“Chan, makasih ya udah temenin aku!” tutur Amara saat ia terbangun dari
tidurnya.
Chandra mengangguk kecil. Ia menatap keluar jendela. Sinar bulan di langit
telah berganti menjadi sinar mentari yang menghangatkan. Ia teringat pada Jheni
yang telah ia abaikan semalam.
“Mau ke mana?” tanya Amara saat melihat Chandra mulai beranjak.
“Mau pulang. Aku masih ada urusan penting.”
“Chan!” Amara menahan lengan Chandra.
“Umh.”
“Maafin aku!” pinta Amara.
“Masa lalu kita, nggak perlu dibahas lagi,” tutur Chandra lirih.
“Chan, aku bener-bener nyesel sama apa yang udah aku lakuin ke kamu selama
ini. Cuma kamu yang selalu ada buat aku di saat aku susah. Kamu yang selalu
melindungi aku. Selalu maafin aku setiap kali aku bikin kesalahan.”
Chandra tersenyum kecil. “Semuanya sudah terlambat. Kita emang nggak jodoh.
Sekuat apa pun aku berusaha mempertahankan hubungan kita. Akhirnya, tetap
berpisah juga.”
“Chan, ini semua salahku. Hidup aku jadi berantakan kayak gini, karena
kesalahanku sendiri. Please, maafin aku!”
“Aku nggak pernah nggak maafin kamu, Amara,” sahut Chandra. Ia bangkit dari
kursi.
“Chandra!” Amara langsung memeluk tubuh Chandra. “Bisakah kita kembali
kayak dulu lagi?”
Chandra berusaha melepas pelukan Amara.
Amara semakin mengeratkan pelukannya. “Chan, aku janji bakal memperbaiki
semuanya. Izinkan aku menebus kesalahanku di masa lalu!” pinta Amara sambil
melirik ke arah pintu ruangan. Ia tersenyum melihat wajah Jheni ada di balik
kaca pintu tersebut.
Chandra melepas pelukan Amara perlahan. “Aku sudah maafin kamu, bukan
berarti kita bisa punya hubungan kayak dulu lagi.”
Amara menatap wajah Chandra dengan mata berkaca-kaca.
Chandra tersenyum dan berbalik.
“Chan, kasih aku kesempatan sekali lagi!” pinta Amara sambil memeluk
Chandra dari belakang. “Kalau memang nggak bisa kembali kayak dulu lagi.
Bisakah kita berteman?”
Chandra menoleh ke belakang. Semua masa lalu baginya terlalu menyakitkan
tapi juga sulit untuk dilupakan. Saat ini, ada Jheni yang selalu mendukungnya
dalam banyak hal.
Chanda menarik napas dalam-dalam. “Amara, kamu sudah menikah. Seperti apa
pun suamimu, dia tetap pria yang kamu pilih. Hormatilah dia!”
“Chan, aku udah nggak sanggup nahan ini semua. Aku cuma butuh seseorang
yang mau dengerin aku, meringankan semua permasalahan yang sedang aku hadapi.”
Chandra menghela napas. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi Amara kali
ini. Ia melepaskan pelukan Amara perlahan. “Sebagai teman, aku pasti bantu
kamu. Tapi kita tetap punya batasan. Kamu sudah menikah dan aku tidak akan
mencampuri urusan rumah tangga kamu.”
“Aku tahu, Chan. Aku bakal nyelesaikan urusanku sama Harry. Tapi, aku mohon
sama kamu supaya kamu bisa bantu aku. Setidaknya, preman-preman itu nggak
terus-terusan ngejar aku.”
Chandra mengangguk kecil. Ia melangkah perlahan keluar dari ruang rawat
Amara.
Sementara itu ...
Jheni terduduk lemas di salah satu balkon rumah sakit sambil memeluk kotak
bekal yang sengaja ia buat untuk Amara. Ia pikir, Chandra akan memilih tetap
berada di sisinya dan sama-sama memperdulikan Amara yang sedang sakit.
“Chan, kenapa kamu sejahat ini sama aku? Kenapa aku bener-bener nggak
berdaya menghadapi Amara?” gumam Jheni sambil terisak saat mengingat Chandra
dan Amara berpelukan di dalam ruang pasien tersebut.
“Aargh ...! Jheni, kenapa kamu sepayah ini sih?” teriak Jheni. Ia menunduk
lemas.
Banyak hal yang telah ia lakukan untuk Chandra. Sampai di saat ia
mengetahui Chandra juga mencintainya, di saat yang bersamaan masa lalunya
kembali dan membuat Jheni kembali tidak berdaya. Ia belum bisa mendapatkan hati
Chandra sepenuhnya.
Jheni mengambil ponsel dan langsung menelepon Yuna.
“Halo ...!” sapa Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.
“Yuna ...!” seru Jheni sambil terisak.
“Kamu kenapa, Jhen?” Suara Yuna terdengar sangat panik.
“Chandra, Yun. Chandra ...”
“Chandra kenapa?”
“Chandra ... balik sama Amara lagi. Huuuaaa!” Tangis Jheni semakin
menjadi-jadi.
“Jhen, nggak mungkin dia balik sama Amara lagi. Amara udah nikah sama
Harry.”
“Tapi, aku baru aja lihat mereka pelukan. Kayaknya, Chandra emang belum
bisa ngelupain Amara. Aku harus gimana?”
“Udah, jangan nangis! Kamu tenang dulu! Sekarang, kamu ada di mana?”
“Aku masih di balkon lantai tiga rumah sakit,” jawab Jheni sesenggukkan.
“Oke. Aku ke sana sekarang! Kamu jangan ke mana-mana! Tunggu aku di sana!
Jangan nekat ya! Lompat dari lantai tiga nggak bakal bikin kamu mati, tapi
bikin kamu cacat seumur hidup! Awas sampai macem-macem! Aku udah keluar kantor
nih, langsung ke sana.”
Jheni terisak menanggapi ucapan Yuna. “Aku sama sekali nggak kepikiran buat
lompat dari sini. Tapi, kata-kata kamu bikin aku jadi kepikiran buat lompat
dari sini!” seru Jheni.
“Astaga! Kamu jangan nekat, Jhen! AKU KE SANA SEKARANG!” Yuna langsung
mematikan ponselnya.
Jheni menghapus air matanya. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan
dirinya sendiri. “Nggak boleh sedih, Jhen! Kamu pasti bisa dapetin hati Chandra
sepenuhnya, nggak boleh nyerah!” tegasnya menghibur diri sendiri.
Beberapa menit kemudian, Yuna datang dan membawanya keluar dari rumah
sakit.
“Yun, apa aku emang nggak pantes buat dicintai?” tanya Jheni sambil memeluk
Yuna saat mereka sudah berada di dalam taksi.
“Siapa yang bilang begitu? Aku kan selalu mencintai kamu sepenuh hati. Kamu
nggak lihat cinta sahabat kamu ini besar banget, hah!?”
Jheni menengadahkan kepalanya menatap Yuna. Ia tersenyum kecil. “Aku juga
cinta sama kamu. Tapi kita nggak akan bisa menikah, huuaaa ...” Jheni mulai
terisak lagi.
“Iya, iya. Aku tahu.” Yuna mengelus lembut pundak Jheni. “Lagian, kenapa
sih kamu harus jatuh cinta sama cowok bodoh kayak Chandra itu. Kan masih banyak
cowok lain.”
“Yun, kalo bisa milih cowok lain, aku udah pilih. Tapi perasaan nggak bisa
dibohongi. Aku udah coba buat mikirin cowok lain, tapi tetep aja si Chandra
yang selalu ada di pikiranku. Kenapa sih nasib percintaanku nggak sebaik kamu?”
tutur Jheni.
“Jhen, urusan percintaanku juga nggak mulus. Kamu tahu sendiri kalau banyak
yang harus aku hadapi. Refina yang terang-terangan mau balik ke Yeriko lagi dan
orang-orang yang menginginkan hubungan kami berakhir. Kamu harus tanya sama
hati kamu sendiri. Kalau emang cinta, jangan menyerah! Kalau nggak bener-bener
cinta, lebih baik lepaskan daripada kamu sakit!” tutur Yuna lirih.
Jheni menatap Yuna dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu apa yang sudah
dilewati oleh sahabatnya itu dan Yuna tetap berdiri tegar.
“Jhen, hubunganku dan Yeriko jauh lebih rumit. Saat kami berantem, kami
nggak bisa bilang putus dengan mudah seperti orang yang lagi pacaran. Awalnya,
aku nggak yakin sama pernikahan yang aku jalani. Nggak yakin akan bertahan
lama. Tapi ... sikap Yeriko yang bikin aku yakin kalau kita bisa bertahan walau
awalnya kami tidak saling mencintai. Sekarang, banyak hal yang harus kami
hadapi bersama. Jadi menantu keluarga Hadikusuma ternyata nggak mudah.”
“Jhen, kamu nggak perlu sesedih ini. Chandra udah ngungkapin perasaannya ke
kamu. Kalau emang dia cinta sama kamu. Dia pasti balik ke kamu lagi, Jhen.”
Jheni mengangguk kecil.
“Bukannya kamu pernah bilang kalau kita harus melakukan banyak kebaikan
untuk orang yang kita cintai sampai orang itu nggak bisa menemukan orang lain
lagi yang lebih baik dari kita?”
Jheni tersenyum menatap Yuna. “Kamu masih ingat, Yun?”
“Selalu ingat!” jawab Yuna sambil tersenyum. “Karena ... Bunda juga selalu
mengajarkan banyak kebaikan. Aku nggak akan pernah lupa.”
Jheni tersenyum. “Iya, Yun. Itu juga alasanku kenapa aku selalu melakukan
banyak hal untuk Chandra. Kalau suatu saat kami memang nggak berjodoh.
Setidaknya, aku bisa jadi satu-satunya orang yang akan selalu dia ingat seumur
hidupnya.”
“Kalo gitu, jangan sedih lagi ya! Aku yakin Chandra nggak akan balik lagi
sama Amara. Aku bakal bantu kamu memperbaiki hubungan kalian.”
Jheni mengangguk. Ia sangat beruntung memiliki sahabat seperti Yuna.
Melakukan banyak hal untuknya.
(( Bersambung ... ))
Salam hangat dari persahabatan penuh cinta...
Ikuti terus keseruan kisah Chan & Jhen ya!
Thank you so much... I Love you double-double
Much Love,
@vellanine.tjahjadi