Dokumen Pribadi |
Jika angka tertinggi adalah 1, maka aku
sekarang ada di angka 9. Bagiku, angka 9 adalah proses menuju 1. Tuhan adalah
satu-satunya tempatku berlabuh kelak. Setiap manusia punya proses kehidupan.
Tidak bisa serta-merta mmenjadi hebat begitu saja. Ada proses yang harus
dilalui.
Hari ini, 9 November 2018. Tepat di tanggal
dan bulan yang sama aku hadir menatap dunia. Menjadi bocah polos yang bahkan
tidak tahu bagaimana aku harus menjalani hidup. Hidup serba kekurangan
menjadikan aku anak yang kuat. Tetap ceria walau seringkali diterpa kesedihan,
ketakutan dan rasa malu.
Ada rasa syukur yang tak henti aku panjatkan.
Dalam setiap doa, aku tak pernah meminta kebahagiaan untuk diriku sendiri. Ada
orang-orang yang aku perjuangkan. Ada orang-orang yang ingin aku bahagiakan. Walau
aku tahu, aku belum bisa berbuat banyak.
Ada dua orang tua yang usianya sudah senja.
Aku menemani dan merawat mereka sejak usia sekolah dasar. Mereka adalah nenek
dan kakekku. Aku tidak punya banyak uang untuk membahagiakan mereka atau
membalas apa yang sudah mereka berikan. Aku hanya berdoa setiap hari agar
mereka selalu diberikan kesehatan. Tidak diberikan rasa sakit yang amat
menyiksa. Aku ingin semua rasa sakit itu diberikan padaku saja. Jangan pada
tubuh renta yang bahkan setiap hari masih setia menyuguhkan secangkir teh atau
kopi untuk keluarga. Hingga hari ini, mereka masih sehat dan kuucap syukur
untuk apa yang telah aku lalui bersama mereka selama 27 tahun ini.
Ada Ibu yang begitu tegar menghadapi kerasnya kehidupan.
Wanita yang begitu kuat berjuang demi kebahagiaan anak-anaknya. Tak pernah aku
dengar keluhnya selama 27 tahun aku hidup bersamanya. Tak pernah aku dengar
rasa sakitnya selama 27 tahun aku ada di sisinya. Bagiku, Ibu adalah wanita
istimewa yang mengajariku apa arti sebuah perjuangan, pengorbanan, kasih sayang
dan keikhlasan. Seorang wanita yang
hidup tanpa seorang kakak atau adik. Hanya anak satu-satunya yang harus merawat
kedua orang tuanya yang kini sudah renta. Maka aku ambil alih tugas ibu sebagai
baktiku padanya. Walau aku tahu tak seberapa. Aku pilih merawat kakek dan nenek
bersamaku. Mencintainya selayaknya mereka mencintaiku sewaktu kecil. Apapun
yang mereka inginkan, aku selalu berusaha memenuhi. Mudah atau susah, aku tak
pernah mau mengeluh. Agar mereka tak perlu tahu kesulitan yang aku rasakkan.
Bagiku, bahagialah yang seharusnya aku tunjukkan.
Ada ayah yang begitu bijak mengajariku
menyikapi hidup. Yang tak henti memberi nasihat. Yang selalu berucap lembut
menegur salahku. Laki-laki yang pertama kali aku kenal dalam hidupku. Yang
terkadang menyebalkan tapi aku tetap cinta. Sulit mengungkapkan perasaanku
untuk sosok ayah yang begitu kuat, bijaksana, dan selalu menyayangi.
Ada dua orang adik yang aku perjuangkan pendidikannya.
Sampai mereka mandiri. Tak minta kiriman uang jajan. Bahkan kini mereka
memberi. Air mata ini tak henti menetes kala kuingat bagaimana memperjuangkan
mereka. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya gadis belia waktu itu. Yang juga ingin
hidup normal seperti yang lain. Tapi aku juga punya tanggung jawab besar pada
dua adikku. Aku tidak ingin melihat kedua orang tuaku berjuang sendiri. Maka,
dengan tangan mungil aku rangkul mereka untuk bisa merasakan duduk di bangku
sekolah. Setidaknya, bisa sama dengan yang lain. Aku bersyukur dianugerahi dua
orang adik yang cerdas. Yang hati mereka pun begitu peduli pada keluarga.
Jarang sekali mereka meminta uang walau tak punya, mereka menunggu diberi. Dan
bersyukur punya dua orang adik yang baik. Yang bisa dengan bijak menyikapi baik
buruknya kehidupan. Si cowok dengan kedewasaannya memilih untuk tidak pernah
merokok, terlebih hal lainnya. Si cewek dengan kedewasaannya memilih untuk
menutup diri dari pergaulan bebas, dari godaan rayuan lelaki dengan menyibukkan
diri. Allah beri kami anugerah. Dan semua lelahku mulai surut walau aku tahu
saat ini ada perjuangan baru yang harus aku lakukan.
Ada wajah mungil putri kecil yang selalu
membuatku semangat menjalani kesulitan sesulit apa pun. Ada senyum kecil yang
selalu membuatku yakin bahwa aku berdiri di sini bukan untuk mencari
kebahagiaanku, tapi kebahagiaan dia yang harus aku cari. Sebab bahagiaku adalah
melihatnya bahagia.
Ada dua tangan yang selalu memelukku ke mana
pun aku pergi. Di tangannya ridho itu ada membimbingku. Dua tangan yang selalu
setia merengkuhku kala aku merasakan sakit. Dua tangan yang siap mendorong
semangatku kala aku ingin menyerah. Dua tangan yang siap melakukan apa pun demi
bisa melihatku bahagia. Bagaimana bisa aku tunjukkan rasa lelah pada
penyemangat jiwa? Sedangkan senyum itulah yang sungguh ia inginkan. Maka aku
akan selalu tersenyum untukmu walau sakit. Sebab tanganmu ada untuk menghapus
air mata. Terima kasih sudah setia menemani setiap langkah kaki yang lemah ini.
Terima kasih untuk semuanya. Untuk keluarga, saudara
dan teman-teman yang tak mampu kusebutkan satu per satu. Yang telah memberikan
aku banyak pelajaran hidup. Yang telah mengajarkan aku untuk bersikap dewasa.
Mengajarkan aku banyak hal yang tidak bisa aku temui di rumah atau sekolah.
Semua tempat bagiku istimewa. Semua orang bagiku istimewa. Tempatku belajar
banyak hal.
Terima kasih untuk waktu yang berharga.
Terima kasih untuk 27 tahun dunia menerima
semua salah dan dosaku.
Semoga kita semua selalu berada dalam ruang
kebaikan dan surga adalah tempat kita berkumpul kelak.
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
~Rin Muna~
East Borneo, 09 November 2018