Thursday, March 14, 2019

Ranting Ranti [Bab 1 - Tanpamu]



BAB 1 

-Tanpamu-


“Ran, Bapak sama Emak berangkat dulu ya! Jaga adik-adik di rumah dengan baik.” Pamit Mak Yati pada ketiga anaknya. Mereka berencana ke kota untuk memenuhi undangan.
“Iya Mak. Bapak sama Emak hati-hati ya!” Ranti mencium bahu tangan kedua orang tuanya. Diikuti oleh kedua adiknya yang masih kecil.
“Nanti Sinta dibelikan sepeda ya Pak!” pinta Sinta yang baru menginjak usia empat tahun.
“Iya Sayang. Nanti Emak belikan sepeda buat Sinta. Sinta di rumah yang pinter ya! Jangan nakal, jangan bikin repot Mbak Ranti. Juga jangan cengeng!” pesan Mak Yati sambil mencium kening Sinta.
“Andi, jaga adik kamu baik-baik ya! Jangan kelahi! Andi kan laki-laki sendiri. Harus bisa jagain Adek Sinta dan Mbak Ranti ya!” Pak Dillah menambahkan.
Andi mengangguk tanda mengerti.
Pak Dillah dan Mak Yati bergegas pergi dengan sepeda motor bututnya. Meninggalkan ketiga anaknya yang masih memandangi tubuh kedua orang tuanya di depan pintu rumah hingga mereka tak dapat terlihat lagi.
Ranti bergegas masuk ke dalam rumah, mengajak kedua adiknya bermain di dalam rumah. Menutup pintu rapat-rapat agar Sinta tidak keluar rumah sendirian.
“Kak, nanti Sinta mau dibelikan sepeda."  Sinta pamer pada kakak keduanya.
“Iya, pasti sepedanya bagus ya?” Andi tersenyum, menyenangkan hati adiknya.
“Iya dong. Nanti Kak Andi boleh pinjam kok. Nanti gantian pakainya.” Sinta tersenyum sembari menyisir rambut boneka kesayangannya.
“Kak Andi kan sudah punya sepeda. Nanti sepedanya Sinta pakai sendiri saja,” balas Andi.
“Tapi, sepedanya Kak Andi kan sudah jelek,” gumam Sinta.
“Nggak Papa. Kan masih bisa dipakai.” Andi sambil menatap sepeda miliknya dari balik jendela. Sepeda itu ia sandarkan di bawah pohon kelapa, tepat di samping rumah. Sepeda itu warisan dari Mbak Ranti. Sehingga keadaannya sudah tidak bagus lagi. Standartnya sudah putus hingga tidak bisa menopang tubuh sepeda saat tak dipakai. Remnya juga sudah rusak, Andi memasang potongan sandal di atas bannya, potongan sandal itulah yang ia gunakan untuk menahan bannya berputar saat mau berhenti. Warnanya juga sudah usang dan berkarat. Tapi, Andi masih memakainya karena cuma itu yang ia punya. Ia tidak mau merepotkan kedua orangtuanya dengan merengek meminta sepeda baru.
Ranti mendengarkan percakapan mereka dari bilik dapur. Sesekali ia memperbaikai dan meniup kayu bakar yang terkadang mati jika ditinggalkan. Tangannya sibuk memotong sayur kangkung yang ia petik dari belakang rumah. Satu jam kemudian, nasi, sayur kangkung dan ikan asin goreng sudah siap di atas meja dapur. Ia mengajak kedua adiknya untuk makan bersama.
“Sinta mau teh!” Sinta merengek, menepis tangan Ranti saat memberikan air putih.
“Sebentar ya Mbak buatkan.” Ranti bergegas menuju termos yang berisi air panas. Menuangkan satu setengah sendok gula dan teh ke dalam gelas. Kemudian menuangkan air panas ke dalam gelas.
Tarrrr....!
Tiba-tiba gelas yang diisi air panas pecah diiringi teriakan kecil Ranti, sebab kakinya terkena percikan air panas.
“Kenapa Mbak?” Andi bergegas menghampiri Ranti.
“Nggak Papa. Sepertinya gelas ini memang sudah rapuh.” Ranti gelisah. Tiba-tiba jantungnya berdetak hebat. Tubuhnya  gemetar, wajahnya memucat. Hatinya di serang perasaan gelisah. Bayangan kedua orang tuanya bergelayut di pikirannya. "Semoga Bapak dan Emak baik-baik saja," batin Ranti sembari mengaduk teh hangat yang untuk Sinta.
Usai makan, Sinta dan Andi kembali bermain bersama. Sinta asyik berlari-larian hingga terjerembab di teras rumah. Lutut kirinya lecet dan itu membuatnya tidak berhenti menangis. Ranti semakin bingung. Karena Sinta sulit sekali untuk dihibur, bahkan lukanya tidak boleh tersentuh sedikit saja apalagi diberi obat.
“Bapak sama Emak lama ya Ndi? Ini sudah hampir senja. Biasanya selepas Ashar mereka sudah kembali. Sinta juga nggak berhenti-berhenti nangisnya.” Ranti mulai gelisah. Ia terus menggendong Sinta yang masih menangis.
“Ia Mbak, kok belum pulang juga ya? Biasanya kalau ke kota itu jam segini sudah pulang. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Bapak dan Emak.” Andi tak kalah gelisah.
"Hush..! Jangan bicara seperti itu. Mereka pasti baik-baik saja. Mungkin mereka terlambat pulang karena masih mencari sepeda yang bagus untuk Sinta." Ranti menatap lembayung senja dari teras rumahnya. Sungguh, hatinya sangat gelisah. Namun ia tak ingin menunjukkan kepada kedua adiknya.
“Ranti...!” Pak Yogi , ketua RT datang dengan tergopoh-gopoh. Diikuti beberapa warga dibelakangnya.
Ranti menatap mereka penuh tanya. Tidak biasanya warga datang beramai-ramai ke rumahnya, kecuali di hari raya. Lagi pula kedua orang tua mereka sedang tidak di rumah.
“Ada apa Pak? Emak sama Bapak sedang tidak di rumah.” Ranti menatap wajah Pak Yogi yang gelisah.
“Ayo masuk dulu ke rumah! Bapak mau bicara denganmu.” Pak Yogi  masuk ke dalam rumah Ranti dan duduk bersama.
Pak Yogi mengerutkan kening dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal setiap kali menatap ketiga wajah polos yang ada di hadapannya.
"Kamu saja yang sampaikan, Man! Saya bingung." Pak Yogi menyenggol lengan salah seorang warga.
"Bapak saja. Bapak ketua RT." Yang ditunjuk malah menunjuk balik. Bahkan mereka saling tunjuk dan berbisik.
Hal ini membuat Ranti curiga. Ranti menatap wajah Pak Yogi dan beberapa warga satu per satu. Semuanya terlihat bingung. Sama bingungnya dengan Ranti.
"Mmm... begini Nak Ranti." Pak Yogi berdehem untuk memulai pembicaraannya.
"Ya, Pak?" Ranti menatap Pak Yogi penuh tanya.
Pak Yogi kembali menggaruk kepalanya. Menoleh ke beberapa warga yang memberikan semangat untuk melanjutkan kalimatnya.
“Ran... baru saja Bapak dapat telpon dari rumah sakit." Suara Pak Yogi tercekat. "Bapak dan Emak kamu kecelakaan, nyawanya tidak dapat tertolong.” Pak Yogi menahan napas di dadanya. Menyaksikan ketegangan di wajah Ranti.
Deg... jantung Ranti terasa berhenti berdetak. Kalimat yang keluar dari Pak Yogi bagai sambaran petir yang menyerang tubuhnya jutaan kali. Air matanya tumpah begitu saja. Teriakkannya histeris memanggil nama kedua orang tuanya. Nama yang tak akan pernah lagi mendengar panggilannya apalagi menyahut. Ia terus menangis histeris. Beberapa warga mencoba menenangkannya.
"Sabar Ranti.. ini sudah takdir Allah. Kamu harus kuat!" Bu Yogi memeluk tubuh Ranti yang masih memangku adik bungsunya. Adik bungsunya masih menangis kesakitan karena jatuh, ia belum mengerti apa itu kematian.
Ranti terus terisak dalam pelukan Bu Yogi. "Ranti gimana kalo Bapak sama Emak nggak ada, Bu? Andi dan Sinta masih kecil-kecil."
Bu Yogi menelan ludah mendengar ucapan Ranti. Ia hanya bisa mengelus-elus bahu Ranti. Tak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya. Hanya air mata yang membasahi pipinya. Menyaksikan tiga anak kecil yang tiba-tiba ditinggalkan kedua orang tuanya. Mereka masih terlalu kecil untuk merawat diri mereka sendiri. Bagaimana nasib mereka tanpa orang tua?
Sementara Andi meringkuk di sudut ruangan. Ia tak kuasa menahan air matanya berderai. Membenamkan wajahnya dalam-dalam di lipatan tangan dan kakinya. Ia masih tak percaya jika Bapak pergi meninggalkan mereka. Pergi meninggalkan Andi yang baru saja mendapatkan kebahagiaan karena akhirnya bisa mengenakan seragam merah putih. "Baru kemarin Bapak bilang Andi gagah dengan seragam sekolah yang baru. Kenapa sekarang Bapak malah pergi? Andi baru punya satu seragam. Bapak belum lihat Andi pakai seragam putih abu-abu. Bukannya Bapak pengen lihat Andi bisa sekolah tinggi?" batin Andi dalam tangisnya.


Cerita Selanjutnya ...

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas