Dua jam sebelum pergi ke pesta
ulang tahun Mr. & Mr. Ye, Nadine yang sudah berada di kota Surabaya,
mengajak Ayu untuk merias diri di salah satu salon ternama di pusat kota
Surabaya.
“Mbak, teman saya ini lagi
hamil. Pakai make-up khusus untuk bumil, ya!” pinta Nadine saat ia dan Ayu
sudah duduk di salah satu meja rias yang ada di sana.
“Oh ya? Tapi, harga untuk
make-up ibu hamil itu jauh lebih mahal, Mbak.”
“Kami nggak permasalahkan
harga. Yang penting kandungan dia aman. Emangnya, kami kelihatan kayak orang
susah?” sambar Nadine dengan cepat.
Karyawan itu menggeleng. “Baik,
Mbak.” Ia segera menyiapkan make-up khusus dengan merk ternama yang memang
diproduksi khusus untuk ibu hamil dan menyusui.
Nadine menghela napas sambil
melipat kedua tangan di dadanya. “Emangnya kita kelihatan kayak orang susah,
ya?” tanyanya sambil menoleh ke arah Ayu yang duduk di sebelahnya.
Ayu tertawa kecil. “Sabar!
Jangan emosi gitu, dong!” ucapnya sambil mengelus lengan Nadine.
“Kesel aku kalau diginiin sama
orang. Nggak tahu apa kalau anaknya yang punya mall ini setiap hari
ngejar-ngejar aku?”
“Hush! Jangan ngomong gitu!
Ntar dikira kamu pamer,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.
“Biar aja! Aku emang suka
pamer.”
Ayu hanya terkekeh geli menatap
wajah Nadine yang emosinya mudah sekali meledak hanya karena hal sepele. “Kamu
lagi PMS?”
Nadine menghela napas. “Lagi
kesel aku, Ay. Aku tuh dibikin kesel sama Okky sepanjang jalan. Dia bilang, mau
jemput aku ke Semarang. Aku tuh udah ngalah dan mobilku kusewakan sama temen.
Eh, satu jam sebelumnya ... dia bilang nggak bisa jemput aku karena di rumahnya
sibuk banget. Coba dari awal ngomong gitu, aku nggak kesel kali. Akhirnya, aku
harus dijagain sama ajudan kayak gini,” keluhnya.
“Emang biasanya, kamu nggak
dijagain ajudan? Papamu Jenderal, Nad. Itu protokol keamanan untuk anak
jenderal. Jangan main-main, deh! Aku serem loh yang waktu denger kasus dia mau
ditembak mati itu. Kalau kamu yang jadi sasaran berikutnya, gimana?” tanya Ayu.
“Mati,” jawab Nadine santai.
“Kamu kok gitu sih, ngomongnya?”
tanya Ayu sambil menatap sedih ke arah Nadine.
“Yah, setiap manusia punya
takdirnya masing-masing. Punya jalannya sendiri untuk mati. Kalau emang aku
ketembak mati sama musuh-musuh papa, aku nggak keberatan. Asalkan papa
baik-baik aja. Ada jutaan orang yang berlindung di balik punggung papa dan
membutuhkan dia. Sedangkan aku? Aku bukan siapa-siapa. Cuma seorang anak
jenderal yang nggak punya kekuatan untuk melindungi semua orang,” ucap Nadine.
“Jangan ngomong gitu, Nad!
Semua ibu hamil butuh kamu. Kalau kamu nggak dinas di Semarang, aku bakal
konsultasi sama kamu setiap hari supaya aku nggak setress.”
“Tarif gue mahal!” sahut Nadine
sambil melirik tajam ke arah Nadine.
“Sialan kamu!” dengus Ayu
sambil menoyor pundak Nadine.
Nadine tertawa kecil. “Eh, kamu
beneran setress? Setress kenapa? Ibu hamil nggak boleh setress, loh. Bahaya.”
“Bahayanya gimana? Aku juga
nggak mau setress. Tapi, kadang kepikir aja sendiri. Tiba-tiba kebayang hal-hal
yang aku ... aku ... huft! Sulit buat aku ungkapin, Nad.”
Nadine menghela napas sambil
menatap wajah Ayu. “Aku tahu, MBA itu udah beban. Apalagi, kamu harus menikah
sama orang yang nggak kamu cintai. But, ada hal lebih penting yang harus kamu
perjuangkan,” ucap Nadine sambil mengelus lembut perut Ayu yang mulai membuncit.
“Dia,” lanjutnya.
Ayu menatap Nadine dengan mata
berkaca-kaca. “Boleh nggak sih aku benci anak ini, Nad?”
“Ayu ... kenapa kamu ngomong
kayak gitu?” Nadine langsung menangkup wajah Ayu dan mengusap air matanya yang
jatuh.
Air mata Ayu semakin mengalir
deras. Ia tidak tahu pada siapa akan bercerita. Ia hampir tidak punya teman.
Bercerita pada bundanya, hanya akan menambah beban orang tuanya. Rekan kerja,
tidak ada yang terlalu dekat. Hanya Nadine, teman kecil yang masih begitu
menjaga komunikasi dengannya meski mereka berbeda kota.
Nadine langsung memeluk tubuh
Ayu. “Yang kuat, ya! Yang kuat, yang sabar, Ay! Aku percaya kamu kuat. Nggak
boleh benci anak ini. Seperti apa pun papanya, dia sudah hidup dalam dirimu.
Dia hidup dari darahmu, dari hatimu dan dari cintamu, Ay. Jangan benci anak
ini! Dia nggak salah,” bisik Nadine tanpa bisa menahan air matanya untuk
menetes.
“Hiks ... hiks ... hiks ...!”
Ayu semakin menangis sesenggukan saat Nadine memeluknya. Semua sesak di dadanya
selama ini, rasanya bisa terlepas saat air mata itu bisa tumpah di dalam
dekapan Nadine.
Nadine mengusap lembut punggung
Ayu. Ini pertama kalinya ia melihat Ayu menangis sesenggukan dalam pelukannya.
Ia rasa, beban yang sedang ditanggung Ayu memang sungguh berat. Tidak ada hal
yang bisa ia lakukan selain memeluk Ayu. Sebab, kata-kata bijak tidak akan bisa
membuat masalah Ayu selesai begitu saja. “Kamu kuat, Yu! Kamu kuat. Jangan
sedih lagi, ya!” bisik Nadine.
“Hiks ... hiks ... hiks ... Aku
pengen balik ke Sonny, Nad. I miss him so much,” ucap Ayu sambil berlinang air
mata.
Nadine melepas pelukannya dan
mengusap air mata Ayu. “Aku akan bawa dia menemuimu kalau kamu rindu. But, aku
nggak bisa berbuat banyak, Ay. Sonny pria yang baik, bijak dan tahu batasan.
Dia bilang, nggak mau ganggu rumah tangga kalian. Dia ingin melihat kamu
bahagia sama Nanda.”
“Gimana kalau aku nggak bahagia
sama Nanda seumur hidupku, Nad?” tanya Ayu sambil mengusap air matanya dan
berusaha menguatkan hatinya kembali.
“Kalau kamu udah nggak kuat.
Kamu boleh lepaskan semuanya, Ay. Saat ini, kamu nggak usah pedulikan Nanda.
Kamu pedulikan perkembangan janin kamu dulu. Urusan lain, diurus lain kali saja
setelah kamu melahirkan. Kamu harus sabar, Yu! Demi si kecil. Okay?”
Ayu menganggukkan kepala
perlahan sambil menatap Nadine.
“Gitu, dong! Senyum dong biar
makin cantik!” pinta Nadine sambil menjepit dagu Ayu.
Ayu tersenyum menatap wajah
Nadine.
Nadine tersenyum puas. “You’re
strong mom! Lahirkan bayi ini dengan selamat dan sehat. Dokter Nadine akan
membantu menjaganya.”
Ayu tersenyum lebar hingga
memperlihatkan gingsul yang ada di sudut bibirnya. “Makasih, Nad.”
Nadine mengangguk sambil
tersenyum. “Time to make-up! Pasangan kita bakal jemput jam tujuh. Nggak enak
kalau mereka harus nunggu kita terlalu lama. Pasti nggak nyaman.”
Ayu mengangguk setuju.
“Oke. Mbak, bikin kita berdua
jadi wanita paling cantik di negeri ini!” pinta Nadine sambil mengibaskan
rambut panjangnya.
Ayu tersenyum sambil menatap
wajahnya di balik cermin. Make-up artist yang ada di sana, sudah memoleskan
foundation ke atas wajah Ayu. Kemudian, mulai menjalankan step by step hingga
dua wanita itu terlihat begitu cantik. Mereka terlihat semakin sempurna dengan
balutan dress pesta yang terlihat sederhana, tapi tetap elegan.
Di parkiran, Nanda dan Rocky keluar
dari mobil bersamaan secara tidak sengaja.
“Hei, Rocky ya?” sapa Nanda
sambil memperhatikan wajah Rocky.
Rocky yang sedang memainkan
kunci mobilnya sambil melenggang santai, langsung menghentikan langkahnya. “Siapa,
ya?”
“Aku Nanda. Anaknya Oom Andre.
Ingat, nggak?” sahuta Nanda.
Rocky membuka sedikit kacamata
hitamnya dan memperhatikan tubuh Nanda. “Oom Andre? Andre Ahmad Perdanakusuma?
Amora Internasional?” tanyanya.
Nanda mengangguk. “Iya. Udah
lama kita nggak ketemu.”
“Kamu di luar negeri, ya? Nggak
pernah ketemu sama kamu.”
“Emang sempet kuliah di luar
negeri. Sekarang, udah di Indo lagi. Gimana kabarmu?” tanya Nanda.
“Baik. Baik banget. Eh, kamu
ngapain di sini? Belanja?”
“Mau jemput istriku, Ky.
Bundamu ulang tahun hari ini dan kami diundang.”
“Oh ya? Kamu udah nikah?
Istrimu di sini? Ngapain? Kerja di sini?” tanya Rocky.
“Nggak. Dia lagi nyalon sama
temennya. Biasalah, cewek.”
“Oh, ya? Kebetulan ... aku juga
mau jemput pacarku di salon juga. Salon mana?”
“Serius!? Bareng aja kalau
gitu,” ajak Nanda.
Rocky mengangguk. Ia melangkah
beriringan bersama Nanda sambil bercerita banyak hal tentang masa lalu mereka. Kedua
orang tua mereka memang saling kenal sejak mereka kecil. Tapi, mereka tidak
begitu akrab karena bersekolah di tempat berbeda dan tidak pernah bertemu lagi
sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah. Membuat mereka bercerita banyak
hal tentang masa-masa remaja mereka yang sudah terlewati dengan kenakalan
mereka masing-masing.
((Bersambung...))
Terima kasih sudah mendukung
dan menghargai karya author. Tiap hari mau nangis tiap kali melihat kalian
berbagi rejeki sama author tanpa perhitungan.
Semoga sehat selalu, banyak
rejeki dan selalu jadi sahabat setia bercerita setiap hari!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi