Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Tuesday, June 3, 2025

Ngurus Pelanggaran Hak Cipta itu Capek!!!



Pernah dengar ungkapan: “Kalau karyamu dibajak, berarti kamu terkenal”?

Maaf, saya bukan tipe penulis yang bisa senyum-senyum denger itu. Karena kenyataannya, dibajak itu nyebelin—dan lebih dari sekadar perkara “terkenal”. Itu tentang kerja keras yang dirampok tanpa permisi. Tentang begadang nulis bab per bab yang menghabiskan bergelas-gelas kopi, lalu bangun tidur ternyata ada orang iseng yang ubah karya kita jadi audiobook di YouTube dan ngaku-ngaku itu hiburan gratisan.

Dan itu yang terjadi pada novel saya, Menikahi Lelaki Brengsek.

Dibacain, direkam, diunggah, di-branding jadi konten “penuh perasaan” oleh akun bernama Diary Alluka. Keren? Tidak. Capek? Jelas. Emosi? Banget. 



Salah satu hal yang membuat penulis terganggu ialah soal plagiarisme dan pembajakan karya. 
Plagiarisme adalah mengakui karya orang lain sebagai karyanya, sedang pembajakan adalah mendistribusikan atau menjual karya orang lain tanpa izin atau tanpa sepengetahuan pemilik karyanya. 
Hal yang terlihat sepele, tapi membuat tidak nyaman penulisnya ialah adaptasi naskah ke dalam audio book dan diposting ke platform tanpa izin. Pembajakan karya ini sepertinya menjadi hal yang lumrah di kalangan pengguna platform, terutama Youtube. 

Youtube adalah platform yang memberikan layanan monetisasi terhadap konten-konten penggunanya. Oleh karenanya, pengguna bisa menghasilkan uang dari konten yang diposting di Youtube. Hal ini termasuk ke dalam kepentingan komersil (diperjualbelikan). 
Tentunya mengganggu bagi author/pengarang aslinya jika menemukan hal seperti ini. Contohnya adalah akun Youtube yang aku screenshoot ini. Bukan aku sok terkenal sampai tidak mengizinkan karyalu dipakai oleh orang lain. Aku adalah orang yang open minded dan welcome dengan siapa saja. Sayangnya, pengguna akun ini tidak meminta izin apa pun kepadaku untuk menggunakan karyaku. 



Banyak yang bilang, “Ya ampun, Rin... itu kan cuma dibacain ulang. Harusnya bangga dong...”

BANGGA dari Hongkong?
Lho, coba bayangin kamu jualan nasi goreng, capek-capek motong bawang, bikin resep sendiri, ngeluarin duit buat wajan dan gas, terus tiba-tiba ada orang comot nasi kamu, goreng ulang, terus jualan di TikTok sambil ngasih watermark nama dia.
Masih bangga?

Yang lebih nyesek lagi, video-video itu sudah puluhan episode. Diunggah satu per satu, kadang dipotong, kadang digabung, lalu diberi judul clickbait yang bikin penonton makin penasaran. Saya hitung manual—karena YouTube belum punya tombol "lapor massal"—dan saya harus klik, lapor, ulang, klik, lapor, ulang... kayak mantra sialan yang nggak selesai-selesai.

Lapor Satu per Satu = Neraka Mini

Sistem pelaporan YouTube memang ada. Tapi kalau kamu berharap itu proses yang sekali klik, langsung kelar—selamat datang di dunia nyata.
Butuh waktu, butuh energi, dan kadang butuh nahan napas karena YouTube suka pura-pura bodo.

Saya mesti isi form, tempelin link asli, buktiin saya pemilik karya (padahal nama saya jelas di cover, di metadata, di Google, dan di Goodreads!), terus nunggu berhari-hari buat satu notifikasi yang kadang cuma bilang: “Terima kasih, kami sedang meninjau laporan Anda.”

Hebatnya, sambil saya lapor satu video, mereka udah upload dua lagi.
Capek... tapi harus terus dilawan.

Bukan Sekadar Tentang Uang


Banyak yang anggap remeh: “Lagian ngapain ribut? Toh cuma dibaca, nggak dijual.”

Tapi gini, teman-teman: hak cipta itu bukan sekadar uang. Ini tentang martabat. Tentang nama baik. Tentang penghargaan terhadap proses kreatif.

Kalau orang bisa dengan mudahnya mencuri karya, terus ditonton ribuan orang, dipuji-puji pula karena “suara naratornya enak”—terus penulis aslinya kayak makhluk tak kasat mata...
Lalu siapa yang bakal percaya pentingnya menulis?


Hari Ini Lelah, Besok Lawan Lagi

Saya bukan pahlawan. Saya juga penulis yang kadang nulis sambil nahan lapar, atau sambil mikirin tagihan listrik. Tapi saya percaya satu hal:

"Kalau kita nggak jaga karya kita sendiri, siapa lagi yang mau?"

Buat kamu yang juga pernah dibajak, jangan diam. Suaramu penting.
Dan buat kamu yang hobi repost karya orang lain tanpa izin, berhenti sekarang.
Karya orang bukan konsumsi publik gratisan.

Jadi ya, ngurus pelanggaran hak cipta itu memang capek. Tapi lebih capek lagi kalau kita biarin. Maka... walau pelan, walau sendirian, saya akan terus klik tombol laporkan pelanggaran—sampai video terakhir itu hilang, dan hak saya kembali ke tempat yang seharusnya.


Ditulis di antara jeda ngopi dan lapor video bajakan ke-47



-Rin Muna-
Penulis yang bukan cuma nulis, tapi juga belajar bela karya sendiri.



Thursday, May 29, 2025

Novel "Then Love" karya Vella Nine Full Version

 



Sejak pertama masuk universitas, Delana menyukai Chilton, salah satu bintang di kampusnya. Mereka menjalani banyak hari bersama.

Namun semakin tinggi sebuah pohon, semakin kencang angin yang menerpa. Begitupun hubungan mereka. Delana terus mengejar cinta Chilton, tapi pria itu mengabaikannya dan pergi menjauh ke Auckland.

Setelah melewati masa yang rumit saat terpisah jarak dan waktu, menikmati rasa sakit, kecewa, patah hati dan putus asa. Mereka dipertemukan kembali. Namun, Delana telah menjadi milik orang lain.

Bagaimana perasaan Chilton saat ia tahu kalau Delana adalah pacar Hesa, kakaknya sendiri? Akankah Delana dan Chilton bisa bersatu?

Baca cerita lengkapnya melalui link-link berikut ini:


Then Love Bab 1 : Putus Cinta Sebelum Jadian

Then Love Bab 2 - First Impressions

Then Love Bab 3 - Rasa yang Tak Biasa



Then Love Bab 2 - First Impressions || Teenlit Story by Vella Nine

 

Chapter 2

First Impressions

 


“Gimana kuliahmu?” tanya Astria, Mama Raditya Chilton. Ia sengaja meminta Chilton untuk pulang ke rumah dan makan malam bersamanya. Kebetulan, malam ini ia punya banyak waktu untuk bertemu dengan putera kesayangannya itu.

 

“Baik, Ma. Mama gimana? Masih banyak kesibukan?” tanya Chilton.

 

Astria menghela napasnya, “Yah, ngurus bisnis memang melelahkan dan cukup menyita waktu Mama.”

 

Chilton mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu, mamanya telah melakukan banyak hal untuk membuatnya bahagia. Meski seorang single parent, Astria mampu menyekolahkan Chilton dengan baik dan memberikannya fasilitas yang lumayan.

 

“Mau nginap?” tanya Astria.

 

Chilton menggelengkan kepalanya. Ia memilih tidur di asrama ketimbang di rumahnya yang sepi. Pagi-pagi buta, mamanya sudah berangkat kerja. Bukan karena kesepian, tapi ia tidak tega melihat perjuangan keras mamanya. Wanita seharusnya di rumah, tidak perlu bekerja keras menghidupi keluarga dan menghadapi kehidupan luar yang seharusnya dihadapi para pria.

 

“Kenapa?” tanya Astria.

 

“Nggak apa-apa.”

 

Astria memahami keputusan anaknya. Ia tak lagi banyak bertanya.

 

Chilton memang sikapnya dingin seperti es, jarang sekali berinteraksi dengan orang lain, terlebih orang asing. Bahkan dengan mamanya sendiri pun ia tak banyak bicara.

 

Sikapnya memang dingin, tapi Chilton menjadi salah satu bintang di kampus. Hampir semua cewek di kampus akan berteriak setiap kali Chilton melintas dengan gaya cool-nya. Walau sikapnya terlihat santun, tapi ia selalu menolak pernyataan cinta dari cewek-cewek yang selama ini mengejarnya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mendekati cewek-cewek kampusnya, apalagi untuk berpacaran.

 

Hampir setiap pagi ia jogging karena kebetulan ia tinggal di asrama kampus. Ia hanya akan pulang ke rumahnya pada hari Minggu atau hari libur. Banyak sekali cewek yang mencoba menarik perhatiannya. Tapi, ia tidak tertarik sama sekali untuk berbicara dengan mereka atau salah satunya.

 

Dari sekian banyak cewek cantik yang menggodanya, perhatiannya tertuju pada cewek sederhana yang tidak sengaja bertabrakan dengannya. Cewek berambut pendek bernama Delana. Cewek yang tetap terlihat ceria meski ia dalam kesulitan. Kalau cewek lain yang ia tabrak dan jatuh, mungkin akan menangis manja di depan Chilton dan dia selalu muak dengan cewek-cewek manja dan centil seperti itu. Ia bertemu dengan Delana dan merasakan hal berbeda. Cewek itu terlihat riang dan berhasil membuat bibirnya tersenyum tanpa alasan.

 

 

 

***

 

Kali ini, Delana bisa melihat Chilton masuk ke dalam kelas yang sama dengannya. Tapi, ia tak bisa banyak menatap cowok itu karena cowok itu duduk di bangku paling belakang sementara ia berada di bangku terdepan. Sesekali ia menoleh ke arah Chilton. Di saat yang sama, Chilton juga melihat ke arahnya. Delana jadi salah tingkah dibuatnya.

 

Setelah mata pelajaran selesai, semua mahasiswa keluar dari kelasnya. Sementara Chilton masih bergeming di bangkunya sembari menatap punggung Delana yang tak kunjung keluar dari kelas. Malah sibuk dengan buku di tangannya. Sesekali ia membuka tasnya dan memeriksa ponselnya. Mungkin dia menunggu pesan dari seseorang.

 

Delana hampir dibuat gila dengan materi pelajaran yang berbeda dengan yang ada di dalam bukunya. Ia beberapa kali mencoba untuk browsing di Google karena ada beberapa materi yang sama sekali tidak bisa masuk ke dalam otaknya.

 

Delana menggaruk kepalanya beberapa kali. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang sudah kosong. Matanya kemudian tertuju pada Chilton yang sedang menatapnya. Delana tersenyum, ia menutup buku tulis dan memegangnya dengan erat. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri Chilton untuk menanyakan materi pelajaran yang sama sekali tidak ia mengerti.

 

“Aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Delana begitu sampai di hadapan Chilton yang duduk sendiri di bangkunya. Ia memeluk buku tulis di dadanya.

 

“Nanya apa?” tanya Chilton menatap Delana.

 

“Aku nggak paham sama sekali sama materi yang dikasih dosen tadi.”

 

“Oh, duduk sini!” pinta Chilton menunjuk bangku kosong yang ada di sampingnya.

 

Tak pernah ada cewek lain yang diminta duduk di bangku itu selain Delana. Mungkin karena sikapnya yang dingin dan jarang sekali mengajak bicara. Terlebih, ia lebih memilih untuk membuat banyak cewek untuk pergi darinya daripada harus sakit hati karena cintanya selalu ditolak oleh Chilton.

 

Delana menjatuhkan tubuhnya di kursi yang berada di samping Chilton.

 

“Tanya yang mana?” tanya Chilton.

 

Delana membuka buku catatannya dan menunjukkan salah satu materi yang tak selesai ia tulis.

 

“Oh, ini?” Chilton menarik buku Delana kemudian menjelaskan beberapa materi yang ditanyakan. Ia tak banyak basa-basi dan langsung menjawab seperlunya.

 

“Makasih, ya!” Delana langsung menutup buku catatannya setelah menanyakan materi yang tidak ia pahami sepanjang dosen menyampaikannya.

 

“Paham?”

 

Delana menganggukkan kepala. Walau sebenarnya ia tidak begitu paham. Ia tak ingin terlihat bodoh di hadapan Chilton.

 

Chilton tersenyum.

 

Delana bangkit dari tempat duduknya. Ia melangkahkan kaki perlahan. Baru selangkah, ia menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh menghadap ke arah Chilton.

 

“Masih mau tanya lagi?” tanya Chilton.

 

Delana tersenyum. Ia menggelengkan kepala dan membalikkan tubuhnya kembali membelakangi Chilton. Belum sampai ia melangkah, ia membalikkan tubuhnya lagi menghadap ke Chilton.

 

Chilton mengerutkan dahi melihat tingkah Delana di hadapannya.

 

“Mmh... besok pagi bisa ketemu di taman?” tanya Delana.

 

“Taman?” Chilton mengernyitkan dahinya.

 

Delana menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, “Aku tunggu besok pagi, ya!” Delana langsung ngeloyor pergi tanpa menunggu jawaban dari Chilton. Entah cowok itu akan bilang iya atau tidak, ia akan tetap menunggunya.

 

Chilton menggeleng-gelengkan kepala menatap kepergian Delana. Ia heran dengan sikap cewek yang satu ini. Entah kenapa, ia jadi lebih sering tersenyum setiap kali melihat tingkah laku dan senyuman cewek itu.

 

Delana terus tersenyum sampai ia duduk di bangkunya kembali dan memasukkan bukunya ke dalam tas. Ia mengambil dompet dan ponsel dari dalam tas, memindahkan ke sakunya dan berjalan keluar kelas.

 

“Eh!?” Delana menghentikan langkahnya begitu sampai di pintu kelas. Ia berjalan mundur beberapa langkah dan menoleh ke arah Chilton yang masih duduk sendiri di bangkunya.

 

“Nggak ngantin?” tanya Delana.

 

Chilton menggelengkan kepala. Di tangannya, ia sudah memegang smartphone dan sudah membuka salah satu game online yang sedang hits.

 

Delana tak bertanya lagi. Ia langsung bergegas menuju kantin untuk membeli beberapa minuman dan snack. Ia lebih memilih taman kampus sebagai tempatnya menikmati waktu istirahat.

 

“Huft, andai aja dia di sini. Lagian, betah amat di dalam kelas sendirian,” celetuk Delana lirih.

 

Ia mengambil ponsel di sakunya dan mulai membuka beranda media sosial untuk melihat update terbaru seputar teman dan lingkungannya.

 

Sembari mengunyah snack yang ia beli, ia terpikir untuk mencari nama Chilton di Instagram. Ada beberapa nama yang muncul tapi tidak ia kenal semua.

 

“Masa dia nggak punya akun Instagram sih?” tanyanya pada diri sendiri.

 

Delana terus berpikir, akhirnya ia menulis hashtag nama kampusnya di kolom search. Ia yakin, pasti ada update terbaru seputar kampus dan bisa saja ia menemukan akun Chilton di dalamnya.

 

Delana memainkan mulutnya sembari men-scroll layar ponselnya. Di hashtag kampus tak ada satu pun postingan yang bisa membawanya ke akun pribadi milik Chilton. Ada beberapa foto Chilton yang memang sengaja diambil oleh fans-fansnya namun tetap saja tidak begitu berarti untuk Delana karena foto-foto itu diambil dari kejauhan.

 

Delana menghela napas dan menyerah mencari akun pribadi milik Chilton. Padahal dia sudah berniat untuk stalking akun cowok yang satu itu. Akhirnya ia memilih untuk login ke salah satu game online untuk mengusir badmood yang tiba-tiba menyerangnya.

 

                                                                                               

 

***

 

 

 

Pagi ini, Delana mengajak bertemu dengan Chilton di taman. Delana sudah duduk di kursi taman, menunggu Chilton muncul seperti biasa.

 

Delana tersenyum saat sosok Chilton muncul dari ujung jalan, berlari pagi seperti biasa dan semakin mendekat ke arah Delana.

 

“Hai!” sapa Delana sembari tersenyum ceria begitu Chilton berhenti di hadapannya.

 

Chilton tidak membalas. Ia langsung duduk di samping Delana, “Ada apa?” tanya Chilton tanpa menoleh ke arah Delana. Ia tak banyak basa-basi. Ia tahu, cewek yang mengajaknya bertemu biasanya ingin mengutarakan perasaannya. Chilton sudah bersiap menolak perasaan Delana apabila cewek itu mengungkapkannya.

 

“Sudah sarapan?” tanya Delana.

 

“Belum.”

 

Delana tersenyum, ia mengambil tempat nasi dan menyodorkan ke Chilton, “Aku bikin nasi goreng, mau?”

 

Chilton menoleh ke arah Delana. Menatap cewek itu sesaat kemudian mengalihkan pandangannya pada kotak bekal yang masih ada di tangan Delana.

 

Delana tersenyum riang, ia menganggukkan kepalanya sedikit sebagai tanda perintah agar Chilton mengambilnya.

 

Chilton tersenyum kecil dan meraih kotak bekal pemberian  Delana. Ia membuka kotak itu perlahan dan terpaku melihat isinya. Nasi goreng yang dicetak berbentuk sepatu itu berhasil membuatnya tertawa dalam hati. Ia belum pernah mendapat bekal makanan seperti ini. Entah kenapa Delana membuatnya berbentuk sepatu. Kenapa tidak berbentuk hati seperti cokelat dan kue yang ia terima dari beberapa cewek-cewek yang menyukainya.

 

“Kenapa bentuknya sepatu?” tanya Chilton sembari mengamati nasi goreng berbentuk sepatu dengan topping saos, mayonaise, tomat, wortel, sawi, dan kacang polong yang disusun sedemikian rupa hingga terlihat cantik.

 

“Hmm ... tadinya aku mau bikin bentuk hati gitu. Tapi nggak jadi karena aku lebih sering melihat sepatumu ketimbang hatimu. Aku nggak tahu hatimu bentuknya kayak gimana. Hehehe,” jawab Delana ngasal sambil cengengesan.

 

Chilton menggelengkan kepala sambil tertawa dalam hati.

 

“Kalo mau ketawa, ketawa aja! Nggak usah ditahan-tahan!” celetuk Delana.

 

Chilton tertawa kecil menanggapi ucapan Delana. Ia menatap nasi goreng yang dicetak berbentuk sepatu itu.

 

Delana tersenyum karena sepertinya Chilton menyukai bekal makanan buatannya. Ia menyodorkan sendok ke arah Chilton, “Ini sendoknya.”

 

“Makasih,” Chilton meraih sendok itu dan mencicipi masakan Delana perlahan.

 

Jantung Delana berdebar saat Chilton menyuap makanan pertama kali. Ada rasa cemas kalau cowok itu tidak suka dengan masakannya. Ia terlihat tegang menatap Chilton yang mulai mengunyah nasi goreng buatannya perlahan. Ia menelan ludah begitu melihat Chilton menghentikan kunyahannya.

 

“Oh, My God ...! Dia nggak suka masakanku? Aku harus gimana?” bisiknya dalam hati.

 

Chilton menatap Delana serius kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

“Enak!” ucapnya. Kemudian ia menyuapkan lagi dengan porsi yang lebih banyak sampai mulutnya penuh dan kesulitan bicara.

 

“Pelan-pelan makannya, nanti tersedak!” tutur Delana sambil tersenyum bahagia karena Chilton menyukai nasi goreng buatannya.

 

“Ini masak sendiri?” tanya Chilton dengan mulut masih penuh. Ia kesulitan menelan makanan, Delana dengan cekatan menyodorkan botol minuman ke hadapan Chilton. Chilton tersenyum menatap Delana dan meraih botol yang diberikan Delana.

 

Delana menganggukkan kepala, “Suka?”

 

Chilton mengangguk, “Kirain cewek kayak kamu nggak bisa masak.”

 

“Apa aku kelihatan seburuk itu?” tanya Delana.

 

Chilton tertawa kecil sambil terus memakan nasi goreng buatan Delana, “Kelihatannya begitu.”

 

Delana mengerucutkan bibirnya. Ia tak mengerti kenapa Chilton menyangka dirinya tidak bisa memasak. Padahal, sudah jelas dia perempuan. Delana menyentuh rambutnya yang mulai panjang. Mungkin, penampilannya yang seperti anak laki-laki membuat Chilton mengiranya tidak bisa memasak.

 

“Boleh minta resepnya?” tanya Chilton.

 

 “Resep apa?” tanya Delana.

 

“Ini,” Chilton mengangkat kotak bekal yang ada di tangannya.

 

“Oh.. resep mah gampang. Di Google juga banyak,” jawab Delana.

 

“Google?”

 

“Iya.”

 

“Aku pernah ngikutin resep dari Google. Hasilnya gagal.”

 

“Oh ya? Serius?”

 

Chilton menoleh ke arah Delana, “Apa kelihatan lagi bercanda?”

 

“Hehehe, enggak, sih.” Delana tersenyum. “Emang bisa masak juga?”

 

“Bisa. Masakanku lumayan enak, walau belum seenak ini.”

 

“Oh ya? Kalau kamu mau, aku bisa buatkan lagi.”

 

“Kalo enggak ngerepotin.”

 

“Ya, nggak lah.”

 

Chilton mengangguk-anggukkan kepala sambil terus mengunyah suapan terakhirnya.

 

“Nasi goreng ini nggak gratis,” tutur Delana. Ia menatap Chilton sambil tersenyum.

 

“Eh!?” Chilton spontan menatap Delana yang duduk di sampingnya. ”Kenapa baru ngomong pas nasinya udah habis?” celetuk Chilton dengan mulut yang masih penuh.

 

Delana tergelak melihat ekspresi wajah Chilton yang terkejut.

 

“Berapa duit?” tanya Chilton sembari merogoh saku celananya. “Kalo jualan tuh ngomong dari awal!” gerutunya.

 

Delana cekikikan, “Aku nggak mau dibayar pake duit,” Delana tersenyum menatap Chilton.

 

Chilton menatap tajam ke arah Delana. Ia menilai cewek ini memberikannya sarapan enak supaya bisa menarik perhatiannya.

 

“Trus, pake apa?” tanya Chilton.  “Kalau harus bayar pake cinta, aku nggak bisa.”

 

Delana tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku tahu kalau cinta nggak seharusnya dihargai seharga satu porsi nasi goreng.”

 

Chilton tertawa dalam hati saat mendengar ucapan Delana.

 

Memang benar, cinta tidak bisa dihargai seharga satu porsi nasi goreng. Tapi, cinta bisa dimulai dari satu porsi nasi goreng. Delana percaya, bahwa suatu hari nanti ia pasti berhasil membuat Chilton menyukainya.

 

Chilton menaikkan kedua alisnya, ia tak menyangka kalau cewek itu punya permintaan lain selain meminta cinta dan perhatian darinya. Tidak seperti cewek-cewek lain yang dengan cepat mengungkapkan perasaan suka terhadapnya saat mengirimkan hadiah-hadiah. Hadiah yang selalu berakhir tragis di tempat sampah sebelum dibuka.

 

“Aku punya permintaan.”

 

Chilton menoleh ke arah Delana, “Apa itu?”

 

“Aku mau duduk sebangku sama kamu, boleh nggak?”

 

Chilton mengernyitkan dahinya.  Baginya, pertanyaan itu sangat aneh. Lebih aneh lagi kalau dia menolak permintaan Delana yang sesederhana itu. Hanya minta duduk sebangku dengannya. Chilton terbiasa dengan mudah menolak cewek yang mengungkapkan perasaan terhadapnya. Tapi, kalau hanya ingin menjadi teman sebangku, apa pantas jika dia menolaknya?

 

“Gimana?” tanya Delana.

 

“Mmh..” Chilton mengusap dagunya sambil berpikir.

 

“Boleh, dong! Boleh ya! Boleh kan? Please!” Delana menangkupkan kedua telapak tangannya, memohon agar Chilton memberi kesempatan untuk duduk sebangku dengannya.

 

“Oke, deh!”

 

“Yeay...! Makasih...!” seru Delana.

 

Chilton tersenyum kecil melihat Delana terlihat begith riang.

 

“Aku agak kesulitan belajar. Entah kenapa, materinya selalu beda sama buku yang aku bawa. Padahal jadwalnya udah bener.” Delana menghela napas lesu.

 

Chilton mengernyitkan dahinya sembari menatap Delana, “Beda? Emangnya kamu pindahan dari universitas mana?”

 

“Eh!? Kok, pindahan? Aku mahasiswa baru.”

 

“Hah!? Serius?” tanya Chilton. Ia menutup mulutnya dengan genggaman tangan untuk menahan tawa.

 

“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Delana.

 

“Iya,” Akhirnya Chilton tergelak dan tak bisa menahan tawanya.

 

“Kenapa sih?” tanya Delana polos. Ia masih tak paham kenapa Chilton tiba-tiba menertawakannya.

 

“Kamu tuh salah kelas!” sahut Chilton sembari menahan tawanya.

 

Delana membelalakkan matanya. Wajahnya merah merona karena malu. Bagaimana bisa dia salah masuk kelas. Kenapa selama ini tidak ada yang menyadarinya dan membiarkan Delana masuk ke dalam kelas yang salah.

 

Delana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana bisa ia salah masuk kelas sudah satu minggu? Ini gila! Tidak ada satupun dosen atau teman sekelasnya yang bertanya apakah dia murid baru atau pindahan. Atau, karena dia masuk kelas dengan percaya diri, membuat teman-teman sekelasnya mengira kalau dia adalah mahasiswi pindahan.

 

“Kamu baru, kan? Tuh, kelas kamu di sana!” Chilton menggenggam kedua pundak Delana, memutar tubuhnya menghadap ke gedung kampus. Chilton menunjuk ke arah kelas Delana yang seharusnya. Kelas nomor tiga yang berada di lantai dasar.

 

Delana menghela napas, ia memukuli kepalanya sendiri. Ia terlihat sangat bodoh. Bagaimana ia bisa masuk ke kelas yang salah. Dan lebih parahnya lagi, ia masuk ke kelas yang lebih tinggi setingkat darinya. Ini benar-benar konyol! Kalau Belvi dan Ivona tahu, mereka pasti akan menertawakan Delana habis-habisan.

 

Ia tidak hanya malu, tapi juga kecewa karena ternyata tidak bisa duduk sebangku dengan Chilton. Padahal, Chilton sudah bersedia untuk duduk bersamanya.

 

“Huft, baru juga seneng bentar, udah langsung dipatahin harapanku,” batin Delana dalam hatinya.

 

Delana tak bersemangat membereskan bekas makan Chilton. Ia memasukkan kembali kotak bekal tersebut ke dalam tasnya kemudian beranjak dari tempat duduknya.

 

“Mau ke mana?” tanya Chilton melihat Delana sudah berdiri sembari menjinjing  tasnya.

 

“Ke kelas.”

 

Chilton melirik arloji yang ada di pergelangan tangannya, “Jam masuk masih lima belas menit lagi.”

 

“Masuk lebih dulu lebih baik,” Delana melangkahkan kakinya perlahan.

 

“Oke. Hati-hati ya! Jangan sampai salah kelas lagi!” serunya.

 

Delana membalikkan tubuhnya, menatap tajam ke arah Chilton yang sedang menertawakan dirinya, kemudian melanjutkan kembali langkahnya menyusuri jalan taman, koridor, dan masuk ke dalam kelasnya.

 

Delana duduk di salah satu kursi kosong tanpa memperdulikan beberapa pasang mata yang terus menatapnya. Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan mulai bermain game online sembari menunggu dosen datang.

 

 

 

“Siapa dia? Kok, bisa ngobrol sama kakak kelas yang ganteng itu?”

 

“Katanya, cowok itu selalu menolak didekati cewek-cewek cantik. Kenapa dia mau deketan sama dia?”

 

“Iya. Dia terlalu biasa. Nggak cantik!”

 

 

 

Terdengar beberapa cewek sekelas sedang membicarakan Delana. Delana tidak peduli, ia pura-pura tidak mendengarkan ucapan dari teman-teman sekelasnya.

 

Lima belas menit kemudian, dosen pengajar sudah masuk ke dalam kelas untuk memberikan materi.

 

Kali ini, Delana tidak terlalu kesulitan karena materi yang disampaikan sesuai dengan buku pegangannya.

 

Delana mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Baru sehari ia bisa menikmati satu kelas dengan Chilton. Waktu begitu cepat mengubah keadaan.

 

Delana beberapa kali menoleh ke belakang. Ia merindukan sosok Chilton yang menatap ke arahnya setiap kali ia menoleh ke belakang.

 

Mata pelajaran telah usai. Semua mahasiswa berhambur keluar kelas. Delana perlahan membereskan bukunya dan ikut melangkahkan kaki keluar dari kelas.

 

 

 

 

 

***

 

Delana merebahkan tubuhnya ke atas kasur begitu sampai di rumah. Siang ini panas terik dan dia berjalan kaki pulang ke rumah. Lumayan membuat kulitnya serasa terbakar karena ia tidak membawa payung, juga lupa membawa topi untuk menghindari panasnya terik matahari. Ia menyalakan AC kamar dan menikmati hawa dingin yang mulai merasuk ke pori-pori kulitnya.

 

Hari ini dia bahagia karena bisa mengobrol dengan Chilton. Ia merasa, begitu mudah mengajaknya bicara. Cowok yang terkenal dingin dan tidak banyak bicara itu terlihat berbeda di depan mata Delana. Chilton tak sedingin yang dibilang orang. Ia juga tidak sombong. Ia cukup banyak berbicara dan sesekali tersenyum. Bagi Delana, itu merupakan langkah yang cukup baik untuk bisa mendapatkan cinta Chilton.

 

Delana bangkit, ia membuka tas dan mengambil kotak bekal bekas makan Chilton. Ia tersenyum bahagia memeluk kotak itu. Rasanya, ia tak ingin mencuci kotak bekal itu supaya bekas tangan Chilton tidak hilang dari situ.

 

Delana tak bisa menahan perasaan bahagianya dan ingin segera menceritakan kejadian hari ini kepada kedua sahabatnya. Ia menelepon Ivona, tapi tak dijawab. Kemudian ia menelepon Belvi dan langsung mendapatkan jawaban.

 

“Halo, Belvi!”

 

“Ya. Kenapa?” tanya Belvi melalui sambungan telepon.

 

“Aku mau cerita sesuatu sama kamu.”

 

“Cerita apa?”

 

“Aku tadi ketemuan sama Chilton. Aku bikinin dia nasi goreng dan dia suka banget!” seru Delana dengan perasaan penuh kebahagiaan.

 

“Oh ya? Bagus, dong.”

 

“Iya. Aku seneng banget!”

 

“Iya. Mudah-mudahan berhasil dapetin dia ya! Oh ya, aku masih di kampus. Nanti lagi teleponnya ya,” Belvina langsung mematikan sambungan telepon.

 

“Iih, kalian pada sibuk terus!” maki Delana pada layar ponselnya.

 

Ia meletakkan ponselnya dan bergegas membersihkan badan. Ia terus bersenandung riang sembari menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

 

 

 

***

 

Chilton langsung masuk ke kamar yang ada di asrama kampus. Kebetulan, kamarnya ada di lantai tiga. Ia membuka tirai jendela dan menikmati pemandangan jalanan. Hanya ada mobil dan motor lalu lalang. Kemudian, matanya tertuju pada sosok cewek yang sedang berjalan kaki di trotoar, kemudian memasuki gang yang bisa terlihat dengan baik dari jendela kamarnya. Ia terus menatap cewek itu sampai ia tak terlihat lagi karena tertutup bangunan di sekitarnya.

 

Ia tersenyum sembari melangkahkan kaki mendekati ranjang tidurnya. Cewek itu telah berhasil menciptakan senyuman di bibirnya. Senyuman yang jarang sekali ia perlihatkan pada orang lain. Semenjak ia mengenal Delana, ia jadi lebih banyak tersenyum sendiri.

 

Chilton merebahkan tubuhnya di atas ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Ia merasa perasaannya kali ini jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Ada hal aneh yang menyelimuti dirinya semenjak mengenal gadis sederhana bernama Delana. Ia bahkan tidak bisa bersikap cuek di hadapan cewek itu.

 

Tak ada satu orang pun yang tahu perubahan dalam hati, bahkan dirinya sendiri. Ia sendiri tak mengerti kenapa bisa bersikap baik dengan cewek itu. Senyuman cewek itu terlihat begitu tulus dan... ia nyaman. Namun, ia sendiri belum bisa memastikan apakah ia menyukai cewek itu atau tidak. Bisa jadi ia hanya nyaman sebagai teman, tidak lebih dari itu.

 

 ((Bersambung))

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas