Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Thursday, March 13, 2025

Perfect Hero Bab 183 : Best Husband || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Ini masih jam setengah delapan. Mau belanja dulu?” tanya Yeriko setelah mereka keluar dari kedai ice cream.

 

“Mmh ... belanja apa?”

 

Yeriko mengedikkan bahu. “Siapa tahu, ada yang kamu butuhin. Mumpung masih di luar nih.”

 

“Oke. Kita lihat-lihat dulu ya! Mau?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. Ia segera membawa Yuna ke salah satu pusat perbelanjaan.

 

Walau hanya memakai piyama pendek, Yuna melenggang penuh percaya diri. 

 

Yeriko menatap wajah Yuna sambil berjalan.

 

“Eh!? Kenapa?”  tanya Yuna sambil menghentikan langkahnya.

 

Yeriko memutar kepala Yuna sambil memperbaiki posisi headband yang dipakai oleh Yuna.

 

“Berantakan ya?” tanya Yuna sambil menyisir rambutnya menggunakan jari.

 

“Udah rapi,” jawab Yeriko sambil tersenyum.

 

“Hehehe. Ke sana yuk!” ajak Yuna sambil menunjuk toko pakaian. “Aku mau cari jeroan.”

 

“Jeroan?” Yeriko mengernyitkan dahi.

 

“Iih ... nggak usah diperjelas!” Yuna langsung menarik lengan Yeriko masuk ke dalam toko.

 

Yuna menghentikan langkahnya saat melihat lukisan yang ada di dalam toko.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko.

 

“Astaga! Aku sampe lupa!” seru Yuna sambil menepuk dahinya.

 

“Kenapa?”

 

“Ini tanggal berapa?”

 

“Tanggal dua belas.”

 

“Bunda Yana ngundang kita ke acara pameran Dekranasda. Aku kok sampe lupa ya?”

 

“Oh.”

 

“Oh!?” Yuna mengernyitkan dahi menatap Yeriko. “Tanggal empat belas ini udah penutupan. Nggak enak kalo nggak pergi ke sana.”

 

“Kita datang pas acara penutupan aja. Masih ada waktu dua hari.”

 

“Oke.” Yuna mengerdipkan mata ke arah Yeriko.

 

“Sekalian aja cari baju buat ke pameran nanti!” pinta Yeriko.

 

“Mmh ... beliin ya!” pinta Yuna.

 

Yeriko tertawa kecil. “Kamu perhitungan banget? Kartu kredit yang aku kasih belum kamu pakai?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Kalo gitu, pakai sekarang buat beli baju dan traktir aku ngopi!”

 

“Eh!?” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku nggak bawa dompet,” tuturnya sambil menatap manja ke arah Yeriko.

 

Yeriko menaikkan kedua alisnya.

 

“Kamu narik aku keluar rumah cuma pake piyama doang. Kamu bahkan nggak ngasih aku kesempatan buat ngambil dompet sama hape.” Yuna memonyongkan bibirnya.

 

Yeriko tertawa kecil. “Oke. Aku yang bayarin. Lain kali, kamu harus pake kartu kredit yang aku kasih ke kamu!”

 

“Belum tahu mau dipake buat apa.”

 

“Buat traktir Jheni dan Icah belanja juga bisa.”

 

“Hah!? Kamu nggak sayang sama uang kamu sendiri? Kamu yang capek kerja setiap hari, masa aku main habis-habisin aja.”

 

“Aku lebih sayang sama kamu.”

 

“Uch ... so sweet!” seru Yuna sambil mencubit kedua pipi Yeriko. “Ayo, kita belanja!” serunya sambil berbalik dan melangkah mengitari isi toko.

 

 

 

BRUG ...!

 

Langkah kaki dan mata Yuna yang tidak searah, membuatnya menabrak wanita setengah baya yang juga sedang berbelanja di toko tersebut.

 

“Tante!?” Yuna membelalakkan matanya saat bertemu dengan Mega.

 

“Kamu!? Kalo jalan hati-hati ya!” sentak Mega sambil menatap wajah Yuna.

 

“Maaf, Tante. Aku nggak sengaja.”

 

“Kenapa, Ma?” tanya Bellina yang langsung menghampiri Mega.

 

“Nggak papa. Ini anak kalo jalan nggak lihat-lihat. Nabrak Mama seenaknya.”

 

“Yuna? Kenapa kamu cari masalah terus?” tanya Melan. “Kamu pasti sengaja kan nabrak mamanya Lian?”

 

“Astaga ...! Aku nggak sengaja. Suer dah!” sahut Yuna.

 

“Iya. Matamu itu nggak lihat jalan. Kenapa? Terpesona sama baju-baju di sini yang bagus-bagus?” sahut Mega.

 

Yuna menarik napas. Ia mencoba mengendalikan emosinya. Ia tersenyum sambil menatap Mega. “Iya, Tante. Baju di sini semuanya bagus-bagus. Rasanya, pengen aku beli semua.”

 

“Sombong banget!” sahut Bellina. “Kamu ke sini aja cuma pake piyama sama sandal. Sama sekali nggak berkelas. Emangnya ada yang percaya kalo kamu bisa beli semua baju yang ada di sini?”

 

Yuna tersenyum menanggapi ucapan Bellina. “Iya, emang. Aku ke sini cuma pake piyama doang. Emang kenapa kalo aku bisa borong semua baju yang ada di sini? Kamu yang pakai baju super bagus ini, masih kalah isi dompetnya sama cewek gembel kayak aku?”

 

“Kamu ...!?” Bellina geram mendengar reaksi Yuna yang justru menjatuhkan harga dirinya. Mega dan Melan juga ikut geram melihat tingkah Yuna.

 

Yuna menjulurkan lidah, ia menggoyangkan tubuhnya dan berbalik.

 

“Anak sama mama sama aja kelakuannya!” seru Mega. “Sama-sama kecentilan!”

 

Yuna menghentikan langkahnya begitu mendengar ucapan Mega. Ia langsung berbalik dan menatap Mega penuh kebencian. “Tante bilang apa?” tanya Yuna sambil mendelik.

 

“Anak sama mama sama-sama kecentilan!” tegas Mega.

 

Yuna langsung melangkah maju dan berusaha menyerang Mega. Namun, tubuh Melan menghalanginya.

 

“Astaga! Aku nggak nyangka kalau kelakuan kamu kayak preman,” tutur Mega sambil mengelus dadanya. “Untung aja si Lian nggak jadi sama kamu.”

 

“Tante jangan ngomong sembarangan ya!” sentak Yuna. “Tante boleh aja ngehina aku, tapi nggak ada satu orang pun yang boleh ngehina Bunda!” teriak Yuna berusaha melepaskan diri dari Melan.

 

“Mbak, tolong bantu saya!” pinta Melan pada penjaga toko.

 

“Ada apa ini?” Yeriko langsung menarik tubuh Yuna dan memeluk pinggang istrinya itu. “Kalian cari gara-gara sama istri saya?”

 

“Istri kamu ini yang cari gara-gara sama saya. Kelakuannya kayak preman gini. Kok, bisa kamu ambil dia jadi istri? Kalo bukan karena sifatnya yang kecentilan itu, nggak mungkin bisa dapetin cowok kaya,” tutur Mega kesal.

 

“Tante jangan ngomong sembarangan ya!” sentak Yuna sambil menunjuk wajah Mega. “Aku nggak kayak gitu.”

 

Mega tersenyum sinis. “Kenyataannya yang terlihat kayak gitu. Kamu sama mama kamu ...”

 

“Jangan hina Bundaku!” teriak Yuna. Ia berusaha melepaskan diri pelukan Yeriko dan menggapai tubuh Mega. “Bunda bukan orang yang seperti itu!”

 

“Yuna, tenang dulu!” pinta Yeriko sambil menarik lengan Yuna dan memeluknya erat.

 

“Gimana aku bisa tenang? Mereka boleh hina aku terus-terusan. Aku nggak terima kalo mereka sampe ngehina orang tua aku!” sahut Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

Yeriko memejamkan mata sambil menarik napas perlahan. Ia menarik tubuh Yuna ke belakang punggungnya dan menatap tajam ke arah Mega dan dua orang yang ada di sampingnya.

 

“Kalian ini masih keluarganya Yuna. Kenapa kalian terus-terusan menindas dia?”

 

“Itu karena kelakuan dia sendiri!” sahut Melan.

 

“Iya. Istri kamu itu, kelakuannya kayak preman. Kecentilan. Udah punya suami, masih aja deketin cowok lain. Dia juga yang udah fitnah Bellina. Bilang kalo Bellina cuma pura-pura hamil. Pasti, karena kamu masih menginginkan Wilian, kan?”

 

Yeriko tersenyum sinis menanggapi ucapan Mega. “Apa Tante pikir, saya nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bukan Yuna yang ngejar Lian. Tapi Lian yang masih ngejar Yuna sampai sekarang. Harusnya, Tante yang bilangin anak Tante buat nggak ngeganggu istri orang!” tegasnya.

 

“Nggak mungkin Lian suka sama cewek kayak gini. Dia nggak punya apa-apa. Cuma ngandalkan wajah cantiknya aja buat godain laki-laki kaya seperti kamu!”

 

“Aku tahu banget siapa istriku. Kalau bukan karena kebaikan hati dia. Aku sudah hancurin hidup kalian!” tegas Yeriko.

 

Melan langsung merangkul lengan Bellina. Ia sangat khawatir kalau Yeriko benar-benar membuktikan ucapannya untuk menghancurkan keluarga mereka.

 

“Aku masih punya hati karena kalian masih keluarga Yuna. Kalau bukan karena Yuna, aku nggak akan ngasih kalian kesempatan buat hidup tenang. Aku cuma butuh satu kata dari Yuna buat ngancurin hidup kalian.”

 

Melan dan Mega saling pandang. Dari tangan mereka, keluar keringat dingin dan tatapan mereka tak menentu.

 

Yeriko tertawa sinis menatap Mega. “Asal Tante tahu, Wijaya Group nggak ada apa-apanya sama group perusahaan saya. Saya bisa bikin perusahaan kalian bangkrut dalam sekejap kalau saya mau.”

 

Mega terdiam. Ia tak berani menghadapi tatapan Yeriko yang begitu menakutkan.

 

“Tante Melan, daripada Tante sibuk menindas Yuna. Lebih baik luangkan waktu yang banyak buat ngurus Bellina dengan baik. Ajari dia buat jadi perempuan yang lebih bermartabat!” Yeriko berbalik dan langsung merangkul Yuna meninggalkan tiga perempuan itu.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Perfect Hero Bab 182 : Ice Cream Full Love

 


“Nonton apaan?” tanya Yeriko sambil menghampiri Yuna yang sedang menatap layar ponsel sambil duduk santai di sofa.

 

“Video kita konferensi pers tadi siang,” jawab Yuna sambil tersenyum.

 

“Oh.” Yeriko duduk di samping Yuna sambil menyalakan rokoknya.

 

“Kamu ganteng banget sih?” tutur Yuna sambil tertawa kecil menatap layar ponselnya.

 

“Baru sadar kalo suami kamu ganteng?”

 

“Udah sadar dari dulu,” jawab Yuna. “Lihat!” Yuna mendekatkan layar ponselnya ke wajah Yeriko. “Ternyata, di kamera aku imut banget ya?”

 

Yeriko tersenyum kecil sambil merengkuh kepala Yuna dan mengecup ujung kepala Yuna.

 

Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Makasih  ya! Udah bersihkan namaku.”

 

“Udah tugasku sebagai suami,” jawab Yeriko sambil tersenyum. Ia langsung mengecup bibir Yuna.

 

Yuna tersenyum. Ia balas mengecup bibir Yeriko berkali-kali.

 

Yeriko meletakkan rokoknya ke atas meja dan langsung mendorong tubuh Yuna jatuh ke sofa. Ia menekan tubuh istrinya dan menghisap kuat bibir Yuna hingga dada istrinya itu menegang. Yeriko mengendus perlahan leher Yuna dan memainkan bibirnya di dada Yuna yang putih mulus dan kenyal bak telur rebus.

 

“Yer ...!” panggil Yuna sambil menangkup wajah Yeriko dengan kedua telapak tangannya.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Yuna.

 

“Kamu sadar nggak, kita lagi di ruang tamu.”

 

“Emang kenapa?”

 

“Nggak enak kalo dilihat sama Bibi,” jawab Yuna.

 

“Biar aja,” sahut Yeriko sambil memainkan hidungnya di dada Yuna.

 

“Iih ... kamu ini.” Yuna menarik rahang Yeriko dan menatap wajah Yeriko sambil memonyongkan bibirnya.

 

Yeriko tersenyum dan langsung mengecup bibir Yuna.

 

“Mmh ... aku pengen makan ice cream,” tutur Yuna.

 

Yeriko mengernyitkan dahi. “Ice cream?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

Yeriko bangkit dari tubuh Yuna. Ia menarik lengan Yuna untuk bangkit. “Ayo!”

 

“Ke mana?”

 

“Ke kedai ice cream.”

 

“Oke,” sahut Yuna ceria. “Aku ganti baju dulu.”

 

“Nggak usah. Pake itu aja!” perintah Yeriko.

 

“Eh!?” Yuna menatap tubuhnya sendiri yang hanya mengenakan piyama pendek. “Nggak papa pake ini? Ntar dikira orang aku mau tidur di sana.”

 

Yeriko tertawa kecil. “Emang mau tidur. Setelah makan ice cream,” sahut Yeriko.

 

Yuna memonyongkan bibirnya.

 

“Kenapa masih diam? Mau makan ice cream atau nggak?”

 

“Mau!” sahut Yuna.

 

“Ayo!” ajak Yeriko sambil melangkah ke luar.

 

Yuna tersenyum riang. Ia langsung melompat ke punggung Yeriko.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil memutar kepalanya menatap Yuna yang sudah naik ke punggungnya.

 

Yuna tersenyum sambil memainkan matanya. Ia menguatkan pegangan tangannya dan melingkarkan kakinya ke pinggang Yeriko.

 

“Ternyata aku punya anak bayi,” celetuk Yeriko sambil menggendong Yuna. Ia tak menyangka kalau hidupnya bisa berubah dalam waktu yang begitu singkat.

 

Yeriko sangat membenci gadis manja dan merepotkan. Tapi, sejak mengenal Yuna dalam hidupnya. Ia justru menyukai sifat Yuna yang manja dan bising. Setiap hari, ia justru merindukan teriakan-teriakan Yuna. Rumahnya yang biasa tenang dan monoton, tiba-tiba menjadi ramai dan berwarna hanya karena Ayuna.

 

Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk bersama sambil menikmati ice cream di tempat favorite mereka.

 

“Yer, besok aku mau ambil barang-barangku di kantor Lian sekalian pamitan. Kamu bisa temenin aku?” tanya Yuna sambil menikmati ice cream yang sudah ia pesan.

 

“Besok?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Bisa,” jawab Yeriko sambil tersenyum.

 

“Makasih!” tutur Yuna sambil tersenyum manja.

 

“Gimana Lian? Dia nggak pernah gangguin kamu?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Mana berani dia gangguin aku. Ada satpam yang jagain dia dua puluh empat jam.”

 

“Oh ya?”

 

“Si Bellina,” tutur Yuna sambil tertawa.

 

“Beneran sampe kayak gitu?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Saking cintanya sama Lian. Takut Lian kepincut sama cewek lain.”

 

“Kenapa kamu nggak kayak gitu?”

 

“Eh!? Maksudnya?”

 

“Kamu nggak pernah jagain suami kamu. Nggak cinta?”

 

“Cinta, dong. Tapi nggak segitunya juga. Kalo kayak Bellina itu udah super overprotective banget!”

 

“Bukannya dia ngelakuin itu karena takut kehilangan Lian?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kamu nggak takut kehilangan aku?”

 

Yuna langsung menatap wajah Yeriko. “Kamu ini ... lagi ngiri sama hubungan mereka?” tanya Yuna menggoda.

 

“Nggak ngiri. Cuma pengen tahu aja kenapa kamu nggak takut kehilangan aku. Apa kamu ...?”

 

“Aku juga takut,” sahut Yuna. “Kamu pikir, aku nggak takut saat Refi muncul di kehidupan kamu lagi? Aku takut banget tersingkir dari hati kamu setelah ada dia. Dia cantik, kaya, berbakat dan terkenal. Aku nggak ada apa-apanya kalo dibandingkan sama dia. Terlebih, kalian sudah lama saling mengenal. Aku takut banget saat itu. Tapi, aku percaya sama kamu. Kamu nggak akan ninggalin aku. Bener kan?”

 

Yeriko tersenyum sambil menatap Yuna.

 

“Yer, hal yang paling menakutkan dalam hidupku adalah ... saat kamu berhenti mencintaiku,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

“Itu nggak akan terjadi,” sahut Yeriko sambil mengusap mata Yuna yang basah menggunakan jemari tangannya.

 

Yuna tersenyum sambil mengusap air matanya. “Aku cengeng ya?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Maaf, aku selalu jadi istri yang merepotkan.”

 

Yeriko menarik napas sambil menatap wajah Yuna. “Sorry! Awalnya aku emang nggak suka cewek ribet. Entah kenapa, semakin hari aku menyukai keribetan dan keributan yang kamu buat. Kamu udah berhasil mengubah hidupku tanpa aku menyadarinya.”

 

Yuna menatap Yeriko penuh cinta. “Kamu juga udah banyak ngerubah hidupku. Aku pikir, nggak akan pernah nemuin kebahagiaan. Tapi semenjak kenal kamu. Aku selalu bahagia setiap hari.”

 

“Baguslah. Aku cuma mau lihat senyum kamu setiap hari. Ke depannya, kita akan melewati hal yang lebih sulit lagi. Aku harap, kamu bisa menerimanya dengan baik dan tetap percaya sama aku.”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kamu percaya sama aku kan?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Oh ya, besok kita jenguk ayah kamu kalo kita udah keluar dari kantor kamu. Gimana?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku juga kangen sama Ayah.”

 

Yeriko tersenyum menatap wajah Yuna yang begitu ceria menikmati ice cream di hadapannya.

 

“Mau jenguk Refi sekalian?” tanya Yuna.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Kondisinya dia gimana setelah konferensi pers? Apa nggak berbahaya buat mentalnya?”

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Kenapa kamu masih peduli sama musuh kamu sendiri?” tanya Yeriko sambil mengernyitkan dahinya.

 

“Aku cuma khawatir aja. Katanya, kondisi psikis dia bisa mempengaruhi proses pengobatannya. Kalo dia baik-baik aja, harusnya bisa cepat pulih kan? Kalo dia cepet pulih, dia nggak perlu nempel ke kamu lagi,” jelas Yuna sambil memainkan sendok ice cream-nya.

 

“Kamu cemburu?”

 

Yuna mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Baginya, Refi seperti duri dalam hubungan mereka.

 

Yeriko mengelus kepala Yuna. “Yun, aku nggak mudah buat nerima orang lain masuk ke dalam hidupku. Sekali kamu masuk, kamu nggak akan pernah bisa keluar lagi. Percayalah! Aku cuma cinta sama kamu. Nggak ada yang lain.”

 

Yuna menatap wajah Yeriko penuh kehangatan. Ia tak tahu harus mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata apa yang paling tepat. Cinta, bahagia atau sebuah harapan? Ia mengecup pipi Yeriko tanpa permisi, sama seperti perasaan cintanya yang tiba-tiba sudah tumbuh begitu baik tanpa ia tahu kapan benih-benih cinta itu tertanam dalam hatinya.

 

“Bibir kamu dingin banget?” tutur Yeriko.

 

“Makan ice cream. Pasti dingin. Emangnya  bibir kamu nggak dingin?”

 

“Dingin banget. Makanya, kamu harus tanggung jawab!”

 

“Tanggung jawab apa?”

 

“Jam segini ngajak makan ice cream. Sampe rumah harus hangatin aku!”

 

Yuna meringis sambil menatap Yeriko. “Siap, Bos!” sahutnya sambil mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.

 

Yeriko tersenyum kecil dan langsung mengecup bibir Yuna.

 

“Eh, banyak orang!” seru Yuna berbisik.

 

“Biar aja,” sahut Yeriko sambil merengkuh kepala Yuna ke dadanya. Mereka tertawa bahagia.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas