Sunday, January 16, 2022

Bab 8 - Mulai Cemburu

 




BAB 8 – MULAI CEMBURU

 

Hari ini adalah hari ulang tahun kota. Nanda sebagai pengusaha muda mendapat undangan kehormatan untuk duduk di kursi VIP. Namun, ada hal yang aneh dan berbeda. Dia bukan menggandeng Ayu sebagai partner, tapi Arlita yang terlihat sangat cantik dan memesona dengan gaun malam dan pehiasan yang mahal. Tentunya, semua itu disiapkan oleh Nanda, kekasihnya.

“Nan, makasih ya! Kamu masih ajak aku ke perjamuan ini. Aku bahagia banget!” ucap Arlita sambil menyandarkan kelapanya di pundak Nanda.

Nanda tersenyum menanggapi ucapan Arlita. Baginya, lebih bahagia membawa Arlita daripada harus pergi bersama istrinya. Sebab, rumah tangga mereka tidak pernah harmonis dan ia enggan berdebat dengan istrinya. Toh, Ayu juga tidak akan tahu kalau Nanda pergi ke perjamuan walikota bersama kekasihnya. Andai tahu, istrinya itu tidak akan berani berbuat apa-apa.

“Baiklah ... saatnya kita memasuki acara ramah-tamah. Para undangan diperkenankan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Kami akan mempersembahkan sebuah tarian romantis yang sangat terkenal di negeri ini. Tarian Rama-Shinta yang akan dibawakan oleh saudara Enggar Prakasa Dierjaningrat dari keraton kesultanan Jogjakarta dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari dari keraton kesultanan Surakarta. Pasangan yang sangat serasi untuk menghibur semua masyarakat yang ada di sini. Selamat menikmati ...!” seru Master of Ceremony yang membawakan acara tersebut.

Nanda langsung bangkit dari kursi begitu ia mendengar nama lengkap istrinya disebut oleh MC. Matanya langsung tertuju ke atas panggung. Dan benar saja, Roro Ayu muncul dari belakang panggung bersama seorang pria dengan pakaian dan riasan khas Rama-Shinta.

“Nan, Ayu lagi hamil muda ‘kan? Dia masih nari-nari gitu? Bukannya kamu bilang, dia nggak pernah keluar rumah? Kenapa bisa ngisi acara di sini?” tanya Arlita yang ikut berdiri di samping Nanda.

“Diam!” sahut Nanda sambil terus memperhatikan tubuh Ayu yang begitu molek menari di atas panggung bersama dengan seorang pria. Hatinya tiba-tiba memanas saat keduanya terlihat sangat mesra. Terlebih, pria duetnya itu bertelanjang dada. Selain tampan dan memukau, pria itu juga keturunan bangsawan, sama seperti istrinya.

“Pasangan dari keluarga bangsawan ini memang mengagumkan. Kalau mereka benar-benar menikah, akan menghasilkan bibit keturunan yang bagus,” celetuk seorang pria paruh  baya yang duduk tak jauh dari Nanda.

Nanda langsung menyeringai dan melangkah pergi dari tempat tersebut. Ia sangat kesal karena Ayu diam-diam masih melakukan tari-tarian tradisional di belakangnya dan keluar dari rumah tanpa izin darinya.

“Nan, mau ke mana?” tanya Arlita. Ia langsung mengejar langkah Nanda.

Nanda terus melangkahkan kakinya menuju ke backstage.

“Maaf, Mas ...! Selain tim kami, tidak ada yang boleh masuk ke dalam backstage.” Seorang pria bertubuh tegap langsung menghadang langkah Nanda.

“Aku mau ketemu istriku!” seru Nanda kesal.

“Istri? Siapa?” tanya pria itu lagi.

“Roro Ayu. Yang lagi nari di panggung itu,” jawab Nanda.

“Mbak Roro sudah menikah?” tanya pria itu pada tim lainnya.

Orang yang ditanya langsung menggelengkan kepala.

“Ini ada orang yang ngaku-ngaku jadi suaminya,” tutur pria itu lagi.

Seorang wanita langsung ikut menghampiri Nanda dan memperhatikan pria itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Setahu aku Mbak Roro belum menikah. Lagipula, tunangan dia ‘kan Dokter Sonny. Bukan orang ini.”

Nanda gelagapan mendengar ucapan wanita itu. Pernikahan ia dan Roro Ayu memang dibuat tertutup dan hanya dihadiri oleh keluarga saja. Tidak banyak yang mengetahui tentang pernikahan mereka. Terlebih, teman-teman Roro Ayu yang tidak banyak ia kenal.

Pri yang ada di hadapan Nanda langsung tersenyum sinis. “Ada aja orang ngaku-ngaku jadi suaminya. Ckckck. Silakan pergi dari sini, Mas!”

“Heh, aku ini memang suaminya Ayu. Panggil dia ke sini kalau nggak percaya!” seru Nanda saat suara alunan musik di panggung sudah hilang dan tarian yang ditarikan istrinya itu sudah usai.

“Nggak usah bikin kekacauan di sini! Kalau masih ngotot, kami akan laporkan Anda ke pihak keamanan!” ancam pria yang ada di hadapan Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya saat manik mata itu menangkap bayangan tubuh Ayu bersama Enggar yang baru saja turun dari panggung dan terlihat berbincang intim. “RORO AYU ...!” teriaknya.

Ayu menoleh sejenak ke arah Nanda dan Arlita yang juga ada di belakang pria itu, kemudian mengalihkan pandangannya kembali dan berbincang dengan Enggar.

“Mbak Roro, ada cowok di luar yang ngaku-ngaku sebagai suami Mbak Roro. Beneran suaminya?” tanya salah seorang wanita yang mengenakan baju khas tim panitia sambil menghampiri Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku nggak kenal. Mungkin cuma penggemar yang pura-pura.”

“Baiklah. Biar saya urus!”

Ayu mengangguk. “Makasih ...!” Ia langsung melangkah pergi ke meja rias. “Mbak, tarian selanjutnya Cendrawasih, ya?” tanya Ayu pada tim make-up dan wardrobe.

“Iya, Mbak Roro. Masih bisa istirahat, kok. Masih diselingi dua tarian lagi.”

“Oh. Oke.” Ayu langsung duduk di kursi yang kosong dan beristirahat di sana bersama Enggar.

Di luar pintu, Nanda masih saja berusaha meminta panitia untuk mempertemukan ia dan istrinya.

“Maaf, Mas ...! Kata Mbak Roro, dia tidak kenal dengan sampeyan? Silakan pergi dari sini!” tutur seorang tim panitia sambil menatap Nanda.

“Nggak kenal?” Nanda melebarkan kelopak matanya. Amarah di dadanya semakin menjadi-jadi begitu mendengar kalau Roro tidak mengakui keberadaan dirinya.

“Nan, sudahlah. Nggak perlu kayak gini! Dia juga sengaja tidak mau mengakui dirimu. Lebih baik, kita nikmati saja pesta ini,” pinta Arlita sambil merangkul lengan Nanda.

Nanda langsung menepiskan tangan Arlita dan mendorong pria yang menghalanginya.

“Mas, jangan masuk ...!” teriak pria itu dan semua orang langsung tertuju pada Nanda yang sedang berjalan cepat menghampiri Ayu.

“Ayu ...!” Nanda langsung menarik pergelangan tangan Ayu dan menyeret wanita itu keluar dari sana.

Ayu melebarkan kelopak matanya. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nanda. “Kamu siapa?”

“Kamu nggak mau ngakui aku sebagai suamimu, hah!?” seru Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Memangnya kamu mau mengakui aku sebagai istrimu?” sahut Ayu tak mau kalah.

Nanda menyeringai kesal dan kembali menyeret tangan Ayu dengan kasar.

“Mas, jangan memperlakukan wanita dengan kasar seperti ini!” Enggar langsung menghadang tubuh Nanda.

“Kamu siapa? Ini urusan rumah tangga kami! Orang luar nggak usah ikut campur!” seru Nanda kesal.

“Yang kami tahu, Roro Ayu belum menikah,” tutur Enggar santai sambil menatap Nanda.

Nanda langsung menatap wajah Ayu. “Bilang jujur ke mereka! Aku siapa kamu!?” sentaknya.

Ayu menarik napas perlahan sambil memejamkan mata melihat sikap Nanda yang selalu saja berapi-api dalam menghadapi sesuatu. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan mendapatkans seorang suami yang kasar seperti ini.

“Kami semua tahu siapa tunangannya Ayu. Ayu nggak mungkin punya suami yang bad attitude kayak gini!” ucap Enggar sambil menatap Nanda.

“Dia memang suamiku, Mas!” ucap Ayu lirih.

Enggar menaikkan kedua alisnya. “Beneran suamimu?”

Ayu mengangguk kecil sambil menggigit bibir bawahnya.

“Kapan kamu nikah, Yu?” tanya Enggar lagi.

“Nggak penting kapan kami nikah! Karena aku suaminya, aku berhak bawa istriku pulang!” sahut Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membawanya keluar dari backstage tersebut.

Semua mata langsung tertuju pada Nanda yang mengenakan setelan jas rapi berwarna biru metalic dan Roro Ayu yang terlihat kontras dengan pakaian tradisional ala tokoh Shinta dalam pewayangan Ramayana.

Nanda langsung meminta Ayu masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Arlita begitu saja.

“Nan, aku masih ada satu tarian lagi. Kamu mau bawa aku pergi dari sini?” tanya Ayu.

Nanda menghela napas sambil menyalakan mesin mobilnya. “Kamu pergi nari nggak izin sama suami? Nggak menghargai keberadaanku, Ay?”

“Aku sudah bilang. Kamu yang gak pernah menghiraukan ucapanku karena sibuk sama selingkuhan kamu terus,” sahut Ayu dingin.

“Arlita itu bukan selingkuhan!” sahut Nanda.

“Apa namanya kalau bukan selingkuhan? Kamu sudah beristri dan pacaran sama dia juga?”

“Kamu juga pacaran sama Sonny. Why?” sahut Nanda.

“Aku sudah putus sama Sonny sejak aku nikah sama kamu. Tapi kamu ...? Setiap hari, kamu masih aja jalan Arlita. Makan malam, clubing, sarapan bareng dia, makan siang bareng dia. Bahkan kamu bawa dia ke setiap acara perjamuan? Yang istrimu itu aku atau dia?” Sahut Ayu kesal.

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menahan emosinya. “Kamu tahu, aku nggak pernah cinta sama kamu dan nggak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi!”

“Sama. Aku juga! Aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini. Punya suami brengsek kayak kamu, malapetaka buat aku!” seru Ayu sambil berusaha membuka pintu mobil dan keluar dari sana.

“Berani keluar?”  seru Nanda.

Ayu menghela napas dan menghentikan gerakan tangannya. “Nan, mau kamu apa?” tanya Ayu menurunkan nada suaranya.

Nanda menghela napas sambil menatap dada Ayu yang terekspose di hadapannya karena kostum tari yang dikenakan memang hanya kemben dan jarik saja. “Kamu pakai baju kayak gini, buat narik laki-laki lain lagi?”

“Nggak usah mengalihkan perhatian, Nan! Aku udah biasa menari tradisional sejak aku masih kecil. Pakai pakaian begini juga udah biasa. Apa yang salah?”

“Kamu nggak sadar kalau dada kamu ini ...” Nanda menarik ujung kemben Ayu dan melihat pahanya yang terbuka. “Kamu ini terlalu seksi untuk tampil di atas panggung!”

“Bukannya kamu suka cewek yang seksi? Arlita selalu berpakaian seksi setiap hari dan kamu suka menikmatinya. Iya ‘kan?”

“Nggak usah bawa-bawa Arlita!” sahut Nanda kesal. “Aku lagi ngomongin kamu, Ay!” Ia menahan pening di kepalanya saat bagian inti tubuhnya tiba-tiba berkedut. Melihat tubuh Ayu terekspose di depannya, ia benar-benar tidak bisa menahan diri.

“Tiga bulan ini aku diam bukan berarti aku nggak ngerasa sakit, Nan. Meski aku nggak cinta sama kamu. Kamu tetep suamiku dan kamu nggak pernah menghargai keberadaanku sebagai istri. Aku sudah coba jadi istri yang baik buat kamu dan kamu nggak pernah lihat itu. Kalau kamu nggak cinta sama aku, kamu nggak perlu marah-marah. Kita bisa hidup masing-masing dan tidak perlu saling mengatur. Kamu juga nggak perlu cemburu kayak gini karena di antara kita nggak pernah saling mencintai!” tutur Ayu sambil mendorong pintu mobil dan keluar dari sana.

“Cemburu?” Nanda mengernyitkan dahi sambil menatap tubuh Ayu yang bergerak pergi meninggalkan mobilnya. Ia menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke kursi. “Apa iya aku cemburu?”

Ayu langsung melangkah kembali menuju ke backstage dan masuk ke ruang rias.

“Yu, kamu balik? Suamimu marah?” tanya Enggar saat melihat Ayu kembali ke sana.

“Biarkan saja! Dia terlalu kekanak-kanakkan,” jawab Ayu sambil melepas aksesoris yang melekat di tubuhnya satu per satu.

“Gimana ceritanya kamu nikah sama orang itu? Bukannya kamu tunangan sama Sonny?”

“Ceritanya panjang, Mas. Nggak enak cerita di sini.”

“Setelah selesaikan tarian terakhirmu, kita bicara di atas sana!” ajak Enggar sambil menunjuk rooftop yang berada di gedung pemerintahan di atas sana.

Ayu mengangguk. Ia segera mempersiapkan dirinya untuk menarikan tarian selanjutnya. Setiap tahunnya, ia selalu menyumbang tarian untuk ulang tahun kota dan ulang tahun negara dan ia harus bertanggung jawab. Baginya, menari tradisional adalah bagian dari hobby untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Terlebih setelah ia resign, ia tidak punya kegiatan dan terus-menerus di dalam rumah seorang diri terasa sangat membosankan.

 

***

 

“Minumlah ...!” Enggar menyodorkan satu cup capucino hangat ke hadapan Ayu. Saat ini, mereka sudah berdiri di rooftop gedung yang mengarah ke panggung. Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam dan suasana kota itu masih sangat ramai karena panggung hiburan masih menyuguhkan beragam kesenian.

“Makasih, Mas ...!” Ayu meraih cup tersebut dan memeluk dengan kedua telapak tangannya. Melawan dingin malam yang masih menembus kulit meski ia sudah mengenakan sweeter.

“Berceritalah! Aku akan mendengarkanmu,” pinta Enggar.

Ayu menghela napas. “Aku memang menikah diam-diam, Mas. Semua teman-teman tahu kalau aku bertunangan dengan Dokter Sonny. Pasti akan menjadi pertanyaan besar kenapa aku menikah dengan pria lain. Aku juga tidak menginginkan ini terjadi.”

Enggar manggut-manggut seolah mengerti perasaan Ayu. “Banyak orang yang mengalami kasus seperti ini. Mungkin, kamu dan Sonny tidak ditakdirkan berjodoh.”

Ayu tersenyum kecut. “Aku masih sangat mencintai dia, Mas. Bagiku, Sonny adalah pria impian. Aku menyukai dia sejak pertama masuk SMA. Hingga kami bertunangan, Sonny tetaplah sosok pria baik, penyayang dan bertanggung jawab. Aku tidak tahu telah melakukan dosa apa hingga takdir mempermainkan aku seperti ini.”

“Aku sudah berusaha menjadi wanita yang baik agar aku bisa ditakdirkan menjadi jodoh pria yang baik pula. Tapi aku malah dapet suami yang nggak pernah sayang sama aku, cuek dan selalu memperlakukan aku dengan kasar. Dia juga lebih mencintai wanita lain daripada aku. Wanita mana yang tahan diperlakukan seperti ini setiap hari?” tutur Ayu sambil mengusap air matanya yang jatuh tanpa ia sadari.

“Ayu ... jangan bersedih seperti ini! Semua hal sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kalau memang dia jodohmu, kamu harus sabar. Mungkin, inilah ujian hidup yang harus kamu terima,” tutur Enggar sambil menyentuh lembut pundak Ayu.

Ayu mengangguk sambil mengusap sisa air matanya. “Aku juga nggak mau terlarut dalam kesedihan, Mas. Aku lagi hamil muda. Kata dokter, ibu hamil nggak boleh setress. Awalnya sangat sakit. Sekarang, sudah terbiasa.”

Enggar tersenyum menatap wajah Ayu. “Aku kenal kamu sudah lama. Aku yakin kalau kamu pasti kuat menghadapi ujian seberat apa pun. Setiap orang punya ujian hidup yang berbeda. Terkadang terlihat mengagumkan di depan semua orang, tapi seseungguhnya di dalam sedang terluka. Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu seperti ini.”

Ayu tersenyum menatap Enggar. “Nggak papa, Mas. Lama-lama akan terbiasa.”

Enggar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gimana kabar Bunda Rindu? Sudah lama aku tidak bertemu dengan beliau.”

“Baik.”

“Hari ini dia nggak datang ke sini?” tanya Enggar lagi.

“Sepertinya datang. Tapi aku tidak tahu dia ada di mana.”

“Nggak telepon? Siapa tahu, perasaan kamu bisa lebih baik kalau ketemu beliau?”

Ayu menggeleng. “Aku nggak mau rumah tanggaku jadi beban pikiran buat bunda. Aku mau dia melihat semuanya baik-baik saja dan kami hidup bahagia. Aku nggak pernah bermimpi punya suami pengusaha. Dunia mereka terlalu liar untukku dan hatiku nggak siap menahan semua godaan dari luar.”

“Jodoh nggak bisa dipilih. Semua wanita di luar sana malah menyukai pengusaha yang banyak uang. Kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Harusnya kamu bersyukur!” ucap Enggar sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bersyukur dan menerima semuanya.”

“Gitu, dong! Kalau dia melukaimu, kamu bilang ke Mas, ya! Mas pasti akan membantu menjaga dan melindungimu. Kamu lagi hamil, sebaiknya kita pulang saja! Aku akan mengantarkanmu. Udara malam tidak begitu baik untukmu,” tutur Enggar.

Ayu mengangguk. “Mmh ... Mas, mungkin dua bulan lagi ... perutku akan terlihat membesar. Aku tidak akan bisa menari setelah ini. Sepertinya, ini adalah hari terakhir aku menari. Setelah melahirkan, aku tidak akan punya waktu lagi. Bisakah kita bikin acara makan-makan untuk perpisahan?”

Enggar mengangguk. “Bisa. Aku akan undang semua anak di sanggar. Mau makan di mana?” tanyanya.

“Mas Enggar saja yang pilih tempatnya. Kira-kira, anak-anak sukanya makan di mana?”

Enggar mengangguk. “Nanti aku bicarakan dengan mereka. Kalau anakmu sudah besar, apa kamu masih mau kembali ke dunia seni?”

“Belum tahu, Mas,” jawab Ayu lirih. “Suamiku tidak seperti Sonny yang membebaskan aku untuk bergerak. Kalau dia mengizinkan, mungkin aku akan kembali.”

Enggar mengangguk tanda mengerti. “Aku mengerti posisimu. Aku pasti akan merindukan saat-saat menari bersamamu. Sudah bertahun-tahun, kamu tiba-tiba berhenti berkesenian. Dunia kami akan merindukanmu.”

Ayu tersenyum kecil. Ia melangkahkan kakinya perlahan turun dari gedung tersebut dan menuju ke parkiran. Matanya langsung menangkap mobil Nanda yang masih terparkir di sana.

“Mas, sepertinya suamiku masih nunggu aku pulang. Aku pulang bareng dia aja.”

“Yang mana?” tanya Enggar.

Ayu langsung menunjuk mobil Nanda dengan isyarat kepalanya. “Aku nggak mau menambah kemarahan dia karena Mas Enggar mengantarku.”

Enggar mengangguk tanda mengerti. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku!”

“Baik, Mas. Terima kasih ...!” Ayu tersenyum manis dan melangkah menghampiri mobil Nanda. Ia mengintip ke dalam kaca jendela, melihat Nanda sedang terlelap di dalam sana.

Tok ... tok ... tok ..!

Ayu mengetuk pintu mobil Nanda beberapa kali hingga pria itu terbangun.

Nanda langsung mengerjapkan matanya begitu mendengar pintu mobilnya diketuk. Ia menoleh ke luar jendela mobilnya dan menangkap bayangan wajah Ayu di sana.

Ia melirik jam di mobilnya sejenak dan membuka kaca jendelanya. “Udah selesai?”

“Kamu masih nungguin aku? Arlita mana?” tanya Ayu balik.

“Nggak tahu,” jawab Nanda ketus. “Masuklah!”

Ayu tersenyum kecil dan langsung masuk ke dalam mobil Nanda. Ia tidak menyangka jika suaminya itu mau menunggunya hingga larut malam dan membuang pacarnya entah ke mana.

“Nan, kalau kamu ngantuk, biar aku yang bawa mobil!” pinta Ayu.

Nanda menggelengkan kepala. Ia bergegas menekan start engine dan menjalankan mobilnya perlahan keluar dari padatnya keramaian ulang tahun kota.

“Ay, kenapa kamu diam-diam pergi ke tempat ini? Kamu masih nari terus?” tanya Nanda lirih.

“Aku sudah bergabung dengan sanggar tari sejak usia lima tahun. Kamu sendiri yang bilang kalau tidak akan mengganggu rutinitasku meski kita sudah menikah. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk berhenti bekerja. Apa aku harus berhenti juga dari sanggar?” jawab Ayu sambil bertanya.

Nanda melirik ke arah Ayu yang sudah mengenakan pakaian sopan seperti biasa. Ia lebih nyaman melihat ayu seperti itu. Melihat istrinya berpakaian seksi, membuat kepalanya pening dan membayangkan banyak hal tidak senonoh yang bisa menimpa istrinya itu.

“Cuma itu hiburanku satu-satunya saat ini, Nan. Aku menghabiskan waktu sendirian di rumah dan itu membosankan. Setelah perutku membesar dan melahirkan, aku tidak akan bisa melakukan hal seperti ini lagi. Ini terakhir kalinya aku menari di atas panggung,” ucap Ay lirih sambil menundukkan kepalanya.

Nanda melirik ke arah Ayu sejenak. “Sorry ...! Aku nggak bermaksud mengekang kamu, Ay. Aku cuma ...”

Ayu menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari dunia seni karena kehamilannya yang akan semakin membesar.

Nanda menghela napas sambil menatap Ayu. “Sudah makan?”

Ayu menggeleng.

“Kita makan dulu sebelum pulang,” pinta Nanda. Ia langsung menghentikan mobilnya di depan halaman restoran dua puluh empat jam.

Ayu tersenyum saat Nanda menggandengnya masuk ke dalam restoran tersebut. Setelah tiga bulan menikah, ini pertama kalinya Nanda mengajaknya makan bersama. Meski berada di waktu yang tidak tepat, ia merasa bahagia karena diperhatikan oleh suaminya itu.

“Makan yang banyak supaya bayi kita sehat!” pinta Nanda saat makanan yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Makasih, Nan ...!”

“Nggak usah berterima kasih! Aku melakukannya demi anakku yang ada di perutmu."

Ayu mengangguk tanda mengerti. Ia tahu, Nanda tidak akan pernah tulus bersikap di hadapannya. Meski ia tidak ada cinta dalam hubungan mereka, ia tetap menginginkan diperlakukan sebagai seorang istri. Sebab, pernikahan mereka adalah pernikahan sungguhan dan sah secara hukum. Mereka juga tidak mungkin mengakhiri hubungan tanpa cinta ini dengan mudah karena keluarga mereka sama-sama berharapn hubungan keluarga kecil ini bisa harmonis.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan berkenan memberikan penghargaan untuk author dengan membeli karya ini. Apa yang kalian lakukan, sangat berharga untukku.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


 


 

 

 

 

Bab 7 - Tak Harmonis




BAB 7 – TAK HARMONIS

 

“Ayah, Bunda ... mmh, Roro Ayu sudah menjadi istriku. Bisakah kami tinggal di rumah sendiri? Aku sudah menyiapkan rumah untuk keluarga kecil kami dan hidup mandiri,” tutur Nanda saat makan malam bersama dengan keluarga Ayu.


Bunda Rindu dan Ayah Edi saling pandang selama beberapa saat.


“Kalian sudah berdiskusi? Bunda tidak bisa melarang kalau memang ini keinginan kalian,” tutur Bunda Rindu. “Asalkan kalian punya waktu untuk mengunjungi kami.”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum sambil menggenggam tangan Ayu. “Bunda tenang saja! Kami akan sering berkunjung ke sini. Rumah kami tidak terlalu jauh. Kami bisa mengunjungi kalian sesering mungkin.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan suaminya itu. Walau bagaimana pun, dia adalah seorang istri dan sudah selayaknya berbakti. Cepat atau lambat, seorang wanita memang akan diboyong pergi saat mereka sudah berkeluarga. Bersyukurnya, ia tidak perlu tinggal bersama mertua karena Nanda sudah menyiapkan rumah untuk mereka berdua.

Bunda Rindu tersenyum menatap wajah Ayu. “Kamu jaga dirimu baik-baik! Lagi hamil muda, tidak boleh terlalu kelelahan! Sudah resmi resign dari perusahaan?”

Ayu mengangguk. “Sudah, Bunda.”

“Baguslah. Jadi, kamu bisa fokus mengurus suami dan anakmu,” tutur Bunda Rindu. “Oh ya, kapan mau pindah rumah?”

“Secepatnya, Bunda,” jawab Nanda. “Mungkin, besok.”

“Nanti Bunda Rindu ke sana juga. Sebelum ditinggali, ada baiknya kita mengadakan pengajian lebih dulu,” tutur Bunda Rindu.

“Pengajian?” batin Nanda dalam hati. Pria bejat seperti dia mengadakan pengajian? Oh, God! Apa kata pasukan bir dan wine yang biasa menemaninya party?

Ayu mengangguk. “Nanti Ayu bilang ke Mama Nia dan Papa Andre juga supaya mereka juga datang ke rumah kami.”

“Mmh ... emangnya harus ada acara pengajian segala?” tanya Nanda.

“Iya, dong. Supaya kehidupan rumah tangga kalian itu penuh berkah, dikasih rejeki yang melimpah dan selalu harmonis,” jawab Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Nanda tersenyum kecut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak pernah mengadakan acara pengajian. Jika bukan karena keinginan orang tua, dia enggak melakukan hal tersebut. Boro-boro mau pengajian, belajar agama saja dia selalu kabur dari kelas. Bagaimana bisa pria bejat seperti dia mendapatkan istri yang begitu baik dan sholehah? Rasanya, jodoh kali ini tidak tepat. Ia masih ingin bersenang-senang di luar sana tanpa harus terbebani dengan tanggung jawab keluarga. Tapi kenyatannya, dia akan menjadi seorang ayah dan harus bertanggung jawab pada keluarganya.

Setelah menjalani serangkaian acara yang rumit dan penuh drama, Nanda dan Ayu akhirnya resmi menempati rumah baru mereka.

Nanda langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur begitu semua tamu sudah pulang dari rumahnya. “Gila! Seumur hidup, aku baru ini pakai baju koko terlama. Kenapa harus ngadain pengajian? Malu sama temen-temen klub aku, Yu. Harusnya kita bikin wine party biar seru.”

Ayu tersenyum sambil duduk di sisi Nanda. “Kalau kamu mau bikin party wine, jangan di rumah ini!”

“Kenapa? Ini rumahku.”

“Kamu pergi aja ke klub malam yang biasa kamu kunjungi!” sahut Ayu sambil meletakkan piyama ke atas perut Nanda. “Gantilah!”

Nanda menatap piyama di atas perutnya dan menghela napas. “Aku capek dan ngantuk banget. Nggak usah ganti baju.” Nanda menyodorkan kembali piyama itu. Ia memperbaiki posisi tubuhnya dan langsung memejamkan mata.

Ayu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Nanda. Ia merapikan tubuhnya terlebih dahulu sebelum akhirnya terlelap di samping pria itu.

Hingga jam sepuluh pagi, Ayu masih terlelap dengan nyaman di pelukan Nanda. Entah apa yang terjadi semalam selama mereka tidur dalam satu ranjang. Terpisah jauh dari sudut ke sudut, tiba-tiba sudah saling menempel tanpa mereka sadari.

Nanda memicingkan mata sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Ia langsung menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamar tersebut. “Jam sepuluh!?” batinnya.

Nanda meringis saat tangan kirinya terasa sangat keram dan Ayu sedang tertidur lelap dengan kepala di atas dadanya. “Kenapa dia bisa di sini? Pantesan pegel banget,” batinnya. Ia langsung menggeser kepala Ayu perlahan agar menjauh dari tubuhnya. Kemudian bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ayu langsung membuka mata begitu ia mendengar suara gemericik air dari kamar mandi. Ia langsung terlonjak begitu menoleh ke arah jam dinding dan waktu sudah menunjukkan jam sepuluh pagi. “Astaga! Aku bangun kesiangan!?”

Ayu bergegas melangkah menghampiri pintu kamar mandi dan mengetuknya. “Nanda ...!”

“Hmm.”

“Ke kantor?”

“He-em.”

“Mau sarapan apa?” tanya Ayu.

“Nggak usah! Aku bisa sarapan di luar!” seru Nanda dari dalam kamar mandi.

Ayu menghela napas. Hari pertama menjalani kehidupan baru dengan Nanda, ia malah bangun kesiangan. Meski begitu, ia berusaha menyiapkan sarapan secepat mungkin untuk suaminya sebelum pria itu berangkat ke kantor perusahaannya.

Beberapa menit kemudian, Nanda turun dari kamar dengan pakaian jas rapi. Ia menghentikan langkahnya saat melihat Ayu sedang menyiapkan makanan di atas meja makan. “Yu, kamu masak?”

“Iya. Sorry, aku kesiangan. Jadi, aku masak apa adanya aja untuk kamu. Makanlah!” pinta Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda tersenyum miring sambil memperhatikan sepiring nasi goreng yang disiapkan oleh Ayu untuknya. “Aku udah bilang nggak usah masak. Aku mau makan di luar.” Ia langsung melangkah begitu saja.

“Tapi ...”

“Ayu, aku nggak suka diatur, ya! Aku sudah bertanggung jawab menikahimu. Apa pun yang akan aku lakukan, kamu nggak perlu ikut campur!” sahut Nanda.

Ayu menghela napas melihat sikap Nanda. “Kamu ngajak tinggal di rumah sendiri supaya bisa semena-mena sama aku, Nan?”

Nanda menghentikan langkahnya sejenak. “Nah, itu tahu. Kalau aku nggak meminta kamu melakukan sesuatu, maka kamu nggak perlu melakukan apa pun untukku. Aku ada janji mau ketemu Arlita. Aku makan di luar,” ucapnya dan beranjak pergi.

“Nan, Arlita itu mantan pacar kamu. Aku ini istri kamu, Nan. Kamu masih berhubungan sama dia?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.

“Dia bukan mantanku. Aku belum putusin dia. Kalau kamu nggak bego, aku nggak bakalan nikah sama kamu!” sahut Nanda sambil melangkah keluar dari rumah dan masuk ke mobilnya.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil menyetabilkan hatinya. “Kamu gila, ya!? Aku juga punya pacar saat nikah sama kamu. Tapi kami udah nggak berhubungan lagi. Kamu punya istri, punya pacar juga? Emang dasar Nanda brengsek! Kenapa aku bisa terjebak jadi istri dia!?” umpatnya kesal.

Ayu merintih kecil saat perutnya tiba-tiba terasa perih. Ia langsung menghampiri meja makan dan menikmati nasi goreng buatannya seorang diri sebab Nanda tak ingin menyentuhnya sedikit saja.

Ayu membuka ponsel dan memeriksa update story di sosial media milik Arlita. Benar saja, wanita itu baru saja update story dengan pakaian cantik dan full riasan di wajahnya. Ditambah lagi dengan caption yang menunjukkan kalau ia sedang menuju ke salah satu restoran mewah yang ada di Galaxy Mall. Ayu tak bisa berbuat banyak. Toh, pernikahan ini juga bukan keinginannya. Akan lebih baik jika Nanda pergi dengan Arlita dan menceraikannya. Ia bisa mengurus anaknya sendiri dengan baik tanpa harus makan hati setiap hari.

 

***

Nanda melangkah masuk ke dalam restoran yang sudah ia pesan sebelumnya bersama Arlita. Ia langsung menghampiri Arlita yang sudah menantinya lebih dahulu.

“Siang, Sayang ...!” sapa Arlita dengan hangat dan langsung merangkul Nanda dan menciumi pipi pria itu. “Aku kangen, Nan.”

“Aku juga kangen sama kamu,” balas Nanda sambil tersenyum manis ke arah Arlita dan duduk di sofa yang ada di sana.

Arlita tersenyum dan terus merangkul lengan Nanda. “Nan, Ayu tahu kalau kamu pergi sama aku?”

“Tahu. Aku sudah bilang sama dia.”

“Kamu yakin hubungan kita ini akan baik-baik saja?” tanya Arlita sambil bergelayut manja di tubuh Nanda. “Kenapa kamu malah hamilin dia, sih? Bukannya hamilin aku aja. Kita ‘kan bisa segera menikah kalau aku hamil, Nan.”

“Aku nggak sengaja, Lit. Malam itu aku mabuk dan aku pikir itu kamu. Nggak tahunya itu Ayu. Kamu tahu ‘kan Ayu itu ceweknya sahabatku. Hubunganku sama Sonny jadi kacau gara-gara si Ayu bego itu. Apa susahnya beli pil KB di apotek supaya nggak hamil atau gugurin aja kandungannya? Urusan selesai dan aku nggak harus terjerat dalam pernikahan menyebalkan ini!” tutur Nanda sambil meraih gelas jus yang ada di atas meja dan meminumnya perlahan.

“Kenapa menyebalkan? Ayu itu masih keturunan bangsawan. Keluargamu pasti merasa terhormat dan bahagia punya menantu seperti dia. Apalagi papa dan mamamu itu, sampai sekarang mereka nggak suka sama aku. Ditambah lagi sudah punya menantu Ayu. Kamu yakin akan bercerai sama Ayu setelah dia melahirkan?”

Nanda mengangguk. “Baru sebulan aku nikah sama dia. Kepalaku udah pusing, Lit. Keluarga itu terlalu banyak aturan dan aku capek pura-pura jadi suami yang baik.”

“Kalau kamu capek pura-pura, tunjukkin aja aslimu, Nan!”

“Maksudmu?”

“Kamu dan Ayu memang tidak saling mencintai. Untuk apa berpura-pura? Kalian bisa berpisah setelah anak kalian lahir. Kamu bisa bebas jalan sama aku, Ayu juga bisa bebas jalan sama Sonny ‘kan? Kita bisa kembali ke kehidupan masing-masing seperti dulu,” jawab Arlita sambil tersenyum manis.

Nanda menoleh ke arah Arlita sejenak sambil berpikir. “Ada benernya juga, sih. Aku juga nggak nyaman hidup sama perempuan membosankan kayak Ayu. Gimana kalau nanti malam, aku tidur di apartemen kamu?”

“Serius!? Apartemenku juga milikmu, Nan. Tentu saja kamu boleh tidur di sana kapan saja. Aku pasti menyambutnya dengan senang hati. Tapi ... apa kamu tidak takut dengan mertua dan orang tuamu jika menginap di tempatku? Aku tidak ingin dipersalahkan oleh mereka.”

“Aku sudah tinggal di rumah sendiri bersama Ayu. Tidak akan ada masalah jika perempuan itu tidak mengadu yang macam-macam ke orang tua. Aku lebih bebas untuk bergerak dan tidak perlu berpura-pura menyayangi Ayu. Aku pusing, Lit.”

Arlita menghela napas. “Kalau kamu pusing di rumahmu sendiri, datang aja ke tempatku! Tempatku akan selalu terbuka untuk kamu dan kita bisa menikmati waktu bersenang-senang. Bagaimana?”

Nanda mengangguk-anggukkan kepalanya. “Setelah pulang dari kantor, aku akan ke tempatmu.” Ia tersenyum manis dan mengecup bibir Arlita.

Arlita mengangguk. Ia merangkul Nanda dengan hangat dan tersenyum manis. Ia sangat bahagia saat Nanda masih mencarinya untuk mendapatkan kehangatan. Ia tidak peduli dengan Ayu. Sejak awal Nanda adalah miliknya dan Ayu yang sudah merebut kekasihnya itu. Ia akan melakukan apa pun untuk merebut Nanda kembali dari tangan Ayu. Tidak rela jika pria yang sudah lama mengisi harinya itu diambil oleh wanita lain. Lagipula, hidup Arlita selalu bergantung dengan Nanda sejak dulu. Jika Nanda benar-benar pergi, ia tidak punya apa-apa untuk menghidupi dirinya dan gaya hidupnya yang mewah sejak berpacaran dengan Nanda.

 

 

***

 

Ayu mondar-mandir di ruang tamunya dengan gelisah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan di rumahnya seorang diri. Rumah ini belum banyak furniture dan ia tidak tahu harus melakukan apa di rumah itu. Sudah seharian bersantai-santai dan ia merasa sangat bosan. Biasanya, dia selalu pergi bekerja. Hari ini barulah terasa dan menyesal telah melepaskan karirnya demi berbakti pada suami.

“Lebih baik aku ke pasar aja, deh. Cari bahan masakan untuk makan malam. Mungkin, Nanda mau menemaniku makan malam.” Ayu tersenyum lebar. Ia segera melangkah ke kamar untuk mengambil dompet dan melangkahkan kaki keluar dari rumah itu.

Pasar sayuran terletak tak jauh dari komplek perumahan tersebut. Ia memilih untuk berjalan kaki. Ia bisa menikmati suasana dengan santai dan mengulur waktunya di luar rumah. Rumah yang besar dan sepi itu terasa sangat membosankan untuknya.

Suasana di pasar tetap saja ramai meski sudah sore. Ayu memilih beberapa sayuran, buah dan daging untuk ia masak. Ia tidak tahu makanan kesukaan Nanda dan hanya bisa memikirkan makanan yang disukai oleh kebanyakan orang. Berharap, Nanda akan menyukai hasil masakannya.

Di saat bersamaan, Nanda yang baru saja pulang dari kantor bersama Arlita, langsung menangkap bayangan tubuh Ayu yang sedang berada di tepi jalan di pasar yang ia lewati. Ia langsung menghentikan mobilnya dan melepas safety belt yang melingkar di pinggangnya.

“Kenapa, Nan?” tanya Arlita.

“Istriku,” jawab Nanda sambil menunjuk ke arah Ayu dan segera keluar dari dalam mobil tersebut.

“Ay, kamu ngapain di sini?” tanya Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membalikkan tubuh wanita itu agar menatap ke arahnya.

“Nanda?”

“Kenapa? Kaget lihat aku?” tanya Nanda lagi.

Ayu menggeleng santai. “Aku lagi cari bahan makanan untuk makan malam kita. Sudah pulang kerja?” Matanya langsung menangkap tubuh Arlita yang baru saja keluar dari mobil Nanda. Ia langsung menghela napas dan memilih untuk melangkah pergi meninggalkan pria itu.

“Hei, kamu mau ke mana!?” seru Nanda sambil mengejar langkah Ayu dan menghadangnya.

“Aku mau pulang.”

“Pulang sama aku!” pinta Nanda sambil menyambar pergelangan tangan Ayu.

“Nggak usah, Nan. Kamu lagi sama pacarmu. Aku nggak mau ganggu.”

“Oh. Jadi, kamu mau juga diganggu sama cowok lain? Lihat! Kamu keliaran pakai daster seksi kayak gini. Nggak sadar kalau sudah bersuami!?” sahut Nanda kesal.

Ayu mengernyitkan dahi dan menatap daster yang ia kenakan. Daster itu memang hanya di atas lutut dan tanpa lengan. Menurutnya biasa saja. Toh, Arlita juga mengenakan pakaian yang jauh lebih seksi darinya. Kenapa Nanda harus mempermasalah daster yang ia kenakan? Pria ini benar-benar membuatnya sangat kesal.

“Pulang sama aku!” pinta Nanda sambil menyeret lengan Ayu dan membawanya menghampiri mobilnya.

Arlita menaikkan kedua alisnya saat ia berhadapan langsung dengan Ayu. Ia hanya berdiri santai menatap wanita yang telah merebut kekasihnya dengan cara yang licik dan kejam.

“Lit, kamu pulang naik taksi, ya!” pinta Nanda sambil membuka pintu mobil dan memasukkan tubuh Ayu ke dalamnya.

Ayu menghela napas saat ia sudah duduk di dalam mobil. Meski ada Arlita di sana, ia tidak berani melakukan apa pun. Hanya bisa menundukkan kepala setiap kali bertemu dengannya. Sebab, ia sudah merebut Nanda dari tangan Arlita dan hatinya masih merasa bersalah.

“Nan, kamu nyuruh aku pulang naik taksi? Bukannya kamu sudah sepakat mau nginap di tempatku dan kita makan malam bareng?” tanya Arlita sambil melirik Ayu yang sudah berada di dalam mobil Nanda.

“Makan malam bisa lain kali. Ini urusan rumah tanggaku. Kamu pulang naik taksi aja, ya! Pesan makanan yang enak atau buat party sama teman-temanmu supaya kamu nggak bosan. Nanti aku transfer uang untuk party kamu,” jawab Nanda.

“Serius!?” tanya Arlita sambil tersenyum lebar.

Nanda mengangguk. “Bersenang-senanglah! Aku selesaikan urusan rumah tanggaku dulu!” Ia langsung melangkah ke sisi lain dan masuk ke dalam mobil. Kemudian, ia bergegas membawa mobilnya itu pergi dari sana.

“Nan, kamu nggak putusin Lita?” tanya Ayu. Ia akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama tertahan di dalam hatinya.

“Nggak. Dia bisa menjadi hiburan dan menemaniku bersenang-senang di luar. Di rumah bersamamu, semuanya terasa membosankan,” jawab Nanda santai.

“Kalau gitu, nggak usah pulang ke rumah sekalian!” sahut Ayu.

“Kamu ...!?” Nanda langsung menoleh ke arah Ayu dan menatap geram.

“Aku juga lebih tenang nggak ada kamu di rumah,” sahut Ayu dengan suara tercekat.

“Bagus.” Nanda manggut-manggut. “Aku juga bisa tinggal di tempat Lita kalau memang itu mau kamu! Muak sama istri pembangkang kayak kamu!”

Ayu langsung membuang wajahnya ke arah luar jendela. Air matanya menetes perlahan. Ia tidak menyangka jika akan diperlakukan seperti ini oleh Nanda setelah mereka tinggal di rumah sendiri. “Bunda, aku mau pulang ...” lirihnya dalam hati.

Nanda menghela napas sambil memarkirkan mobil di halaman rumahnya. “Nggak usah nangis, Ay!” pintanya lembut.

“Aku mau balik ke rumah orang tuaku, Nan.”

“Hah!? Kita baru sehari tinggal di rumah ini. Kamu udah mau pulang ke rumah orang tuamu?” tanya Nanda. “Kamu jangan kekanak-kanakkan gitu, dong! Aku minta maaf sama kamu! Nggak perlu balik ke rumah orang tua!” pintanya. Ia tidak ingin mendapatkan masalah baru jika Ayu sampai keluar dari rumahnya. Ia harus menghadapi keluarga mertua dan orang tuanya sekaligus. Membayangkannya saja, ia sudah sakit kepala.

“Aku nggak betah tinggal di rumah ini. Rumah ini terlalu sepi. Sarapan, makan siang dan makan malam ... aku selalu sendirian. Kamu sibuk dengan pacarmu. Lalu, buat apa aku masih tinggal di rumah ini? Menjadi istri yang tidak dihargai. Lebih baik kita selesaikan saja hubungan kita jika memang tidak ada kebahagiaan. Toh, aku dan keluargaku bisa menghidupi anak ini meski tanpa ayahnya,” tutur Ayu sambil keluar dari mobil dan melangkah perlahan memasuki pintu rumahnya.

Nanda buru-buru mengejar langkah Ayu hingga lupa mematikan mesin mobilnya. “Yu, jangan pergi, ya! Aku bisa dibunuh sama Papa Andre kalau hubungan kita berantakan. Aku janji akan temani kamu sarapan, makan siang dan makan malam. Asalkan kamu jangan pergi dari sini! Oke?” pinta Nanda sambil mengikuti langkah Ay menuju dapur rumah mereka.

Ayu tak menyahut. Ia memilih untuk menyibukkan diri di dapur dan tidak mendengarkan Nanda yang terus mencoba merayunya agar tetap tinggal di rumah itu. Ia tahu, Nanda hanya takut kehilangan kedudukannya di perusahaan keluarganya jika hubungan mereka berantakan. Bukan karena kehilangan sosok istri dalam hidupnya. Andai dia bisa memilih, ia tidak ingin menjalani pernikahan yang sangat menyakitkan ini.

 

((Bersambung...))

Mohon maaf kalau update lambat karena masih nulis di banyak Platform. Tetep dukung terus karya author biar makin semangat bikin ceritanya!

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


 

 


Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

 




BAB 6

HARI PERTAMA JADI MANTU

 

“Roro Ayu, layani suamimu dengan baik!”  perintah Bunda Rindu saat mereka berada di meja makan untuk menikmati sarapan pertama kalinya.

Ayu langsung menarik piring dari atas meja dengan kasar dan mengambilkan nasi dan lauk untuk  Nanda. Wajahnya, tetap saja tak mau bersahabat dengan suaminya itu.

“Kamu sudah memutuskan menerima lamaran keluarga  Nanda. Bersikap baiklah pada suamimu!” perintah Edi.

“Ayah, ayah tahu kalau aku nggak mau menikah. Bukankah ayah sendiri yang bilang kalau aku bisa membesarkan anak ini tanpa ayahnya. Aku rela menanggung malu seumur hidupku daripada harus berumah tangga dengan orang yang tidak mencintaiku  seumur hidupnya,” tutur Ayu sambil menahan kesal.

“Roro Ayu, nggak baik bicara seperti itu! Nanda sudah jadi suamimu. Sebagai seorang istri, kamu harus tetap berbakti dan menurut pada suamimu.”

Ayu menghela napas dan mengangguk terpaksa. Ia meraih susu hangat yang disiapkan oleh pelayan rumahnya dan menyodorkannya pada Nanda. Ia memaksa bibirnya untuk tersenyum ke arah Nanda, pria yang kini berstatus sebagai suaminya.

Nanda tersenyum menatap wajah Roro Ayu. Meski ia tidak mencintai  wanita itu, ia sudah berjanji untuk memperlakukannya dengan baik. Walau bagaimana pun, Roro Ayu adalah ibu dari calon anaknya.

“Ayu, apa kamu masih pergi bekerja hari ini?” tanya Edi tanpa menatap wajah puterinya  itu.

“Masih, Ayah.”

“Bukankah sudah sepakat untuk berhenti bekerja? Wanita-wanita di keluarga Hadyoningrat tidak ada yang bekerja. Mereka memiliki kewajiban mengurus keluarga dengan baik,” tutur Edi. “Pria yang bertugas memenuhi semua kebutuhan finansial keluarga.”

Nanda terdiam sambil menikmati makanan di hadapannya. Ia tidak ingin membatasi Roro Ayu dan juga tidak melarangnya untuk bekerja. Namun, aturan dari keluarga bangsawan ini sepertinya tidak bisa ia bantah. Benar-benar malapetaka baginya jika harus hidup dalam aturan kuno dan kedisplinan. Ia terbiasa hidup bebas tanpa aturan dan diatur oleh siapa pun.

“Ayah tidak mau tahu. Ini hari terakhirmu bekerja. Jika kamu masih memaksa untuk bekerja, maka suamimu yang harus melakukan pekerjaan rumah. Bagaimana?”

Nanda langsung mengangkat kepalanya. “Ayah tenang saja! Ayu tidak akan bekerja setelah hari ini.”

Edi manggut-manggut. “Amora Internasional adalah perusahaan besar. Kamu tidak mungkin tidak sanggup menghidupi puteriku ‘kan? Ayah bertugas mencari nafkah, ibu bertugas menjaga moral keluarga.  Itu aturan dalam keluarga kami secara turun-temurun.”

Nanda dan Ayu mengangguk bersamaan.

“Kehamilanmu di luar pernikahan, bukan hanya mencoreng nama baik keluarga, tapi juga bukti kalau ibumu tidak bisa menjaga moral keluarga,” tutur Edi.

“Ayah ...!?” Rindu mengernyitkan dahi ke arah Edi. Ia ingin mengelak, tapi tatapan tajam suaminya itu berhasil membungkam mulutnya dalam sekejap.

“Jadikan ini sebagai pelajaran untuk kalian!” pinta Edi. “Kalian akan segera menjadi orang tua. Harus belajar bagaimana menjadi contoh untuk anak-anak kalian kelak.”

“Anak-anak? Satu anak saja aku  tidak mau, Ayah!” protes Ayu dalam hati. Ia melanjutkan makannya hingga habis sembari mendengar begitu banyak nasihat dari ayahnya.

 

Usai sarapan bersama, Nanda segera mengajak Ayu untuk masuk ke dalam mobilnya dengan  sikap yang begitu manis. Ia buru-buru menjalankan mobil tersebut meninggalkan kediaman keluarga  Hadyoningrat yang penuh aturan-aturan menjengkelkan.

“Yu ...!”

Hening.

“Ayu ...!”

Hening.

“AYUU ...! Kamu budeg?”

Ayu masih saja bergeming.

“Aku nggak  tahan sama aturan keluarga kamu yang banyak banget. Kalau  sudah menikah, apa kamu boleh tinggal  saja bersama suamimu?” tanya Nanda.

Ayu mengangguk kecil.

“Baguslah.” Nanda langsung menepikan mobilnya dan membuka laci dashboard. Ia mengeluarkan beberapa brosur dari sana dan menyodorkan ke  hadapan Ayu.

“Pilih rumah mana yang kamu suka! Aku  akan membelikannya untukmu dan kita keluar dari rumah keluarga. Kita  bisa bebas melakukan apa saja tanpa intervensi mereka,” pinta Nanda.

“Biar kamu juga bisa bebas ketemu Arlita?”

“Kamu  tahu kalau dia pacarku. Nggak perlu ditanya lagi.”

“Kita sudah menikah.  Kamu nggak putusin dia?”

“Ini sudah zaman apa, Ay? Punya istri dan pacar sekaligus, sudah jadi hal biasa,” jawab Nanda santai.

Ayu menarik napas perlahan sambil memejamkan matanya. Meski ia tidak mencintai Nanda, tapi hatinya tetap saja tidak rela jika Nanda memperlakukannya seperti ini. Menduakan ia secara terang-terangan.

“Aku juga tidak akan melarangmu berpacaran dengan Sonny. Kalian masih bisa seperti dulu. Status pernikahan kita itu cuma selembar kertas. Nggak akan memengaruhi perasaan kita ke pasangan masing-masing,” tutur Nanda.

Ayu membuang wajahnya ke luar jendela. Pria di sampingnya itu benar-benar menjijikkan. Entah dari mana datangnya karma buruk dalam hidupnya hingga ia harus menikah dengan pria yang tidak pernah mencintainya dan tidak  akan pernah.

“Yu, cepet kamu pilih rumahnya!  Jangan kelamaan! Aku udah nggak tahan tinggal di  rumah keluargamu.”

“Tinggal di rumah keluargamu saja. Setelah satu minggu, masih ada acara unduh mantu.”

“HAH!? Unduh mantu apaan?” tanya Nanda.

“Suami memboyong istri ke rumah orang tuanya.”

“Masih bagian dari adat pernikahan?” tanya Nanda lagi.

Ayu  mengangguk kecil.

“Setelah itu, berapa lama kita bisa keluar dari rumah?” tanya Nanda.

“Empat puluh hari,” jawab Ayu lirih.

“Empat puluh hari? Lama banget? Kupingku keburu berdarah dengerin ceramah dari orang tuaku,” tanya Nanda sambil mengusap telinganya sendiri.

Ayu terdiam sambil menatap beberapa brosur di tangannya.

“Yu, aku udah pilihkan beberapa rumah mewah untukmu. Aku nggak akan kasih rumah murahan. Ayahmu pasti akan berpikir macam-macam, menganggapku tidak mampu menghidupimu,” tutur Nanda sambil mengemudikan mobilnya.

“Aku nggak perlu rumah dari kamu,  Nan,” sahut Ayu.

“Yu, kamu bisa nggak bekerja sama denganku kali ini? Ini masalah rumah tangga kita. Kalau kamu masih nggak mau milih, aku akan lakukan sendiri! Aku akan pilih rumah tanpa meminta persetujuanmu,” tutur  Nanda.

Ayu langsung meletakkan brosur-brosur itu ke atas dashboard. “Kamu saja yang pilih!” Ia kembali bersandar, melipat kedua lengannya di depan dada dan memejamkan mata.

Nanda menghela napas sambil melirik Ayu. Kemudian menatap jalanan kota Surabaya yang begitu ramai saat pagi hari.

“Jam berapa pulang kerja? Aku jemput kamu,” tanya Nanda begitu ia memarkirkan mobilnya di depan kantor kerja Ayu.

“Jam lima,” jawab Ayu sambil melepas safety belt di tubuhnya.

“Kamu harusnya sudah resign hari ini. Masi kerja full?”

“Aku belum resign,” jawab Ayu sambil meraih gagang pintu mobil dan membukanya.

“Yu, ayahmu bisa marah sama aku kalau kamu masih bekerja. Kalau kamu nggak resign hari ini, aku yang akan masuk ke perusahaanmu dan ngajukan surat resign,” tutur Nanda.

Ayu langsung memutar kepalanya menatap Nanda. Ia tidak ingin pria itu ikut campur dengan urusan pekerjaannya, apalagi semakin mempermalukan diri dengan statusnya yang tiba-tiba berubah. “Nggak perlu. Aku akan ajukan resign hari ini.”

Nanda tersenyum lega. “Gitu, dong!”

Ayu balas tersenyum. Ia berpikir sejenak sambil menggigit bibir bawahnya. Meski tidak cinta, ia tetap harus berbakti pada suaminya. Setelah berpikir selama beberapa detik, ia akhirnya mengulurkan tangannya. Mencium punggung tangan suaminya itu sebelum ia benar-benar keluar dari dalam mobil.

“Manis,” celetuk Nanda sambil tersenyum begitu Ayu sudah keluar dari mobil. Ia bergegas menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan pelataran kantor tempat Ayu bekerja selama dua tahun terakhir.

 

 


((Bersambung...))


Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita dan selalu dukung karya author!



MuchLove,

@vellanine.tjahjadi



 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com




Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

 






BAB 5

MENOLAK PERNIKAHAN KONTRAK

 

“Ay, aku mau bicara!” Nanda langsung menarik Ayu dan membawanya masuk ke dalam mobil.

“Nggak ada yang perlu dibicarakan di antara kita, Nan,” sahut Ayu dingin.

“Dia ... beneran anakku?” tanya Nanda sambil melirik perut Ayu.

Ayu tak menyahut pertanyaan Nanda. “Dia tidak diinginkan sama ayahnya sendiri. Aku anggap, ayahnya sudah mati.”

Nanda menelan salivanya dengan susah payah. Bayangan Arlita yang akan bertunangan dengannya, bergelayut di pelupuk mata.

Ayu menghela napas, ia meraih gagang pintu dan bermaksud untuk keluar dari sana. “Kita  menikah saja.”

“Sejak dulu, kedua orang tuaku tidak menyukaimu. Begitu pun aku. Aku tidak ingin melakukan pernikahan karena terpaksa. Aku sudah memutuskan, akan membesarkan anak ini meski tanpa ayah,” tutur Ayu lirih.

“Mamaku tidak berhenti menangis dan jatuh sakit karena ancaman ayahmu. Bisakah kamu punya hati sedikit, Ay? Kita menikah saja. Ini bukan hal sulit. Aku akan berikan apa saja yang kamu mau.”

“Aku nggak butuh apa pun dari kamu, Nan.”

“Ay, kamu jangan memaksa aku untuk bersikap kasar!” pinta Nanda.

“Pukul saja kalau itu bisa  membuatmu puas, Nan!” pinta Ayu sambil menyodorkan wajahnya ke arah Nanda.

“Kamu ...!?” Nanda menatap wajah Ayu sambil menahan amarah. Ia tidak menyangka jika wanita itu sangat sulit untuk ia hadapi. Ia menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Kamu mau apa? Apa pun aku turuti.”

“Matiin aku atau kamu yang mati!” pinta Ayu.

“Ay, kamu ...!? Kamu udah gila, ya? Kamu cuma hamil, Yu. Kita menikah saja dan semuanya selesai. Kenapa kamu buat semuanya jadi rumit? Kamu sengaja mau bikin masalah sama aku?”

“Masalah ini kamu yang buat, Nan. Kalau barangmu nggak nakal, aku nggak akan hamil!”

“Kamu yang mengantarkan dirimu ke  kamarku malam itu. Kenapa kamu salahin aku?”

“Kamu paksa aku dan anggap aku sebagai Arlita. Iya ‘kan? Kamu jangan menyalahkan aku, Nan. Maksud aku baik. Aku cuma mau kasih hadiah ke kamu dan ...”

“Sudah, sudah. Perempuan kerasa kepala kayak kamu, nggak akan ngerti maksudku!”

Ayu mendengus kesal dan berusaha  keluar dari dalam mobil tersebut.

“Ay, aku belum selesai ngomong!” Nanda menyambar pergelangan tangan  Ayu.

“Nan, aku udah capek sama semua ini. Aku nggak punya alasan untuk menikah sama kamu meski bayi ini anakmu.”

“Mamaku sakit, Ay. Apa kamu nggak punya hati?” tanya Nanda.

Ay menghela napas. Ia sangat membenci Nanda, tapi wajah  Tante Nia yang begitu lembut dan baik, membuat hatinya bergejolak.

“Kita menikah saja. Bagaimana kalau  kita buat perjanjian? Aku akan berikan semuanya untukmu,” pinta Nanda sambil menyodorkan dokumen kontrak pernikahan.

Ay tersenyum melihat dokumen kontrak yang diajukan oleh Nanda. Melihat judulnya saja, ia merasa itu sebuah penghinaan baginya.

Nanda bernapas lega saat Ay tersenyum menatap dokumen yang ada di tangannya. Ia terlihat bersemangat dan menyodorkan pena ke hadapan Ayu. “Setuju?”

Ayu tersenyum manis ke arah Nanda.

KREEEK ...!

Ia langsung merobek dokumen tersebut dan melemparkan ke arah  Nanda. Membuat pria itu, tertegun sejenak sembari menahan amarahnya.

“Aku nggak butuh pernikahan kontrak! Kamu hanya akan menjadikan aku janda di masa depan!? Lebih baik, aku tidak pernah menikah denganmu seumur hidup! Masih ada Sonny yang mencintai aku dan mau menggantikan posisimu sebagai ayah dari anak ini! Jangan temui aku lagi untuk mengajukan pernikahan gila!” seru Ayu kesal sambil membuka pintu mobil Nanda.

Nanda menarik kasar lengan Ayu. Dengan cepat, ia menarik tengkuk Ay dan menyambar bibir wanita itu dengan kasar.

“Mmh ... mmh ... mmh ...” Ayu berusaha memberontak. Namun, kedua tangan Nanda memegang erat tubuhnya hingga tak mampu bergerak.

Nanda terus menciumi bibir Ay dengan liar dan menurunkan ritmenya perlahan. Mengulum lembut bibir wanita itu hingga membuat Ayu tak lagi bergerak untuk melawannya.

Bodohnya, Ayu malah merasa nyaman dengan sentuhan bibir Nanda hingga membuatnya justru membalas sentuhan itu tanpa sadar.

Nanda tersenyum sinis sambil melepaskan ciumannya. “Malam itu kamu menikmatinya, Ay. Apa kamu lupa? Kita melakukannya bersama-sama. Jangan hanya menyalahkan aku saja,” bisiknya.

Ay melirik kesal ke arah Nanda sambil mengatur napasnya yang tak teratur.

“Kita menikah  saja, oke? Aku akan memperlakukan kamu dengan baik. Soal cinta, kita bisa melakukannya perlahan. Bagaimana?” tanya Nanda lembur sambil merapikan anak rambut Ayu yang berantakan.

Ayu tak menyahut. Ia segera keluar dari dalam mobil tersebut dan meninggalkan Nanda begitu saja.

Nanda tersenyum lega. Ia menjalankan mobilnya meninggalkan tempat tersebut untuk mempersiapkan lamaran.

 

...

 

Setelah melewati perdebatan panjang dan rentetan persyaratan yang  rumit, keluarga Nanda dan Roro Ayu menggelar sebuah prosesi pernikahan. Pernikahan yang hanya dipersiapkan dalam waktu satu minggu, dipaksa untuk diadakan secara mewah, lengkap dengan prosesi adat yang tidak bisa ditinggalkan oleh keluarga Roro  Ayu.

Ayu melemparkan sunduk mentul dan aksesoris lainnya ke atas meja rias begitu prosesi adat pernikahan selesai. Atas nama kemanusiaan, ia akhirnya menyetujui pernikahannya dengan Nanda.

“Yu, aku sudah memberikan pernikahan mewah dan mahar yang begitu banyak untukmu. Kenapa wajahmu masih tak bersahabat. Aku tidak enak dengan keluarga besarku. Mereka akan berpikir, kamu tidak bahagia menikah denganku,” tutur Nanda sambil menghampiri Ayu.

“Aku memang tidak bahagia.”

“Tidak bisakah bersandiwara sebentar saja, Yu? Aku sudah memenuhi semua syarat dari keluargamu, juga syarat darimu. Apa masih tidak bisa membuatmu bahagia?” tanya Nanda. Ia nyaris kehilangan kesabaran menghadapi Ayu yang tidak mau menurut dengannya meski saat ini status mereka sudah sah menjadi suami-istri.

“Aku tidak bisa berpura-pura bahagia. Biar saja seluruh dunia tahu kalau aku tidak bahagia menjadi istrimu,” sahut Ayu ketus.

“Kamu ...!?” Nanda menyambar leher Ayu dan menekannya. “Jangan buat kesabaranku habis, Yu. Aku bisa saja mencelakaimu dengan mudah,” ucapnya sembari menekan leher Ayu.

“Bunuh aku saja, Nan! Itu jauh lebih baik,” tutur Ayu sambil menatap tajam ke arah Nanda.

Nanda menatap mata Ayu yang menyiratkan banyak luka. Ia langsung melepaskan genggamannya dan melangkah pergi dari kamar pengantin tersebut.

Ayu menghela napas sambil menahan air matanya untuk jatuh. Ia menoleh ke arah ponselnya yang berbunyi.

“Selamat untuk pernikahanmu hari ini. Maaf, aku tidak bisa datang untuk mengucapkan selamat. Aku kirimkan hadiah pernikahan untuk kalian. Semoga kalian hidup bahagia. Terima kasih, sudah menjadi bagian dari rencana masa depanku yang begitu indah.”

“Hiks ... hiks ... hiks ...” Ayu langsung terisak begitu ia membaca pesan yang dikirimkan Sonny untuknya.  Ia benar-benar merasa sangat bersalah. Sebab, ia tidak mampu menjaga kesucian cinta yang sudah mereka jalin bertahun-tahun lamanya.

 

 

 ((Bersambung...))


Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita dan selalu dukung karya-karya author!


MuchLove,

@vellanine.tjahjadi



 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com



Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas