Tuesday, August 15, 2023

Cerpen Kompetisi : Merdekaku Karya ZaMo

 

MERDEKAKU

Penulis: ZaMo

 

“Ma, saya sudah bercerai dengan Mas Bagus.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang sudah tidak mengunjungi ibunya selama satu tahun lamanya. Aku.

Pagi itu, aku tahu aku akan mengacaukan sisa hari mama. Atau yang terburuk, mungkin sisa hidupnya.

Dentingan suara bunyi ujung gunting yang membentur lantai adalah suara pertama yang kudengar setelah suaraku sendiri.

Mama yang sedang duduk di dekat jendela menghentikan aktivitas menjahitnya, mengalihkan pandangannya dari gerak jarum padaku. Tatapan yang sedikit membuatku merinding, namun aku bergeming.

Suasana rumah yang bermandikan cahaya matahari lewat jendela-jendela yang dibuka mendadak berubah suram.

“Bercanda, kan?” Suara mama terdengar gemetar, dari raut wajahnya pun ia tahu aku tidak sedang bercanda.

Rumah tanggaku dengan Mas Bagus memang tidak pernah benar-benar baik-baik saja, bahkan sejak awal pernikahan kami. Mama pun tahu itu.

Aku menggeleng, tangan kanan mencengkeram tali tas untuk sedikit menguatkan kaki yang rasanya sudah ingin cepat-cepat lari sejak tadi.

Reaksi mama adalah sesuatu yang sudah kuprediksi, karenanya aku sengaja mengurus semuanya diam-diam beberapa bulan belakangan ini.

Mama bangkit berdiri, menghempaskan selimut berlubang yang belum selesai ia jahit karena putri sulungnya ini. Hempasan kasar yang bukan pertama kali ini kulihat karena mama memang suka membanting barang-barang saat sedang marah.

“Mama mau ke mana?” Kutahan tangannya. Kali ini ganti suaraku yang gemetar.

Mama orang yang nekat. Saat adik bungsuku memberitahunya kalau ia hamil padahal masih duduk di bangku SMA, mama berlari ke jalan raya, menabrakkan dirinya pada kendaraan yang lewat, mengutuk dirinya karena gagal mendidik anak. Aku takut ia akan melakukan hal yang sama lagi, karena aku.

Mama menghempaskan tanganku hingga mengenai ujung meja, darah segar menetes, namun sedikit pun perempuan yang membawaku lahir ke dunia itu tidak peduli. “Mau bicara dengan Bagus.”

“Bicara dengan saya saja,” selaku.

Kutarik napas pelan, mempersiapkan mental untuk menjatuhkan bom kedua. “Berbicara dengan Mas Bagus tidak akan mengubah apapun. Saya yang menceraikannya.”

Tamparan keras mendarat di pipiku. Panas.

Ini juga bukan pertama kalinya, mama selalu melakukannya setiap kali aku mengatakan ingin berpisah dengan Mas Bagus. Awal-awal aku masih sering menangis, sekarang sudah kebal. Setetes pun tidak ada cairan yang keluar dari mataku.

“Keputusan sudah dibuat oleh pengadilan, tidak akan ada yang berubah,” imbuhku dengan tangan terkepal kuat.

“Perempuan tidak tahu diuntung!” kutuk mama.

Aku menarik salah satu sudut bibirku tipis. Menertawai kuatku yang hanya sampai sebatas ini. Kalimat mama barusan nyatanya masih membuatku sakit hati. Payah.

“Harusnya kamu bersyukur Bagus memilihmu di antara banyak perempuan yang ingin bersanding dengannya dulu.” Mama berbicara sambil menoyori kepalaku. “Dia kaya, terhormat.”

Aku memberanikan diri menatap mata mama. “Hanya itu, kan?”

“Hanya dua hal itu ‘kan yang Mas Bagus punya?” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.

Dua hal yang membuat mama tergila-gila pada anak camat yang naksir dengan putrinya, hingga mama memaksaku untuk menghentikan pendidikan S2 yang sedang kujalani dengan beasiswa yang susah-susah kudapat hanya karena calon mantu idamannya itu ingin cepat naik ke pelaminan. Dua tahun setelah pernikahan, baru kuketahui kalau ternyata itu hanya kedok, ia tidak ingin istrinya memiliki pendidikan lebih tinggi darinya.

“Memang apa lagi yang dibutuhkan dalam hidup lebih dari dua hal itu?” balas mama. Tatapannya masih semembara sebelumnya.

“Mama tidak pernah peduli saya bahagia atau tidak?” debatku.

“Apa yang lebih membuat seorang perempuan bahagia dibanding tinggal di rumah yang bagus, memakai baju-baju mahal, perhiasan tinggal pilih, tidak direndahkan orang?” Mama memelototiku, merasa menang.

Mama terlahir dari keluarga miskin, menikah dengan laki-laki yang hanya memberi nafkah saat ingat, anak-anaknya tidak ada yang bisa dikatakan sukses, karenanya sedikit banyak aku paham mengapa ia memandang kebahagiaan sesempit itu.

“Agar tidak direndahkan orang.” Aku mengulang apa yang mama katakan. “Itu ‘kan yang paling penting bagi mama?”

Mama menatapku dengan mata yang memerah penuh amarah. Batasnya kulewati dan mungkin akan lebih lagi.

Kutunggu ia bicara, namun tidak ada suara. Jadi, aku bicara lagi, “Itu juga alasan mama tidak pernah bisa benar-benar bahagia selama ini. Mama terlalu memikirkan pandangan orang.”

Tamparan keras lain kembali mendarat di pipiku. Aku tidak peduli, masih ingin bicara. “Seandainya dulu mama mau papa ceraikan, seandainya dulu mama memilih untuk mengejar kebahagiaan mama sendiri, mama pasti akan ribuan kali lebih bahagia, dan aku tidak perlu menanggung semua penderitaan ini.”

Ya, mama dalam ingatan masa kecilku adalah seorang perempuan pekerja keras. Ia cantik, pandai berjualan, dan hampir tidak pernah mengeluh. Masakan mama enak, tidak jarang orang meminta bantuannya untuk memasak saat ada acara. Mama senang-senang saja, dapat uang untuk tambahan kebutuhan rumah dan jajan anak. Namun, semuanya berubah ketika masa puber kedua papa datang hingga di titik ia ingin menikah lagi.

Mama tidak mau cerai, baginya menjadi janda cerai adalah aib. Katanya tidak ada satu pun orang di kampungnya yang bercerai. Ia tidak ingin menjadi yang pertama, namun tidak sadar sudah mengubah hidupnya sendiri dan anak-anaknya menjadi neraka.

Sejak itulah mama berubah, menjadi sangat emosional, pemarah, dan pemalas. Bagian terburuknya, aku bahkan tidak bisa menyalahkannya atas semua itu. Mama adalah korban, begitu pun aku.

Aku menunduk, menumpukan pandanganku pada ujung daster mama yang kubelikan sebulan sebelum pernikahanku dengan Mas Bagus dulu, warnanya sedikit memudar, sudah lima tahun yang lalu. Selama lima tahun itu pulalah aku tidak pernah bisa memberikan apapun untuk mama lagi. Mas Bagus tidak mengizinkanku, menyebut mama hanya akan memperalatku. Tidak pernah memberiku uang belanja lebih, semua uang ia yang pegang. Rasanya aku hanyalah pembantu yang halal untuk ia tiduri.

Namun, tidak pernah mama protes. Mas Bagus tetap menantu yang selalu ia bangga-banggakan.

Mama mengembuskan napas keras.

“Kamu senang mamamu jadi bahan tertawaan dan gunjingan orang karena menjanda? Dianggap tidak bisa urus suami.” Mama mengepalkan tangannya hingga otot-otot di lengan kurusnya semakin terlihat. Ada bersitan kebahagiaan di dalam diriku melihatnya berusaha menahan diri untuk tidak memukulku lagi.

“Menjadi janda bukan dosa, Ma!”

“Justru mereka yang menggunjing orang lain itulah yang berdosa.”

Mama mengibaskan tangannya, tidak ingin mendengar apapun dariku yang selalu ia anggap hanya sebagai omong kosong.

“Kamu bukan lagi anak mama, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi,” pungkas mama tanpa menatapku. Badan ringkihnya ia bawa kembali ke kamar, meninggalkan putrinya yang sedang sangat membutuhkan dekap erat dan usapan lembut di punggung.

Tubuh mama menghilang di balik gorden merah muda yang dulu sering kugunakan untuk bersembunyi saat bermain petak umpet dengannya. Sekarang, di kamar itu hanya ada mama yang mungkin tengah hancur karenaku. Namun, kuharap mama tahu hormatku padanya tidak akan pernah hilang, karenanya aku memilih jalan ini.

“Kak.”

Aku terkesiap, melompat keluar dari lamunanku ketika tangan Wini, adik bungsuku menyentuh bahuku. Dari tatapannya, aku tahu Wini mendengar semuanya dan dengan matanya, ia berusaha menguatkanku. Aku mengangguk, memeluknya sebentar, lalu pamit pergi.

Aku setengah berlari keluar, namun seseorang yang berdiri di teras menghentikan langkahku hanya dengan keberadaannya.

Hisman berjalan ke arahku, mengulurkan salep dan amplop yang tampaknya sudah ia siapkan sejak tadi. Kugigit bibir bagian dalamku kecil, ia pasti melihat bekas memar di lenganku karena pukulan tongkat kasti Mas Bagus. Sudah beberapa bulan lalu, namun bekasnya belum hilang. Mungkin tidak akan pernah hilang.

“Man, saya sudah melakukan hal yang benar, kan? Saya akan bahagia, kan?”

Hisman tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia tepuk tanganku lembut. “Bahagia dan merdeka.”

Aku tertawa tanpa suara. Kuharap juga begitu.

Walau aku tidak pernah membicarakan tentang masalah rumah tanggaku pada Hisman, namun aku tahu ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tahu karena mama yang selalu berakhir menceramahiku dengan teriakan setiap kali aku mengadu dan memberitahunya ingin menyerah.

Kutatap wajah lelaki yang pernah kuimpikan menjadi suami itu selama beberapa detik, menyayangkan keberanianku yang tidak cukup kuat untuk memperjuangkannya, namun sepertinya itu adalah yang terbaik. Mama mungkin akan menghunuskan pisau pada kami berdua jika tahu aku ada main dengan putra perempuan yang sudah membuat papa berpaling darinya.

“Titip mama, ya,” pintaku pada Hisman. Aku tahu tidak ada yang bisa lebih kupercaya tentang keluarga sedarahku lebih dari ia. Ibu Hisman sudah meninggal tiga tahun lalu, kecelakaan bersama papa, namun ia memilih untuk tetap tinggal di rumah ini bersama mama dan Wini.

Hisman menahan tanganku saat aku akan beranjak pergi, diletakkannya salep dan amplop yang ia pegang di telapak tanganku. “Bawa ini.”

“Terima kasih,” ucapku sungkan.

“Hati-hati.”

Aku mengangguk dan melangkah pergi, menghampiri tukang ojek yang tadi mengantarku ke sini dan kuminta untuk menunggu.

Tepat saat aku menginjakkan kaki di trotoar, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh tim paduan suara perayaan kemerdekaan berkumandang dari lapangan seberang jalan.

Ya, hari ini adalah tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Hari yang kuharap juga akan mengantarkanku pada kemerdekaanku sendiri.

Kualihkan pandanganku dari sang merah putih yang sudah selamat sampai puncak tanpa terbelit pada wallpaper ponselku yang menampilkan York Minster. Beberapa jam lagi aku akan berada di negara tempat kota itu berada, melanjutkan pendidikanku dengan beasiswa yang susah payah kuperjuangkan selama dua tahun terakhir.

Sama dengan para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini di masa lalu, aku juga akan berjuang untuk menjadi pahlawan bagi hidupku sendiri yang selama ini kehilangan arti setelah memasuki mahligai pernikahan yang sama sekali tidak kuingini.

Seperti kata Hisman, aku akan bahagia dan merdeka.

Tentu saja itu membutuhkan perjuangan dan aku sudah lebih dari siap untuk memperjuangkannya.

Kutarik napas dalam dan mengembuskannya kuat. Menghempaskan sisa-sisa sesal dan ketakutan yang hanya akan menjadi kerikil penghalang bagi langkahku.

Kutatap rumah tempatku tumbuh selama dua puluh tiga tahun itu sekali lagi.

“Saya akan kembali, Ma … dengan lebih bahagia.”

***

 

 

PROFIL PENULIS

 

ID ANGGOTA PK235258745794. ZaMo sudah menekuni dunia literasi sejak remaja, ia senang berkumpul dengan orang-orang yang berpikiran positif dan membawa dampak positif.

 


 

Cerpen Kompetisi : Sesungguhnya Kita Masih Dijajah Karya N. Laila

 

SESUNGGUHNYA KITA MASIH DIJAJAH

Penulis: N. Laila

           



Makna kemerdekaan adalah bebas dari penjajah. Namun, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan?

 

 

“Berapa kompensasi yang kudapat jika terjadi kesalahan teknis?”

Astaga, sontak aku berpikir Ibu terlalu lembek mendidikku. Wajahnya lebih dingin dari arak yang dihidangkan di meja kami.

Arthuro merupakan orang pribumi yang dilahirkan dengan nama depan terlalu Latin dan perawakan setengah Eropa. Matanya terlihat bengis dan rahang yang membuat iri para preman pasar. Ia datang ke perusahaan sebagai subjek penelitian eksperimen.

Pada hari pertama perjumpaan kami, setelannya lebih rapi daripada bosku sendiri. Kemeja putih, celana bahan hitam, sepatu hitam. Kalau kau bekerja di Microsoft atau Delta Air Lines, busana seperti itu akan sangat normal. Namun, aku bekerja di sebuah perusahaan OSCORP dengan seorang bos yang bisa datang menggunakan kaus polo Ralph Lauren dan pulang “berseragam” LA Lakers. OSCORP merupakan sebuah perusahaan pelopor teknologi yang memiliki keahlian penuh dalam segala hal sains mulai dari robotika hingga genetika.

“Ah, Bara, sepertinya rekor datang pagimu punya penantang sekarang,” cibir bosku yang kini tampak terlalu konvensional dalam segi apa pun. Ya, ketika aku datang, Arthuro sudah duduk sendirian di sofa lobi kantor.

Arthuro menatapku sambil tersenyum dingin. “Saya sudah menandatangani surat persetujuan subjek eksperimen dan menyetujui semua peraturan perusahaan. Dia memberimu delapan. Tapi kalau kau bisa mendapat lima saja, saya bisa membuang obat tidur ke kloset.”

Darahku menjadi dingin. Aku melongok ke arah bosku untuk menuntut penjelasan. Apakah wajahku memiliki citra pelawak sehingga ia malah tertawa?

“Bara,” panggilnya, menepuk pundakku. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk membiasakan diri dengan gaya bicaranya yang singkat menusuk. “Kautemani Arthuro pergi menguji kelayakan mesin. Meski secara fisik bangsa Indonesia telah merdeka sejak 1945, tetapi kita masih dijajah oleh teknologi yang semakin hari kian berkembang. Perkembangan teknologi yang maha dahsyat itu telah berhasil menjajah generasi muda.”

“Santai saja. Saya berharap jawabannya tidak, kok. Kalau kau berhasil pulang dengan membawa dampak baik, bukan hanya delapan, tetapi sepuluh miliar pun menjadi milikmu,” lanjut bosku.

Kami diberi waktu satu pekan untuk mempersiapkan diri menjadi tikus praktikum sebelum dieksekusi. Aku tidak berperan sebagai relawan uji klinis vaksin yang dijamin asuransi kesehatannya. Melainkan, sebuah apel di atas kepala seseorang yang hendak dipanah, kembali utuh atau tidak, bergantung kepada keberuntungan. Sampai tibalah saatnya di mana aku dan Arthuro bermain dengan kematian.

Terowongan mesin waktu atau yang kami sebut “Wormhole” tampak seperti mimpi buruk di kepala anak-anak. Terowongan sempit dengan kedua ujung lebih lebar—mirip dua buah corong yang bagian kecil ujungnya saling terhubung—merupakan ciptaan sekelompok ilmuwan OSCORP dibuat dengan menyimulasikan dua foton, partikel tunggal cahaya dasar yang dapat berinteraksi ketika melakukan perjalanan waktu.

Arthuro menepuk pundakku cukup keras. “Tidak perlu takut mati. Bukankah kau percaya Tuhan? Jika belum saatnya mati, tubuh tanpa kepala pun kau masih bisa berjalan.”

Apakah hidup baginya hanya sebuah lelucon? Hidup dan mati memang di tangan Tuhan, tetapi alat di depan kami ini tidak bedanya media untuk bunuh diri.

Bosku mulai mengatur tujuan hari, tanggal, bulan, dan tahun yang akan dikunjungi, tetapi tidak memberi tahu kami secara detail. “Tenanglah, Bara. Obyek astronomis ini selaras dengan teori Relativitas Umum dan Mekanika Umum Albert Einstein. Apa yang perlu diresahkan?” cetusnya.

“Kenapa tidak Bos saja yang coba?” Ia hampir menampar mulutku dengan sepatu.

Tentunya, kami tidak langsung dibuang bertelanjang badan seperti kotoran. Kemungkinan tubuh kami akan hancur lebur dalam se per sekian detik ketika meluncur di wormhole. Ada mesin khusus serupa kapsul dengan bodi terbuat dari zirkonium berlapis boron. Aku dan Arthuro berbaring di mesin tersebut secara terpisah dengan tingkat keamanan sempurna. Sabuk pengaman ini nyaris membuatku kesulitan memperoleh oksigen dan membuang karbon dioksida.

Mesin meluncur memasuki terowongan penjelajah waktu yang gelap dan mengeluarkan bunyi dengung menakutkan—seperti bunyi “ng” yang sangat panjang tanpa waktu jeda. Sontak aku berpikir inilah rasanya kematian, dilingkupi kegelapan dan ketakutan. Ibu pernah mendidikku untuk “survive alone”. Boleh jadi hari ini banyak yang menyayangiku, tetapi, “In the end of the day, just you, and yourself,” tuturnya.

Kami terkatung-katung di dalam wormhole selama beberapa jam, sebelum akhirnya mendarat di sebuah hutan atau perbukitan pada malam hari.

Arthuro tidak menjawab pertanyaanku. Di mana ini? Tahun berapakah? Mengapa begitu pekat bau anyir darah? Aku merinding sekujur badan, tetapi ia tetap terlihat gagah sambil menutup hidung dengan kerah kemejanya. Kami menelusuri tempat ini dengan bantuan korek api, gelap dan sepi. Namun, isi kepalaku ribut dihantui teriakan-teriakan pilu yang mungkin saja hanya halusinasi semata.

Kami menemukan sebuah pos jaga. Pria berperawakan gagah dengan tinggi sekitar 160 cm, memakai seragam hansip, dan kumis tebal yang melintang, lantas mencegat kami. “Cepat kenakan seragam! Sebentar lagi rombongan truk yang membawa pesakitan ke lokasi pembantaian akan segera sampai!” perintahnya tiba-tiba.

“Kenapa diam? Bukankah kalian hansip baru yang dikirim kantor camat untuk ditempatkan di sini? Kami kekurangan petugas!” Tatapan pria itu seperti hendak menelan kami hidup-hidup.

“Ya!” jawab Arthuro.

Cukup lama aku membatu untuk mencerna setiap kalimat yang dikatakan pria itu. Namun, mengapa Arthuro mengiyakannya begitu saja?

Kami berganti pakaian. Diam-diam Arthuro memberi penjelasan lewat petunjuk yang didapatkannya dalam tabel jadwal harian jaga di dinding pos. “Kita berada di perbukitan Seulawah, pinggiran Kota Sigli, Aceh pada Oktober tahun 1965. Itu artinya ....” Ia menjeda kalimatnya. “Sedang terjadi penangkapan massal orang-orang komunis.”

“Dari mana kautahu?” tanyaku.

Ia menoyor kepalaku. “Pemuda yang berhasil dijajah teknologi akan melahirkan generasi yang bodoh.”

Ketika langit di atas perbukitan Seulawah makin gelap gulita, jam sembilan malam rombongan truk yang membawa para tahanan tiba di pos jaga. Mereka yang membawa orang-orang putus asa itu merupakan TNI, polisi, polisi militer, dan Pertahanan Sipil (Hansip) dari kecamatan. Aku turut dipaksa ikut menjadi algojo yang bermain di lokasi pembantaian. Sungguh, ini seperti mimpi buruk, dan aku tidak bisa melakukan apa-apa.

“Kalau tidak mati atau lepas kepalanya, potong lagi! Tarik rambutnya, potong lagi!” teriak seorang tentara lengkap dengan seragam, sepatu hitam, dan topi pet.

Tidak berpanjang-panjang Arthuro mengayunkan parang sebanyak dua kali ke tengkuk tahanan hingga kepalanya terpisah. Sontak aku merasa mual dan lemas. Rasa dingin mengalir di punggungku. Gelombang ketakutan merambat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku lumpuh seketika.

Mereka yang hendak dieksekusi itu duduk satu per satu, kakinya masuk ke dalam lubang pembuangan mayat. Mereka adalah orang-orang sial yang dituduh anggota, simpatisan, dan ada kaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), atau bagian dari Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Laki-lakinya hanya mengenakan kaus putih dan kain sarung. Perempuan mengenakan kebaya, sebagian dari mereka adalah penari.

“Keluarkan!” Kali ini, satuan polisi militer menggeledah tubuh tahanan dan menemukan sesuatu di kantong bajunya. “Apa ini?!”

Ia menjawab dengan kepala tegak dan sorot mata berani. “Kitab surat Yasin. Kami diperlakukan seperti anjing. Biar Tuhan yang mengadili!”

“Mana ada Tuhan! Apa Tuhan? Mana Tuhan?!” Hardikan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang (yang dituduh) komunis itu.

Tidak ada satu orang pun yang dieksekusi di tempat ini ditembak dengan senjata api. Semua orang-orang komunis dihabisi sampai ke akar-akarnya menggunakan parang. Selain hemat peluru, juga untuk menjaga kesenyapan tempat kejadian perkara karena operasi pembantaian dilakukan secara “rahasia”.

Aku dipaksa memegang parang oleh satuan tentara dan dibentak-bentak, diperintah untuk melanjutkan pembantaian kepada orang-orang PKI. Betapa gemetar tanganku memperoleh alat eksekusi yang telah berlumuran darah itu. Memegang pisau saja tidak pernah benar. Di hadapanku adalah calon korban terakhir yang akan bersatu dengan empat belas mayat tanpa kepala lainnya dalam satu lubang sempit. Setiap lubang berisi antara tujuh sampai lima belas orang.

“Bunuh saya ... tapi kuburkan saya sendiri supaya anak-anak saya bisa berziarah,” mohon sang eksekutor di hadapanku sembari menempelkan jidatnya ke tanah.

Tubuhku hampir terguncang. Perut memilin dan sulit untuk bernapas. Namun, perkataan lirih pria itu tidak ada artinya bagi para algojo yang telah kehilangan hati nurani. Jiwa kemanusiaan dalam diri mereka hilang. Semua yang kulihat bagaikan sayap patah jasad-jasad yang bertumpukan di lubang. Tanpa mengalihkan tatapan dari wajah melankolis korban, aku meminta maaf lewat isyarat mata dan gerakan bibir.

“Kau benar-benar berpikir saya akan setuju dengan hal itu?” Tentara di sampingku menatapnya dengan kepuasan bengis. “Potong saja!”

Aku melempar parang. Nilai manusia di sini tidak lebih dari sebatas sapi yang disembelih. Anjing saja kalau kita sayang waktu ia mati, masih bisa usaha. Ini manusia. Nyawa-nyawa ‘tak lebihnya hama yang perlu ditumpas. Mereka dibasmi seperti kecoak. Kemudian, Arthuro menggantikan posisiku. “Biar aku saja,” katanya, demi menyelamatkanku dari amukan satuan militer.

Ketika tubuh korban ditendang ke lubang, itu belum seberapa sakitnya ketimbang melihat perempuan-perempuan yang dituduh anggota Gerwani. Mereka diperintahkan untuk melucuti pakaiannya karena dicurigai memiliki cap Gerwani. Salah seorang perempuan dengan nama Harum tetap mengaku tidak tahu-menahu. Ia hanyalah seorang penari kampung yang sering diminta tampil di hajatan-hajatan.

“Ini dia Gerwani yang mencukil mata para jenderal!”

“Ini tokoh Gerwani yang menyileti penis jenderal!”

“Ini penari Harum Bunga!”

Tuduhan-tuduhan itu melayang tanpa bukti yang jelas, hanya sentimen pribadi. Pembunuhan massal ini dilatari pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik tingkat lokal, dendam pribadi, isu agama, hingga kampanye militer untuk menghabisi orang-orang komunis sampai ke akar-akarnya.

Lubang-lubang pembantaian memang menjadi ciri khas pembunuhan massal oleh PKI. Lubang Buaya adalah bukti autentik aksi kejam PKI dengan Gerakan 30 September 1965. Tidak tanggung-tanggung tujuh orang jenderal (Letjen TNI A. Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI M.T. Hardjono, Mayjen TNI S. Parman, Brigjen TNI D.I. Panjaitan, Brigjen TNI Soetodjo Siswomihardjo, dan Lettu Pierre Andries Tendean), dimasukkan ke dalam sumur. Para Gerwani dan Pemuda Rakyat bersorak dan bergembira ria melihat para jenderal dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya di Jakarta Timur.

“Buka ini beha, celana, berdiri telanjang. Cari cap Gerwani di pantat atau di mana!” perintah algojo kepada kami. Jika perempuan-perempuan itu melakukan perlawanan, tidak berpanjang-panjang leher mereka dipotong.

Harum masih menyangkal, “Demi Tuhan saya tidak tahu cap Gerwani itu seperti apa. Hanya jarum dan benang bola untuk menyulam masih ada di rumah.”

Pengakuan yang tidak memuaskan hati algojo akan ditumpas. Salah seorang di antaranya wanita—ditusuk kemaluannya dengan bambu runcing sampai tembus ke perut, lalu ditancapkan di tengah sawah sehingga terlihat seperti pengusir burung pemakan padi. Tentunya para algojo tidak menyia-nyiakan hidangan di depan mata begitu saja. Tubuh mereka dijarah terlebih dahulu.

Proses eksekusi berlangsung selama satu jam. Parang yang digunakan terbuat dari bahan campuran emas, kemiti, dan jarum. Adapun gagangnya terbuat dari tanduk kerbau. Panjang parangnya tidak lebih dari satu meter. Kalau terlalu panjang, tidak kencang. Kalau pendek, kencang.

Kami para petugas pos—di antaranya polisi—kemudian menerima laporan jumlah korban berikut nama-namanya. Tidak semua orang-orang yang dituduh PKI dieksekusi mati di lokasi pembantaian, ratusan lainnya digelandang ke sebuah penjara untuk menerima penyiksaan dan kekejaman dari aparat militer.

***

“Tersesat jauh di masa lalu adalah bencana.” Apa yang dikatakan Arthuro terdengar seperti kabar buruk.  

Setelah pagi, kami mengecek mesin perjalanan waktu yang terdampar cukup jauh dari lokasi pembantaian, tetapi aroma darah masih saja menguar. “Bagaimana caranya kita pulang?” tanyaku.

Arthuro mendengkus. Wajah dinginnya tidak pernah memberi harapan baik. “Jika blackhole sebagai pintu masuk, maka whitehole adalah pintu keluar. Ketika lubang hitam mulai terbentuk hingga mencapai batas tertentu, lubang hitam tersebut akhirnya akan berubah menjadi lubang putih. Kita tunggu saja whitehole itu muncul.”

Bagaimana ia bisa sesantai itu hanya dengan persepsi pribadi yang belum jelas kebenarannya? Perilakunya sangat berbanding terbalik denganku. Di mana, kehidupan ini benar-benar hanya tempat lelucon baginya.

“Itu dia,” ujar Arthuro, “masuk ke mesin sebelum lubangnya tertutup.”

“Tunggu! Tidakkah kita meminta maaf terlebih dahulu kepada korban-korban pembantaian semalam?” Aku menerawang jauh ke tempat kejadian perkara.

“Ya, tentunya.”

Jika di wormhole kemarin tidak ada yang dapat kulihat selain warna hitam. Maka, di whitehole ini bagaikan “Siksaan Ruang Putih” yang berefek brutal pada mental. Rasanya kepalaku hendak meledak, tengkorak terangkat, dan akan pecah. Untungnya, ini berjalan tidak begitu lama. Kami terlempar keluar dari whitehole di tempat semula, perusahaan OSCORP pada tahun 2023.

“Haruskah kita temui Bos?” tanyaku.

Ia menoyor kepalaku lagi. “Dia tidak benar-benar membayar kita untuk menguji kelayakan mesin waktu. Dia mengirim orang-orang sepertimu untuk mencintai sejarah. Mesin ini adalah alat teknologi canggih masa depan untuk mengenalkan sejarah kepada generasi mendatang. Sebab, sejarah akan terlupakan seiring berjalannya peradaban.”

Aku terpegun mendengar penuturan Arthuro yang lugas dan berjiwa kepahlawanan. Ya, banyak tragedi Nusantara memilukan yang menyertai derap langkah bumi pertiwi, yang akan diungkap terang benderang oleh mesin perjalanan waktu ini. Mulai dari bencana politik kemanusiaan, kerusuhan berbau SARA, konflik antar etnis, hingga korupsi.

Meski proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan sejak 1945 dan berita lahirnya Republik Indonesia telah menyeruak ke seantero dunia, kedaulatan tampaknya belum sepenuhnya ada di tangan bangsa ini. September 1965, enam jenderal senior diculik dan dibunuh di Pondok Gede, Jakarta, dalam peristiwa Pemberontakan G-30 S/PKI. Lalu, mayat mereka dimasukkan ke sumur tua yang kini dikenal dengan Lubang Buaya.

 Pada era 80-an, bumi Nusantara basah dan anyir darah para korban Operasi Pemberantasan Kejahatan dengan modus penembakan misterius alias Petrus. Para korban Petrus ditemukan dalam keadaan tangan dan leher terikat. Kemudian, mereka dimasukkan ke karung dan ditinggal di tepi jalan, depan rumah, dibuang ke sungai, gubuk, hutan, atau kebun.

Tahun 1989, wajah Indonesia kembali berdarah. Kelompok-kelompok pengajian di Nusantara dianggap subversif oleh penguasa. Mereka dinilai sebagai kelompok yang hendak merencanakan gerakan makar dan bertentangan dengan Pancasila—yang karenanya harus ditumpas.

Mesin ini merupakan Alat Penolong Masa Depan sebagai media baru untuk generasi muda agar tidak buta sejarah, mengantar mereka terjun langsung ke tahun-tahun kelam yang memilukan. Pembelajaran sejarah cenderung membosankan jika hanya dijejali hafalan-hafalan seputar materi. Kejadian masa lampau itu akan digali dan didalami melalui mesin waktu sehingga dapat memahami makna suatu peristiwa sejarah.

Kini, media komunikasi digital telah merambahi kehidupan manusia postmodern yang mengidap berbagai penyakit kecanduan akibat kemajuan iptek, dan sastra cetak mulai menampakkan tanda-tanda kejenuhan. Jika sejarah benar-benar dilupakan, maka anak muda Indonesia akan kehilangan identitas, jati diri, dan memori kolektifnya sebagai bangsa sehingga tidak lama kemudian NKRI akan bubar dengan sendirinya.

Arthuro kemudian melempar lima pertanyaan: Selain menjadi anggota PPKI, apa peran Achmad Soebardjo? Siapa tokoh pemuda yang membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak proklamasi? Siapa pemilik rumah perumusan naskah proklamasi? Siapa tokoh barisan pemuda yang menyebarkan proklamasi dan membentuk komite aksi? Tanggal berapa dan di mana Jepang dibom atom oleh Amerika Serikat?

Aku bergeming. Namun, ketika ia bertanya siapa YouTuber nomor satu di Indonesia, aku bisa menjawabnya dengan cepat dan tepat.

“Bukti bahwa teknologi telah berhasil menjajah generasi muda dan mengganti otak manusia dengan otak udang yang rendah moralitasnya,” cecar Arthuro seperti hendak mengulitiku hidup-hidup. “Jadi, apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?”

 

Bogor, 15 Agustus 2023

 

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59765929

 

PROFIL PENULIS

 

N. Laila merupakan seorang novelis, cerpenis, dan penyair. Ia juga bekerja sebagai guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan konten kreator. Karya-karyanya di antaranya: Skizofrenia, Gadis Peraih Mimpi, Suami Nyebelin, CEO Nyebelin, (bukan) Laila Majnun, Gadis Tteokbokki & Cowok Mochaccino, dan The Journey of a Governor Princess.

 

Cerpen Kompetisi : Cinta Secepat Kilat Karya Suc Sunnia


 

Cinta Secepat Kilat

Penulis : Suc Sunnia



"Kenapa nangis Mbak?" Riko   nyamperin seorang cewek yang sedang nangis. Dia juga membawa koper yang berada disampingnya.

"Kamu kenapa nanya-nanya." Jawab si cewek itu dengan judes.

"Ya udah kalau gitu." Riko langsung meninggalkan cewek itu karna ditanggapi tidak baik.

"Hay, kamu yang sudah nanya aku. Berarti kamu harus bantuin aku cari temanku. " Ucap si cewek itu yang mengikuti Riko sambil menarik kopernya.

"Ah nggak bisa gitu dong mbak, kalau temannya hilang ya dilaporin ke kantor polisi toh mbak. Apa gunanya polisi kalau minta bantuan sama saya." Ucap Riko dengan kesal.

"Aku nggak mau tau, pokoknya kamu harus bantuin aku nemuin temanku."

"Aneh nih cewek, belum lagi dia bawa koper sambil menangis. Nanti aku disangka cowok yang nggak baik diliatin orang-orang." Riko membathin.

Riko membalikkan badannya dan memutuskan untuk membantu cewek itu dengan memberikan persyaratan kepada cewek itu untuk tidak menangis lagi. "Yaudah aku bantuin, tapi kamu jangan nangis lagi, malu diliatin orang, nanti aku dibilang cowok nggak baik. Padahal aku nggak siapa-siapa kamu." Jelas Riko dengan tegas kepada cewek itu.

"Baik, tapi aku akan ikut kemana kamu pergi." Ucap cewek itu yang selalu mengikuti langkah kaki Riko dari belakang.

"Nama kamu siapa? Tanya Riko kepada cewek itu. Mereka berjalan sudah berdampingan.

"Aku Bela."

"Kok kamu bisa bawa koper." Tanya Riko heran.

"Iya, aku tadinya mau pergi merantau. Aku ingin mandiri. Jadi, aku pergi dengan kakak temanku. Eh malah dia ninggalin aku. Jadi, aku bingung mau ngapaen. Ini baru pertama kalinya aku merantau ke Jakarta. Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Kalau aku telponorangtuaku pasti mereka khawatir." Jelas cewek itu.

"Jadi gitu ya ceritanya. Kamu udah pengalaman kerja apa aja?" Tanya Riko kepada Bela yang memperlihatkan wajah kasihannya.

"Aku belum pernah kerja sebelumnya. Aku bingung mau kerja apaan. Aku takut lagi di kota besar ini hidup sendirian." Jelas Bela dengan wajah sedih.

"Yaudah kalau gitu kamu tinggal ditempat Bibiku aja. Nanti aku anterin ke sana."

"Terimakasih ya, aku udah merepotkanmu."

"Iya, nggak apa-apa."

Mereka telah sampai di depan Rumah Bibinya Riko.

"Nah, ini rumah Bibiku, kamu tidur disini dulu. Tadi aku udahnelpon sama Bibiku kamu boleh nginap di sini dulu."

"Jadi, kamu nggak tinggal disini? Tanya Bela heran.

"Nggak, aku masih tinggal dikontrakan juga, aku belum punya uang yang cukup beli rumah, di sinikan harga rumah mahal-mahal dan nggak mungkin juga aku ajak kamu nginep dikontrakanku. Nanti apa kata orang, kita kan bukan muhrim." Jelas Riko dengan mengambil koper di tangan Bela.

"Emang kamu asli orang mana?"

"Aku dari Bali, udah lama merantau ke sini."

"Oh ya, nama kamu siapa? Aku lupa nanya balik tadi ucap Bela dengan malu.

"Namaku Riko. Kalau kamu sendiri darimana? Tanya Riko balik.

"Aku dari Jogja Mas."

Riko langsung masuk ke rumah Bibinya tanpa membangunkan Bibinya yang sudah tidur karna udah larut malam.

"Ini kamar kamu. Ya udah kamu istirahat dulu disini. Aku nggakbangunin Bibi karna dia udah tidur. Besok pagi aku ke sini lagi." Jelas Riko.

"Mas Riko, terimakasih banyak ya. Udah mau bantuin. Maaf aku udah banyak ngerepotin mas." Ucap Bela yang dengan manggil Riko dengan sebutan mas. Karna dia Bela sudah saling kenal nama dengan Riko. Jadi dia nggak enak ajamanggil nama Riko aja. Makanya dia manggil Riko dengan sebutan Mas Riko.

"Ya sama-sama. Yaudak aku pergi dulu ya."

"Iya mas,"

 

*****

"Ibu, maafin aku. Harusnya aku dengerin Ibu nggak usah percaya dengan omongan Lita yang ninggalin aku begini aja di sini." Bela berkata sendiri. Dia menyesali telah mengikuti Lita teman sekolahnya dulu lergi merantau. Eh sesampai di Bandara Soekarno-Hatta Bela langsung ke Toilet. Keluar dari Toilet dia tidak menemukan Lita lagi tanpa mengasih kabar ke Bela. Padahal, Lita sudah berjanji ingin mengajal Bela kerja di restorant tempat dia bekerja.

Bela juga sudah menghubungi Lita. Namun, Lita tak mengangkatnya dan membalas pesan Bela. Bela tidak menyangka temannya bisa melakukan dia seperti itu di kota besar yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya.

 

******

Keesokan paginya, Bela langsung keluar kamar dan langsung melihat Bibinya Riko.

"Maaf Bu, tadi malam alu belum sempat ngobrol dengan Ibu untuk minta izin nginep disini." Ucap Bela sambil menyalami Bibinya Riko.

"Nggak apa-apa, kamu namanya Bela kan? Tanya Bibi Riko dengan memakai baju adat Bali.

"Iya bu,"

"Riko itu anaknya baik sekali. Kalau Riko baik kepadamu. Berarti Ibu percaya dengan kamu." Jelas Bibi Riko.

"Yuk, ke dapur kita minum teh hanget dulu."

"Baik bu."

Bibi Riko dan Bela sedang minum teh hanget di dapur. Tiba-tiba Riko datang menghampiri mereka di dapur. Riko langsung menyalami Bibinya.

"Bela, bagaimana tidur kamu tadi malam nyenyakkan?" Tanya Riko.

Bela nggak menyangka Riko bisa perhatian ke dia dengan menanyakan tidurnya nyenyak atau nggaknya.

"Alhamdulillah, Mas."

"Oh ya Bela, kamu mau kerja di Kafeku. Kebetulan ada satu karyawan yang nggak bisa kerja lagi. Dia resign karna mau nikah." Jelas Riko yang ingin menawarkan Bela untuk menjadi salah satu karyawannya di Kafe yang dia kelola.

"Aku mau mas, aku akan bekerja sebaik mungkin." Ucap Bela dengan senang hati dengan tawaran Riko kepadanya.

"Ya udah, kalau gitu kita berangkat sekarang."

"Baik Mas."

*****

Sesampainya di Kafe, Riko langsung memanggil salah satu karyawan untuk mengajari Bela mengenai pekerjaan yang akan dia lakukan.

Walaupun Bela sebelumnya belum pernah bekerja di Kafe. Tetapi, dia bekerja sangat gesit sekali. Riko pun senang melihat hasil kerjaan Bela.

"Gimana rasanya pekerjaanmu hari ini?" Tanya Riko.

"Alhamdulillah, aku senang mas, tapi masih banyak belajar. Biar pelayananku bisa memuaskan pelanggan.

"Yaudah, yuk aku anterin kamu lagi ke tempat Bibiku. Besok aku akan cariin kamu tempat tinggal deket sini."

"Baik Mas." Jawab Bela dengan senyum.

"Ternyata Mas Riko udah ganteng, baik hati lagi. Pasti dia sudah punya kekasih. Beruntung ya, cewek itu punya Mas Riko yang baik hati. Ucap Bela dalam hati.

"Bela kamu udahhubunginorangtua kamu?" Tanya Riko sambil melihat Bela yang senyum-senyum sendiri.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?"

"Nggak ada Mas. Oh ya, aku udahtelpon Ibuku Mas, aku bilang amaorangtuakuudahdapet kerja disini dan tidak kerja ditempat temanku. Tapi, aku nggak bilang bahwa temanku ninggalin aku begitu aja di Bandara. Aku takut orangtuaku nanti khawatir.

"Bagus kalau gitu. Kamu nggaktelponan sama cowoknya? Tanya Riko balik.

"Aku nggak punya cowok Mas."

"Ah masa' kamu nggak punya cowok, lalu kenapa kamu senyum-senyum sendiri tadi?" Tanya Riko penasaran.

"Nggak ada mas, senang ajadihari pertama aku disini bisa dipertemukan dengan mas dan langsung dapat pekerjaan. Aku nggak jadi gelandangan. Tadinya, sebelum ketemu Mas, aku bakal jadi gelandangan disini." Ucap Bela dengan syukur.

"Oh gitu, jika kamu berbuat baik. Pasti ada aja orang yang akan membantumu kok."

"Iya juga sih Mas, tapi kan nggak semua orang bisa baik juga ke kita ketika kita butuh bantuan. Malahan mereka ada yang memanfaatkan kebaikan kita."

"Kok kamu ngomong kek gitu?" Tanya Riko penasaran.

"Iya Mas, dulu aku punya kenalan teman cowok waktu sekolah. Dia kakak seniorku. Dia sering dekat denganku pada saat aku baca buku diperpustakaan. Kadang dia bawain aku makanan. Seiring waktu berjalan, kami semakin dekat. Tapi, lama-lama dia sering minjem uangku tapi nggakdibalikkin. Kalau aku nggak masalah ya Mas. Namun, ceweknya bilang ke Aku. Aku yang serimgminjem uang cowoknya. Sejak saat itu, aku nggak mau kenal dekat sama cowok." Jelas Bela dengan kesal.

Makanya, pada saat Mas Riko tanya aku di Bandara. Aku menjawab Mas dengan nada keras. "Aku minta maaf pada saat itu ya, Mas."

"Nggak apa-apa kok, aku udah melupakannya. Sekarang aku bisa maklumin karna cerita kamu barusan."

"Oh ya, kalau Mas sendiri gimana? Pasti udah punya cewek kan?" Tanya Bela sambil senyum namun dihatinya berharap Riko belum punya cewek.

"Aku juga belum punya, karna masih sibuk dengan pekerjaan. Nggak ada waktu buat cari cewek." Ucap Riko dingin.

Mobil putih Riko telah memasuki Pagar Rumah Bibinya.

"Kita udah nyampe, kamu istirahat aja lagi ya. Aku mau langsung ke kontrakan aja."

"Baik Mas, terimakasih."

*****

"Yes, syukur Mas Riko belum punya cewek. Jadi, aku nggak perlu khawatir ada cewek lain yang marah kalau aku dekat sama Mas Riko. Kalau nggak, pasti ceweknya salah sangka denganku. Nggaknyangka juga ya bisa bertemu dengan Mas Riko dengan cara seperti ini." Ucap Bela dengan berkata sendiri dengan dirinya yang kedengeran oleh Bibinya Riko yang belum tidur.

"Hmmm...sepertinya Bela dan Riko cocok kalau dijodohkan." Bathin Bibi Riko sambil senyum.

"Udah pulang Bela?" Tanya Bibi Riko yang menghampiri Bela didepan pintu kamar tempat dia tidur semalam.

"Iya Bi, Bibi belum tidur? Maaf Bi, aku langsung masuk aja. Aku kira Bibi udah tidur."

"Belum, gimana kerjamu hari ini? Tanya Bibi Riko.

"Alhamdulillah berjalan lancar Bi."

"Yaudah kalau gitu kamu istirahat aja dulu."

"Baik Bu."

*****

Sementara Riko, sebelum tidur. Dia membayangkan senyum manisnya Bela. Dia merasa dag digdug mengingat bayangan Bela. Dia berusaha membuang jauh-jauh bayangan senyum Bela yang menyentuh hatinya. Supaya, dia bisa menuju alam mimpi. Namun, tetap ajanggak bisa.

"Kok aku susah melupakan senyumnya Bela ya. Padahal, baru kenal sehari doang." Tanya Riko heran.

******

Keesokan paginya Bela sudah menyiapkan barang-barangnya. Dia tidak mau merepotkan Bibinya Riko untuk menginap dirumahnya lagi.

"Bu, terimakasih banyak ya Bu, sudah mengizinkan aku tinggal dirumah Ibu."

"Jangan sungkan Bela, Ibu senang kamu bisa tinggal disini. Biar ada teman Ibu disini. Kebetulan, Ibu sendiri tinggal di rumah. Suami Ibu sudah meninggal. Ibu punya anak perempuan yang masih kuliah tapi dia kuliahnya di Bali. Jadi, tinggal dengan orangtuanya Riko di sana." Jelas Bibi Riko.

"Aku nggak enak Bu. Tinggal lama-lama disini. Aku idah merepotkan Ibu."

"Nggak merepotkan kok."

"Kalau kamu seneng tinggal disini, disiniaja Bela." Sambung Riko yang baru saja datang hendak menjemput Bela. Bela pun sudah memegang kopernya.

"Nggak usah Mas, aku cari kos dekat kafe aja. Biar nggak jauh bolak-baliknya Mas."

"Sekali lagi, terimakasih ya Bu, Aku izin pamit Bu."

"Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya nanti di sana. Kalau kamu main ke sini lagi. Boleh datang aja." Tawar Bibi Riko.

"Baik Bi." Bela menyalami Bibi Riko.

*****

            “O ya, aku udah bawain kamu seragam kerja. Nanti kamu boleh gunakan seragamnya.” Ucap Riko sambil mengulurkan baju seragamnya ke tangan Bela sambil nyetir mobilnya.”

            “Terimakasih ya Mas.”

            Sesampai mereka di Kafe. Teman Riko datang mengampiri yang baru saja pulang dari study bnading di Bali.

            “Hay Bro, apa kabarmu?” Ucap Gandi yang langsung menghampiri Riko yang baru saja  masuk ke Kafenya.

            “ Kamu kemana aja sih Gan, aku dari kemaren lok nungguin kamu. Kamu kan udah janji ngurusin musik Bandnya.” Ucap Riko kesal.

            “Iya. Maaf aku baru bisa datang ke sini sekarang. Btw, kafemu bagus juga ya, apalagi karyawanmu. Semua  cakep-cakep.”

            “Gimana dengan musik Bandnya, udah clear belum?” Tanya Riko dengan kesal dengan Gandi yang selalu tidak on time sesuai kesepakatan awal. Namun, suda lama berteman Riko tetap mempercayakan masalah musik band untuk mengisi kafenya kepada Gandi.

            “Tenang aja, semuanya udah aman.”

*****

            Riko dari tadi memperhatikan pekerjaan Bela yang sangat gesit. Pandangannya selalu mengarah kepada Bela yang sibuk melayani Tamu Kafenya.

            Salah satu dari karyawan Riko yang sudah lama bekerja di Kafe Riko merasa cemburu dengan Bela yang selalu diperhatikan oleh Riko.

            “Kenapa si Mas Riko melihat Bela mulu, sebal aku.” Ucap Lani dengan kesal. Karna dia sudah lama suka kepada Riko. Namun, Riko tidak pernah menyadarinya.

            “Hai, Kamu anak baru?” Ucap Lani dengan judes.

            “Kenapa ya Mbak,?”

            “Ada yang mau aku bilang ke kamu. Kamu jangan pernah deket-deket sama  mas Riko ya, karna mas Riko calonku, satu lagi kamu jangan manggil Mas Riko dengan Mas. Panggil dia dengan Bapak. Karna Mas Riko manager kita.” Ucap Lani dengan tegas.

            “Baik Mbak.”

            “Yaudah, lanjut kerja sana.”

            “Ternyata Mbak Lani, calonnya Mas Riko ya, kok Mas Riko nggak bilang ya, katanya belum. Dasar semua laki-laki nggak dapat dipercaya. Kok aku kecewa sama Mas Riko. Aku kira Mas Riko adalah lelaki yang aku cari selama ini. Eh ternyata...” bela berkata  dalam hatinya.

*****

            “Kamu udah siap-siapkan, biar aku bantu kamu cari tempat tinggal deket sini.”Ucap Riko yang sudah ganti pakaian seragamnya yang menggunakan setelan yang terlihat berwibawa  dengan pakaian kaos biru yang terlihat ganteng dibadannya yang berwaja manis dan warna kulitnya sawo matang.

            “Nggak usah Pak, aku udah cari sendiri, tadi jam istirahat aku sudah tanya kos sekitar sini. Sekarang aku langsung ke sana.” Ucap Bela dengan wajah terlihat sedih.

            “Kok sekarang kamu manggil aku Pak?”

            “Nggak apa-apa Pak, kan Bapak pemilik kafe ini, nggak enak kalau aku manggil dengan sebutan Mas.”

            “Nggak apa-apa kok, aku senang kamu manggil aku Mas.”

            “Ya udah, kamu adala  karyawanku. Aku akan mengnatarkanmu ke kos mu.”

             Bela hanya merespon dengan menganggukkan kepalanya dan langsung masuk ke Mobil Riko. Sementara, Riko memasukkan koper Bela ke Jok belakang mobilnya.

            “Kamu kok sekarang terlihat murung gitu sih, kamu ada masalah dengan pekerjaan tadi siang  ya.” Tanya Riko heran yang belum menyalakan mobilnya.

            “Nggak ada masalah kok Mas.”

            “Udahlah, kamu nggak usah bohong dari wajahmu udah terlihat jelas. Cerita aja sama aku.”

            Sebenarnya Bela nggak mau membahasnya apa yang dibilang Lani kepadanya. Namun, Bela ingin tahu kepastiannya dari Riko langsung.

            “Bapak udah eh Mas udah punya calon  ya?”

            “Kok, kamu bilang kek gitu, kamu nggak percaya ya apa yang sudah aku katakan padamu sebelumnya?”

            “Tapi, tadi kata Mbak Lani, Mas adalah calonnya.”

“Kamu jangan dengerin Lani. Dia orangnya memang begitu. Suka cemburu kalau ada karyawan baru. Tapi, aku nggak ada ada rasa sama dia atau pun sama karyawan lainnya. Lagian, kalau aku udah punya calon nggak mungkin aku akan menemanimu.”

“Maksud Mas? Tanya Bela heran.

“Aku minta maaf Bela terlalu cepat aku mengucapkan ini kepadamu, tetapi aku jatuh hati kepadamu. Aku takut kamu nanti diambil orang.” Riko belum menyalakan mobilnya untuk mengantarkan Bela ke kosnya.

Bela hanya diam dan tersenyum bahagia menatap Riko. Riko pun begitu kepada Bela bahwa Bela juga merasakan hal yang sama kepadanya.



PROFIL PENULIS


Nomor ID Anggota  : PK23-1364245989

Nama Lengkap         : Wiwit Mania

Nama Pena                : Suc Sunnia

Kota Asal                   : Grobogan




Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas