Tuesday, October 28, 2025

DBS Foundation & Dicoding Siap Cetak 70.000 Talenta Digital Muda Indonesia Lewat Coding Camp 2026

 


DBS Foundation & Dicoding Siap Cetak 70.000 Talenta Digital Muda Indonesia Lewat Coding Camp 2026

Investasi pada SDM Digital, Jalan Menuju Ekonomi Indonesia yang Tangguh dan Berdaya Saing Global

Jakarta, 28 Oktober 2025 — Dalam semangat Hari Sumpah Pemuda, DBS Foundation bersama Dicoding Indonesia kembali meluncurkan program Coding Camp 2026 powered by DBS Foundation. Program ini menargetkan 70.000 peserta dari seluruh Indonesia, dengan tiga fokus pelatihan utama: Artificial Intelligence (AI), Data Science, dan Full Stack Web Development.

Inisiatif yang telah memasuki tahun keempat ini menggandeng 10 universitas ternama di Indonesia — mulai dari Universitas Gadjah Mada hingga Institut Teknologi Del — untuk memperluas dampak dan menjangkau lebih banyak generasi muda. Melalui kolaborasi ini, pelajar vokasi, mahasiswa, perempuan, dan penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama untuk mengasah keterampilan digital mereka.

“Program ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan digital siswa SMK dan mendukung pembelajaran AI serta coding yang menjadi prioritas saat ini,” ujar Tatang Muttaqin, Dirjen Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Layanan Khusus (PKPLK) Kemendikdasmen RI.

Sementara itu, Mona Monika, Head of Group Strategic Marketing and Communications PT Bank DBS Indonesia, menegaskan bahwa program ini merupakan wujud nyata visi DBS Foundation melalui pilar Impact Beyond Banking.

“Kami percaya inklusi digital adalah kunci memperluas kesejahteraan dan peluang ekonomi bagi semua kalangan,” ujarnya.

💻 Coding Camp 2026: Membuka Akses dan Menciptakan Dampak Nyata

Pendaftaran program dibuka mulai 21 Oktober 2025 hingga 15 Januari 2026, menyasar mahasiswa, pelajar vokasi, hingga kelompok marjinal. Para peserta akan menjalani pelatihan terstruktur selama 900 jam (setara satu semester) dengan metode project-based learning.

Selain memperkuat kemampuan teknis di bidang AI, Data Science, dan Web Development, peserta juga mendapat pelatihan bahasa Inggris dan literasi keuangan, agar siap bersaing di pasar kerja global.

CEO Dicoding, Narenda Wicaksono, menambahkan,

“Kami ingin mencetak talenta digital yang kreatif, kolaboratif, dan solutif. Sejauh ini lebih dari 400 karya digital lahir dari program ini, membuktikan bahwa anak muda Indonesia mampu menciptakan solusi bagi masyarakat.”

Sejak diluncurkan pada 2023, Coding Camp powered by DBS Foundation telah menjangkau 177.000 peserta, termasuk 45.609 perempuan, 28.112 masyarakat marginal, 1.178 penyandang disabilitas, dan 7.526 tenaga pendidik.


 Investasi SDM Digital untuk Indonesia Emas 2045

Transformasi digital Indonesia kini bergerak cepat. Menurut laporan World Economic Forum (WEF, 2025), keterampilan di bidang AI dan analisis data menjadi kompetensi paling dibutuhkan di masa depan. Sementara itu, Peta Jalan Talenta Informatika Indonesia 2025 menunjukkan bahwa negeri ini masih kekurangan 23 juta tenaga kerja digital untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

Dengan latar ini, program Coding Camp menjadi lebih dari sekadar pelatihan—ia adalah investasi jangka panjang dalam perekonomian nasional.
Beberapa korelasi pentingnya antara lain:

  1. Menopang pertumbuhan ekonomi digital nasional.
    Menurut Google, Temasek, dan Bain (2024), nilai ekonomi digital Indonesia telah mencapai US$90 miliar dan berpotensi menembus US$600 miliar pada 2030. Untuk menjaga momentum ini, pasokan talenta digital menjadi faktor kunci.

  2. Mendorong inklusi ekonomi dan pemerataan kesempatan kerja.
    Dengan menjangkau perempuan dan kelompok disabilitas, Coding Camp membantu membuka akses ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan — sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

  3. Mengurangi ketimpangan wilayah digital.
    Melalui kolaborasi lintas universitas dan platform daring Dicoding, pelatihan ini memperluas akses hingga daerah-daerah nonmetropolitan, membantu daerah tertinggal ikut menikmati peluang ekonomi digital.

  4. Meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di tingkat global.
    Talenta muda yang menguasai teknologi berbasis AI dan data sains akan menjadi tulang punggung produktivitas nasional, memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat ekonomi kreatif dan teknologi di Asia Tenggara.

🌏 Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Digital: Membangun Indonesia Tangguh dan Berdaya Saing

Di era ketika teknologi menjadi penggerak utama ekonomi, Coding Camp 2026 menjadi simbol semangat gotong royong digital Indonesia — semangat untuk belajar, berbagi, dan tumbuh bersama.
Kolaborasi antara DBS Foundation, Dicoding, dan dunia pendidikan bukan sekadar proyek sosial, melainkan pondasi ekonomi masa depan.

Seperti semangat para pemuda 1928 yang bersumpah untuk mempersatukan bangsa, pemuda masa kini memegang “sumpah digital” — untuk membangun negeri melalui keterampilan, inovasi, dan kolaborasi teknologi.


Referensi:

  • Siaran Pers: DBS Foundation & Dicoding Indonesia, 28 Oktober 2025.

  • World Economic Forum. (2025). Future of Jobs Report.

  • Kementerian Kominfo. (2025). Peta Jalan Talenta Informatika Indonesia 2025.

  • Google, Temasek, Bain & Co. (2024). e-Conomy SEA Report.

  • Bank Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Digital Indonesia 2025.



🖋️ Ditulis oleh Rin Muna
Penulis, pegiat literasi, dan pemerhati ekonomi kreatif.
Untuk artikel inspiratif lainnya, kunjungi: www.rinmuna.com

Saturday, October 25, 2025

MOTION: Ketika Gaya Hidup dan Ekonomi Bergerak Bersama di Jalan Raya

 


MOTION: Ketika Gaya Hidup dan Ekonomi Bergerak Bersama di Jalan Raya

Refleksi atas Motoplex in Action 2025 dan Semangat Mobilitas Ekonomi Baru Indonesia

Oleh Rin Muna | www.rinmuna.com


Ada sesuatu yang magis dari suara mesin yang menyala di pagi hari — bunyinya seperti irama perjalanan, memanggil orang untuk bergerak. Di tengah hiruk pikuk kota dan derasnya arus modernitas, roda dua selalu punya cerita tentang kebebasan, solidaritas, dan gaya hidup.

Pada 25 Oktober 2025, PT Piaggio Indonesia kembali menggelar MOTION: Motoplex in Action, bukan hanya di satu kota, tetapi sekaligus di Mataram, Samarinda, dan Makassar. Tiga kota yang mewakili denyut energi Indonesia Timur dan Tengah, di mana semangat otomotif, kreativitas, dan ekonomi lokal bertemu dalam satu panggung yang disebut mototainment — perpaduan antara motor, hiburan, dan gaya hidup.

Dengan konsep 3E (Experience, Entertainment, Empowerment), acara ini mengajak komunitas untuk lebih dari sekadar berkendara. Ada city ride yang menyatukan penggemar motor Italia dari berbagai kalangan, coaching clinic tentang perawatan dan gaya berkendara, hingga kolaborasi dengan brand lokal yang memberi sentuhan kreatif dan membangkitkan kebanggaan akan karya anak negeri.

Dari Jalan Raya ke Panggung Ekonomi Rakyat

Sejarah panjang Indonesia mencatat, sejak masa kolonial hingga awal kemerdekaan, motor adalah simbol mobilitas sosial — alat bagi rakyat untuk berpindah, berdagang, dan bekerja. Ketika ekonomi nasional mulai tumbuh di era 1970-an, motor menjadi kendaraan transformatif: murah, efisien, dan dekat dengan kehidupan masyarakat kecil.

Kini, motor bukan sekadar alat transportasi, tetapi telah berevolusi menjadi bagian dari gaya hidup, ekspresi diri, bahkan instrumen ekonomi kreatif. Acara seperti MOTION: Motoplex in Action tidak hanya menampilkan keindahan desain Italia dan adrenalin berkendara, tetapi juga menggambarkan ekonomi baru yang berpusat pada pengalaman (experience economy) — ekonomi yang tumbuh dari nilai emosional, interaksi sosial, dan kebersamaan komunitas.

Kolaborasi antara Piaggio Indonesia dan brand-brand lokal dalam MOTION juga mencerminkan pergeseran besar dalam paradigma ekonomi Indonesia: dari sekadar konsumsi menjadi ko-kreasi, dari industri berat menuju ekonomi kreatif berbasis komunitas.


🏍️ Mototainment dan Kebangkitan Ekonomi Daerah

Kehadiran MOTION di tiga kota — Mataram, Samarinda, dan Makassar — tidaklah kebetulan. Ketiganya adalah kota-kota yang menjadi poros ekonomi baru di luar Jawa. Di Samarinda, geliat industri UMKM dan pariwisata mulai bersanding dengan semangat digitalisasi. Di Mataram, kreativitas lokal berkembang pesat seiring tumbuhnya sektor pariwisata. Dan di Makassar, jaringan ekonomi maritim dan komunitas otomotifnya saling menguatkan.

Event otomotif yang dikemas dengan pendekatan gaya hidup seperti MOTION menjadi bentuk stimulus ekonomi mikro — menggerakkan sektor kuliner, fashion, dan pariwisata lokal. Ia menciptakan multiplier effect yang tidak selalu tercatat di statistik nasional, tapi nyata terasa di lapangan: hotel yang penuh, pedagang kecil yang laris, hingga seniman lokal yang mendapat ruang tampil.


💫 Membaca Arah Ekonomi Indonesia: Dari Konsumsi ke Koneksi

Jika kita melihat perjalanan ekonomi Indonesia dari masa lalu, pertumbuhan sering kali digerakkan oleh konsumsi — belanja besar-besaran dan pembangunan infrastruktur. Tapi masa depan menuntut sesuatu yang lebih: ekonomi berbasis hubungan (connection economy).

MOTION hadir sebagai cermin bahwa masyarakat kini mencari makna dalam aktivitas ekonomi mereka. Orang tak hanya ingin membeli, tapi ingin merasa menjadi bagian dari sesuatu. Inilah alasan mengapa community-based brand experience seperti yang dibangun Piaggio lewat Motoplex begitu kuat dampaknya — ia membangun emosi dan loyalitas, bukan sekadar transaksi.

Seperti halnya sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang kini berkontribusi signifikan terhadap PDB nasional, kegiatan berbasis gaya hidup dan komunitas otomotif dapat menjadi motor penggerak ekonomi daerah. Dari bengkel kecil hingga industri merchandise lokal, semua mendapat percikan energi dari event seperti MOTION.


🕊️ Ketika Mesin dan Manusia Bergerak Bersama

Ada filosofi indah di balik suara mesin motor — ia tak akan berjalan tanpa keseimbangan. Begitu pula dengan ekonomi: ia tak bisa tumbuh hanya dengan kecepatan, tapi juga membutuhkan harmoni antara inovasi dan nilai kemanusiaan.

Apa yang dilakukan Piaggio Indonesia lewat MOTION adalah bentuk nyata dari keseimbangan itu. Sebuah ruang di mana mobilitas bertemu kreativitas, dan gaya hidup bertemu keberlanjutan ekonomi.

Jika dulu motor membawa rakyat Indonesia menuju pasar dan pabrik, kini motor membawa kita ke arah baru: menuju ruang sosial yang lebih inklusif, di mana ekonomi bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang rasa, identitas, dan kebersamaan.

Dan di setiap deru mesin Vespa yang melintas di sore hari, kita seolah mendengar bisikan masa depan: bahwa roda ekonomi Indonesia akan terus berputar, selama manusia masih mau bergerak — bersama, berkreasi, dan berbagi.


📚 Daftar Pustaka

  1. PT Piaggio Indonesia. (2025). Informasi Media – MOTION: Motoplex in Action Hadir di Tiga Kota Sekaligus! Nikmati Keseruan Otomotif dan Gaya Hidup Buat Weekend Kamu Lebih Seru. Jakarta: PT Piaggio Indonesia.

  2. Badan Pusat Statistik. (2024). Pertumbuhan Ekonomi Regional Indonesia 2015–2024.

  3. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2025). Laporan Perkembangan Ekonomi Kreatif Nasional.

  4. Bank Indonesia. (2025). Tren Ekonomi Digital dan Konsumsi Domestik di Indonesia.

  5. Nugroho, A. (2023). Ekonomi Pengalaman dan Budaya Konsumsi di Era Digital. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Friday, October 24, 2025

Menata Ulang Makna Kemajuan: Ketika Keberlanjutan Menjadi Arah Baru Perekonomian Dunia

 


Menata Ulang Makna Kemajuan: Ketika Keberlanjutan Menjadi Arah Baru Perekonomian Dunia

Refleksi dari Lima Tren Pembiayaan Berkelanjutan yang Diumumkan Bank DBS Indonesia

Oleh Rin Muna | www.rinmuna.com


Pernahkah kita merenung bahwa di balik setiap berita tentang banjir, kekeringan, dan krisis pangan, tersimpan pesan yang lebih dalam: bumi sedang menagih tanggung jawab kita?
Kini, keberlanjutan bukan lagi wacana pinggiran, melainkan arah baru yang menentukan apakah perekonomian kita akan tumbuh dengan kokoh — atau rapuh di tengah guncangan iklim dan ketidakpastian global.

Dalam forum yang digelar pada 24 Oktober 2025, Helge Muenkel, Chief Sustainability Officer DBS Bank, mengungkapkan lima tren utama yang akan membentuk masa depan pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing) dunia. Ia menegaskan bahwa sektor keuangan memiliki peran strategis dalam mempercepat transformasi menuju ekonomi rendah karbon, di mana keberhasilan tidak lagi diukur dari laba semata, tetapi juga dari dampak sosial dan ekologis yang diciptakan.

Dari Fosil ke Masa Depan: Transition Finance sebagai Jembatan Harapan

Indonesia telah lama hidup dari sumber daya alamnya — dari batubara, migas, hingga hasil hutan. Perekonomian negeri ini tumbuh pesat pada dekade 1970–1990-an berkat eksploitasi energi fosil, namun di balik itu muncul ketergantungan yang panjang terhadap sektor yang lambat bertransformasi.

Kini, konsep transition finance hadir sebagai jembatan di antara dua dunia: masa lalu yang berbasis eksploitasi dan masa depan yang menuntut keberlanjutan. Pendekatan ini mendukung sektor-sektor padat karbon untuk secara bertahap beralih menuju operasi yang lebih ramah lingkungan tanpa mengorbankan pertumbuhan sosial-ekonomi.

Bagi Indonesia, inilah fase penting menuju keseimbangan — bagaimana menurunkan emisi sambil tetap menjaga denyut ekonomi rakyat. Model pembiayaan transisi seperti ini membuka ruang bagi inovasi lokal: teknologi bersih, efisiensi energi, hingga wirausaha hijau yang tumbuh di daerah.

Inovasi Keuangan: Dari Karbon ke Nilai

Krisis iklim menuntut bukan hanya teknologi baru, tetapi juga cara berpikir baru tentang nilai ekonomi. Sistem carbon credit dan munculnya transition credit kini menjadi instrumen penting dalam mengalirkan modal ke proyek-proyek hijau yang nyata.

Langkah DBS Bank melalui pendirian Climate Impact X (CIX) — bursa karbon global bersama Temasek dan Singapore Exchange — merupakan bukti bahwa dunia keuangan bisa menjadi motor perubahan, bukan sekadar penonton. Di tangan lembaga keuangan progresif, pembiayaan bukan lagi sekadar menghitung angka, tapi juga menakar dampak bagi bumi.

Keberlanjutan Adalah Bisnis yang Baik

Di masa lalu, banyak yang mengira bahwa tanggung jawab lingkungan berarti menurunkan keuntungan. Namun data dan kenyataan kini berkata lain. Perusahaan yang menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) terbukti lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi global.

Helge Muenkel menyebut bahwa keberlanjutan bukan lagi “biaya tambahan”, tetapi investasi masa depan. Dalam bahasa sederhana: kita tidak kehilangan apa-apa dengan menjaga bumi, justru kita kehilangan segalanya jika mengabaikannya.

Melindungi Alam = Melindungi Perekonomian

Indonesia, dengan 20 persen hutan mangrove dunia dan keanekaragaman hayati luar biasa, memegang kunci penting dalam Nature-Based Solutions (NBS). Proyek restorasi mangrove dan rehabilitasi lahan gambut bukan hanya proyek lingkungan, tetapi juga sumber daya ekonomi baru yang mampu menciptakan lapangan kerja, melindungi pesisir, dan mengurangi kerugian akibat bencana.

Jika di masa lalu pembangunan selalu diukur dari seberapa banyak kita menebang hutan, maka masa depan harus diukur dari seberapa banyak kita menumbuhkan kembali kehidupan.
Dalam hal ini, menjaga alam berarti menjaga neraca ekonomi bangsa — bukan hanya hari ini, tapi untuk generasi berikutnya.

Kolaborasi Adalah Kunci

Transformasi hijau tidak bisa dilakukan sendirian. DBS Indonesia, lewat kolaborasi lintas sektor dengan ADB, IFC, dan Karian Water Services, telah menunjukkan bagaimana model blended finance bisa menghadirkan air bersih bagi jutaan penduduk di Jakarta dan Tangerang.

Kolaborasi seperti ini menjadi contoh bagaimana sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan dapat membentuk ekosistem ekonomi hijau yang inklusif.


Menyambung Sejarah, Menyongsong Masa Depan

Jika kita menoleh ke belakang, ekonomi Indonesia pernah berakar kuat pada kekayaan alam dan industri ekstraktif. Namun, pola itu sudah tidak relevan untuk menghadapi masa depan yang ditandai oleh krisis iklim dan disrupsi teknologi.

Kini arah ekonomi dunia mulai bergeser: dari kapitalisme eksploitasi menuju ekonomi regeneratif, di mana alam, manusia, dan modal bergerak seirama.
Ke depan, pembiayaan hijau dan model ekonomi rendah karbon akan menjadi motor baru pertumbuhan nasional — bukan hanya untuk mencapai Net Zero Emission 2060, tetapi juga untuk membangun ekonomi yang lebih tangguh, adil, dan manusiawi.

Sebagaimana kata Helge Muenkel, “Kita perlu mengubah cara pandang terhadap kemajuan — dari sekadar mengejar pertumbuhan jangka pendek menjadi menciptakan kesejahteraan jangka panjang bagi manusia dan alam.”
Itulah arah baru perekonomian Indonesia — bukan lagi hanya besar di angka, tapi juga bijak dalam makna.


📚 Daftar Pustaka:

  1. DBS Bank Indonesia. (2025). Chief Sustainability Officer Bank DBS Ungkap 5 Tren yang Membentuk Arah Sustainable Financing Saat Ini. Siaran Pers, 24 Oktober 2025.

  2. PwC Global. (2024). Centre for Nature Positive Business Report.

  3. World Benchmarking Alliance. (2022). Nature Benchmark Press Release.

  4. Corporate Governance Institute. (2025). Companies with Good ESG Perform Better.

  5. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Laporan Keuangan Berkelanjutan Nasional.

  6. Bank Indonesia. (2025). Outlook Ekonomi Hijau dan Pembiayaan Berkelanjutan Indonesia.

Thursday, October 23, 2025

Berjalan di Taman Ismail Marzuki: Catatan Kecil dari Festival Literasi Nasional 2024

 


Jakarta, 10 Desember 2025

Berjalan di Taman Ismail Marzuki: Catatan Kecil dari Festival Literasi Nasional 2024

Tanggal 10 Desember 2024 menjadi salah satu hari yang tidak akan mudah kulupakan. Pagi itu, aku melangkah menyusuri area Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan perasaan campur aduk — antara takjub, gugup, dan bahagia. Bayangan tentang tempat legendaris yang selama ini hanya kulihat lewat layar ponsel, kini benar-benar ada di depan mata. Gedung-gedung seni berdiri megah, udara Jakarta terasa berbeda — padat, tapi penuh energi. Di sanalah, aku bersama teman-teman dari Kalimantan Timur hadir sebagai perwakilan komunitas literasi dalam Festival Literasi Nasional 2024.

Kami datang berempat mewakili komunitas: Komunitas Ladang, Yayasan Pena dan Buku, Gerobooks, dan aku sendiri dari Rumah Literasi Kreatif. Di antara lautan pegiat literasi dari seluruh penjuru Indonesia, aku merasa kecil sekaligus bangga. Kecil karena sadar masih banyak yang harus kupelajari, tapi bangga karena langkah kecil kami di tanah Borneo ternyata cukup berarti hingga membawa kami ke pusat literasi negeri.

Yang membuat perjalanan ini semakin berkesan adalah kehadiran Bapak Amien Wangsitalaja, pembina kami dari Kantor Bahasa Kalimantan Timur. Sosoknya tenang, hangat, dan penuh semangat memandu kami sejak awal keberangkatan. Ia bukan sekadar pembina, tapi juga seperti ayah yang memastikan anak-anaknya tetap berani tampil, meski di tengah panggung besar yang terasa asing. Setiap kali beliau tersenyum dan berkata, “Nikmati saja prosesnya,” aku merasa tenang dan percaya diri kembali.

Berjalan di sekitar Taman Ismail Marzuki saat festival itu serasa menjelajahi ruang ide. Setiap sudut dipenuhi warna-warna buku, tawa anak-anak, dan percakapan serius para pegiat literasi yang membahas masa depan membaca di Indonesia. Di antara mereka, aku melihat bagaimana literasi bukan sekadar kegiatan membaca dan menulis — tetapi juga pergerakan sosial, kebudayaan, bahkan kemanusiaan.

Aku dan teman-teman Kalimantan berkeliling ke setiap stan, menyapa peserta dari berbagai provinsi. Ada yang memperkenalkan perpustakaan keliling di pelosok Nusa Tenggara, ada pula yang bercerita tentang upaya mereka mendirikan taman baca di pesisir Papua. Semua kisah itu seperti untaian benang yang menghubungkan kami — para penjaga cahaya pengetahuan di tempat masing-masing.

Saat sore mulai turun, kami sempat duduk di tepi taman, menatap langit Jakarta yang mulai berubah warna. Di tengah riuhnya festival, aku merenung dalam hati. Betapa jauh perjalanan ini dimulai — dari desa kecil di Kutai Kartanegara, dari perpustakaan sederhana bernama Rumah Literasi Kreatif, yang lahir dengan 50 buku pribadi dan semangat yang tak pernah padam. Kini, langkah kecil itu membawaku sampai ke panggung nasional, menyuarakan bahwa literasi di daerah juga hidup, tumbuh, dan berdaya.

Festival Literasi Nasional di Taman Ismail Marzuki bukan sekadar acara bagiku. Ia adalah pengingat tentang arti perjuangan yang sunyi — bahwa di balik setiap buku yang dibaca anak desa, ada kerja keras banyak orang yang percaya bahwa pengetahuan bisa mengubah nasib. Dan aku salah satu di antaranya, yang memilih untuk tetap berjalan, meski jalan literasi sering kali sepi.

Malam itu, sebelum kembali ke penginapan, aku sempat berbisik pada diriku sendiri:
“Teruslah menulis, teruslah bergerak. Karena dari langkah-langkah kecil inilah, Indonesia belajar untuk mencintai membaca.”





Keluarga Literasi dari Manado || Festival Literasi Nasional Tahun 2024

 



Jakarta, 10 Desember 2024


Di hadapan kerlip lampu kota Jakarta — di saat saya melangkah dari bandara ke ruang pertemuan besar, saya merasa seperti memasuki sebuah arena di mana ide-ide, kisah, dan semangat literasi berkumpul. Sebagai perwakilan dari komunitas literasi Provinsi Kalimantan Timur, saya diundang ke Festival Komunitas Literasi dan Sastra Nasional 2024” yang ditutup secara resmi pada 12 Desember 2024 di Jakarta. 

Pagi berangkat dari bandara, perjalanan terasa seperti menyelami rasa ingin tahu yang telah lama menyala. Saya membayangkan bagaimana suara komunitas literasi dari Kalimantan Timur akan bertemu dengan suara‐suara dari pulau dan provinsi lain—sesuatu yang terasa sakral dan sekaligus riuh. Tiba di lokasi acara, saya merasa agak canggung: seorang wakil dari Kalimantan Timur, berdiri di tengah ratusan wajah yang datang dari seluruh Nusantara.


Tapi kemudian, kehangatan itu datang—bukan dari acara besar, bukan dari panggung tampak megah, melainkan dari sosok‐sosok kecil yang menepi, tersenyum, dan menyapa. Di sana, saya bertemu tiga orang pegiat literasi dari kota Manado. Meskipun kami berbeda provinsi, bahkan berbeda agama, mereka menyambut saya dengan tangan terbuka. Dalam rona hangat sapaan mereka, saya merasa diterima sebagai bagian dari satu keluarga literasi.


Dua nama yang terekam dalam memori saya adalah Pak Devi dan seorang lagi (nama mungkin terlupa karena sibuk bersalaman dan tertawa bersama). Pak Devi, dengan suara tenang dan senyum lebar, sering menyapa: “Nak, ayo mampir sini,” katanya, seolah saya adalah bagian dari keluarganya sendiri. Ia dan teman‐temannya dari Manado memperlakukan saya bukan sebagai “wakil” saja, tetapi sebagai “anak” yang mereka anggap istimewa—dengan rasa hormat, perhatian, dan kehangatan yang tulus.


Momen itu membekas: di antara keramaian diskusi panel, pameran komunitas, dan bazar buku, saya duduk di sebuah bangku sederhana bersama mereka, berbagi cerita asal‐usul komunitas kami di Kalimantan Timur, serta mendengarkan kisah bagaimana mereka – meskipun berasal dari latar yang berbeda – membawa semangat literasi di Manado. Kebersamaan lintas agama dan provinsi menjadi sebuah simbol kecil bahwa literasi memang jembatan persaudaraan.


What It Taught Me


Dari event ini saya pulang dengan beberapa pelajaran yang terasa nyata:


Literasi sebagai ruang inklusi. Saat kita bicara tentang literasi bukan hanya membaca dan menulis, tetapi saling menghargai, berbagi gagasan, dan merayakan keberagaman—momen bersama tiga pegiat dari Manado menguatkan bahwa literasi mempersatukan.


Keberagaman bukan hambatan, melainkan kekuatan. Kami berbeda agama, berbeda provinsi, dan latar kami juga berbeda. Namun saat berada di sana, hal itu bukan menjadi faktor yang memisahkan, melainkan justru penguat. Kenapa? Karena literasi membuka hati untuk mendengar, dan mendengar mengantar pada rasa saling menghormati.


Jejaring itu nyata dan personal. Sering kali acara besar terasa formal, namun di sana, penyambutan sederhana seperti “kita anggap kamu anak kami” dari Pak Devi membuat saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih manusiawi.


Komunitas dari daerah terpencil punya suara. Sebagai wakil dari Kalimantan Timur, saya merasa bahwa kehadiran kami di festival itu bukan “hanya dipanggil”, tetapi kami ambil posisi sebagai peserta aktif—untuk berbagi, melihat, dan membawa pulang inspirasi ke daerah kami. 


Saat saya berjalan menuju meja registrasi, Pak Devi sudah berdiri menunggu dengan segelas kopi dan dua teman dari Manado. Mereka mempersilakan saya duduk, bertanya dengan hangat tentang perjalanan saya dan komunitas kami. Saya merasa seperti anak yang pulang ke rumah keluarga besar literasi.


Di sesi pameran komunitas, saya sempat menunjukkan hasil literasi kami di Kalimantan Timur—buku kecil, majalah komunitas, dan poster film pendek literasi. Mereka memuji dengan tulus, menanyakan latar belakang dan tantangan yang kami hadapi. Rasa dihargai itu terasa menyentuh.


Tak pernah saya bayangkan bahwa dalam satu acara di Jakarta, saya bisa merasa “di rumah” oleh orang‐orang yang baru bertemu beberapa jam sebelumnya. Mereka mengajak jalan bersama ke bazar buku, memilih buku bertema anak-anak, jalan santai di malam hari, cari makan di luar hotel dan tertawa bersama ketika staf bazar mengira mereka sudah “papan atas”.


Kembalinya saya ke Kalimantan Timur, saya membawa lebih dari sekadar materi acara. Saya membawa cerita—cerita bahwa ruang literasi bisa mempertemukan manusia tanpa batas. Ketika saya ceritakan pengalaman bersama tiga pegiat Manado kepada tim di komunitas kami, mata mereka berbinar: “Wah, jadi kita juga bisa punya jejaring nasional, ya.”


Kami kemudian merancang program setelah festival: sesi sharing daring dengan komunitas dari luar provinsi, membentuk “teman literasi lintas pulau” sebagai mitra, agar keberagaman kami terasa sebagai kekuatan, bukan alasan untuk merasa kecil.


Acara seperti Festival Literasi dan Sastra Nasional 2024, dengan tema “Komunitas Literasi dan Sastra Berkarya untuk Indonesia Emas,” menunjukkan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi soal berkarya bersama menuju masa depan yang cemerlang.


Kehadiran saya di festival itu bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi hadir secara hati. Saya belajar bahwa literasi adalah ruang yang memeluk keberagaman, merangkul kehangatan, dan menyulut harapan. Perjumpaan saya dengan tiga pegiat dari Manado adalah bukti kecil bahwa ketika kita buka diri—walau berbeda—kita menemukan persaudaraan. Dan ketika komunitas dari Kalimantan Timur berdiri di panggung nasional, itu bukan hanya soal “kami datang”, tetapi soal “kami hadir dan kami berbicara”.


Semoga pengalaman ini menjadi bahan bakar untuk saya dan komunitas di Kalimantan Timur — agar kita terus menyalakan literasi, merajut jejaring, dan menulis kisah kita sendiri dalam panggung besar literasi nasional.



Pendamping Nakal Bab 3 : Senja yang Menyimpan Rahasia

 


Bab 3 – Senja yang Menyimpan Rahasia

Langit Balikpapan sore itu tampak seperti kanvas yang diusap dengan warna oranye lembut dan semburat ungu yang samar. Suara jangkrik mulai menggantikan tawa para siswa yang berangsur pulang. Di antara lalu lalang langkah kaki dan deru motor yang menyalakan mesin, Rania Handara Arthadipura menenteng tasnya dan berjalan menuju gerbang sekolah.

Sudah hampir dua minggu sejak ia keluar dari rumah sakit. Balutan di jarinya kini tinggal perban tipis. Luka fisik itu memang hampir sembuh, tapi di dalam dadanya masih ada sesuatu yang belum pulih sepenuhnya—rasa bersalah yang diam-diam menggigit di dasar pikirannya.

Berita tentang kematian Sarah perlahan hilang dari linimasa sekolah. Orang-orang sudah kembali tertawa di kantin, membicarakan hal-hal sepele seperti lomba 17-an dan rencana study tour. Hanya sesekali, ketika nama Sarah disebut, ada bisikan samar yang lewat, tapi cepat hilang ditelan kesibukan remaja yang mudah lupa.

Rania belajar tersenyum lagi. Ia berusaha terlihat seperti dulu. Tapi setiap kali melihat foto-foto kegiatan OSIS di papan mading, matanya sering berhenti di satu wajah—Sarah Rahmadina—dengan senyum yang kini tak mungkin ditemuinya lagi.

***

Sore itu, Rania kembali ke perpustakaan bersama tim mading. Ruangan itu kini tak lagi sesepi dulu. Lampu-lampu yang sempat redup sudah diganti, dan aroma kertas tua masih sama seperti kenangan yang enggan pergi.

Tia sedang mengetik naskah berita baru tentang lomba debat, Nanda merapikan kamera di atas meja, sementara Rido sibuk menyortir foto kegiatan. Rania sendiri duduk di pojok ruangan, mengetik pelan berita utama untuk edisi bulan depan: “Menulis dari Luka: Ketika Suara Kebenaran Tak Bisa Dibungkam.”

“Aduh, Ran,” ujar Tia sambil menatap layar laptop Rania. “Judulnya dalem banget. Kayak bukan majalah sekolah, tapi kayak tulisan buat koran nasional.”

Rania tersenyum kecil. “Justru itu yang mau aku buat. Sekolah kita harus punya standar tinggi.”

“Wah, kalau kayak gini bisa-bisa kamu direkrut jadi jurnalis beneran,” sahut Rido. “Eh, tapi kamu nggak trauma, kan, balik ke sini?”

“Trauma?” Rania menatap jari-jarinya sendiri yang sudah hampir pulih. “Kalau aku berhenti datang ke sini, berarti kejahatan dan kebohongan akan menang.”

Hening sejenak. Suara kipas angin di pojok ruangan menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.

Senja hadir perlahan. Cahaya jingga menyusup lewat jendela besar dan mengguratkan bayangan panjang di dinding rak buku. Rania membereskan berkas-berkas terakhir dan mematikan komputer sekolah. Teman-temannya sudah lebih dulu pulang karena hujan gerimis mulai turun.

“Ran, kamu yakin nggak mau aku anter?” tawar Rido sambil menenteng tas.

“Nggak usah. Rumahku deket, kok. Kamu langsung aja, nanti kehujanan,” jawab Rania.

“Ya udah. Hati-hati, ya!” pesan Rido sebelum melangkah pergi.

Rania tersenyum, lalu menunggu beberapa saat sampai suara langkah teman-temannya benar-benar hilang. Barulah ia keluar dari gedung perpustakaan. Di langit barat, matahari mulai tenggelam sempurna, menyisakan warna darah yang lembut di cakrawala.

Ia menyalakan motor bebek tuanya dan melaju perlahan keluar gerbang sekolah.

***

Hujan reda, tapi jalanan masih licin. Angin sore menampar lembut wajah Rania yang sedikit pucat. Ia mengendarai motornya hati-hati, melintasi gang kecil menuju jalan utama. Sesekali, genangan air memantulkan bayangan langit yang sudah berubah kelam.

Tikungan di depan kantor kelurahan tampak sepi. Saat Rania memutar gas sedikit lebih dalam, tiba-tiba seseorang menyeberang begitu saja dari balik mobil yang parkir di tepi jalan.

“ASTAGA!”

Rania menarik rem mendadak.

BRAK!

Suara benturan keras menggema. Motornya terguling, tubuh Rania terpental ke pinggir jalan beraspal. Suara logam bergesek dengan batu kerikil, disusul dengan ringisan seorang pemuda yang ikut terjatuh ke tanah.

“Aduh... gila kamu, ya!?” teriak pemuda itu sambil bangkit. Ia berseragam SMA dari sekolah lain, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya keras dan penuh emosi. “Nabrak orang sembarangan, nggak pake liat jalan! Matamu taro di mana!?”

Rania menahan perih di lututnya yang tergores. “Maaf... aku nggak sengaja, tadi kamu tiba-tiba—”

“NGGAK SENGAJA!? Kamu kira motorku ini murah, hah!?” bentak cowok itu. Ia menendang bodi motornya sendiri yang kini tergores. Honda CBR 150 Facelift berwarna merah-hitam itu terlihat lecet sedikit di sisi kirinya. “Nih liat! Lecet semua! Ganti!”

Rania terdiam. Ia memejamkan mata sembari menarik napas perlahan, berusaha menenangkan dirinya. “Aku minta maaf. Aku ganti. Tapi tolong jangan marah di jalan kayak gini. Orang-orang ngeliatin.”

Cowok itu mendengus. “Ngapain malu? Emang kamu yang salah! Bayar sekarang!”

Rania membuka dompet kecilnya. Hanya ada selembar uang seratus ribuan dan beberapa lembar dua puluh ribu yang sudah lecek. Ia menyerahkan uang itu dengan tangan gemetar. “Cuma ini yang aku punya.” Ia terpaksa menyerahkan seluruh uang yang ia miliki meski ia tahu kalau itu adalah uang jajan untuk seminggu ke depan.

Cowok itu menatap uang di tangan Rania dengan sinis. “Seratus ribu buat lecet segini? Kamu  pikir ada bengkel dewa yang bisa benerin pakai doa?”

Rania menarik napas panjang, mencoba menahan amarah. “Aku udah minta maaf, aku udah ganti. Kalau kamu nggak puas, laporin aja aku ke polisi.”

Cowok itu tersenyum miring. “Berani juga kamu ngomong gitu.”

Rania berusaha menguatkan hatinya untuk menghadapi cowok yang ada di hadapannya itu. Matanya tertuju pada nama yang tertera di bajunya, Galang Wirasena.

Galang mendekat, menatap Rania dari dekat dengan senyum sinis. “Cantik-cantik, mulutmu tajem juga, ya?”

Rania menatapnya tanpa gentar. “Aku cuma nggak mau perpanjang masalah ini. Aku buru-buru harus pulang.”

"Kamu pikir bisa pulang seenaknya? Uang segini buat beli bensin motorku aja nggak cukup, apalagi buat baikin motor ini." Galang memperhatikan seragam sekolah Rania yang khas. Ia langsung tahu kalau Rania bersekolah di Smarihexa. Salah satu sekolah elite di kota ini.

"Rania H.A," ucap Galang sambil membaca nama yang tertera di baju Rania. "Besok aku bakal cari kamu buat ambil kekurangan ganti rugi. Kalau sampai kamu nggak kasih uangnya, aku bakal onar di sekolahmu."

Rania menghela napas kembali. "Nggak perlu datang ke sekolahku. Ini urusan pribadi antara kita berdua, nggak ada hubungannya dengan siapa pun, apalagi dengan pihak sekolah. Kamu mau aku ganti rugi berapa? Aku antarkan nanti malam. Aku pulang dan mandi dulu," ucapnya. Ia mencoba untuk bernegosiasi.

"Satu juta," jawab Galang.

"Kamu mau minta ganti rugi atau mau malak?" sahut Rania.

"Kamu mau ganti rugi atau semua orang di deketmu ikut nanggung?" sahut Galang.

"Terserah. Aku kasih kamu lima ratus ribu. Kalau nggak mau, kamu laporin aja aku ke polisi!" tegas Rania.

"Oke. Aku tunggu di Rumah Kopi Mantan jam delapan malam. Kalau sampai kamu nggak datang, aku pastikan pihak sekolah atau orang tuamu yang aku datangi buat tanggung jawab," ucap Galang.

Rania mengangguk. Ia membiarkan Galang pergi. Ia segera menyalakan mesin motornya dan pulang ke rumah. Di dalam dadanya, ada getaran aneh yang sulit dijelaskan. Kata-kata Galang tadi menggantung di udara, dingin, seperti kabut yang belum sepenuhnya pergi.

***

Rania terburu-buru masuk ke dalam kamar mandi begitu ia sampai rumah. Ia segera membersihkan diri, membalut luka di lututnya dan segera keluar kembali menuju Kedai Kopi Mantan untuk mengantarkan sisa uang ganti rugi yang harus ia bayarkan. Untungnya, ia masih memiliki uang tabungan karena ia selalu menyisihkan uang jajan hariannya.

Rania bukan takut terhadap ancaman Galang. Ia hanya tidak ingin terjadi keributan hanya karena masalah sepele, terlebih sampai melibatkan orang lain. Ia akan berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa merepotkan orang lain, bahkan orang tuanya sendiri. Baginya, ini bukan masalah besar yang harus dicampuri oleh tangan orang tua, apalagi pihak sekolah.

Pukul 20.15 WITA, Rania baru sampai di kedai kopi tempat ia dan Galang janjian bertemu. 

"Sorry, aku telat!" ucap Rania sambil menghampiri Galang begitu ia sudah menemukan pria itu.

Galang tersenyum sinis. "Aku pikir, kamu bakal bohongi aku. Aku udah siap-siap mau nyerang sekolahmu."

"Nggak perlu. Aku pasti penuhi janjiku," sahut Rania. Ia segera meletakkan amplop berisi uang ke atas meja, tepat di hadapan Galang. Ia langsung berbalik dan melangkah pergi, sebab ia tidak memiliki kepentingan lain selain memberikan uang itu pada Galang.

"Tunggu!" seru Galang.

Rania menghentikan langkah kakinya.

"Nggak mau minum es kopi dulu?" tanya Galang sambil menatap punggung Rania.

"Nggak perlu. Makasih," sahut Rania.

"Cantik-cantik jangan ketus gitu, dong!" ucap Galang. Ia bangkit sambil melangkah menghampiri Rania. "Gimana kalau kita santai dulu sambil ngobrol?" tanyanya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Rania dengan senyum miring. "Ketua Mading Smarihexa," lanjutnya.

"Kamu dapet info dari mana?" tanya Rania sambil menatap serius ke arah Galang.

Galang tertawa kecil. "Nggak usah terlalu serius begitu! Apa yang aku nggak tahu? Dapetin informasi tentang kamu itu hal mudah."

Rania tak menggubris. Ia berusaha menerobos tubuh Galang agar ia bisa segera pergi. Ia sama sekali tidak berminat berinteraksi lama-lama dengan cowok itu.

"Bangsat nih, cewek!" batin Galang kesal karena Rania menolak ajakannya. Ia kembali menghadang tubuh Rania yang sudah menerobos tubuhnya.

"Mau kamu apa, sih!?" sentak Rania.

"Seumur hidupku, aku nggak pernah ditolak sama cewek. Kamu ini siapa, hah!? Berani-beraninya kamu nolak ajakanku?"

"Nggak penting aku siapa. Aku bukan cewek yang selama ini ketemu sama kamu. Jadi, jangan samakan aku sama mereka," sahut Rania ketus.

Galang mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melirik beberapa temannya yang juga berada di kedai kopi tersebut. Kalau sampai ia tidak berhasil mengajak Rania makan bersama, ia akan ditertawakan oleh seisi sekolah dan jadi bahan lelucon.

"Kalau kamu nggak mau nemenin aku ngopi, aku bakal ajak satu sekolah nyerang sekolahmu," ancam Galang.

"Kamu ...!?" Rania menatap geram ke arah Galang sembari menahan api amarah di dadanya. "Mimpi apa aku sampai ketemu cowok kayak gini," batinnya. Ia tidak lupa jika Galang mengenakan seragam SMK yang terkenal sebagai sekolah preman karena sering terlibat tawuran antar sekolah setiap minggunya.

Rania tidak akan membiarkan Galang and the Gank menyentuh sekolahnya sedikitpun. Baginya, Smarihexa bukan sekedar tempat bersekolah, tapi juga martabat yang harus dijaga. Smarihexa dikenal sebagai sekolah yang berprestasi dan jauh dari pemberitaan buruk, apalagi tawuran yang kerap dilakukan oleh siswa antar sekolah di kota itu.

Rania tak bisa menolak lagi. Ia langsung melangkahkan kakinya kembali ke meja tempat Galang tadi duduk santai.

Galang memainkan mata ke arah teman-temannya yang duduk di meja berbeda dengannya. Ia tersenyum penuh kemenangan karena bisa membuktikan dirinya sebagai penakhluk wanita nomor satu di kota tersebut.

"Mau pesan apa?" tanya Galang.

"Cafe Latte," jawab Rania santai.

Galang langsung melangkah menuju meja barista dan memesan secangkir Cafe Latte, juga beberapa cemilan.

TING!

Pandangan mata Rania tertuju pada ponsel Galang yang tiba-tiba menyala. Matanya terbelalak lebar saat melihat foto Sarah dan Galang menjadi wallpaper handphone tersebut.

"Sarah sudah meninggal dua bulan lalu. Kenapa dia masih pajang foto Sarah di ponselnya? Apa hubungan Galang dan Sarah?" batin Rania penuh tanya. 

Rania ingin sekali mengetahui siapa Galang sebenarnya. Tapi ia tidak memiliki keberanian menyentuh ponsel pria itu. Ia memilih untuk mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke grup Mading Smarihexa.

Rania : "Kalian sudah dapet informasi tentang pacar Sarah?"

Tia : " Iih ... apaan, sih? Kenapa dibahas lagi orang yang sudah meninggal?"

Rania : "Aku baru aja nemuin sesuatu."

Rido : "Apa itu?"

Rania : "Posisi kalian di mana? Jangan jauh-jauh dari Kedai Kopi Mantan! Aku lagi di sini sama cowok yang nggak sengaja aku tabrak sore tadi. Sepertinya dia punya hubungan spesial sama Sarah."

Nanda : "Pentingnya kita tahu pacar Sarah itu apa? Toh, Sarah juga sudah meninggal."

Tia : "Penting dong, Nan. Soalnya sampai sekarang masih belum diketahui siapa pacar Sarah. Emang kamu nggak penasaran?"

Rania : "Sepertinya ada misteri di balik meninggalnya Sarah. Ponsel dia nggak ketemu sampai sekarang. Nggak mungkin menghilang begitu aja saat di TKP. Aku akan selidiki cowok ini, kalian jagain aku dari jauh. Karena cowok ini ketua geng dan aku yakin dia nggak mungkin sendirian di tempat seperti ini."

Rido : "OK."

Nanda : "OK"

Tia : "Aku nggak bisa keluar malam. Aku tunggu kabar dari kalian aja, ya! Hehehe."


"Kamu sudah punya pacar?" tanya Galang to the point. Ia cukup tertarik dengan wajah cantik Rania, juga sikapnya yang membuatnya penasaran.

"Belum," jawab Rania sambil menatap Galang.

"Kenapa nggak punya pacar?"

"Bukan urusan kamu."

"Nggak usah ketus gitu, dong!" pinta Galang. Ia tertegun sejenak saat layar ponselnya menyala karena ada notifikasi masuk. Ia lupa mengganti wallpaper ponselnya sehingga masih terpajang foto Sarah dan dirinya di sana. Ia buru-buru mengganti wallpaper tersebut. Ia tahu jika Rania adalah jurnalis sekolah dan pasti mengetahui berita viral yang beredar dua bulan lalu.

"Kamu kenal sama Sarah?" tanya Rania tanpa basa-basi.

Wajah Galang berubah ketika mendengar pertanyaan Rania. "Temen," jawabnya. Sebab, ia tahu jika keberadaannya sempat diincar oleh polisi. Ia adalah pria yang menghamili Sarah dan juga berusaha untuk menggugurkan bayi itu. Ia belum siap menjadi seorang ayah karena ia masih duduk di bangku SMK.

"Kalau kamu nggak bisa ngasih jawaban, waktu yang akan ngasih jawaban. Mungkin, jawabannya akan lebih pahit dari kenyataan yang sudah berlalu," ucap Rania.

Galang tetap bungkam. Ia berusaha mengalihkan perhatian agar Rania tidak membahas soal Sarah. Ia tidak ingin mengingatnya. Ia sangat mencintai Sarah, tapi ia tidak bisa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Ia tidak ingin ada satu orang pun yang mengetahui hal itu dan akan ia tutup rapat-rapat sampai akhir hidupnya.


***

Rania tak menyerah begitu saja. Urusannya masih belum selesai. Ia masih belum tenang jika belum bisa mengetahui dengan pasti apa hubungan Sarah dan Galang di masa lalu. Mungkinkah Galang yang menghamili Sarah? 

Hingga suatu hari, Rania tak sengaja melihat Galang masuk ke dalam sebuah perkebunan sawit yang berada di kawasan kilometer 24. Saat itu Rania baru saja pulang dari rumah saudaranya karena ada acara keluarga. 

Rania meminta supir yang mengantarnya untuk berhenti sejenak. Ia segera mengeluarkan lalat pengintai yang ia miliki dan mengendalikannya mengikuti langkah Galang. 

Galang terlihat sedang menggali tanah yang ada di sana dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sana. 

"Syukurlah hape Sarah masih aman di sini. Aku harus musnahin hape ini sebelum ada orang lain yang nemuin," ucap Galang. Ia segera memasukkan kotak tersebut ke dalam ranselnya. 

Rania buru-buru menarik lalat pengintai kembali ke dalam mobil dan memerintahkan supir untuk bergegas pergi. Ia juga meminta teman-temannya untuk mencari cara mengambil ransel yang dibawa Galang saat ini karena ada rahasia besar di dalamnya tentang masa lalu Sarah. 



((Bersambung...))


Wednesday, October 22, 2025

Rempong yang Indah dari Ibu-Ibu Dasawisma Kantil

 


Rempong yang Indah dari Ibu-Ibu Dasawisma Kantil


Hari itu suasana RT 03 Desa Beringin Agung terasa lebih riuh dari biasanya. Bukan karena ada hajatan, bukan pula karena ada rapat penting. Penyebabnya sederhana: ibu-ibu Dasawisma Kantil mau foto-foto. Tapi jangan salah, urusan foto bagi para ibu ini bukan perkara sepele. Harus kompak, bagus, dan maksimal — tiga syarat wajib yang ternyata bisa bikin satu kampung heboh.

Pagi-pagi, grup WhatsApp Dasawisma sudah penuh dengan pesan. “Ada yang punya jarik motif parang nggak?” tanya seorang ibu. “Aku udah pinjam baju lurik di rumah sepupu,” balas yang lain. “Aku nggak punya caping, pinjem di siapa ya?” tambah satu lagi. Dari situ saja sudah kelihatan semangat mereka: mau tampil sebaik mungkin, seindah mungkin, meski semua harus diusahakan dari sana-sini.


Begitu hari pemotretan tiba, pemandangan di posko Dasawisma seperti ruang rias dadakan. Ada yang sibuk melilitkan kain jarik, ada yang belajar cepat memakai caping biar miringnya pas, ada yang minta bantuan merapikan kerah lurik. Suara tawa bercampur dengan riuh suara anak-anaknya yang juga hadir di sana. Semua ingin tampil kompak. Semua ingin terlihat cantik.





Sementara mereka sibuk berdandan, aku hanya duduk di sudut, memperhatikan. Hari itu aku memilih tidak memakai alas bedak sama sekali. Wajahku polos tanpa polesan, hanya senyum tulus sebagai hiasan. Bukan karena malas berdandan, tapi karena aku merasa semakin kita punya value, semakin kita ingin tampil apa adanya. Bukan pakaian atau make-up yang membuat seseorang berharga, melainkan makna yang ia bawa dalam dirinya.


Tentu saja, bukan berarti aku tidak ikut senang. Justru aku menikmati keriuhan itu — rempong yang hangat, riuh yang membahagiakan. Ibu-ibu Dasawisma Kantil bukan sekadar kumpulan warga, mereka adalah wajah-wajah perempuan tangguh yang tahu cara bersenang-senang setelah lelah mengurus rumah, keluarga, dan kehidupan.



Setelah sesi foto usai, wajah-wajah yang tadi tegang karena takut riasannya luntur kini berubah ceria. Sambil tertawa, mereka mengajakku ikut berkeliling. “Ayo, kita jalan-jalan ke Dasawisma RT 1 sampai RT 10!” seru Bu Misna, pemilik mobil Grandmax yang hari itu jadi kendaraan kebersamaan kami.

Kami pun berangkat. Mobil Grandmax itu terasa seperti mini bus wisata, penuh tawa dan cerita. Di setiap RT yang kami lewati, selalu ada sapaan, senyum, dan canda. Tak ada yang sibuk dengan ponsel, tak ada yang sibuk membandingkan hasil foto. Yang tersisa hanyalah kebersamaan yang tulus — hal yang jarang, tapi begitu mahal nilainya.

Sore itu, aku pulang dengan hati hangat. Di balik rempong dan hiruk-pikuk persiapan, aku melihat sesuatu yang lebih dalam: semangat untuk kompak, untuk tampil bersama, dan untuk menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.



Mungkin, begitulah indahnya menjadi bagian dari Dasawisma Kantil — di mana keriuhan bukan tanda kekacauan, tapi bukti bahwa cinta, persaudaraan, dan semangat hidup masih hidup di antara kami.




Kutai Kartanegara, 21 Oktober 2025



Rin Muna

Sunday, October 19, 2025

Pendamping Nakal Bab 2 : Doa yang Menyeret Nyawa

 


Bab 2 – Doa yang Menyeret Nyawa

 

Hujan mengguyur Balikpapan sejak sore. Airnya menetes pelan dari atap rumah sakit, menimbulkan bunyi ritmis yang mengiringi detak jam di dinding.
Rania terbaring di ranjang dengan tangan kanan terbalut perban tebal. Setiap denyut di jarinya seperti gema dari peristiwa kemarin.  Samar ... tapi perihnya menolak pergi.

Di sisi ranjang, ponselnya bergetar pelan. Sekali, dua kali, lalu terus menerus.
Ie meraih ponsel menggunakan tangan kirinya dan membuka pesan grup Whatsapp ”Mading Smarihexa”.

 

Rido: “Ran, kamu udah lihat berita?”
Tia: “Sarah... ketabrak mobil waktu pulang sekolah
😭😭😭
Nanda: “Gila, parah banget... badannya sebagian hancur.”

Rido : ”Motornya ringsek. Kebayang ’kan kondisinya gimana?”

Tia : ”Aku ngeri banget lihatnya. Perlu kita naikkan ke mading sekolah kita atau nggak, sih?”

Nanda : ”Naikkan aja nggak papa. Toh, udah viral juga di berita kota Balikpapan. Masa sekolah kita malah nggak angkat beritanya?”

Rido : ”Tapi ini berita duka. Kita buat beritanya, tapi jangan ditampilkan korban kecelakaannya. Cukup jadi arsip kita aja.”

Tia : ”Sementara kita buat postingan ’Rest in Peace’ aja dulu, deh. Sampai ada keputusan dari Rania mau dinaikkan beritanya atau nggak ke majalah sekolah.”

Rido : ”Nggak usah naif, deh! Sarah itu abis ngelukain Rania sampai jari tangannya Rania hancur kayak gitu. Masih aja jaga perasaannya. Keluarin aja kali, bikin dia malu.”

Tia : ”Orangnya udah meninggal. Nggak usah nambahin beban dosa orang, Do.”

Rido : ”Tangan Rania itu penting. Dia yang menuliskan semua kebenaran yang ada di sekolah kita. Kita ini kalau nggak ada tangan, nggak bisa nulis.”

Tia : ”Bisa pakai voice to text, ya. Nggak usah ngomporin Rania, deh!”

 

Rania membaca percakapan grup yang tiba-tiba ramai.  Ia membuka galeri dan melihat foto-foto yang dikirim oleh Tia. Ada beberapa potong gambar: jalanan kota yang basah, tubuh berlumur darah yang menetes di aspal, sepeda motor yang ringsek dan ada potongan tubuh yang tertinggal di sana, pita kuning polisi mengelilingi TKP, tepat di simpang empat Rapak yang basah hujan.

Rania meringis ngeri. Wajahnya memucat dan tangannya gemetaran. Isi perutnya bergejolak menemani perasaan hatinya yang tak karuan.
Samar-samar ia mendengar suaranya sendiri, suara yang dulu ia ucapkan di perpustakaan bergema kembali di kepalanya.

“Aku sumpahin kamu mati ketabrak mobil!”

Seketika, udara di ruang itu menipis. Rania terduduk lemah, napasnya memburu. Dadanya terasa berat, seperti ditindih oleh kata-katanya  sendiri.

Di luar jendela, kilat membelah langit. Suaranya seperti tamparan yang sedang mengingatkan bahwa sesuatu telah terjadi, dan mungkin ia bagian dari penyebabnya.

***

Keesokan paginya, aroma kopi dan suara televisi dari ruang tunggu rumah sakit memecah kesunyian.
Rania mendengar dengan samar suara pembawa berita dari TV kecil di pojok ruangan.

“Kecelakaan tragis menimpa siswi SMA ternama di Balikpapan. Korban meninggal di tempat dengan luka parah di bagian kepala, tangan dan dadanya.”

Kalimat berikutnya membuat tangan Rania berhenti bergerak.

“Hasil otopsi sementara menunjukkan bahwa korban tengah berbadan dua.”

Suara televisi seolah menjauh, berganti dengan dengung panjang di telinganya.
Bayangan wajah Sarah muncul. Senyum sinis, mata menyala, lalu darah yang mengalir di lantai perpustakaan.

Rania menggenggam selimut erat-erat. Tubuhnya gemetar. Ia masih tidak percaya jika hidup Sarah harus berakhir tragis seperti apa yang dia ucapkan. Ia tidak sungguh-sungguh ingin melukai Sarah. Ia hanya emosi sesaat dan tidak bisa mengendalikan emosinya saat itu.

Bagaimana bisa semuanya terasa kebetulan? Ia ingin percaya semua itu hanya kebetulan. Tapi di benaknya, kalimat doa itu terus menari seperti mantra yang menuntut balasan.

“Doa bukan hanya tentang harapan… kadang ia juga jadi pedang.”

***

Siang itu, tim mading datang menjenguk. Rido, Nanda, dan Tia berdiri di sisi ranjang membawa bucket bunga asoka yang mereka ambil dari taman sekolah. Maklum, mereka masih anak sekolah dan harus menghemat pengeluaran. Terlebih, Rania tidak senang jika mereka menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.

“Ran,” ucap Rido pelan. ”Polisi udah datang ke sekolah. Mereka ambil rekaman CCTV. Katanya... terakhir kali Sarah keliatan, dia keluar dari gedung perpustakaan.”

Rania mengangkat kepala perlahan. Pandangan mereka saling bertaut, dan dalam tatapan itu, Rido menunduk, seolah kalimat barusan terlalu berat untuk diucapkan.

”Memang apa hubungannya sama Rania?” tanya Tia.

”Pasti ada hubungannya, dong. Pasti Rania dimintai keterangan buat jadi saksi apa yang dilakukan Sarah terakhir kalinya.”

”Trus, Rania bisa dipenjara, gitu?” tanya Nanda polos.

Rania menahan tawa mendengar pertanyaan Nanda. ”Emangnya aku yang nabrak Sarah.”

”Bukan, sih,” sahut Nanda pelan.

”Justru dia yang bikin tanganku hancur. Dia seharusnya jadi tersangka,” ucap Rania. ”Tadinya aku mau masukin laporan ke polisi supaya dia nggak semena-mena terus sama kita. Tapi karena ada berita dia meninggal, aku nggak jadi laporin.”

”Bener juga.” Nanda manggut-manggut.

”Terus, kenapa polisi nyariin siapa yang terakhir interaksi sama Sarah?” tanya Rido.

”Mungkin karena kehamilannya,” jawab Rania.

Rido, Nanda, dan Tia saling pandang.

”Bener juga, Ran. Kira-kira, siapa yang hamilin Sarah? Dia itu ketua OSIS yang harusnya jadi panutan, kan? Apa mungkin kalau keluarga Sarah nyari cowok yang hamilin dia? Bisa jadi, Sarah bawa motor dengan pikiran kacau karena dia MBA (Marriage Baby Accident),” cerocos Tia.

”Kita belum tahu sampai nanti kita temukan faktanya. Sementara, kita simpan dulu pertanyaan-pertanyaan itu. Karena aku tahu, isi kepala kita hari ini sama,” ucap Sarah.

Mereka semua mengangguk dan mulai membahas beberapa berita dan artikel yang akan mereka terbitkan dalam minggu ini.

***

 

Malamnya, hujan turun lagi.
Rania tak bisa tidur. Ia duduk menatap jendela, mendengarkan suara air yang jatuh ke genting.
Di luar sana, kota Balikpapan berkilau dalam cahaya lampu yang beku.

Pikirannya melayang-layang pada wajah Sarah, bunyi tulang retak, sirene ambulans, dan kata-kata yang tak bisa ditarik kembali.
Ia menarik selimut sampai ke dada, berusaha menenangkan diri. Namun sebelum matanya terpejam, terdengar ketukan pelan di pintu kamar.

Tok. Tok. Tok.
Tiga kali.
Pelan, tapi pasti.

Rania menoleh. Suara hujan seperti berhenti mendadak.

Pintu kamar itu terbuka sedikit. Dua pria berseragam coklat berdiri di ambang pintu, basah kuyup, topi mereka meneteskan air ke lantai putih rumah sakit.

“Permisi,” sapa salah satu dengan nada tenang namun tegas. “Rania Handara Arthadipura, ya?” tanya seorang pria muda berwajah tampan sembari menghampiri Rania.

Rania hanya bisa mengangguk. Suaranya tercekat di tenggorokan.

“Kami dari Polresta Balikpapan,” lanjutnya sambil menunjukkan kartu identitas.
“Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan... soal Sarah Rahmadina. Kamu tercatat sebagai orang terakhir yang berinteraksi dengannya sebelum kejadian.”

Rania mengangguk. “Ada apa, Pak?” tanyanya.

”Dari haril otopsi, korban diketahui sedang hamil. Sehingga pihak keluarga meminta kami untuk mencari tahu siapa yang telah menghamili korban.”

”Hamil?” Rania mengangkat sebelah alisnya.

Polisi itu mengangguk. ”Diperkirakan usia kandungannya sudah 3 bulan. Apa kamu tahu siapa cowok yang sedang dekat dengan korban?”

Rania menggeleng.

”Kamu jangan berbohong! Ini sangat penting untuk penyelidikan kami,” pinta polisi tersebut.

”Apa karena aku yang terakhir berinteraksi dengan Sarah, bikin aku tahu semua tentang dia?” tanya Rania.

Dua polisi itu saling pandang mendengar pertanyaan Rania. Rania tidak terlihat seperti anak SMA di mata mereka. Cara bicaranya seperti mahasiswa karena ucapannya runut dan pilihan diksinya cukup baik.

”Sarah menemuiku di perpustakaan hanya untuk menghancurkan jari tanganku,” ucap Rania sambil menunjukkan telapak tangan kanannya yang masih terbalut perban. ”Dia marah karena aku posting artikel tentang kesurupan yang ada foto dia. Interaksi kami cuma sebatas itu. Kami tidak begitu mengenal, apalagi sampai tahu urusan pribasi,” jelas Rania.

Dua polisi itu kembali saling pandang, kemudian menganggukkan kepala.

”Baiklah. Terima kasih atas keterangannya! Mohon maaf, kami sudah menganggu Mba Rania,” ucap salah seorang polisi. Kemudian, mereka pamit pergi.

Petir menyambar di luar jendela, menerangi ruangan sesaat dan di pantulan kaca jendela, Rania melihat dirinya sendiri tangan kanan yang masih dibalut perban.

Maafkan aku, Sarah! Semoga kamu bisa tidur dengan tenang. Aku tidak bermaksud melukaimu sedikitpun. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi di kehidupan selanjutnya,” batin Rania.

((Bersambung...))

 


Saturday, October 18, 2025

THEN LOVE BAB 57 : BUKAN SALAH WAKTU

 


Waktu begitu cepat berlalu. Banyak hal yang berubah dalam kehidupan. Seperti halnya yang terjadi pada Mahesa Adelfino. Kini, ia menjadi penerus perusahaan papanya.

Hari ini, Mahesa pergi ke salah satu perusahaan rekanannya untuk membicarakan suatu hal. Kamoga Corporation adalah salah satu perusahaan yang bekerjasama dengan Fino Group dalam berbagai bidang usaha.

“Paman Kamoga ada?” sapa Hesa begitu sampai di meja resepsionis.

“Maaf, Pak. Dengan Bapak siapa?” tanya resepsionis itu dengan ramah. Matanya berbinar melihat cowok muda dan tampan dengan setelan jas rapi.

“Mahesa dari Fino Group,” jawab Hesa sambil tersenyum manis menatap resepsionis yang cantik.

“Oke. Sebentar ya, Pak!” pinta resepsionis itu dan langsung menelepon sekretaris Presdir Kamoga Corporation. Ia memberitahukan soal kedatangan Mahesa lalu kembali menutup teleponnya.

“Bapak Kamoga ada di ruangannya di lantai enam,” tutur resepsionis itu pada Mahesa. “Perlu saya antar?” tanyanya sambil tersenyum manis.

“Nggak perlu. Saya bisa ke sana sendiri,” jawab Mahesa sambil mengedipkan matanya ke arah resepsionis itu.

Mahesa memang terkenal sebagai cowok playboy. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menggoda wanita cantik yang ia temui. Ia langsung bergegas menaiki lift menuju kantor Presdir yang ada di lantai enam.

“Bapak Hesa?” sapa sekretaris yang langsung berdiri dari tempat duduknya ketika Mahesa tiba.

Hesa tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Mari ikut saya!” pinta sekretaris tersebut sambil mengantar Mahesa masuk ke dalam ruangan Kamoga.

“Pagi, Paman Kam!” sapa Hesa sambil merangkul Kamoga.

“Pagi, gimana kabar kamu?” tanya Kamoga sambil menatap hangat anak laki-laki yang ada di hadapannya itu.

“Baik, Paman. Paman apa kabar?”

“Baik juga. Silakan duduk!” pinta Kamoga mempersilakan Mahesa untuk duduk di sofa yang ada di ruangannya.

Mahesa langsung duduk di sofa, berhadapan dengan Kamoga selaku Presiden Direktur dari Kamoga Corporation.

“Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya, baru kemarin Paman lihat kamu bermain di taman. Sekarang, kamu sudah jadi penerus perusahaan papa kamu,” tutur Kamoga.

Mahesa tersenyum kecil menanggapi ucapan Kamoga.

“Paman, aku ke sini mau membicarakan masalah kerja sama kita untuk beberapa site yang ada di Kutai Barat dan Sangatta,” tutur Hesa serius.

“Ah, wajah kamu serius banget. Gimana kalo kita bicarain sambil ngopi?” tutur Kamoga.

“Boleh,” jawab Hesa sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Kamoga mengajak Hesa ke kedai kopi yang tak jauh dari kantornya.

“Paman, aku butuh penambahan unit untuk site Sangatta dan Kubar,” tutur Hesa saat mereka sudah duduk di kedai kopi.

“Butuh berapa unit?” tanya Kamoga.

“Mmh ... tapi kali ini kami tidak akan melakukan transaksi pembelian,” tutur Hesa.

Kamoga mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu?”

“Semuanya pakai sistem sewa,” jelas Hesa singkat.

“Oh ... ya, Paman ngerti. Ada masalah dengan unit kamu di sana?”

“Nggak ada. Hanya saja, sulit untuk melakukan maintenance setiap unit karena mekanik kami tidak begitu bagus. Aku rasa, mekanik Paman lebih banyak berpengalaman.”

Kamoga tertawa kecil. “Itu soal gampang. Jadi, mau sewa unit sekaligus perawatannya ditanggung perusahaan kami?”

Hesa menganggukkan kepala. “Operatornya juga dari Paman,” tuturnya.

“Bukannya kamu sudah punya banyak operator?”

“Iya. Tapi, mereka semua sudah pegang unit dan Site Manager menyarankan untuk bekerjasama dengan kontraktor.”

Kamoga mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Besok aku ke sini lagi bawa kontraknya,” tutur Hesa.

Kamoga mengangguk. “Gimana dengan pembangunan hotel?” tanya Kamoga.

“Eh!?”

“Paman dengar-dengar, Papa kamu sedang memulai bisnis hotel dan tempat hiburan?”

Hesa tersenyum mendengar pertanyaan Kamoga. “Semuanya berjalan dengan baik.”

“Bagus. Paman percaya, kamu bisa menangani semuanya dengan baik.”

“Masih dibantu papa,” sahut Hesa.

Kamoga tertawa kecil. “Paman tidak menyangka kalau bisnis papa kamu juga akan merambah ke bidang perhotelan dan hiburan. Dia memang pekerja keras.”

Hesa tersenyum. “Dia udah menyerahkan perusahaan kontruksi dan mining ke aku. Mungkin, beliau masih ingin menjalankan bisnis tanpa bersaing dengan anaknya sendiri.”

“Hahaha.” Kamoga tertawa mendengar ucapan Hesa.

Mereka sibuk membicarakan beberapa bisnis. Perusahaan Kamoga dan Fino group memiliki banyak kerjasama. Banyak hal yang mereka bicarakan ke depannya untuk kemajuan perusahaan mereka.

Hesa tidak hanya sekedar bertanya. Ia juga belajar banyak hal baru dari Paman Kamoga tentang perusahaan yang baru saja ia tangani.

***

Delana berbaring di atas ranjangnya sambil berselancar di internet. Entah kenapa ia merasa akhir-akhir ini terasa membosankan. Ia ingin pergi ke suatu tempat yang sedang hits di dunia maya. Hampir semua tempat wisata yang ada di sini adalah pantai karena kota Balikpapan berada di pesisir pantai.

Delana langsung terbangun saat membaca sebuah artikel yang menyebutkan destinasi wisata yang sedang hits di wilayah Samboja. Salah satu daerah yang berdampingan dengan kota Balikpapan.

“Batu Dinding? Kayaknya keren,” gumam Delana sambil mencari beberapa referensi di Youtube tentang salah satu lokasi wisata yang sedang hits beberapa hari terakhir.

“Wow! Gila! Ini keren!” seru Delana ketika melihat beberapa vlog yang menunjukkan keberadaan Batu Dinding. Batu Dinding terbentuk alami dari alam dengan ketinggian sekitar 150 meter dan panjang sekitar lima ratus meter.

Delana berpikir ulang. Lebar batu yang dipijak kurang dari lima meter, bahkan ada yang hanya berukuran satu meter saja. Kalau ia tergelincir dan jatuh, pasti hidupnya akan langsung berakhir hari itu juga.

Delana menghela napas. “Itu kan tempat wisata. Pastinya udah ada pemandu dan safety-nya juga. Ngapain sih aku khawatir?” tutur Delana pada dirinya sendiri.

“Tapi, kalo mau ke sana mana bisa pake mobil papa. Mobil papa terlalu rendah buat medan yang sulit dan terjal kayak gitu,” ucap Delana. Ia sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri.

Delana mengetuk-ngetuk dagunya. Ia terus berpikir agar bisa pergi ke Batu Dinding tanpa harus mengorbankan mobilnya sendiri. Ayahnya bisa berhenti mengirimkan uang saku kalau sampai ia membuat mobil pribadi ayahnya rusak.

“Aha ... Paman Kam kan punya mobil Strada. Aku pinjam mobilnya aja,” tutur Delana sambil tersenyum ceria.

Delana mengetik nama kontak Paman Kam dan langsung meneleponnya.

“Halo, cantik!” sapa Kamoga begitu panggilan telepon Delana tersambung.

“Halo, Paman. Paman lagi apa?” tanya Delana.

“Lagi di kantor. Tumben telepon Paman. Ada apa?”

“Hehehe. Ini, Paman ...” Delana meringis. Ia sangat berhati-hati membicarakan keinginannya.

“Ada apa? Ngomong aja, nggak usah sungkan begitu!” pinta Kamoga.

“Mmh ... aku mau pinjam mobil Paman, boleh?” tanya Delana pelan.

“Emang mobil kamu ke mana?”

“Mmh ... ada, sih. Tapi, aku pengen ke Batu Dinding. Kalo pake mobilku, nggak bisa masuk karena jalannya lumayan sulit,” tutur Delana dengan gaya manja.

“Oh ... mau pake mobil Paman yang Strada?”

Delana menganggukkan kepala. “Iya, Paman. Boleh?”

“Boleh. Kapan mau dipake?” tanya Kamoga.

“Besok bisa?” tanya Delana.

“Kamu mau jalan besok? Emangnya nggak kuliah?”

“Kuliah. Aku ke sana abis pulang kuliah.”

“Oh, gitu? Ambil aja di kantor besok ya!” perintah Kamoga.

Delana tersenyum senang. “Oke. Makasih banyak ya, Pamanku tercintah!” tutur Delana dengan gaya alay.

Kamoga tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja.”

“Hehehe. Ya udah, dilanjut lagi kerjanya! Maaf mengganggu,” tutur Delana.

“Iya.”

Delana langsung menutup teleponnya. Ia merasa sangat senang karena akhirnya bisa pergi jalan-jalan ke suatu tempat yang belum pernah ia kunjungi.

“Mmh ... kalo ke sana sendirian, aman nggak ya? Aku kan cewek,” tutur Delana. Ia menghela napas dan mulai lesu. Sepertinya ia harus berpikir ulang untuk pergi sendiri mengingat medan yang harus dilalui sangat buruk dan juga berada di tengah hutan.

Delana melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia mendengar suara ribut di lantai bawah. Suara itu tak asing lagi di telinga Delana. Ia langsung berlari menuruni anak tangga, menghampiri tiga cowok yang sedang asyik menonton televisi sambil menghambur cemilan di atas meja.

“Kalian udah lama di sini?” tanya Delana.

“Udah,” jawab Dhanuar. “Baru bangun tidur?”

Delana tersenyum sambil menatap Dhanuar. Ia kemudian ikut duduk di sofa sambil menatap televisi yang menyala. Delana menatap ketiga cowok itu satu persatu. Mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Lalu, apa gunanya televisi menyala? Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ketiga saudaranya itu.

“Lan, kamu tahu Batu Dinding nggak?” tanya Delana pada Alan.

“Batu Dinding?” Alan melirik ke langit-langit sebagai tanda berpikir. “Kayaknya pernah dengar.”

“Yang di kilo empat lima itu, Kak?” tanya Bryan.

“Iya,” jawab Delana sambil menganggukkan kepala.

“Oh ... yang katanya kayak Tembok Raksasa China itu ya?” tanya Dhanuar.

“Iya. Tapi, ini batu, Dan nggak sepanjang Tembok Raksasa China juga,” sahut Delana.

“Ya iya, lah. Tapi keren loh itu. Terbentuk alami jadi dinding gitu. Katanya, mahasiswa Geologi dari Pulau Jawa yang pertama kali nemuin tempat itu buat penelitian dan akhirnya terekspose ke luar,” tutur Dhanuar.

“Yang mana sih?” tanya Alan penasaran.

“Search aja di Youtube! Ntar muncul,” jawab Dhanuar.

Alan langsung membuka aplikasi Youtube dan mencari keyword ‘Batu Dinding’ seperti yang disarankan oleh Dhanuar.

“Mmh ... aku rasa bukan mereka yang pertama kali nemuin. Pasti ada warga sekitar yang udah tahu tempat itu lebih dulu. Tapi, mereka nggak ekspose ke dunia luar. Makanya baru terkenal sekarang,” tutur Delana.

“Iya, juga sih,” tutur Dhanuar sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kakak senior aku, dia pecinta alam dan udah pernah ke Batu Dinding jauh sebelum tempat itu terkenal. Katanya, dulu tempat itu cuma bisa dimasukin sama pejalan kaki aja. Motor dan mobil nggak bisa masuk. Tapi, kayaknya sekarang udah bisa masuk ke sana,” tutur Bryan.

“Iya.”

“Kayaknya, di Kalimantan ini masih ada banyak surga tersembunyi di dalamnya. Secara, alamnya tuh masih asri karena belum banyak tersentuh sama manusia,” tutur Dhanuar.

“Iya. Ini keren!” seru Alan sambil melihat video Batu Dinding yang ada di Youtube. “Kayaknya asyik camping di sini.”

“Aku rencananya gitu. Kalian mau ikut?” tanya Delana menatap Dhanuar dan kedua adiknya.

Bryan, Dhanuar dan Alan saling pandang.

“Mau!” jawab Dhanuar dan Alan bersamaan.

“Kapan, Kak?” tanya Bryan.

“Besok gimana?”

“Emang nggak kuliah?”

“Kuliah. Abis pulang kuliah, kita ke sana. Gimana?”

“Mendadak banget, emang Kakak punya tenda buat camping?” tanya Bryan.

“Punya,” jawab Delana sambil tersenyum.

Bryan menatap Dhanuar dan Alan. “Mereka?”

“Kita satu tenda juga nggak papa,” sahut Alan sambil meringis.

“Huu ... maunya! Besok beli tenda, gih!” pinta Delana.

“Beli di mana?” tanya Alan.

“Di toko bangunan!” sahut Delana sambil melotot.

“Serius aku nanya. Aku nggak pernah beli tenda begituan. Mana tahu belinya di mana,” tutur Alan.

“Nanti aku pesenin sama temenku, Kak,” tutur Bryan.

“Temenmu ada yang jual?”

“Kakaknya temenku itu pecinta alam. Dan kayaknya jual alat-alat kayak gitu,” jawab Bryan.

“Oke. Cepet pesenin ya!” pinta Alan.

Bryan menganggukkan kepala.

“Kita bertiga satu tenda aja,” tutur Dhanuar.

“Aku nggak bisa ikut, Kak,” tutur Bryan.

“Loh? Kenapa? Bukannya besoknya hari minggu, libur kan?” tanya Alan.

“Iya. Tapi aku ada ujian karate hari Minggu,” jawab Bryan.

“Oh. Jadi, kamu nggak bisa ikut dong?” tanya Delana memasang wajah kecewa.

“Aku ikut lain kali, Kak. Lagian, aku juga udah pernah ke sana,” tutur Bryan.

“Hah!? Serius!? Kapan kamu perginya? Kenapa Kakak nggak tau?” tanya Delana.

“Ke sana cuma sebentar. Diajak mampir sama guruku waktu kami silaturahmi sama perguruan pencak silat yang ada di Samboja.”

“Oh ... yang waktu itu?” tanya Delana.

Bryan tersenyum sambil menganggukkan kepala.

“Ya udah. Kita bertiga aja ke sana. Gimana?” tanya Delana.

“Boleh,” jawab Alan dan Dhanuar sambil menganggukkan kepala.

“Besok aku ke kantor papa kamu buat pinjam mobil Strada,” tutur Delana menatap Dhanuar.

“Eh!? Pake Porsche aku nggak bisa?” tanyanya iseng.

“Mau pake itu? Kalo hancur, aku nggak nanggung,” sahut Delana.

“Hahaha.” Dhanuar dan Alan tertawa menanggapi ucapan Delana.

“Mau kuantar ke kantor Papa?” tanya Dhanuar.

“Nggak usah. Kalian siapin aja keperluan buat camping!” pinta Delana.

“Apa aja?” tanya Alan.

“Catet! Jangan sampe ada yang ketinggalan!” pinta Delana.

“Nggak ada buku sama pulpen!” protes Alan.

“Catet di hapemu kan bisa,” sahut Delana ketus.

Alan menghela napas. Ia langsung membuka aplikasi note di ponselnya dan bersiap mengetik catatan keperluan yang harus mereka siapkan.

“Yang pertama, tenda,” tutur Delana.

“Hmm ... terus?” tanya Alan sambil mengetik di ponselnya.

“Bantal, selimut, baju ganti.”

“Terus?”

“Panci kecil buat masak. Bawa beras sedikit aja sama mie instan.”

“Nggak bawa kompor?” tanya Alan.

“Nggak usah, ribet. Bikin api aja di sana pake kayu bakar,” sahut Delana.

“Hmm ... apa lagi?” tanya Alan.

“Cemilan yang banyak!” pinta Delana.

“Emang bisa bawa barang sebanyak ini?” tanya Dhanuar.

“Kita bawa mobil. Ngapain bingung sih!?”

“Hmm ... iya, iya.”

“Oh ya, jangan lupa bawa cabai, garam, bawang merah sama bawang putih. Gula, kopi sama teh juga jangan lupa!” tutur Delana.

Alan menghela napas. “Kayaknya yang ini wilayahmu, deh!” tuturnya sambil menatap Delana.

“Eh!?” Delana mengangkat kedua alisnya.

“Keperluan dapur kayak gini kan wilayahmu. Kita siapin yang lain yang kira-kira ribet. Kayak tenda, selimut, handuk dan yang berat-berat. Kalo soal bumbu-bumbu mah urusan kamu. Kita cowok mana ngerti,” cerocos Alan.

“Iih ... iya, nanti aku yang siapin. Tapi, kamu catet aja semuanya dulu. Biar akunya juga nggak lupa. Kamu juga harus ngingetin aku biar nggak ada barang yang ketinggalan pas udah sampe di sana,” sahut Delana.

“Oh gitu? Siap bos!” tutur Alan. “Ada lagi nggak, nih?” tanyanya lagi.

“Bentar. Aku masih mikir. Apa lagi ya, Dek?” tanya Delana pada Bryan.

“Gelas sama piringnya jangan lupa! Ntar makan sama minum pake apa?” sahut Bryan.

Delana tergelak. “Iya. Catet tuh, Lan!” perintah Delana pada Alan.

“Siap, Bu Bos!” sahut Alan.

Delana tersenyum senang karena akhirnya Dhanuar dan Alan bersedia menemaninya pergi ke Batu Dinding. Yah, setidaknya ia tak perlu khawatir karena ia tahu keduanya akan menjaganya dengan baik.

***

Sesuai dengan janjinya, hari ini Hesa datang ke perusahaan Paman Kam untuk melakukan penanda tanganan kontrak kerja baru.

“Pak Kam ada?” tanya Hesa pada petugas resepsionis.

“Sebentar, Pak.” Resepsionis itu langsung menelepon Sekretaris Presdir untuk memberitahukan kedatangan Hesa. Ia langsung mengenali cowok tampan yang datang di hari sebelumnya.

“Maaf, Pak. Bapak diminta untuk menunggu sebentar karena Pak Kam masih ada tamu,” tutur petugas resepsionis.

“Oke,” sahut Hesa sambil menyandarkan tubuhnya ke meja resepsionis.

Resepsionis cantik itu terus menatap Hesa. Ia sampai tak berkedip melihat cowok ganteng dan kaya yang ada di hadapannya.

Hesa tersenyum kecil sambil melirik resepsionis yang ada di sampingnya. Ia langsung memutar tubuhnya menghadap meja resepsionis dan tersenyum manis.

Resepsionis cantik itu terlihat salah tingkah ketika Hesa balas menatapnya. Sebagai seorang cowok playboy, naluri untuk menggoda selalu muncul setiap kali melihat perempuan cantik di dekatnya.

“Hai ...!” sapa Hesa. Ia mulai melancarkan aksinya karena bosan menunggu.

Resepsionis cantik itu hanya tersenyum.

“Udah lama kerja di sini?” tanya Hesa.

“Udah, Pak,” jawab resepsionis itu.

“Kok baru lihat ya?”

“Mmh ... baru dua tahun kerja, Pak.”

“Dua tahun? Lumayan lama juga. Dua tahun jadi resepsionis?” tanya Hesa.

Resepsionis cantik itu menganggukkan kepala.

“Mau sampe kapan jadi resepsionis?” tanya Hesa. “Jadi direktur mau nggak?” bisik Hesa pelan.

“Hah!? Maksudnya?”

“Jadi direktur,” tutur Hesa sambil memainkan alisnya.

“Ah, nggak mungkin, Pak. Saya cuma lulusan SMA,” sahut resepsionis itu sambil tersenyum malu.

“Mungkin aja. Asal kamu mau nikah sama Pak Direktur,” bisik Hesa sambil tersenyum.

“Ah, Bapak ada-ada aja.”

“Kok, panggil Bapak? Emang aku kelihatan kayak bapak-bapak?”

“Eh!? Anu, Pak.”

“Panggil Mas aja!” pinta Hesa.

“Maaf, Pak. Rasanya nggak sopan kalo panggil Bapak dengan sebutan itu.”

Hesa tertawa kecil. “Kalo nggak bisa panggil Mas atau Kak. Panggil sayang aja gimana?” tanya Hesa sambil memainkan alisnya. Ia mengedip centil pada cewek cantik yang ada di depannya.

Ucapan Hesa membuat hati resepsionis cantik itu berbunga-bunga. Tapi, ia sendiri tidak tahu apakah bos tampan ini serius atau hanya iseng menggodanya.

Hesa mengedarkan pandangannya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa cewek cantik yang ia lihat.

“Paman Kam pinter banget cari karyawan cantik-cantik. Betah aku di sini kalo setiap hari bisa lihat cewek cantik kayak gini,” gumam Hesa.

Resepsionis cantik itu hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Chilton yang mulai menggoda karyawan lain yang ada di dekatnya.

“Mbaknya udah punya pacar?” tanya Hesa pada resepsionis itu lagi.

“Udah, Pak.”

“Ganteng mana sama saya?”

“Apanya?”

“Pacarnya?”

“Mmh ...”

“Jawab jujur!” pinta Hesa.

“Ganteng Pak Hesa, sih,” jawabnya lirih.

“Hahaha. Jelas, dong! Cuma aku cowok yang paling ganteng dan kaya di kota ini,” tutur Hesa dengan bangga. “Kalo aku suka sama kamu. Kamu mau putusin pacar kamu?” tanya Hesa.

“Ah, pertanyaan Bapak aneh!” celetuk resepsionis cantik itu.

“Semua cewek suka cowok ganteng dan kaya, kan? Emangnya saya kurang ganteng? Kurang kaya?” tanya Hesa.

“Udah semua, Pak,” jawab resepsionis itu sambil tersenyum malu.

“Mmh ... ada satu yang kurang dari aku,” tutur Hesa. “Kamu mau tahu nggak itu apa?” tanyanya sambil menatap resepsionis itu.

“Apa, Pak?”

Hesa menghela napas. “Aku kurang pasangan hidup,” tuturnya sambil tersenyum.

Resepsionis cantik itu menahan tawa. “Nggak mungkin laki-laki yang ganteng dan kaya seperti Bapak nggak punya pasangan.”

“Buktinya, sampe sekarang aku masih belum punya istri. Kalo pacar sih banyak. Tapi, nggak ada yang cocok buat dijadiin istri.”

Resepsionis itu mulai risih dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hesa. Ia sudah bisa merasakan kalau bos muda ini hanya sekedar menggodanya karena jenuh menunggu.

“Kamu mau nggak jalan sama aku? Siapa tahu kita cocok,” ajak Hesa.

“Eh!?”

“Aku minta nomer telepon, dong!” pinta Hesa sambil tersenyum genit.

“Telepon ke nomor kantor saja, Pak!”

“Masa mau ngajak jalan telepon ke nomor kantor? Minta nomor WA kamu dong!” pinta Hesa. Ia tersenyum manis pada resepsionis cantik itu. Ia berharap wanita cantik itu mau memberikan nomor telepon dan bisa diajak berkencan sesekali.

Resepsionis cantik itu tersenyum. Ia menuliskan nomor teleponnya pada secarik kertas dan memberikannya pada Mahesa. “Ini, Pak.”

“Nah, gitu dong cantik!” tutur Hesa gemas. Ia langsung menerima secarik kertas pemberian resepsionis cantik itu dan menyimpannya ke dalam saku jasnya.

Mata Hesa tiba-tiba tertuju pada gadis cantik yang baru saja melewati pintu masuk. Ia merasa gadis itu sangat cantik, menarik dan penampilannya sangat berkelas. Hesa terus menatap gadis yang kini berdiri di depan pintu lift. Tanpa pikir panjang, Hesa langsung melangkahkan kakinya menghampiri gadis itu, ia berdiri tepat di sisi gadis cantik itu.

Gadis itu menoleh ke arah Hesa. Ia tersenyum manis dan berhasil membuat jantung Hesa berdetak begitu kencang. Saat pintu lift terbuka, gadis itu langsung masuk. Hesa ikut masuk ke dalam lift. Hesa terus menatap gadis cantik itu lewat ekor matanya. Tapi, gadis itu terlalu cuek. Membuatnya semakin penasaran.

Beberapa kali Hesa menarik napas dan membenarkan jasnya yang sudah rapi. Ia ingin menyapa gadis itu, tapi entah kenapa bibirnya beku. Tak seperti biasanya saat ia menggoda gadis-gadis cantik.

Hesa sama sekali tak menyangka kalau gadis itu akan menuju ke lantai enam. Sama seperti ruangan Paman Kam. “Kebetulan banget,” bisiknya dalam hati.

Ia terus berjalan mengikuti langkah gadis itu.

“Paman Kam punya bidadari secantik ini di kantornya. Apa aku harus beli saham perusahaan Kamoga supaya bisa ketemu sama cewek cantik ini setiap hari?” tanya Hesa dalam hatinya.

Hesa terus memerhatikan gadis berambut cokelat itu. Ia terlihat sangat sempurna. Badannya tinggi, kulitnya putih berseri dan wajahnya juga sangat cantik.

Gadis yang ia perhatikan juga sangat berkelas. Hesa bisa melihat barang-barang mahal yang menempel di tubuhnya. Ia terbiasa membelikan barang bermerk untuk pacar-pacarnya. Sehingga, ia bisa tahu betul kalau gadis itu memakai barang-barang bermerk. Mulai dari sepatu, tas dan perhiasan yang dikenakan.


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas