Chapter
2
First
Impressions
“Gimana kuliahmu?” tanya Astria,
Mama Raditya Chilton. Ia sengaja meminta Chilton untuk pulang ke rumah dan
makan malam bersamanya. Kebetulan, malam ini ia punya banyak waktu untuk
bertemu dengan putera kesayangannya itu.
“Baik, Ma. Mama gimana? Masih
banyak kesibukan?” tanya Chilton.
Astria menghela napasnya, “Yah,
ngurus bisnis memang melelahkan dan cukup menyita waktu Mama.”
Chilton mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu, mamanya telah melakukan banyak hal untuk membuatnya
bahagia. Meski seorang single parent,
Astria mampu menyekolahkan Chilton dengan baik dan memberikannya fasilitas yang
lumayan.
“Mau nginap?” tanya Astria.
Chilton menggelengkan kepalanya.
Ia memilih tidur di asrama ketimbang di rumahnya yang sepi. Pagi-pagi buta,
mamanya sudah berangkat kerja. Bukan karena kesepian, tapi ia tidak tega
melihat perjuangan keras mamanya. Wanita seharusnya di rumah, tidak perlu
bekerja keras menghidupi keluarga dan menghadapi kehidupan luar yang seharusnya
dihadapi para pria.
“Kenapa?” tanya Astria.
“Nggak apa-apa.”
Astria memahami keputusan
anaknya. Ia tak lagi banyak bertanya.
Chilton memang sikapnya dingin
seperti es, jarang sekali berinteraksi dengan orang lain, terlebih orang asing.
Bahkan dengan mamanya sendiri pun ia tak banyak bicara.
Sikapnya memang dingin, tapi
Chilton menjadi salah satu bintang di kampus. Hampir semua cewek di kampus akan
berteriak setiap kali Chilton melintas dengan gaya cool-nya. Walau sikapnya terlihat santun, tapi ia selalu menolak pernyataan
cinta dari cewek-cewek yang selama ini mengejarnya. Ia sama sekali tidak tertarik
untuk mendekati cewek-cewek kampusnya, apalagi untuk berpacaran.
Hampir setiap pagi ia jogging karena kebetulan ia tinggal di
asrama kampus. Ia hanya akan pulang ke rumahnya pada hari Minggu atau hari
libur. Banyak sekali cewek yang mencoba menarik perhatiannya. Tapi, ia tidak
tertarik sama sekali untuk berbicara dengan mereka atau salah satunya.
Dari sekian banyak cewek cantik
yang menggodanya, perhatiannya tertuju pada cewek sederhana yang tidak sengaja
bertabrakan dengannya. Cewek berambut pendek bernama Delana. Cewek yang tetap
terlihat ceria meski ia dalam kesulitan. Kalau cewek lain yang ia tabrak dan
jatuh, mungkin akan menangis manja di depan Chilton dan dia selalu muak dengan
cewek-cewek manja dan centil seperti itu. Ia bertemu dengan Delana dan
merasakan hal berbeda. Cewek itu terlihat riang dan berhasil membuat bibirnya
tersenyum tanpa alasan.
***
Kali ini, Delana bisa melihat
Chilton masuk ke dalam kelas yang sama dengannya. Tapi, ia tak bisa banyak
menatap cowok itu karena cowok itu duduk di bangku paling belakang sementara ia
berada di bangku terdepan. Sesekali ia menoleh ke arah Chilton. Di saat yang
sama, Chilton juga melihat ke arahnya. Delana jadi salah tingkah dibuatnya.
Setelah mata pelajaran selesai,
semua mahasiswa keluar dari kelasnya. Sementara Chilton masih bergeming di
bangkunya sembari menatap punggung Delana yang tak kunjung keluar dari kelas.
Malah sibuk dengan buku di tangannya. Sesekali ia membuka tasnya dan memeriksa
ponselnya. Mungkin dia menunggu pesan dari seseorang.
Delana hampir dibuat gila dengan
materi pelajaran yang berbeda dengan yang ada di dalam bukunya. Ia beberapa
kali mencoba untuk browsing di Google
karena ada beberapa materi yang sama sekali tidak bisa masuk ke dalam otaknya.
Delana menggaruk kepalanya
beberapa kali. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang sudah
kosong. Matanya kemudian tertuju pada Chilton yang sedang menatapnya. Delana
tersenyum, ia menutup buku tulis dan memegangnya dengan erat. Ia bangkit dari
kursinya dan berjalan menghampiri Chilton untuk menanyakan materi pelajaran
yang sama sekali tidak ia mengerti.
“Aku boleh nanya sesuatu nggak?”
tanya Delana begitu sampai di hadapan Chilton yang duduk sendiri di bangkunya.
Ia memeluk buku tulis di dadanya.
“Nanya apa?” tanya Chilton
menatap Delana.
“Aku nggak paham sama sekali
sama materi yang dikasih dosen tadi.”
“Oh, duduk sini!” pinta Chilton
menunjuk bangku kosong yang ada di sampingnya.
Tak pernah ada cewek lain yang
diminta duduk di bangku itu selain Delana. Mungkin karena sikapnya yang dingin
dan jarang sekali mengajak bicara. Terlebih, ia lebih memilih untuk membuat
banyak cewek untuk pergi darinya daripada harus sakit hati karena cintanya
selalu ditolak oleh Chilton.
Delana menjatuhkan tubuhnya di
kursi yang berada di samping Chilton.
“Tanya yang mana?” tanya
Chilton.
Delana membuka buku catatannya
dan menunjukkan salah satu materi yang tak selesai ia tulis.
“Oh, ini?” Chilton menarik buku
Delana kemudian menjelaskan beberapa materi yang ditanyakan. Ia tak banyak
basa-basi dan langsung menjawab seperlunya.
“Makasih, ya!” Delana langsung
menutup buku catatannya setelah menanyakan materi yang tidak ia pahami
sepanjang dosen menyampaikannya.
“Paham?”
Delana menganggukkan kepala.
Walau sebenarnya ia tidak begitu paham. Ia tak ingin terlihat bodoh di hadapan
Chilton.
Chilton tersenyum.
Delana bangkit dari tempat
duduknya. Ia melangkahkan kaki perlahan. Baru selangkah, ia menghentikan
langkahnya dan membalikkan tubuh menghadap ke arah Chilton.
“Masih mau tanya lagi?” tanya
Chilton.
Delana tersenyum. Ia
menggelengkan kepala dan membalikkan tubuhnya kembali membelakangi Chilton.
Belum sampai ia melangkah, ia membalikkan tubuhnya lagi menghadap ke Chilton.
Chilton mengerutkan dahi melihat
tingkah Delana di hadapannya.
“Mmh... besok pagi bisa ketemu
di taman?” tanya Delana.
“Taman?” Chilton mengernyitkan
dahinya.
Delana menganggukkan kepalanya
sambil tersenyum, “Aku tunggu besok pagi, ya!” Delana langsung ngeloyor pergi
tanpa menunggu jawaban dari Chilton. Entah cowok itu akan bilang iya atau
tidak, ia akan tetap menunggunya.
Chilton menggeleng-gelengkan
kepala menatap kepergian Delana. Ia heran dengan sikap cewek yang satu ini.
Entah kenapa, ia jadi lebih sering tersenyum setiap kali melihat tingkah laku
dan senyuman cewek itu.
Delana terus tersenyum sampai ia
duduk di bangkunya kembali dan memasukkan bukunya ke dalam tas. Ia mengambil
dompet dan ponsel dari dalam tas, memindahkan ke sakunya dan berjalan keluar
kelas.
“Eh!?” Delana menghentikan
langkahnya begitu sampai di pintu kelas. Ia berjalan mundur beberapa langkah
dan menoleh ke arah Chilton yang masih duduk sendiri di bangkunya.
“Nggak ngantin?” tanya Delana.
Chilton menggelengkan kepala. Di
tangannya, ia sudah memegang smartphone
dan sudah membuka salah satu game online yang sedang hits.
Delana tak bertanya lagi. Ia
langsung bergegas menuju kantin untuk membeli beberapa minuman dan snack. Ia
lebih memilih taman kampus sebagai tempatnya menikmati waktu istirahat.
“Huft, andai aja dia di sini.
Lagian, betah amat di dalam kelas sendirian,” celetuk Delana lirih.
Ia mengambil ponsel di sakunya
dan mulai membuka beranda media sosial untuk melihat update terbaru seputar
teman dan lingkungannya.
Sembari mengunyah snack yang ia
beli, ia terpikir untuk mencari nama Chilton di Instagram. Ada beberapa nama
yang muncul tapi tidak ia kenal semua.
“Masa dia nggak punya akun Instagram
sih?” tanyanya pada diri sendiri.
Delana terus berpikir, akhirnya
ia menulis hashtag nama kampusnya di
kolom search. Ia yakin, pasti ada update terbaru seputar kampus dan bisa saja
ia menemukan akun Chilton di dalamnya.
Delana memainkan mulutnya
sembari men-scroll layar ponselnya.
Di hashtag kampus tak ada satu pun
postingan yang bisa membawanya ke akun pribadi milik Chilton. Ada beberapa foto
Chilton yang memang sengaja diambil oleh fans-fansnya namun tetap saja tidak
begitu berarti untuk Delana karena foto-foto itu diambil dari kejauhan.
Delana menghela napas dan
menyerah mencari akun pribadi milik Chilton. Padahal dia sudah berniat untuk stalking akun cowok yang satu itu.
Akhirnya ia memilih untuk login ke salah satu game online untuk mengusir badmood
yang tiba-tiba menyerangnya.
***
Pagi ini, Delana mengajak
bertemu dengan Chilton di taman. Delana sudah duduk di kursi taman, menunggu
Chilton muncul seperti biasa.
Delana tersenyum saat sosok
Chilton muncul dari ujung jalan, berlari pagi seperti biasa dan semakin
mendekat ke arah Delana.
“Hai!” sapa Delana sembari
tersenyum ceria begitu Chilton berhenti di hadapannya.
Chilton tidak membalas. Ia
langsung duduk di samping Delana, “Ada apa?” tanya Chilton tanpa menoleh ke
arah Delana. Ia tak banyak basa-basi. Ia tahu, cewek yang mengajaknya bertemu
biasanya ingin mengutarakan perasaannya. Chilton sudah bersiap menolak perasaan
Delana apabila cewek itu mengungkapkannya.
“Sudah sarapan?” tanya Delana.
“Belum.”
Delana tersenyum, ia mengambil tempat
nasi dan menyodorkan ke Chilton, “Aku bikin nasi goreng, mau?”
Chilton menoleh ke arah Delana.
Menatap cewek itu sesaat kemudian mengalihkan pandangannya pada kotak bekal
yang masih ada di tangan Delana.
Delana tersenyum riang, ia menganggukkan
kepalanya sedikit sebagai tanda perintah agar Chilton mengambilnya.
Chilton tersenyum kecil dan
meraih kotak bekal pemberian Delana. Ia
membuka kotak itu perlahan dan terpaku melihat isinya. Nasi goreng yang dicetak
berbentuk sepatu itu berhasil membuatnya tertawa dalam hati. Ia belum pernah
mendapat bekal makanan seperti ini. Entah kenapa Delana membuatnya berbentuk
sepatu. Kenapa tidak berbentuk hati seperti cokelat dan kue yang ia terima dari
beberapa cewek-cewek yang menyukainya.
“Kenapa bentuknya sepatu?” tanya
Chilton sembari mengamati nasi goreng berbentuk sepatu dengan topping saos,
mayonaise, tomat, wortel, sawi, dan kacang polong yang disusun sedemikian rupa
hingga terlihat cantik.
“Hmm ... tadinya aku mau bikin
bentuk hati gitu. Tapi nggak jadi karena aku lebih sering melihat sepatumu
ketimbang hatimu. Aku nggak tahu hatimu bentuknya kayak gimana. Hehehe,” jawab
Delana ngasal sambil cengengesan.
Chilton menggelengkan kepala
sambil tertawa dalam hati.
“Kalo mau ketawa, ketawa aja!
Nggak usah ditahan-tahan!” celetuk Delana.
Chilton tertawa kecil menanggapi
ucapan Delana. Ia menatap nasi goreng yang dicetak berbentuk sepatu itu.
Delana tersenyum karena
sepertinya Chilton menyukai bekal makanan buatannya. Ia menyodorkan sendok ke
arah Chilton, “Ini sendoknya.”
“Makasih,” Chilton meraih sendok
itu dan mencicipi masakan Delana perlahan.
Jantung Delana berdebar saat
Chilton menyuap makanan pertama kali. Ada rasa cemas kalau cowok itu tidak suka
dengan masakannya. Ia terlihat tegang menatap Chilton yang mulai mengunyah nasi
goreng buatannya perlahan. Ia menelan ludah begitu melihat Chilton menghentikan
kunyahannya.
“Oh,
My God ...! Dia nggak suka masakanku? Aku harus gimana?” bisiknya dalam hati.
Chilton menatap Delana serius
kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Enak!” ucapnya. Kemudian ia
menyuapkan lagi dengan porsi yang lebih banyak sampai mulutnya penuh dan
kesulitan bicara.
“Pelan-pelan makannya, nanti
tersedak!” tutur Delana sambil tersenyum bahagia karena Chilton menyukai nasi
goreng buatannya.
“Ini masak sendiri?” tanya
Chilton dengan mulut masih penuh. Ia kesulitan menelan makanan, Delana dengan
cekatan menyodorkan botol minuman ke hadapan Chilton. Chilton tersenyum menatap
Delana dan meraih botol yang diberikan Delana.
Delana menganggukkan kepala,
“Suka?”
Chilton mengangguk, “Kirain
cewek kayak kamu nggak bisa masak.”
“Apa aku kelihatan seburuk itu?”
tanya Delana.
Chilton tertawa kecil sambil
terus memakan nasi goreng buatan Delana, “Kelihatannya begitu.”
Delana mengerucutkan bibirnya.
Ia tak mengerti kenapa Chilton menyangka dirinya tidak bisa memasak. Padahal,
sudah jelas dia perempuan. Delana menyentuh rambutnya yang mulai panjang.
Mungkin, penampilannya yang seperti anak laki-laki membuat Chilton mengiranya
tidak bisa memasak.
“Boleh minta resepnya?” tanya
Chilton.
“Resep apa?” tanya Delana.
“Ini,” Chilton mengangkat kotak
bekal yang ada di tangannya.
“Oh.. resep mah gampang. Di Google
juga banyak,” jawab Delana.
“Google?”
“Iya.”
“Aku pernah ngikutin resep dari Google.
Hasilnya gagal.”
“Oh ya? Serius?”
Chilton menoleh ke arah Delana,
“Apa kelihatan lagi bercanda?”
“Hehehe, enggak, sih.” Delana
tersenyum. “Emang bisa masak juga?”
“Bisa. Masakanku lumayan enak,
walau belum seenak ini.”
“Oh ya? Kalau kamu mau, aku bisa
buatkan lagi.”
“Kalo enggak ngerepotin.”
“Ya, nggak lah.”
Chilton mengangguk-anggukkan
kepala sambil terus mengunyah suapan terakhirnya.
“Nasi goreng ini nggak gratis,”
tutur Delana. Ia menatap Chilton sambil tersenyum.
“Eh!?” Chilton spontan menatap
Delana yang duduk di sampingnya. ”Kenapa baru ngomong pas nasinya udah habis?”
celetuk Chilton dengan mulut yang masih penuh.
Delana tergelak melihat ekspresi
wajah Chilton yang terkejut.
“Berapa duit?” tanya Chilton
sembari merogoh saku celananya. “Kalo jualan tuh ngomong dari awal!” gerutunya.
Delana cekikikan, “Aku nggak mau
dibayar pake duit,” Delana tersenyum menatap Chilton.
Chilton menatap tajam ke arah
Delana. Ia menilai cewek ini memberikannya sarapan enak supaya bisa menarik
perhatiannya.
“Trus, pake apa?” tanya Chilton.
“Kalau harus bayar pake cinta, aku nggak
bisa.”
Delana tersenyum sembari
menggelengkan kepalanya, “Nggak. Aku tahu kalau cinta nggak seharusnya dihargai
seharga satu porsi nasi goreng.”
Chilton tertawa dalam hati saat mendengar
ucapan Delana.
Memang benar, cinta tidak bisa
dihargai seharga satu porsi nasi goreng. Tapi, cinta bisa dimulai dari satu
porsi nasi goreng. Delana percaya, bahwa suatu hari nanti ia pasti berhasil
membuat Chilton menyukainya.
Chilton menaikkan kedua alisnya,
ia tak menyangka kalau cewek itu punya permintaan lain selain meminta cinta dan
perhatian darinya. Tidak seperti cewek-cewek lain yang dengan cepat
mengungkapkan perasaan suka terhadapnya saat mengirimkan hadiah-hadiah. Hadiah
yang selalu berakhir tragis di tempat sampah sebelum dibuka.
“Aku punya permintaan.”
Chilton menoleh ke arah Delana,
“Apa itu?”
“Aku mau duduk sebangku sama
kamu, boleh nggak?”
Chilton mengernyitkan dahinya. Baginya, pertanyaan itu sangat aneh. Lebih
aneh lagi kalau dia menolak permintaan Delana yang sesederhana itu. Hanya minta
duduk sebangku dengannya. Chilton terbiasa dengan mudah menolak cewek yang
mengungkapkan perasaan terhadapnya. Tapi, kalau hanya ingin menjadi teman
sebangku, apa pantas jika dia menolaknya?
“Gimana?” tanya Delana.
“Mmh..” Chilton mengusap dagunya
sambil berpikir.
“Boleh, dong! Boleh ya! Boleh
kan? Please!” Delana menangkupkan
kedua telapak tangannya, memohon agar Chilton memberi kesempatan untuk duduk
sebangku dengannya.
“Oke, deh!”
“Yeay...! Makasih...!” seru Delana.
Chilton tersenyum kecil melihat
Delana terlihat begith riang.
“Aku agak kesulitan belajar.
Entah kenapa, materinya selalu beda sama buku yang aku bawa. Padahal jadwalnya
udah bener.” Delana menghela napas lesu.
Chilton mengernyitkan dahinya
sembari menatap Delana, “Beda? Emangnya kamu pindahan dari universitas mana?”
“Eh!? Kok, pindahan? Aku
mahasiswa baru.”
“Hah!? Serius?” tanya Chilton.
Ia menutup mulutnya dengan genggaman tangan untuk menahan tawa.
“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya
Delana.
“Iya,” Akhirnya Chilton tergelak
dan tak bisa menahan tawanya.
“Kenapa sih?” tanya Delana
polos. Ia masih tak paham kenapa Chilton tiba-tiba menertawakannya.
“Kamu tuh salah kelas!” sahut
Chilton sembari menahan tawanya.
Delana membelalakkan matanya. Wajahnya
merah merona karena malu. Bagaimana bisa dia salah masuk kelas. Kenapa selama
ini tidak ada yang menyadarinya dan membiarkan Delana masuk ke dalam kelas yang
salah.
Delana menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Bagaimana bisa ia salah masuk kelas sudah satu minggu? Ini gila!
Tidak ada satupun dosen atau teman sekelasnya yang bertanya apakah dia murid
baru atau pindahan. Atau, karena dia masuk kelas dengan percaya diri, membuat
teman-teman sekelasnya mengira kalau dia adalah mahasiswi pindahan.
“Kamu baru, kan? Tuh, kelas kamu
di sana!” Chilton menggenggam kedua pundak Delana, memutar tubuhnya menghadap
ke gedung kampus. Chilton menunjuk ke arah kelas Delana yang seharusnya. Kelas
nomor tiga yang berada di lantai dasar.
Delana menghela napas, ia
memukuli kepalanya sendiri. Ia terlihat sangat bodoh. Bagaimana ia bisa masuk
ke kelas yang salah. Dan lebih parahnya lagi, ia masuk ke kelas yang lebih
tinggi setingkat darinya. Ini benar-benar konyol! Kalau Belvi dan Ivona tahu,
mereka pasti akan menertawakan Delana habis-habisan.
Ia tidak hanya malu, tapi juga
kecewa karena ternyata tidak bisa duduk sebangku dengan Chilton. Padahal,
Chilton sudah bersedia untuk duduk bersamanya.
“Huft,
baru juga seneng bentar, udah langsung dipatahin harapanku,” batin Delana dalam hatinya.
Delana tak bersemangat
membereskan bekas makan Chilton. Ia memasukkan kembali kotak bekal tersebut ke
dalam tasnya kemudian beranjak dari tempat duduknya.
“Mau ke mana?” tanya Chilton
melihat Delana sudah berdiri sembari menjinjing
tasnya.
“Ke kelas.”
Chilton melirik arloji yang ada
di pergelangan tangannya, “Jam masuk masih lima belas menit lagi.”
“Masuk lebih dulu lebih baik,”
Delana melangkahkan kakinya perlahan.
“Oke. Hati-hati ya! Jangan
sampai salah kelas lagi!” serunya.
Delana membalikkan tubuhnya,
menatap tajam ke arah Chilton yang sedang menertawakan dirinya, kemudian
melanjutkan kembali langkahnya menyusuri jalan taman, koridor, dan masuk ke
dalam kelasnya.
Delana duduk di salah satu kursi
kosong tanpa memperdulikan beberapa pasang mata yang terus menatapnya. Ia
mengeluarkan ponsel dari tasnya dan mulai bermain game online sembari menunggu
dosen datang.
“Siapa
dia? Kok, bisa ngobrol sama kakak kelas yang ganteng itu?”
“Katanya,
cowok itu selalu menolak didekati cewek-cewek cantik. Kenapa dia mau deketan
sama dia?”
“Iya.
Dia terlalu biasa. Nggak cantik!”
Terdengar beberapa cewek sekelas
sedang membicarakan Delana. Delana tidak peduli, ia pura-pura tidak
mendengarkan ucapan dari teman-teman sekelasnya.
Lima belas menit kemudian, dosen
pengajar sudah masuk ke dalam kelas untuk memberikan materi.
Kali ini, Delana tidak terlalu
kesulitan karena materi yang disampaikan sesuai dengan buku pegangannya.
Delana mengedarkan pandangannya
ke sekeliling ruangan. Baru sehari ia bisa menikmati satu kelas dengan Chilton.
Waktu begitu cepat mengubah keadaan.
Delana beberapa kali menoleh ke
belakang. Ia merindukan sosok Chilton yang menatap ke arahnya setiap kali ia
menoleh ke belakang.
Mata pelajaran telah usai. Semua
mahasiswa berhambur keluar kelas. Delana perlahan membereskan bukunya dan ikut
melangkahkan kaki keluar dari kelas.
***
Delana merebahkan tubuhnya ke
atas kasur begitu sampai di rumah. Siang ini panas terik dan dia berjalan kaki
pulang ke rumah. Lumayan membuat kulitnya serasa terbakar karena ia tidak
membawa payung, juga lupa membawa topi untuk menghindari panasnya terik
matahari. Ia menyalakan AC kamar dan menikmati hawa dingin yang mulai merasuk
ke pori-pori kulitnya.
Hari ini dia bahagia karena bisa
mengobrol dengan Chilton. Ia merasa, begitu mudah mengajaknya bicara. Cowok
yang terkenal dingin dan tidak banyak bicara itu terlihat berbeda di depan mata
Delana. Chilton tak sedingin yang dibilang orang. Ia juga tidak sombong. Ia
cukup banyak berbicara dan sesekali tersenyum. Bagi Delana, itu merupakan
langkah yang cukup baik untuk bisa mendapatkan cinta Chilton.
Delana bangkit, ia membuka tas
dan mengambil kotak bekal bekas makan Chilton. Ia tersenyum bahagia memeluk
kotak itu. Rasanya, ia tak ingin mencuci kotak bekal itu supaya bekas tangan
Chilton tidak hilang dari situ.
Delana tak bisa menahan perasaan
bahagianya dan ingin segera menceritakan kejadian hari ini kepada kedua
sahabatnya. Ia menelepon Ivona, tapi tak dijawab. Kemudian ia menelepon Belvi
dan langsung mendapatkan jawaban.
“Halo, Belvi!”
“Ya. Kenapa?” tanya Belvi
melalui sambungan telepon.
“Aku mau cerita sesuatu sama
kamu.”
“Cerita apa?”
“Aku tadi ketemuan sama Chilton.
Aku bikinin dia nasi goreng dan dia suka banget!” seru Delana dengan perasaan penuh
kebahagiaan.
“Oh ya? Bagus, dong.”
“Iya. Aku seneng banget!”
“Iya. Mudah-mudahan berhasil
dapetin dia ya! Oh ya, aku masih di kampus. Nanti lagi teleponnya ya,” Belvina
langsung mematikan sambungan telepon.
“Iih, kalian pada sibuk terus!”
maki Delana pada layar ponselnya.
Ia meletakkan ponselnya dan
bergegas membersihkan badan. Ia terus bersenandung riang sembari menyelesaikan
pekerjaan rumahnya.
***
Chilton langsung masuk ke kamar
yang ada di asrama kampus. Kebetulan, kamarnya ada di lantai tiga. Ia membuka
tirai jendela dan menikmati pemandangan jalanan. Hanya ada mobil dan motor lalu
lalang. Kemudian, matanya tertuju pada sosok cewek yang sedang berjalan kaki di
trotoar, kemudian memasuki gang yang bisa terlihat dengan baik dari jendela
kamarnya. Ia terus menatap cewek itu sampai ia tak terlihat lagi karena
tertutup bangunan di sekitarnya.
Ia tersenyum sembari
melangkahkan kaki mendekati ranjang tidurnya. Cewek itu telah berhasil
menciptakan senyuman di bibirnya. Senyuman yang jarang sekali ia perlihatkan
pada orang lain. Semenjak ia mengenal Delana, ia jadi lebih banyak tersenyum
sendiri.
Chilton merebahkan tubuhnya di
atas ranjang sembari menatap langit-langit kamar. Ia merasa perasaannya kali
ini jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Ada hal aneh yang menyelimuti
dirinya semenjak mengenal gadis sederhana bernama Delana. Ia bahkan tidak bisa
bersikap cuek di hadapan cewek itu.
Tak ada satu orang pun yang tahu
perubahan dalam hati, bahkan dirinya sendiri. Ia sendiri tak mengerti kenapa
bisa bersikap baik dengan cewek itu. Senyuman cewek itu terlihat begitu tulus
dan... ia nyaman. Namun, ia sendiri belum bisa memastikan apakah ia menyukai
cewek itu atau tidak. Bisa jadi ia hanya nyaman sebagai teman, tidak lebih dari
itu.
((Bersambung))