengangguk perlahan. Aku memang belum benar-benar sembuh. Setiap kali melihat televisi, bayangan luka masa lalu itu kembali hadir dan membuatku tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Terkadang aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan.
"Ariel nggak datang, Ma."
"Mungkin dia masih sibuk dengan keluarganya. Besok kita ke rumahnya ya!" Mama meyakinkanku kali ini agar aku tetap tenang.
Keesokan harinya, Mama mengantarkan aku berkunjung ke rumah Ariel. Namun, tak ada satu orang pun yang bisa kutemui. Bahkan, menurut penuturan tetangga sekitar, rumah keluarga Ariel sudah dijual sejak 1 tahun yang lalu. Sebuah kenyataan yang aku sendiri tidak mengetahuinya. Yang aku tahu, keluarga Ariel adalah pengusaha. Aku memang tidak terlalu dekat dengan keluarganya. Aku hanya sesekali berkunjung jika memang Ariel mengajakku. Selebihnya, aku sama sekali tidak mengunjungi kedua orang tuanya. Bahkan aku tidak pernah menjali silaturahmi via telepon. Aku merasa belum pantas masuk ke keluarga Ariel. Sebab hubungan kami hanya sebatas pacar.
Riel, aku sudah menunggu kamu bertahun-tahun dan kenapa harus berakhir seperti ini?
Riel, aku sudah tidak tahu harus mencarimu ke mana lagi.
Jika memang semuanya ingin kamu akhiri, kenapa tidak bicara baik-baik?
Aku menyandarkan tubuhku di sofa sepulang dari rumah Ariel yang kini kosong. Sama seperti hatiku yang kini juga kosong.
Aku menatap langit-langit sembari berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menghubungi Ariel.
Aku merogoh ponsel yang aku selipkan di tasku. Mengusap setiap aplikasi yang ada di dalamnya. Aku membuka beberapa sosial media yang kemungkinan bisa menyambung komunikasiku dengan Ariel. Namun, tiba-tiba semuanya menghilang. Aku tidak bisa menemukan akun Ariel satu pun.
Aku di blokir tanpa alasan yang aku tidak mengerti.
Seminggu yang lalu, dia masih menelepon dan mengirim chat seperti biasa. Kami bercerita dengan mesra tanpa ada masalah. Kenapa tiba-tiba dia menghilang begitu saja?
Aku menghela napas kembali, mencoba menenangkan hati yang semakin tidak karuan.
Aku belum siap kehilangan lagi. Aku belum siap ... belum siap!
Seminggu berlalu ...
Aku belum juga mendapatkan kabar tentang Ariel. Bahkan sahabat-sahabat terdekatnya juga tidak ada yang bisa memberikan keterangan di mana Ariel berada.
Sebulan berlalu ...
Aku masih juga belum mendapat kabar tentang Ariel.
Aku mulai menyerah. Air mataku tak henti mengalir. Apa aku benar-benar akan kehilangan Ariel?
Seharusnya tidak berakhir seperti ini. Aku tidak ingin hubunganku kembali berakhir seperti hubunganku dengan Azka dahulu. Azka pergi tanpa pesan. Kecelakaan pesawat sepuluh tahun lalu telah merenggut nyawanya. Aku terluka ... sangat terpukul.
Dan kini aku harus menghadapi kenyataan kalau Ariel juga meninggalkan aku tanpa kata-kata. Tanpa aku tahu sebabnya. Dia pergi entah ke mana. Ke tempat yang tidak aku tahu sama sekali.
Aku akan tetap sabar menanti ... sampai kamu datang dan berkata, "Berhentilah menunggu!"
Ditulis oleh Rin Muna
12 Maret 2019