Nanda melangkahkan kakinya
dengan pasti menuju ke ruang Presdir Amora International. Tempat papanya biasa
bekerja setiap hari. Amora International adalah grup perusahaan dari lima belas
anak perusahaan. Nanda yang masih suka bermain-main, hanya diberi jatah untuk
mengurus satu anak perusahaan saja. Satu perusahaan saja tidak berkembang dan
sering mengalami kerugian. Membuat Andre tidak bisa mempercayakan semua
perusahaan yang ia miliki kepada puteranya.
“Pagi, Pa ...!” sapa Nanda
sambil melangkah masuk ke dalam ruang kerja Papa Andre.
“Pagi. Tumben ke sini?
Perusahaanmu bermasalah lagi?” tanya Andre.
Nanda mengangguk dan duduk
santai di kursi yang ada di hadapan meja kerja papanya. “Perusahaan produksi
anak lagi kacau dan bermasalah.”
“Kamu lagi bicarain Roro Ayu?”
tanya Nia yang baru saja keluar dari toilet ruangan tersebut.
“He-em,” jawab Nanda sambil
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Nan, Roro Ayu itu keturunan
bangsawan. Dia wanita berpendidikan, gaya bicara santun, sikapnya lembut. Apa
kamu tidak bisa merubah sikapmu jadi pria yang baik? Kamu ini sudah mau jadi
bapak, loh,” tutur Nia sambil menatap wajah Nanda.
“Lembut apanya? Membangkang
terus!” celetuk Nanda. “Aku tuh udah berusaha baik-baik sama dia. Kemarin, dia
udah baik sama aku. Setelah ketemu Sonny, dia makin ngeselin. Jangan-jangan si
Sonny yang udah pengaruh Ayu buat nyerang keluarga kita.”
“Ayu wanita yang cerdas. Dia
nggak akan mudah terpengaruh sama orang lain. Dia selalu bersikap baik. Kalau
dia bersikap buruk sama kamu, mungkin karena kamu sudah memperlakukan dia
dengan buruk juga.” Sahut Nia.
“Ma, yang anak mama itu aku
atau dia? Kenapa belain Ayu terus? Semua orang belain Ayu. Siapa yang belain
aku?” tanya Nanda sambil menahan kesal. “Dia juga bisa menindas dan merendahkan
aku ‘kan?”
“Kamu sudah salah, masih minta
dibela?” tanya Papa Andre sambil menatap wajah puteranya.
Nia menghela napas sambil
menatap wajah puteranya. “Nan, papamu sudah mempertaruhkan semuanya supaya kamu
nggak masuk ke penjara. Apa itu namanya nggak lagi belain kamu, hah!?”
“Emangnya nggak ada cara lain
selain menyerahkan perusahaan keluarga kita ke keluarga mereka? Ayu udah maafin
aku dan aku bisa bujuk dia untuk terima semuanya. Orang dia juga keenakan, kok.
Kenapa aku aja yang disalahkan? Alasan dia aja terlalu banyak supaya bisa
menguras harta keluarga kita,” sahut Nanda kesal.
“Kalau kamu nggak salah, dia
nggak akan menguras keluarga kita,” sahut Andre.
“Papa kayak nggak pernah muda
aja,” sahut Nanda makin kesal.
“Mudanya papa nggak kayak
kamu!” Andre melebarkan kelopak matanya ke arah Nanda.
Nanda terdiam saat mendapati
tatapan tajam dari papanya. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi Ayu.
Jika wanita itu masuk ke perusahaannya, ia tidak akan leluasa dan bergerak
bebas di sana.
Nanda menghela napas dan
merendahkan nada suaranya. “Oke, Pa. Aku tahu aku salah. I’m sorry ...! But ...
mmh, bisa atau nggak bikin Roro Ayu berhenti mengurusi kehidupan pribadi dan
perusahaanku?”
“Alasannya?” tanya Andre dingin
sambil memperhatikan layar laptopnya kembali. Ia enggan menanggapi permintaan
puteranya karena ia sudah mengetahui bagaimana prestasi Ayu semasa sekolah
hingga ia bekerja sebagai manager pengembangan bisnis di salah satu perusahaan
swasta di kota itu. Meski ayahnya punya perusahaan, tapi Ayu malah memilih
bekerja di tempat orang lain. Alasannya, hanya Ayu yang mengetahuinya sendiri.
“Mmh, anu ... mmh, itu ... anu,
Pa.” Nanda kebingungan mencari jawaban. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal
untuk mencari alasan yang tepat. Tapi tetap saja semua alasan yang ada
dipikirannya, malah membuat keadaan semakin kacau.
“Anu apa?” tanya Andre sambil
menatap wajah puteranya.
“Itu ... mmh ...” Nanda melirik
ke arah mamanya yang berdiri di sebelah Andre. “Anu ...”
“Takut kalau ayu menghabisi
semua perempuan simpananmu? Pantes aja perusahaan nggak bisa berkembang. Otakmu
isinya cuma perempuan aja,” sahut Nia.
“Memangnya Mama bukan
perempuan? Papa nggak pernah mikirin Mama?” tanya Nanda.
“Beda, dong. Mama di sini bantu
bisnis papa kamu supaya bisa berkembang. Nggak kayak pacar-pacarmu yang nggak
jelas itu. Bisanya cuma mintain duitmu doang. Kalau kamu tiba-tiba jatuh
miskin, apa mereka masih mau sama kamu?” sahut Andre sambil menatap wajah
Nanda.
“Pa, itu semua cuma hiburan
doang. Setress sama kerjaan kantor yang numpuk, pulang ke rumah denger istri
ngomel terus. Makin setress aku kalau nggak ada hiburan,” ucap Nanda berdalih.
“Pandai banget beralasan. Lebih
baik, kamu urus aja perusahaan dengan baik! Ada Roro Ayu yang akan membantumu
mengembangkan bisnis. Daripada kamu buang-buang waktu buat ngeluh di sini,
lebih baik pulang dan urus perusahaanmu!” pinta Andre.
“Papa ngusir aku?” Nanda
mengernyitkan dahi menatap wajah dingin papanya.
“Papa ada tamu penting. Lebih
baik kamu keluar dari ruangan ini! Papa nggak mau dia tahu kalau papa punya
pewaris bisnis yang begitu payah!” perintah Andre sambil menatap serius ke arah
Nanda.
Nanda langsung bangkit dari
sofa dan menatap kesal ke arah papanya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau
papanya tidak mau mendengarkan dia sama sekali. Kedua orang tuanya lebih
memilih untuk memihak Roro Ayu yang jelas-jelas sedang ingin mengendalikannya.
Apa pun yang akan dia ucapkan saat ini, tidak akan berguna sama sekali.
Tok ... tok ... tok ...!
“Selamat pagi, Pak ...!” sapa
sekretaris Andre sambil masuk ke dalam ruang kerja tersebut. “Tuan dan Nyonya
Ye sudah datang. Langsung saya suruh masuk atau menunggu terlebih dahulu?”
“Suruh masuk saja!” pinta Andre
sambil bangkit dari kursinya.
“Baik, Pak!” Sekretaris itu
langsung keluar dari pintu ruangan tersebut dan mempersilakan tamu mereka untuk
masuk ke dalam ruang kerja bos mereka.
Nia langsung merangkul Andre
dan melangkah bersamaan menyambut kedatangan teman baik mereka untuk
membicarakan bisnis.
“Hei, ada Nanda di sini?” sapa
Yuna sambil menatap wajah Nanda.
“Iya, Tante,” balas Nanda
sambil tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya dan mencium punggung tangan
Yuna dan Yeriko bergantian. Memberi penghormatan untuk orang yang sudah
seharusnya ia hormati.
“Gimana bisnis kamu? Lancar?”
tanya Yuna sambil tersenyum manis.
“Lancar, Tante,” jawab Nanda
sambil tersenyum canggung.
“Tante dengar, kamu sudah
menikah ya? Istri kamu mana?” tanya Yuna.
“Di rumah, Tante. Lagi hamil
muda. Jadi, harus banyak istirahat.”
“Wah, sudah mau jadi bapak?”
tanya Yuna sambil tersenyum manis. Ia merangkul lengan Yeriko yang berdiri di
sampingnya.
Nia tersenyum menatap wajah
Yuna dan Yeriko. “Mari duduk!”
Yuna dan Yeriko mengangguk
bersamaan dan duduk di sofa tamu yang sudah disediakan. Mereka terlihat serius
membicarakan kerjasama bisnis yang sudah terjalin selama bertahun-tahun.
“Nanda, kamu masih urus satu
perusahaan?” tanya Yeriko sambil menoleh ke arah Nanda yang kebetulan juga ada
di sana.
“Iya, Oom.”
“Kamu anak tunggal. Warisan
keluargamu hanya akan jatuh di kamu. Nggak perlu berbagi dengan saudara yang
lain. Kenapa masih urus satu anak perusahaan saja? Papamu terlalu
memanjakanmu?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Nanda.
Nanda terdiam sambil menelan
salivanya dengan susah payah. Sudah hampir empat tahun ia memimpin satu anak
perusahaan milik Amora dan tidak ada perkembangan. Membuktikan kalau ia tidak
bisa mengembangkan bisnis orang tuanya dengan baik.
“Nan, kamu punya previlege. Apa
itu tidak bisa membantumu berkembang lebih pesat dari yang lain?” tanya Yuna.
Nia menghela napas mendengar
pertanyaan Yuna. “Susah, Yun. Dia nggak bisa seperti anak-anakmu yang pandai
berbisnis. Ngurus satu perusahaan aja keuangannya sering minus. Untungnya
perusahaan lain masih bisa nolong.”
“Oh ya? Serius, Nanda?” tanya Yuna
sambil menatap wajah Nanda. “Ibumu punya perusahaan transportasi yang cukup
besar, loh. Harusnya stabil ‘kan? Bahkan bisa berkembang lebih cepet.”
“Dia mah berkembang biaknya aja
yang cepet,” sahut Nia sambil menunjuk Nanda dengan dagunya.
“Hahaha.” Yuna langsung
tergelak mendengar ucapan Nia. Ia teringat dengan cerita wanita itu saat
bertemu beberapa waktu lalu.
Nanda terdiam. Ia hanya
mendengarkan pembicaraan dua pasangan bisnis yang ada di hadapannya itu.
Terlalu banyak hal yang ia tidak tahu tentang sejarah dan cara membaca masa
depan. Membuatnya tidak bisa bergabung dalam pembicaraan tersebut. Terlebih, di
setiap pembicaraan mereka selalu terselip kalimat yang terkesan menyindir
kinerjanya di perusahaan dan juga kelakuan nakalnya yang tidak berubah meski
kini ia sudah berkeluarga.
((Bersambung...))
Terima kasih selalu menjadi
sahabat setia bercerita!
Semoga bisa menghibur,
menginspirasi dan menjadi motivasi untuk kalian semua dalam menghadapi
kesulitan hidup ini.
Much Love,
@vellanine.tjahjadi