Waktu begitu cepat
berlalu. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan. Seperti halnya yang terjadi
pada Mahesa Adelfino. Kini, ia menjadi penerus perusahaan papanya.
Hari ini, Mahesa pergi
ke salah satu perusahaan rekanannya untuk membicarakan suatu hal. Kamoga
Corporation adalah salah satu perusahaan yang bekerjasama dengan Fino Group
dalam berbagai bidang usaha.
“Paman Kamoga ada?”
sapa Hesa begitu sampai di meja resepsionis.
“Maaf, Pak. Dengan
Bapak siapa?” tanya resepsionis itu dengan ramah. Matanya berbinar melihat
cowok muda dan tampan dengan setelan jas rapi.
“Mahesa dari Fino
Group,” jawab Hesa sambil tersenyum manis menatap resepsionis yang cantik.
“Oke. Sebentar ya,
Pak!” pinta resepsionis itu dan langsung menelepon sekretaris Presdir Kamoga
Corporation. Ia memberitahukan soal kedatangan Mahesa lalu kembali menutup
teleponnya.
“Bapak Kamoga ada di
ruangannya di lantai enam,” tutur resepsionis itu pada Mahesa. “Perlu saya
antar?” tanyanya sambil tersenyum manis.
“Nggak perlu. Saya bisa
ke sana sendiri,” jawab Mahesa sambil mengedipkan matanya ke arah resepsionis
itu.
Mahesa memang terkenal
sebagai cowok playboy. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda
wanita cantik yang ia temui. Ia langsung bergegas menaiki lift menuju kantor
Presdir yang ada di lantai enam.
“Bapak Hesa?” sapa
sekretaris yang langsung berdiri dari tempat duduknya ketika Mahesa tiba.
Hesa tersenyum sambil
menganggukkan kepala.
“Mari ikut saya!” pinta
sekretaris tersebut sambil mengantar Mahesa masuk ke dalam ruangan Kamoga.
“Pagi, Paman Kam!” sapa
Hesa sambil merangkul Kamoga.
“Pagi, gimana kabar
kamu?” tanya Kamoga sambil menatap hangat anak laki-laki yang ada di hadapannya
itu.
“Baik, Paman. Paman apa
kabar?”
“Baik juga. Silakan
duduk!” pinta Kamoga mempersilakan Mahesa untuk duduk di sofa yang ada di
ruangannya.
Mahesa langsung duduk
di sofa, berhadapan dengan Kamoga selaku Presiden Direktur dari Kamoga
Corporation.
“Waktu cepat sekali
berlalu. Rasanya, baru kemarin Paman lihat kamu bermain di taman. Sekarang,
kamu sudah jadi penerus perusahaan papa kamu,” tutur Kamoga.
Mahesa tersenyum kecil
menanggapi ucapan Kamoga.
“Paman, aku ke sini mau
membicarakan masalah kerja sama kita untuk beberapa site yang ada di Kutai
Barat dan Sangatta,” tutur Hesa serius.
“Ah, wajah kamu serius
banget. Gimana kalo kita bicarain sambil ngopi?” tutur Kamoga.
“Boleh,” jawab Hesa
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kamoga mengajak Hesa ke
kedai kopi yang tak jauh dari kantornya.
“Paman, aku butuh
penambahan unit untuk site Sangatta dan Kubar,” tutur Hesa saat mereka sudah
duduk di kedai kopi.
“Butuh berapa unit?”
tanya Kamoga.
“Mmh ... tapi kali ini
kami tidak akan melakukan transaksi pembelian,” tutur Hesa.
Kamoga mengernyitkan
dahinya. “Maksud kamu?”
“Semuanya pakai sistem
sewa,” jelas Hesa singkat.
“Oh ... ya, Paman
ngerti. Ada masalah dengan unit kamu di sana?”
“Nggak ada. Hanya saja,
sulit untuk melakukan maintenance setiap unit karena mekanik kami tidak begitu
bagus. Aku rasa, mekanik Paman lebih banyak berpengalaman.”
Kamoga tertawa kecil.
“Itu soal gampang. Jadi, mau sewa unit sekaligus perawatannya ditanggung
perusahaan kami?”
Hesa menganggukkan
kepala. “Operatornya juga dari Paman,” tuturnya.
“Bukannya kamu sudah
punya banyak operator?”
“Iya. Tapi, mereka
semua sudah pegang unit dan Site Manager menyarankan untuk bekerjasama dengan
kontraktor.”
Kamoga
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok aku ke sini lagi
bawa kontraknya,” tutur Hesa.
Kamoga mengangguk.
“Gimana dengan pembangunan hotel?” tanya Kamoga.
“Eh!?”
“Paman dengar-dengar,
Papa kamu sedang memulai bisnis hotel dan tempat hiburan?”
Hesa tersenyum
mendengar pertanyaan Kamoga. “Semuanya berjalan dengan baik.”
“Bagus. Paman percaya,
kamu bisa menangani semuanya dengan baik.”
“Masih dibantu papa,”
sahut Hesa.
Kamoga tertawa kecil.
“Paman tidak menyangka kalau bisnis papa kamu juga akan merambah ke bidang
perhotelan dan hiburan. Dia memang pekerja keras.”
Hesa tersenyum. “Dia
udah menyerahkan perusahaan kontruksi dan mining ke aku. Mungkin, beliau masih
ingin menjalankan bisnis tanpa bersaing dengan anaknya sendiri.”
“Hahaha.” Kamoga
tertawa mendengar ucapan Hesa.
Mereka sibuk membicarakan
beberapa bisnis. Perusahaan Kamoga dan Fino group memiliki banyak kerjasama.
Banyak hal yang mereka bicarakan ke depannya untuk kemajuan perusahaan mereka.
Hesa tidak hanya
sekedar bertanya. Ia juga belajar banyak hal baru dari Paman Kamoga tentang
perusahaan yang baru saja ia tangani.
***
Delana berbaring di
atas ranjangnya sambil berselancar di internet. Entah kenapa ia merasa
akhir-akhir ini terasa membosankan. Ia ingin pergi ke suatu tempat yang sedang
hits di dunia maya. Hampir semua tempat wisata yang ada di sini adalah pantai
karena kota Balikpapan berada di pesisir pantai.
Delana langsung
terbangun saat membaca sebuah artikel yang menyebutkan destinasi wisata yang
sedang hits di wilayah Samboja. Salah satu daerah yang berdampingan dengan kota
Balikpapan.
“Batu Dinding? Kayaknya
keren,” gumam Delana sambil mencari beberapa referensi di Youtube tentang salah
satu lokasi wisata yang sedang hits beberapa hari terakhir.
“Wow! Gila! Ini keren!”
seru Delana ketika melihat beberapa vlog yang menunjukkan keberadaan Batu
Dinding. Batu Dinding terbentuk alami dari alam dengan ketinggian sekitar 150
meter dan panjang sekitar lima ratus meter.
Delana berpikir ulang.
Lebar batu yang dipijak kurang dari lima meter, bahkan ada yang hanya berukuran
satu meter saja. Kalau ia tergelincir dan jatuh, pasti hidupnya akan langsung
berakhir hari itu juga.
Delana menghela napas.
“Itu kan tempat wisata. Pastinya udah ada pemandu dan safety-nya juga. Ngapain
sih aku khawatir?” tutur Delana pada dirinya sendiri.
“Tapi, kalo mau ke sana
mana bisa pake mobil papa. Mobil papa terlalu rendah buat medan yang sulit dan
terjal kayak gitu,” ucap Delana. Ia sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri.
Delana mengetuk-ngetuk
dagunya. Ia terus berpikir agar bisa pergi ke Batu Dinding tanpa harus
mengorbankan mobilnya sendiri. Ayahnya bisa berhenti mengirimkan uang saku
kalau sampai ia membuat mobil pribadi ayahnya rusak.
“Aha ... Paman Kam kan punya
mobil Strada. Aku pinjam mobilnya aja,” tutur Delana sambil tersenyum ceria.
Delana mengetik nama
kontak Paman Kam dan langsung meneleponnya.
“Halo, cantik!” sapa
Kamoga begitu panggilan telepon Delana tersambung.
“Halo, Paman. Paman
lagi apa?” tanya Delana.
“Lagi di kantor. Tumben
telepon Paman. Ada apa?”
“Hehehe. Ini, Paman
...” Delana meringis. Ia sangat berhati-hati membicarakan keinginannya.
“Ada apa? Ngomong aja,
nggak usah sungkan begitu!” pinta Kamoga.
“Mmh ... aku mau pinjam
mobil Paman, boleh?” tanya Delana pelan.
“Emang mobil kamu ke
mana?”
“Mmh ... ada, sih.
Tapi, aku pengen ke Batu Dinding. Kalo pake mobilku, nggak bisa masuk karena
jalannya lumayan sulit,” tutur Delana dengan gaya manja.
“Oh ... mau pake mobil
Paman yang Strada?”
Delana menganggukkan
kepala. “Iya, Paman. Boleh?”
“Boleh. Kapan mau
dipake?” tanya Kamoga.
“Besok bisa?” tanya
Delana.
“Kamu mau jalan besok?
Emangnya nggak kuliah?”
“Kuliah. Aku ke sana
abis pulang kuliah.”
“Oh, gitu? Ambil aja di
kantor besok ya!” perintah Kamoga.
Delana tersenyum
senang. “Oke. Makasih banyak ya, Pamanku tercintah!” tutur Delana dengan gaya
alay.
Kamoga tertawa kecil.
“Kamu ini ada-ada aja.”
“Hehehe. Ya udah,
dilanjut lagi kerjanya! Maaf mengganggu,” tutur Delana.
“Iya.”
Delana langsung menutup
teleponnya. Ia merasa sangat senang karena akhirnya bisa pergi jalan-jalan ke
suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi.
“Mmh ... kalo ke sana
sendirian, aman nggak ya? Aku kan cewek,” tutur Delana. Ia menghela napas dan
mulai lesu. Sepertinya ia harus berpikir ulang untuk pergi sendiri mengingat
medan yang harus dilalui sangat buruk dan juga berada di tengah hutan.
Delana melangkahkan
kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara ribut di lantai bawah. Suara itu
tak asing lagi di telinga Delana. Ia langsung berlari menuruni anak tangga,
menghampiri tiga cowok yang sedang asyik menonton televisi sambil menghambur
cemilan di atas meja.
“Kalian udah lama di
sini?” tanya Delana.
“Udah,” jawab Dhanuar.
“Baru bangun tidur?”
Delana tersenyum sambil
menatap Dhanuar. Ia kemudian ikut duduk di sofa sambil menatap televisi yang
menyala. Delana menatap ketiga cowok itu satu persatu. Mereka sibuk dengan
ponsel masing-masing. Lalu, apa gunanya televisi menyala? Ia
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ketiga saudaranya itu.
“Lan, kamu tahu Batu
Dinding nggak?” tanya Delana pada Alan.
“Batu Dinding?” Alan
melirik ke langit-langit sebagai tanda berpikir. “Kayaknya pernah dengar.”
“Yang di kilo empat
lima itu, Kak?” tanya Bryan.
“Iya,” jawab Delana
sambil menganggukkan kepala.
“Oh ... yang katanya
kayak Tembok Raksasa China itu ya?” tanya Dhanuar.
“Iya. Tapi, ini batu,
Dan nggak sepanjang Tembok Raksasa China juga,” sahut Delana.
“Ya iya, lah. Tapi
keren loh itu. Terbentuk alami jadi dinding gitu. Katanya, mahasiswa Geologi
dari Pulau Jawa yang pertama kali nemuin tempat itu buat penelitian dan
akhirnya terekspose ke luar,” tutur Dhanuar.
“Yang mana sih?” tanya
Alan penasaran.
“Search aja di Youtube!
Ntar muncul,” jawab Dhanuar.
Alan langsung membuka
aplikasi Youtube dan mencari keyword ‘Batu Dinding’ seperti yang disarankan
oleh Dhanuar.
“Mmh ... aku rasa bukan
mereka yang pertama kali nemuin. Pasti ada warga sekitar yang udah tahu tempat
itu lebih dulu. Tapi, mereka nggak ekspose ke dunia luar. Makanya baru terkenal
sekarang,” tutur Delana.
“Iya, juga sih,” tutur
Dhanuar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kakak senior aku, dia
pecinta alam dan udah pernah ke Batu Dinding jauh sebelum tempat itu terkenal.
Katanya, dulu tempat itu cuma bisa dimasukin sama pejalan kaki aja. Motor dan
mobil nggak bisa masuk. Tapi, kayaknya sekarang udah bisa masuk ke sana,” tutur
Bryan.
“Iya.”
“Kayaknya, di
Kalimantan ini masih ada banyak surga tersembunyi di dalamnya. Secara, alamnya
tuh masih asri karena belum banyak tersentuh sama manusia,” tutur Dhanuar.
“Iya. Ini keren!” seru
Alan sambil melihat video Batu Dinding yang ada di Youtube. “Kayaknya asyik
camping di sini.”
“Aku rencananya gitu.
Kalian mau ikut?” tanya Delana menatap Dhanuar dan kedua adiknya.
Bryan, Dhanuar dan Alan
saling pandang.
“Mau!” jawab Dhanuar
dan Alan bersamaan.
“Kapan, Kak?” tanya
Bryan.
“Besok gimana?”
“Emang nggak kuliah?”
“Kuliah. Abis pulang
kuliah, kita ke sana. Gimana?”
“Mendadak banget, emang
Kakak punya tenda buat camping?” tanya Bryan.
“Punya,” jawab Delana
sambil tersenyum.
Bryan menatap Dhanuar
dan Alan. “Mereka?”
“Kita satu tenda juga
nggak papa,” sahut Alan sambil meringis.
“Huu ... maunya! Besok
beli tenda, gih!” pinta Delana.
“Beli di mana?” tanya
Alan.
“Di toko bangunan!”
sahut Delana sambil melotot.
“Serius aku nanya. Aku
nggak pernah beli tenda begituan. Mana tahu belinya di mana,” tutur Alan.
“Nanti aku pesenin sama
temenku, Kak,” tutur Bryan.
“Temenmu ada yang
jual?”
“Kakaknya temenku itu
pecinta alam. Dan kayaknya jual alat-alat kayak gitu,” jawab Bryan.
“Oke. Cepet pesenin
ya!” pinta Alan.
Bryan menganggukkan
kepala.
“Kita bertiga satu
tenda aja,” tutur Dhanuar.
“Aku nggak bisa ikut,
Kak,” tutur Bryan.
“Loh? Kenapa? Bukannya
besoknya hari minggu, libur kan?” tanya Alan.
“Iya. Tapi aku ada
ujian karate hari Minggu,” jawab Bryan.
“Oh. Jadi, kamu nggak
bisa ikut dong?” tanya Delana memasang wajah kecewa.
“Aku ikut lain kali,
Kak. Lagian, aku juga udah pernah ke sana,” tutur Bryan.
“Hah!? Serius!? Kapan
kamu perginya? Kenapa Kakak nggak tau?” tanya Delana.
“Ke sana cuma sebentar.
Diajak mampir sama guruku waktu kami silaturahmi sama perguruan pencak silat
yang ada di Samboja.”
“Oh ... yang waktu
itu?” tanya Delana.
Bryan tersenyum sambil
menganggukkan kepala.
“Ya udah. Kita bertiga
aja ke sana. Gimana?” tanya Delana.
“Boleh,” jawab Alan dan
Dhanuar sambil menganggukkan kepala.
“Besok aku ke kantor
papa kamu buat pinjam mobil Strada,” tutur Delana menatap Dhanuar.
“Eh!? Pake Porsche aku
nggak bisa?” tanyanya iseng.
“Mau pake itu? Kalo
hancur, aku nggak nanggung,” sahut Delana.
“Hahaha.” Dhanuar dan
Alan tertawa menanggapi ucapan Delana.
“Mau kuantar ke kantor
Papa?” tanya Dhanuar.
“Nggak usah. Kalian
siapin aja keperluan buat camping!” pinta Delana.
“Apa aja?” tanya Alan.
“Catet! Jangan sampe
ada yang ketinggalan!” pinta Delana.
“Nggak ada buku sama
pulpen!” protes Alan.
“Catet di hapemu kan
bisa,” sahut Delana ketus.
Alan menghela napas. Ia
langsung membuka aplikasi note di ponselnya dan bersiap mengetik catatan
keperluan yang harus mereka siapkan.
“Yang pertama, tenda,”
tutur Delana.
“Hmm ... terus?” tanya
Alan sambil mengetik di ponselnya.
“Bantal, selimut, baju
ganti.”
“Terus?”
“Panci kecil buat
masak. Bawa beras sedikit aja sama mie instan.”
“Nggak bawa kompor?”
tanya Alan.
“Nggak usah, ribet.
Bikin api aja di sana pake kayu bakar,” sahut Delana.
“Hmm ... apa lagi?”
tanya Alan.
“Cemilan yang banyak!”
pinta Delana.
“Emang bisa bawa barang
sebanyak ini?” tanya Dhanuar.
“Kita bawa mobil.
Ngapain bingung sih!?”
“Hmm ... iya, iya.”
“Oh ya, jangan lupa
bawa cabai, garam, bawang merah sama bawang putih. Gula, kopi sama teh juga
jangan lupa!” tutur Delana.
Alan menghela napas. “Kayaknya
yang ini wilayahmu, deh!” tuturnya sambil menatap Delana.
“Eh!?” Delana
mengangkat kedua alisnya.
“Keperluan dapur kayak
gini kan wilayahmu. Kita siapin yang lain yang kira-kira ribet. Kayak tenda,
selimut, handuk dan yang berat-berat. Kalo soal bumbu-bumbu mah urusan kamu.
Kita cowok mana ngerti,” cerocos Alan.
“Iih ... iya, nanti aku
yang siapin. Tapi, kamu catet aja semuanya dulu. Biar akunya juga nggak lupa.
Kamu juga harus ngingetin aku biar nggak ada barang yang ketinggalan pas udah
sampe di sana,” sahut Delana.
“Oh gitu? Siap bos!”
tutur Alan. “Ada lagi nggak, nih?” tanyanya lagi.
“Bentar. Aku masih
mikir. Apa lagi ya, Dek?” tanya Delana pada Bryan.
“Gelas sama piringnya
jangan lupa! Ntar makan sama minum pake apa?” sahut Bryan.
Delana tergelak. “Iya.
Catet tuh, Lan!” perintah Delana pada Alan.
“Siap, Bu Bos!” sahut
Alan.
Delana tersenyum senang
karena akhirnya Dhanuar dan Alan bersedia menemaninya pergi ke Batu Dinding.
Yah, setidaknya ia tak perlu khawatir karena ia tahu keduanya akan menjaganya
dengan baik.
***
Sesuai dengan janjinya,
hari ini Hesa datang ke perusahaan Paman Kam untuk melakukan penanda tanganan
kontrak kerja baru.
“Pak Kam ada?” tanya Hesa
pada petugas resepsionis.
“Sebentar, Pak.”
Resepsionis itu langsung menelepon Sekretaris Presdir untuk memberitahukan
kedatangan Hesa. Ia langsung mengenali cowok tampan yang datang di hari
sebelumnya.
“Maaf, Pak. Bapak
diminta untuk menunggu sebentar karena Pak Kam masih ada tamu,” tutur petugas
resepsionis.
“Oke,” sahut Hesa
sambil menyandarkan tubuhnya ke meja resepsionis.
Resepsionis cantik itu
terus menatap Hesa. Ia sampai tak berkedip melihat cowok ganteng dan kaya yang
ada di hadapannya.
Hesa tersenyum kecil
sambil melirik resepsionis yang ada di sampingnya. Ia langsung memutar tubuhnya
menghadap meja resepsionis dan tersenyum manis.
Resepsionis cantik itu
terlihat salah tingkah ketika Hesa balas menatapnya. Sebagai seorang cowok
playboy, naluri untuk menggoda selalu muncul setiap kali melihat perempuan
cantik di dekatnya.
“Hai ...!” sapa Hesa.
Ia mulai melancarkan aksinya karena bosan menunggu.
Resepsionis cantik itu
hanya tersenyum.
“Udah lama kerja di
sini?” tanya Hesa.
“Udah, Pak,” jawab
resepsionis itu.
“Kok baru lihat ya?”
“Mmh ... baru dua tahun
kerja, Pak.”
“Dua tahun? Lumayan
lama juga. Dua tahun jadi resepsionis?” tanya Hesa.
Resepsionis cantik itu
menganggukkan kepala.
“Mau sampe kapan jadi
resepsionis?” tanya Hesa. “Jadi direktur mau nggak?” bisik Hesa pelan.
“Hah!? Maksudnya?”
“Jadi direktur,” tutur
Hesa sambil memainkan alisnya.
“Ah, nggak mungkin,
Pak. Saya cuma lulusan SMA,” sahut resepsionis itu sambil tersenyum malu.
“Mungkin aja. Asal kamu
mau nikah sama Pak Direktur,” bisik Hesa sambil tersenyum.
“Ah, Bapak ada-ada
aja.”
“Kok, panggil Bapak?
Emang aku kelihatan kayak bapak-bapak?”
“Eh!? Anu, Pak.”
“Panggil Mas aja!”
pinta Hesa.
“Maaf, Pak. Rasanya
nggak sopan kalo panggil Bapak dengan sebutan itu.”
Hesa tertawa kecil.
“Kalo nggak bisa panggil Mas atau Kak. Panggil sayang aja gimana?” tanya Hesa
sambil memainkan alisnya. Ia mengedip centil pada cewek cantik yang ada di
depannya.
Ucapan Hesa membuat
hati resepsionis cantik itu berbunga-bunga. Tapi, ia sendiri tidak tahu apakah
bos tampan ini serius atau hanya iseng menggodanya.
Hesa mengedarkan
pandangannya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa cewek cantik
yang ia lihat.
“Paman Kam pinter
banget cari karyawan cantik-cantik. Betah aku di sini kalo setiap hari bisa
lihat cewek cantik kayak gini,” gumam Hesa.
Resepsionis cantik itu
hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Chilton
yang mulai menggoda karyawan lain yang ada di dekatnya.
“Mbaknya udah punya
pacar?” tanya Hesa pada resepsionis itu lagi.
“Udah, Pak.”
“Ganteng mana sama
saya?”
“Apanya?”
“Pacarnya?”
“Mmh ...”
“Jawab jujur!” pinta
Hesa.
“Ganteng Pak Hesa,
sih,” jawabnya lirih.
“Hahaha. Jelas, dong!
Cuma aku cowok yang paling ganteng dan kaya di kota ini,” tutur Hesa dengan
bangga. “Kalo aku suka sama kamu. Kamu mau putusin pacar kamu?” tanya Hesa.
“Ah, pertanyaan Bapak
aneh!” celetuk resepsionis cantik itu.
“Semua cewek suka cowok
ganteng dan kaya, kan? Emangnya saya kurang ganteng? Kurang kaya?” tanya Hesa.
“Udah semua, Pak,”
jawab resepsionis itu sambil tersenyum malu.
“Mmh ... ada satu yang
kurang dari aku,” tutur Hesa. “Kamu mau tahu nggak itu apa?” tanyanya sambil
menatap resepsionis itu.
“Apa, Pak?”
Hesa menghela napas.
“Aku kurang pasangan hidup,” tuturnya sambil tersenyum.
Resepsionis cantik itu
menahan tawa. “Nggak mungkin laki-laki yang ganteng dan kaya seperti Bapak
nggak punya pasangan.”
“Buktinya, sampe
sekarang aku masih belum punya istri. Kalo pacar sih banyak. Tapi, nggak ada
yang cocok buat dijadiin istri.”
Resepsionis itu mulai
risih dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hesa. Ia sudah bisa
merasakan kalau bos muda ini hanya sekedar menggodanya karena jenuh menunggu.
“Kamu mau nggak jalan
sama aku? Siapa tahu kita cocok,” ajak Hesa.
“Eh!?”
“Aku minta nomer
telepon, dong!” pinta Hesa sambil tersenyum genit.
“Telepon ke nomor
kantor saja, Pak!”
“Masa mau ngajak jalan
telepon ke nomor kantor? Minta nomor WA kamu dong!” pinta Hesa. Ia tersenyum
manis pada resepsionis cantik itu. Ia berharap wanita cantik itu mau memberikan
nomor telepon dan bisa diajak berkencan sesekali.
Resepsionis cantik itu
tersenyum. Ia menuliskan nomor teleponnya pada secarik kertas dan memberikannya
pada Mahesa. “Ini, Pak.”
“Nah, gitu dong
cantik!” tutur Hesa gemas. Ia langsung menerima secarik kertas pemberian
resepsionis cantik itu dan menyimpannya ke dalam saku jasnya.
Mata Hesa tiba-tiba
tertuju pada gadis cantik yang baru saja melewati pintu masuk. Ia merasa gadis
itu sangat cantik, menarik dan penampilannya sangat berkelas. Hesa terus
menatap gadis yang kini berdiri di depan pintu lift. Tanpa pikir panjang, Hesa
langsung melangkahkan kakinya menghampiri gadis itu, ia berdiri tepat di sisi
gadis cantik itu.
Gadis itu menoleh ke
arah Hesa. Ia tersenyum manis dan berhasil membuat jantung Hesa berdetak begitu
kencang. Saat pintu lift terbuka, gadis itu langsung masuk. Hesa ikut masuk ke
dalam lift. Hesa terus menatap gadis cantik itu lewat ekor matanya. Tapi, gadis
itu terlalu cuek. Membuatnya semakin penasaran.
Beberapa kali Hesa
menarik napas dan membenarkan jasnya yang sudah rapi. Ia ingin menyapa gadis
itu, tapi entah kenapa bibirnya beku. Tak seperti biasanya saat ia menggoda
gadis-gadis cantik.
Hesa sama sekali tak
menyangka kalau gadis itu akan menuju ke lantai enam. Sama seperti ruangan
Paman Kam. “Kebetulan banget,” bisiknya dalam hati.
Ia terus berjalan
mengikuti langkah gadis itu.
“Paman Kam punya
bidadari secantik ini di kantornya. Apa aku harus beli saham perusahaan Kamoga
supaya bisa ketemu sama cewek cantik ini setiap hari?” tanya Hesa dalam
hatinya.
Hesa terus memerhatikan
gadis berambut cokelat itu. Ia terlihat sangat sempurna. Badannya tinggi,
kulitnya putih berseri dan wajahnya juga sangat cantik.
Gadis yang ia
perhatikan juga sangat berkelas. Hesa bisa melihat barang-barang mahal yang
menempel di tubuhnya. Ia terbiasa membelikan barang bermerk untuk
pacar-pacarnya. Sehingga, ia bisa tahu betul kalau gadis itu memakai
barang-barang bermerk. Mulai dari sepatu, tas dan perhiasan yang dikenakan.