Hari Raya Idul Fitri adalah hari lebaran yang identik dengan liburan. Hampir semua orang merencanakan liburan di Hari Lebaran. Apalagi buat mereka yang punya kampung halaman, pastinya libur lebaran menjadi saat yang ditunggu-tunggu.
Aku sendiri tidak pernah merencanakan untuk liburan di hari lebaran. Dari tahun ke tahun aku menghabiskan hari libur lebaran dengan bersilaturahmi ke rumah keluarga, saudara atau teman. Liburannya paling mentok ke pantai atau tempat wisata yang nggak jauh dari rumah. Karena aku memang tinggal di wilayah Pesisir, walau jarak dengan pantai nggak deket-deket amat. Tapi, lumayan sering ke pantai walau nggak libur lebaran.
Kali ini aku diajak salah satu tetanggaku untuk berlibur ke daerah Kutai Barat. Awalnya aku nggak mau karena aku tahu perjalanan yang jauh dan pasti lelah sekali di perjalanan. Tapi, kedua orang tua mendesakku untuk ikut karena kebetulan ada pakde alias kakaknya mamaku yang tinggal di sana.
“Sekali-sekali nengokin pakdemu di sana,” ucap Papa saat kami berkumpul di ruang makan di hari lebaran kedua.
“Jauh, Pa. Aku nggak tahan di perjalanan. Biasanya juga Pakde yang ke sini.”
“Sekali-sekali yang muda ke sana. Wakilin Papa sama Mamamu. Biar silaturahmi anak-anak bisa tetap terjaga walau Papa sama Mamamu nantinya udah mati.”
Aku menatap wajah Papa dan menghela napas panjang. Aku selalu tak berdaya saat Papa membicarakan soal kematiannya. Sepertinya ia selalu menggunakannya agar anak-anaknya mau menuruti keinginannya. Sama seperti Kak Yoga yang akhirnya harus meneruskan kuliahnya di Jogja, padahal dia tidak ingin kuliah dan hanya ingin menjadi sopir truck batubara. Tapi, Papa tetap bersikeras agar Kak Yoga bisa kuliah tinggi supaya mendapat pekerjaan yang lebih enak dan layak.
“Iya, lagipula liburan sekolah kan masih lama. Kamu masih bisa liburan di tempat Pakdemu.” Mama menimpali.
“Liburan? Ma, di sana itu lebih hutan dari sini. Apa yang mau aku lihat di sana? Paling juga hutan semua,” celetukku.
“Yang penting bukan tempatnya, yang penting itu silaturahminya,” sahut Papa.
“Iya ... iya. Besok aku ikut berangkat.” Aku menyerah mencari alasan. Mau tak mau aku harus berangkat besok pagi bersama dengan tetanggaku.
“Nah, gitu dong!” Papa tersenyum penuh kemenangan. Ia langsung mengabari tetanggaku kalau aku akan ikut serta berangkat ke Melak bersamanya. Bahkan ia juga sudah menelepon Pakde yang di Melak kalau aku akan berangkat ke Melak besok pagi.
Karena keinginan Papa, akhirnya aku harus nge-pack baju yang mau aku bawa ke sana. Aku kurang semangat berlibur ke sana. Di kampung mana ada tempat wisata yang bagus. Apalagi kalau lihat di maps google, di daerah sana masih hutan semua. Nggak ada mall, nggak ada hotel apalagi tempat wisata yang bagus.
Pagi-pagi buta aku sudah dibangunkan mama karena harus berangkat subuh. Mengingat perjalanan ke Melak yang lumayan jauh. Rasanya masih malas untuk membuka mata apalagi pagi-pagi buta sudah harus melakukan perjalanan jauh. Alhasil, aku melanjutkan tidur di dalam mobil. Untungnya anak tetanggaku masih kecil-kecil. Yang paling besar baru kelas 5 SD, yang satunya kelas 2 SD dan satu lagi masih bayi, jelas digendong oleh ibunya. Jadi, aku bisa leluasa tidur di kursi belakang mobil. Tak peduli dengan dua anak tetanggaku yang asyik bermain sambil berteriak-teriak di dalam mobil.
Perjalanan dari Samboja ke Melak menghabiskan waktu 12 jam. Kami berangkat jam 5 pagi dan sampai ke sana jam 5 sore. Aku tidak tahu pemandangan apa yang bagus di perjalanan. Bagiku, setiap kali aku membuka mata, sepanjang perjalanan hanya hutan saja. Naik turun gunung dipenuhi dengan pepohonan yang berjejar rapi. Terlebih lagi saat kami melewati hutan perusahaan kayu. Kelihatannya indah, bagi orang udik yang nggak pernah lihat hutan. Sementara aku udah bosan dengan hutan seperti ini. Andai boleh milih, aku pengen kelihatan udik saat liburan ke kota besar seperti Jakarta atau Jogja. Tapi, Papa malah mengirimku jauh ke dalam hutan Kalimantan. Menyebalkan bukan?
Perjalanan yang sangat melelahkan. Sampai sana, aku juga melanjutkan tidur di rumah Pakde. Aku bener-bener kecapekan dan langsung beristirahat. Untungnya budeku orangnya memang baik hati. Ia memberikan kesempatan supaya aku bisa tidur lelap, bahkan sampai pagi.
“Udah seger badannya?” sapa Bude saat aku meliukkan badan begitu keluar dari kamar.
“Iya, Bude. Capek banget.”
“Ya udah, mandi dulu sana! Abis itu sarapan. Bude udah siapin sarapan di dapur.”
“Makan sendirian?”
“Lah, iya. Udah jam delapan gini ya udah pada sarapan semua.”
“Oh, gitu ... ya udah aku mandi dulu.” Aku langsung bergegas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Rasanya segar sekali karena dari kemarin aku memang belum mandi. Aku menikmati waktuku di kamar mandi cukup lama karena airnya seger banget. Hampir satu jam aku di dalam kamar mandi, bahkan bude beberapa kali menegurku.
“Rin, belum selesai mandinya?” tanya Bude lagi.
“Udah, Bude,” sahutku sembari memakai handuk. Aku langsung membuka pintu kamar mandi.
“Aargh...!” aku terkejut saat mendapati seorang cowok berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Aku kembali menutup pintu kamar mandi. “Siapa?” tanyaku setengah berteriak.
“Kenapa tho, Rin?” tanya Bude.
“Itu siapa yang di depan pintu kamar mandi, Bude?” balasku sambil berteriak.
“Owalah ... kamu ini kok nongol tiba-tiba nggak ada suaranya. Keluar dulu, itu keponakanku lagi di kamar mandi.” Suara bude terdengar dari balik pintu kamar mandi.
“Udah. Keluar cepetan! Ini pegawai Pakdemu mau ke kamar mandi.”
Aku langsung membuka pintu kamar mandi, celingukan mencari sosok cowok yang tadi berdiri di depan pintu. Bude nggak pernah ngomong kalau ada karyawan pakde yang tinggal di rumah ini. Ya, rumah Pakde emang lumayan besar, sih. Ada beberapa kamar yang aku juga nggak tahu ada penghuninya atau enggak.
Aku bergegas masuk ke kamar dan berganti pakaian ala kadarnya saja. Cukup dengan celana pendek dan kaos oblong. Usai ganti baju, aku langsung duduk di meja makan yang ada di dapur. Perutku benar-benar lapar karena tidak makan sama sekali sesampainya di Melak. Aku menghabiskan waktuku untuk tidur, bahkan bangunnya sampai siang. Untungnya bukan di rumah, Mama pasti sudah menyiram aku dengan air es kalau nggak mau bangun subuh. By the way ... ngebangkong ternyata asyik juga ya? Bangun tidur, makanan udah siap. Kalau kayak gini setiap hari, aku bisa betah ada di sini.
“Ren, sudah makan apa belum?” teriak Bude yang sudah ada di belakangku.
“Ini lagi makan,” jawabku.
“Reno iku lho, bukan kamu,” sahut Bude. Dia melongo ke arah pintu, cowok tadi masih di sini, sedang mengecek kondisi mobil pick up milik pakde.
Duh, telingaku saliwang deh kayaknya. Tapi, antara Ren dan Rin kan emang beda tipis. Aku pikir, bude ngajak ngomong aku.
“Belum, Bude.”
“Makan dulu! Ini sekalian makan sama Rini.” Bude langsung bergegas ke depan rumah karena ada pelanggan yang datang. Oh ya, aku belum cerita ya kalau bude aku berjualan gado-gado di depan rumahnya. Sedangkan Pakde adalah kontraktor, wajar saja kalau ada pegawai pakde yang tinggal di rumah. Dan aku belum tahu pasti ada berapa orang pegawai pakde yang tinggal di rumah ini.
Karena sibuk melamun, aku tidak menyadari kalau cowok tadi sudah duduk di depanku.
“Ponakan Pakde yang dari Samboja?” tanya cowok itu sambil menyendok nasi yang ada di atas meja.
Aku menganggukkan kepala. Sulit sekali mulutku berucap karena penuh dengan makanan.
“Masih sekolah?” tanyanya lagi sambil menyendok sayur dan lauk ke dalam piringnya.
Aku mengangguk lagi. “Masnya karyawan pakde? Nggak kerja emangnya? Jam segini kok masih di sini? Ada berapa pegawai Pakde yang tinggal di sini?”
Cowok itu tidak menjawab, hanya tersenyum kecil menatap makanan di piringnya. Kenapa dia tidak mau menatapku? Apa makanan itu jauh lebih baik dari aku?
“Aku masih kuliah. Bantuin Pakde sesekali aja kalo Pakde butuh bantuan.”
“Oh.” Aku mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mau pake baju kayak gini aja jalannya?” tanyanya sembari menatap kaos oblong warna pink bergambar pikachu.
“Jalan?” Aku melirik penuh tanya.
“Emangnya pakde nggak ada ngomong apa-apa sama kamu?” Reno mendelik ke arahku. Ah, kenapa jantungku berdebar saat dia menatapku begitu tajam. Rasanya mataku tertusuk sampai ke jantung. Cowok ini ganteng juga. Kulitnya sawo matang membuatnya terlihat maskulin, matanya sipit, rambutnya lurus dan gaya berpakaiannya santai.
“Woy...! Malah ngelamun.” Reno menjentikkan jemarinya tepat di depan mataku. Otomatis membuat aku gelagapan. Aku sendiri tidak menyadari kalau aku mengagumi sosok Reno dalam lamunan.
Aku meraih gelas air minum dan menegaknya untuk mengalihkan rasa gugup. Aku mendorong kursiku ke belakang, berdiri dan bergegas pergi meninggalkan Reno yang masih makan sendirian.
“Ganti baju, terus dandan yang cantik ya!” pintanya sebelum aku benar-benar jauh.
Aku hanya mencebik ke arahnya. Dia tertawa kecil dan membuat aku semakin kesal. Dia mengejekku? Awas aja kalau sampai macam-macam. Aku bakal bilang sama pakde kalo dia ganggu aku di sini.
Aku berjalan menuju warung bude yang lumayan ramai pelanggan.
“Udah makannya?” tanya Bude.
“Udah.” Aku duduk sambil bermain ponsel.
“Sopo, Bulek?” tanya salah satu cowok yang sedang makan gado-gado sambil melirik ke arahku.
“Anaknya adiknya Pakde.”
“Oh ... Pantes cantik banget!” pujinya.
“Iya. Cantik banget kayak Bulek,” sahut salah satu cowok yang ada di sampingnya.
Huft, di dalam diledekin sama Reno. Di sini digodain sama cowok-cowok aneh. Pengen ke kamar tapi bosen juga kalo di dalam kamar mulu.
“Kata Reno mau jalan-jalan. Kok, masih pake baju kayak gitu?”
“Jalan?”
“Lah, iya. Pakdemu nyuruh Reno buat ngajak kamu jalan-jalan.”
“Ke mana Bude?” tanyaku penasaran.
“Udah, ikut aja! Nanti kamu pasti bakalan seneng kalo diajak jalan-jalan sama dia,” jawab Bude.
“Seneng sama apanya Bude? Seneng sama tempatnya atau sama orangnya?” candaku.
“Seneng sama tempatnya, tho. Seneng sama orangnya juga ya nggak papa. Wong si Reno ganteng, pinter, rajin, pendidikannya juga bagus.”
Aku tersenyum kecut. Padahal aku hanya bercanda, kenapa Bude seserius itu mempromosikan Reno di depanku.
“Yah ... Bulek ... jangan dijodohin sama Reno. Reno mah udah banyak yang suka. Masa kita mau saingan sama Reno. Yo kalah noh,” sahut cowok yang sedang makan gado-gado, ucapannya di-iyakan oleh teman-teman yang sedang bersamanya.
“Halah ... kamu itu cocoknya sama si Sarah aja. Nggak cocok sama ponakan Bulek.” Bude menanggapi ucapan cowok itu dan menciptakan gelak tawa. Aku sama sekali tidak tahu siapa itu Sarah. Yang jelas, dia pasti sosok cewek yang istimewa karena menjadi bahan perbandingan denganku.
Aku langsung bergegas masuk ke kamar untuk berganti pakaian, tidak lagi memperdulikan cowok-cowok yang sedang asyik bercanda dengan Bude. Huft, andai aja Mama seasyik Bude. Bude terlihat akrab banget sama anak-anak muda. Gaya bicaranya juga ikut kekinian banget. Beda banget sama Mama yang nggak bisa diajak bercanda apalagi curhat.
“Udah siap?” tanya Reno yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Kebetulan, kamar yang aku tempati memang langsung ke ruang keluarga. Reno melirik ke arahku tanpa menolehkan kepalanya. Ini cowok gayanya cool banget. Pakde nggak salah ngajak aku jalan sama cowok aneh ini? Sikapnya dingin banget, cuma ketawa kalo lagi ngeledek aku, itu pun cuma sedikit aja ketawanya, hampir nggak kelihatan.
Kami langsung bergegas pergi menggunakan sepeda motor. Aku pikir, dia bakal ngajak aku jalan pakai mobil Pakde. Kenapa tadi dia sibuk meriksain mobil Pakde? Jalannya malah pake motor, mana cuacanya panas banget.
Reno memarkirkan motornya di tepi jalan. Aku celingukan karena tidak tahu sebenarnya ini tempat apa. Tidak apa-apa sama sekali. Hanya jalan dan hutan di sekelilingnya. Duh, kenapa Reno ngajaka aku ke tempat kayak gini? Kalau dia macem-macemin aku gimana? Kalo aku diperkosa, dibunuh terus dibuang gimana? Ya ampun ... kenapa aku nggak kepikiran dari tadi? Aku kan baru kenal sama Reno.
“Ayo!” Reno menarik lenganku, tapi aku berusaha mempertahankan tubuhku agar tidak beranjak dari tempat aku berdiri.
“Kenapa?” tanya Reno menatapku.
Aku menggelengkan kepala. Aku tidak bisa menutupi rasa takut yang menyelimuti tubuhku. “Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Ke situ!” Reno menunjuk sebuah gapura kayu bertuliskan Jantur Mapan yang berada di sekitar pepohonan.
Aku memicingkan mata membaca tulisan tersebut. Bukan karena tidak bisa membaca, tapi karena aku tidak tahu tempat apa yang akan kita kunjungi. “Jantur Mapan? Ini tempat apaan?”
“Dengerin! Itu suara apa?” Reno mengarahkan telinganya ke pintu masuk Jantur Mapan.
Aku mendengar suara gemuruh seperti hujan deras. Aku tidak bisa menerka-nerka karena takut salah. “Apaan?” tanyaku penasaran.
“Air terjun.” Reno tersenyum menatapku.
“Hah!? Di sini ada air terjun?” tanyaku heran.
“Ada. Banyak malahan,” jawab Reno. “Ayo!”
Aku tersenyum dan melangkahkan kaki mengikuti Reno, aku mulai menginjak tangga yang terbuat dari kayu ulin dan bisa langsung melihat air terjun yang berada di bawah kami.
“Aargh ...! Keren banget! Ini pertama kalinya aku lihat air terjun secara langsung!” Aku melonjak kegirangan dan tidak menyadari kalau lantai kayu yang mengandung lumut ternyata licin dan membuatku terpeleset.
“Hati-hati...! Ini lantainya licin.” Reno dengan sigap menangkap tubuhku. Kalau tidak, aku sudah terjerembab dan tergulung jatuh dari tangga. Aku tidak bisa membayangkan kalau hal itu sampai terjadi, seharusnya aku tidak ceroboh seperti ini. Mungkin karena aku saking senangnya bisa melihat air terjun di secara langsung di Kalimantan. Aku pikir, Kalimantan nggak punya air terjun karena selama ini yang terkenal hanya air terjun yang ada di Pulau Jawa saja.
“Boleh berenang nggak sih?” tanyaku yang tidak sabar ingin bisa masuk ke dalam air terjun. Sepertinya seger banget karena cuaca emang lagi panas-panasnya.
“Nggak boleh.”
“Kenapa?”
“Di sini arusnya terlalu deras, nggak boleh buat berenang. Yang bisa dipakai berenang itu Jantur Dora sama jantur Emperuq.”
“Jantur Dora? Ada lagi air terjunnya selain di sini?”
“Ada banyak. Lebih dari 14 Jantur ada di sini.”
“Jantur itu artinya apa sih?”
“Air terjun. Masa nggak tahu artinya jantur?!”
Aku menggigit bibirku. Aku mengakui kalau aku memang tidak tahu, baru kali ini aku mendengar nama “Jantur”. Yang terlintas dipikiranku semacam daun kelapa muda gitu. Eh!? Itu janur ya?
“Aku emang nggak tahu. Aku mau datangin semuanya. Please!” Aku meraih kedua tangan Reno, memohon agar dia mau mengajakku ke tempat air terjun yang lain.
Reno menghela napas, tidak memberikan jawaban.
“Please! Aku di sini cuma 7 hari. Masa nggak mau ajak aku, sih!?” Aku merengek manja sembari menggoyangkan tangan Reno yang masih aku genggam. “Please...!” Aku menangkupkan kedua telapak tanganku, memohon agar dia mau mengajakku melihat jantur-jantur yang lainnya.
Reno menghela napas panjang dan menganggukkan kepalanya.
“Beneran? Serius?” tanyaku lagi memastikan, aku sudah bersiap memasang senyum paling bahagia di dalam hidupku.
“Iya.”
“Aargh...! Makasih ya...!” Aku langsung berjingkrak dan memeluk tubuh Reno dengan erat.
“Jangan peluk aku di sini! Nggak enak dilihatin orang banyak,” bisik Reno sembari menatap beberapa pasang mata yang sedang memandang kami berdua dari anak tangga.
“Sorry ...!” Saking senangnya aku sampai lupa diri. Tidak seharusnya aku bersikap seperti saat aku merayu Papa atau Kak Yoga. Reno bukan siapa-siapa, teman bukan, pacar juga bukan. Bagaimana bisa aku spontan memeluknya tanpa sadar. Aku terus memaki dalam hati atas kebodohanku kali ini.
Setelah puas berfoto ria di Jantur Mapan, Reno mengajakku ke Jantur Tebati terlebih dahulu. Jantur alias air terjun yang satu ini juga tak kalah kerennya. Aku bahagia sekali menikmati liburanku kali ini. Dalam sehari aku sudah pergi ke dua tempat air terjun yang berbeda. Aku membiarkan tubuhku basah kuyup saat bermain di Jantur Tebati. Sementara Reno hanya mengawasiku dari kejauhan. Sepertinya dia tidak begitu tertarik bermain air atau bahkan sudah bosan dengan tempat seperti ini.
Aku menggigil kedinginan dan memang tidak membawa pakaian ganti. Jelas saja, aku tidak tahu sama sekali kalau mau diajak mengunjungi air terjun. Kalau tahu, aku pasti sudah membawa pakaian ganti. Rasanya seger banget mandi di air terjun. Bener-bener bikin aku ketagihan. Beda banget saat berenang di pantai atau di kolam renang. Kalau berenang di pantai, kulit rasanya pliket kena air asin. Begitu juga dengan berenang di kolam renang yang mengandung kaporit. Yang paling kerasa itu di rambut, jadi lengket, keras dan kusut. Kalau berenang di air terjun, benar-benar seger karena tidak mengandung kaporit dan air garam.
“Dingin?” tanya Reno begitu aku datang menghampirinya.
“Iya,” jawabku dengan bibir gemetar.
“Ya udah. Pulang yuk!” Reno melepas sweeternya dan melekatkan di pundakku. Tidak begitu berfungsi untuk menghangatkan tubuhku karena bajuku memang basah kuyup. Malah sweeter Reno ikutan basah. Tapi, aku menghargai usahanya. Aku merapatkan posisi sweeter dan melangkahkan kaki menuju parkiran.
“Kalo sekarang, boleh dipeluk,” ucap Reno begitu motor kami sudah berjalan ke luar parkiran.
“Nggak. Nanti kamu basah juga.”
“Nanti bakalan kering di perjalanan.” Reno menarik lenganku melingkar ke perutnya.
Aku tidak bisa menolak, aku merapatkan tubuhku dan bisa merasakan suhu tubuh Reno yang hangat menjalar ke tubuhku. Terasa hangat dan nyaman. Aku memejamkan mata seolah berada di negeri impian yang sangat indah.
Hari selanjutnya, aku dan Reno pergi mengunjungi Jantur Dora, Jantur Tabalas dan Jatur Tebatang. Kemudian di hari berikutnya lagi kami mengunjungi Jantur Inar, Jantur Sewet, Jantur mencangkaw, Jantur Mukuq, Jantur Asam, Jantur Mentihai, Jantur Emperuq, Jantur Atai, Jantur Gemuruh dan Jantur Geronggong.
Aku benar-benar tidak menyangka kalau ada begitu banyak titik air terjun hanya dalam satu kabupaten. Rasanya bahagia banget karena di hari ke-5 aku di Kutai Barat, aku bisa mengunjungi 14 jantur / air terjun yang ada di daerah ini. Kata Reno, masih ada lagi beberapa air terjun yang belum tereksplore. Dia tidak berani mengajakku ke air terjun yang belum dikunjungi banyak orang. Alasannya karena kondisi jalan yang pastinya sangat sulit dan keadaan alam yang belum kita ketahui aman atau tidaknya.
Di hari terakhir sebelum aku kembali ke Kutai Kartanegara, Reno mengajakku untuk menikmati indahnya pagi di Gunung S. Awalnya, aku kira tempat ini dinamai Gunung Es karena suhunya yan dingin seperti es. Ternyata, karena jalan ke tempat ini berliku seperti huruf S. Hmm ... orang sini kreatif juga ya memberi nama tempat wisata.
Di Gunung S, aku bisa menikmati indahnya pagi dari ketinggian. Kabut awan di yang menyelimuti pepohonan terlihat sangat indah. Ini seperti wisata Batu Dinding yang ada di daerah Samboja.
“Besok berangkat jam berapa?” tanya Reno sembari menyodorkan segelas teh hangat yang ia beli dari pengelola wisata Gunung S. Kami duduk di atas tikar kecil sembari memandang kabut pagi yang indah.
“Subuh.” Aku meraih gelas teh dan menyeruputnya sedikit demi sedikit.
Reno menaikkan sebelah alisnya. “Sepagi itu?”
“Iya. Biar nggak kemaleman sampe rumah. Om Zaki ngajak pagi-pagi banget berangkatnya. Soalnya anaknya yang paling kecil masih bayi.”
“Oh ... iya juga sih.”
“Kenapa emangnya?” Aku menoleh ke arah Reno yang sedang menatap gumpalan awan yang bergelayut manja di hadapan kami.
“Nggak papa.” Reno tertawa kecil sembari memainkan rumput yang ada di depannya. “Pasti bakalan sepi banget kalo nggak ada kamu.”
“Oh... ya? Masa sih? Bukannya di warung Bude selalu ramai ya?”
“Ramainya gitu-gitu aja.”
“Eh!? Maksudnya? Gitu-gitu aja gimana? Aneh!” celetukku.
“Beda rasanya kalo ada kamu. Kamu tuh bisa menghidupkan suasana dan–” Reno menatapku lekat. “Lucu banget.”
“Oh ya? Apa selucu ini?” Aku memainkan bentuk wajah dan bibirku.
Reno tergelak untuk pertama kalinya. Yah, baru kali ini aku melihatnya tertawa terbahak-bahak. Biasanya, ia hanya tersenyum kecil atau sedikit tertawa. Aku menghela napas panjang dan menatap ke arahnya. “Aku harap, kamu bisa mengingat 1000 detik yang udah kita jalani bareng.”
“Seribu? Kamu yakin?”
“Ya ... aku sudah ngitung.”
Reno tertawa kecil. “Kamu tuh aneh banget. Buat apa ngitungin detik?”
“Iya, aku emang aneh. Karena buat aku detik itu berharga. Di dalam satu detik itu ada satu detak jantung. Dan di sini ... aku merasa nyaman. Entah kenapa, rasanya nggak pengen pulang. Padahal, aku sama sekali nggak pengen ke sini.”
Reno tersenyum kecil. “Bukannya liburan sekolah juga masih lama? Kenapa nggak diperpanjang aja liburannya?”
“Bukannya kamu juga lagi libur kuliah? Kenapa nggak kamu aja yang liburan?”
Reno menaikkan satu alisnya.
“Bercanda.” Aku terkekeh.
“Di Samboja ada apa aja?” tanya Reno.
“Ada aku. Hahaha.”
Reno tertawa kecil sembari menatap rumput yang ada di depannya. Aku merasa candaanku benar-benar garing karena respon Reno yang tetap dingin. Cowok ini sulit sekali ditebak. Aku bahkan tidak tahu, sebenarnya dia menyukaiku atau tidak. Hmm, buat apa juga aku mikirin dia bakal suka sama aku atau enggak ya? Nggak penting banget. Toh, dia cuma orang suruhan Pakde.
“Kamu udah punya pacar?” tanya Reno sambil menatapku.
“Belum.” Aku tak lagi menoleh ke arahnya. Aku hanya tersenyum sembari menikmati kabut yang mulai berjalan beriringan menyambut mentari pagi.
“Masa cewek secantik kamu nggak punya pacar?”
“Emang aku cantik?” tanyaku balik.
“Enggak juga, sih,” jawabnya menahan tawa.
Aku mencebik ke arahnya dan malah membuat dia makin tertawa. “Kamu sendiri, udah punya pacar?”
“Udah,” jawab Reno mengakhiri tawa kecilnya.
“Oh.” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku merasa kosong saat mengetahui kalau Reno sudah punya pacar. Apa mungkin aku menyukai cowok ini? Rasanya tidak begitu. Aku terlalu belia untuk mengakui bahwa aku sedang jatuh cinta. Mungkin hanya perasaan suka, tapi berhasil membuat jantungku berdebar setiap hari. Kamu tahu, aku rindu saat-saat bisa duduk bersamanya. Walau terkadang kami hanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tapi, ketika ada dia di sampingku ... aku merasa nyaman.
“Tapi, nggak tahu kapan,” ucap Reno lagi.
“Eh!?” Aku sama sekali tidak memahami maksud ucapan Reno.
“Maksudnya?”
“Nggak ada maksud apa-apa.”
“Aneh.”
“Apa bedanya sama kamu?”
“Eh!?”
“Kamu kenapa jadi canggung gini? Biasanya cerewet banget. Nggak laper?” tanya Reno yang sudah terbiasa dengan rengekanku setiap kali aku merasa lapar.
“Nggak. Kenyang.”
“Udah makan?”
“Udah.”
“Kapan makannya? Kita berangkat ke sini aja subuh. Bude baru kelar sembahyang, belum ada masak apa-apa. Makan apa emangnya?”
“Makan hati!” jawabku ketus.
“Kamu kenapa? Tiba-tiba jadi jutek gini? Laper?” Reno mendekatkan wajahnya ke wajahku, dekat sekali sampai aku bisa merasakan napasnya menyentuh kulit wajahku.
“Iya. Aku laper. Cari makan, yuk!” Aku bangkit berdiri. Aku tidak bisa mengendalikan degup jantungku. Lama-lama di dekatnya, aku bisa ketahuan kalau aku sedang kesal dan cemburu karena dia sudah punya pacar. Kenapa selama ini dia begitu perhatian sama aku? Aku bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian dari cowok manapun selain dari Papa dan Kak Yoga.
“Tunggu!” Reno menahan lenganku.
“Kenapa lagi? Aku laper banget, nih.”
Reno menarik tanganku dan berdiri tepat di depanku. “Kamu udah pernah ke Batu Dinding?”
“Batu Dinding yang di tempatku?” tanyaku balik.
Reno menganggukkan kepalanya.
“Udah, lah. Kalo ke Batu Dinding mah, deket aja sama rumah. Kenapa emangnya?”
“Tanggal 14 aku tunggu kamu di sana jam 6 pagi, tepat saat matahari terbit. Jangan terlambat ya!”
“Eh!? Tanggal 14 bulan ini?”
“Tahun depan! Ya, iya lah tanggal 14 bulan ini. Masa tahun depan? Kelamaan.”
“Kenapa harus ketemu di sana, sih? Kalo mau ketemu, ke rumah aku aja sekalian. Kan deket.”
“Aku belum siap ketemu orang tua kamu.”
Aku tergelak. “Kayak lagi pacaran aja. Kita kan cuma teman. Buat apa sih pake kata belum siap segala. Udah kayak aku minta dilamar sama kamu aja, orang cuma–” ucapku sambil tertawa.
“I wish,” sela Reno.
“Eh!?” Aku menatap Reno lekat. Untuk pertama kalinya aku merasa jadi orang paling bodoh sedunia karena tidak bisa memahami ucapan Reno yang hanya dua atau tiga kalimat. Tidak ada penjelasan apa maksud kata-katanya dan aku harus berpersepsi sendiri, haruskah aku memaknai kalau dia menyukaiku? Ah, aku rasa tidak mungkin karena dia sudah punya pacar. Lagipula, jarak kami terlampau jauh. Aku tidak mungkin berharap padanya begitupun sebaliknya.
Reno tersenyum menatapku. “Ayo kita pulang. Kamu harus siap-siap balik ke Samboja, kan?”
Aku tersenyum, menganggukkan kepala.
***
Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melingkari angka 14 yang ada di kalender dengan tinta berwarna merah. Diujung kanannya aku beri gambar hati berwarna merah. Angka ini adalah angka penting dalam hidupku karena di hari itu aku akan bertemu dengan seorang cowok yang berhasil menemani 1000 detak jantungku di Surganya Jantur Pulau Borneo.
Aku tidak tahu bagaimana sikap dia padaku. Mungkin aku jatuh cinta pada orang yang tidak akan pernah mencintaiku. Tapi, tanggal 14 Juli membuatku terus merindukan sosoknya. Sosok yang bahkan tidak pernah aku tahu akan membuatku bahagia atau justru melukaiku.
Di tanggal 14 Juli, tepat jam 5 pagi aku mengendarai sepeda motor menuju ke Batu Dinding. Perjalanan ke sana memang tidaklah mudah. Terlebih aku juga harus mendaki ke atas batu yang terbentuk secara alamiah sepanjang 150 meter dan tinggi 125 meter bak Tembok Raksasa Cina.
Aku mencari sosok Reno di antara pengunjung lain. Aku tidak tahu bagaimana cara menemukannya. Batu yang aku pijak juga beresiko bisa membuatku jatuh jika tidak berhati-hati. Aku duduk di atas batu, tepat saat cahaya matahari mulai muncul di balik gumpalan awan pagi. Aku memijat lutut dan betis yang terasa pegal. Napasku tersengal karena menaiki Batu Dinding memang butuh tenaga ekstra.
“Sudah lama di sini?” Aku menoleh ke sumber suara yang menyapaku.
“Reno?”
Reno tersenyum manis ke arahku. Wajahnya yang membelakangi sinar matahari justru terlihat lebih memesona. Tanpa disadari aku menyunggingkan senyum bahagia ketika menatap wajahnya. Kami saling bertatapan selama beberapa menit. Aku tidak bisa membaca pikirannya, tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia bahagia sedangkan aku sangat bahagia.
Aku menyentuh pipiku yang menghangat. Semoga Reno tak menyadari kalau pipiku merona karena bahagia bertemu dengannya.
“Kamu nggak kangen sama aku?” Pertanyaan Reno benar-benar menghujam jantungku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bibirku kelu, pundakku naik turun mengatur nafas yang tak terkendali. Semoga dia tidak mendengar detak jantungku yang kini tak terkendali. Senyuman Reno benar-benar membekukan seluruh tubuhku.
Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi denganku. Sepertinya ia menyadari kalau aku menyukainya. Tidak mungkin ia tiba-tiba menodongku dengan pertanyaan seperti itu jika ia tidak menyadari sikap gugup yang tersirat dari gerak tubuhku. Duh, kenapa aku sebodoh ini?
Reno mendekatkan wajahnya ke wajahku dan membuat aku semakin gugup. Aku menggeser posisi duduk. Aku tidak menyadari kalau batu yang aku duduki tidak terlalu lebar dan licin. Untungnya Reno sigap menangkap tubuhku. Andai saja dia tidak melakukannya, aku sudah terjatuh ke bawah dan tidak tahu akan jadi apa kalau sampai tubuhku terhempas 125 meter dari puncak Batu Dinding.
“Kamu ini selalu aja ceroboh,” celetuk Reno.
“Sorry ... a ... ak ... aku ... grogi banget.” Aku menggenggam jemari tanganku sendiri.
Reno tersenyum dan menggenggam jemariku. “Nggak papa. Aku akan selalu menjaga kamu, kok.”
Pipiku menghangat saat mendengar ucapannya. Kemudian aku mencebik saat aku sadar kalau Reno sudah punya kekasih. “Nggak usah ngegombal ya! Udah punya pacar juga, masih aja gombalin aku.”
“Iya. Pacar aku kan kamu.”
“Idih, sejak kapan kita jadian?”
“Sejak kamu mau jadi pacar aku.”
“Nggak usah ngaco deh ya. Lagian kemarin kamu bilang udah punya pacar.”
“Iya, emang. Udah punya tapi nggak tahu kapan.”
“Maksudnya?”
“Yah ... aku baru akan punya pacar kalau kamu mau nerima aku jadi pacar kamu.”
“Eh!?” Aku melongo. Aku tidak bisa mencerna ucapan Reno dengan baik. Seburuk inikah isi otakku? Atau emang bahasa dia yang ketinggian?
“Ck. Susah ya ngomong sama cewek tulalit.” Reno melepas genggamannya dan melipat kedua tangannya di depan dada. Raut wajahnya terlihat kesal saat menatapku.
“Apa kamu bilang?”
“Tulalit!”
“Enak aja! Bukan aku yang tulalit. Kamu aja yang pake bahasa planet. Mana aku ngerti!” celetukku.
“Terus? Aku harus pake bahasa ayam supaya kamu ngerti?”
Aku menaikkan kedua alisku. “Tambahnya aku nggak ngerti.”
“Ya udah, sih. Aku ngajak ketemu di sini bukan buat berantem.”
Aku menghela napas. “Oke. Terus kamu ngajak ketemu di sini buat apa?”
“Buat cari obat,” jawab Reno sambil tersenyum.
“Salah tempat. Cari obat mah di apotek atau di rumah sakit sono,” sahutku.
“Aku udah cari ke seluruh apotek dan rumah sakit, tapi obatnya nggak ada.”
“Emangnya kamu sakit apa?”
“Sakit rindu ... dan obatnya cuma kamu.” Reno tersenyum sembari menatapku.
Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagiaku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia bisa juga ngomong romantis. Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa. Hanya membiarkan Reno menatapku entah sampai kapan. Mungkin sampai matahari kembali tenggelam.
“Kalau kemarin kamu menghitung 1000 detak jantung yang kita lewati bersama. Maka, hari ini aku menghitung detak jantung yang aku lewati tanpa kamu. Kamu tahu, satu detik tanpa kamu itu rasanya 1000 detik saat bersamamu.” Reno meraih ujung jemariku dan menggenggamnya dengan erat.
“Oh, ya? Ada berapa detak jantung yang kamu lewati tanpa aku?” Aku berbicara tanpa bisa melepas senyum dari bibirku.
“Aku belum selesai menghitung ... rasanya lebih dari seribu ... sepuluh ribu ... seratus ribu ... sejuta ... semilyar ... setriliun ... sebilyun ...”
Aku tertawa kecil dan menghampur ke pelukannya. Reno tersenyum dan membalas pelukanku.
Hari ini aku bahagia karena akhirnya aku bisa bertemu dengan orang yang aku rindukan beberapa terakhir ini. Yang lebih membahagiakan lagi, aku baru tahu kalau ternyata Reno kuliahnya di Balikpapan. Dia hanya di Melak saat libur kuliah. Hampir setiap minggu dia mengunjungiku untuk sekedar bersilaturahmi dengan Papa atau menghabiskan waktu menikmati Sunset atau Sunrise di Batu Dinding. Mengingat saat-saat kita menghabiskan waktu di Surga Jantur. Kami berharap, besok atau lusa bisa kembali mengunjungi Jantur-Jantur yang menjadi saksi benih-benih cinta di hati kita mulai tumbuh.
Aku masih terlalu belia untuk menetapkan hatiku hanya pada satu orang cowok. Tapi, Reno sudah begitu dewasa untuk menunjukkan padaku bahwa tidak ada tempat lain yang lebih nyaman selain di sisinya. Selama ia masih menjadi malaikat penjaga kecerobohanku, maka selama itu pula aku tak akan pernah berpikir untuk berpaling ... apalagi pergi.
“Ren ... mungkin sulit bagimu berucap ribuan kata cinta untukku. Tapi senyuman dan sentuhan hangat jemarimu ... telah membuat aku tahu bahwa ada milyaran kebahagiaan yang ingin kamu suguhkan untukku. Terima kasih sudah menjadi kisah yang tak terlupakan. Terima kasih sudah menjadi teman yang menemani jantungku berdetak.”
Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 24 Juni 2019