Wednesday, August 17, 2022

Bab 79 - Kehangatan Malam Pengantin

 



“Ay, lain kali jangan candain aku seperti ini lagi. Aku hampir gila karena kehilangan kamu, Ay,” pinta Nanda sambil menatap wajah Ayu yang sedang membersihkan riasannya di dalam kamar.

“Aku juga nggak tega lihat kamu kayak gitu. Idenya Nadine, Okky sama Sonny,” jawab Ayu sembari menengadah menatap Nanda.

“Sonny tuh memang minta disepak,” tutur Nanda sambil memperhatikan wajah Ayu. “Belum kelar bersihin mukanya?”

“Sebentar lagi,” jawab Ayu sembari mengusapkan kapas ke atas bibirnya.

Nanda tersenyum sembari menyentuh lembut bibir Ayu. Ia menarik dagu wanita itu dan mengecup bibirnya. Tak sabar menunggu wanita ini selesai membersihkan seluruh riasannya.

“Nan, aku masih bersih—” Ucapan Ayu terhenti saat Nanda kembali menyambar bibirnya dengan sensual. Seluruh tubuhnya menegang dan ia membalas ciuman Nanda dengan senang hati sembari mengalungkan lengannya ke leher pria itu.

Semakin lama, ciuman Nanda semakin dalam. Dengan cekatan, pria itu menggendong Ayu naik ke atas ranjang tanpa melepas tautan bibirnya.

Desahan lembut mulai keluar dari bibir Ayu dan tangannya yang halus, menjalar perlahan, masuk ke dalam kemeja yang dikenakan Nanda dan mengelus lembut punggung pria itu.

Nanda menghentikan ciumannya sambil meringis menahan nyeri ketika alat vitalnya mulai bereaksi dan menegang.

“Nan, kamu kenapa?” tanya Ayu sambil menangkup wajah Nanda.

“Agak sakit,” jawab Nanda sambil melihat ke bagian bawah tubuhnya. Entah bagaimana Ayu melakukannya, ikat pinggang yang ia kenakan sudah terlepas dan risleting celananya pun sudah terbuka.

“Sakit?” Ayu mengernyitkan dahi. “Jangan bilang kalau kamu ...?”

“Sejak kejadian itu ... emang agak sakit kalau tegang,” jawab Nanda.

“Eh!? Jadi ... kita nggak bisa ...?” Ayu menatap wajah Nanda dengan tatapan kecewa.

Nanda tertawa kecil sambil menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya. “Kamu sudah sangat menginginkannya?”

Ayu menggeleng. “Nggak juga. Kalau kamu nggak bisa, kita tidur aja! Ini sudah larut malam dan kita juga sudah sama-sama lelah,” jawabnya sambil berusaha mendorong tubuh Nanda.

Nanda langsung mengunci tubuh Ayu agar tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya. “Kalau kamu menginginkannya, aku bisa berikan rasa yang lebih enak dari pertama kali kita melakukannya,” bisiknya di telinga Ayu.

Ayu mengerutkan wajahnya. “Buat apa kalau kamu juga kesakitan. Nggak akan nyaman ‘kan?”

“Aku cuma bercanda, Ay,” jawab Nanda. Ia langsung menyesap leher Ayu hingga tubuh wanita itu semakin menegang.

“Mmh ...” Ayu mendesah kuat saat jemari tangan Nanda menyentuh bagian kenikmatan itu.

Dengan cepat, Nanda melepaskan semua kain yang tersisa di tubuh Ayu saat mengetahui kalau bagian kenikmatan di bawah sana sudah basah di area genital itu.

Bibir dan kedua tangan Nanda terus memberikan sentuhan-sentuhan di area sensitif milik Ayu sembari mempersiapkan diri untuk masuk ke sana secara perlahan.

“Mmh ... Nan ...!” Ayu langsung mencengkeram punggung Nanda saat pria itu sudah berhasil masuk ke area genital miliknya.

“Enak?” tanya Nanda sambil mencengkeram lembut rahang Ayu yang sudah diselimuti gairah.

Ayu mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya. Merasakan kenikmatan yang sudah lama tak ia rasakan sejak berpisah dengan Nanda. Meski Nanda bukanlah pria pertama yang masuk ke hatinya. Tapi dialah yang paling pertama masuk ke area terlarang dan tempat yang paling berharga dalam kehidupan Ayu. Menjadi pria nomor satu dan satu-satunya yang ada di sana.

“I love you, Ay. Don’t leave me again!” bisik Nanda setelah ia berhasil melakukan pelepasan. Ia langsung mengecup bibir Ayu dan menjatuhkan tubuhnya di samping wanita itu. Ia memejamkan mata sembari mengatur napasnya.

Ayu tersenyum sambil memperhatikan wajah Nanda. “Capek?”

Nanda menganggukkan kepalanya.

“Udah nggak kuat main lagi?”

Nanda langsung membuka mata dan menoleh ke arah Ayu yang berbaring di sampingnya. “Kamu mau minta main lagi?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum jahil.

“Aku capek, Ay. Seharian udah capek terima tamu. Lanjut besok aja, gimana?”

Ayu menggeleng sambil menyembunyikan tawa di dalam hatinya. “Aku maunya sekarang, Nan!" pintanya dengan gaya centil.

Nanda langsung mengernyitkan dahi sambil bangkit dari tempat tempat tidur.  “Kamu ini kenapa? Nggak kesurupan ‘kan?”

Ayu menggeleng sambil tersenyum centil.

Nanda langsung menempelkan punggung tangannya ke kening Ayu. “Normal, kok?”

Ayu segera menepis tangan Nanda dari keningnya. “Kamu kira aku gila?”

“He-em. Kamu nggak pernah secentil ini? Kenapa jadi centil banget?”

“Bukannya kamu suka cewek yang centil dan agresif?” tanya Ayu balik.

“Itu dulu, Ay. Lagian, kamu nggak cocok bertingkah centil kayak gini. Aku geli lihatnya,” sahut Nanda.

Ayu mendengus kesal menatap wajah Nanda. Ia segera menarik selimut, menutup tubuhnya dengan rapat dan berbalik membelakangi Nanda.

Nanda menahan tawa sambil melihat tubuh Ayu yang ada di bawah selimut. “Ay ...!” panggilnya lirih.

“Ay ...!” panggil Nanda lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ayu.

“Aku ngantuk. Mau tidur!” seru Ayu.

Nanda tertawa kecil dan memeluk tubuh Ayu yang ada di dalam selimut.  “Ini baru istriku yang asli,” ucapnya sambil tersenyum.

Ayu menyingkap selimut yang menutupi wajahnya dan memutar tubuhnya menatap Nanda. “Kamu ...!? Nggak suka kalau aku centil dan agresif?”

Nanda tersenyum sambil menempelkan wajahnya ke telinga Ayu. “Aku lebih suka kamu yang jutek, ketus dan selalu berani melawan aku.”

Ayu tertawa kecil. “Bodoh.”

“Aku rela jadi bodoh asalkan bisa memelukmu seperti ini setiap hari. Asal aku bisa dengarkan omelanmu, bisa mendengar kamu mendebatku dan ... bisa menikmati dengkuranmu setiap malam,” ucap Nanda sambil tersenyum manis.

“Memangnya aku tidur mendengkur?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk sambil mengeratkan pelukannya dengan mata terpejam. Ia terus memeluk tubuh Ayu dengan erat hingga ia terlelap dalam kehangatan bersama wanita itu.

 

...

Tiga bulan kemudian ...

Sepulang dari kantor, Nanda melenggang ceria memasuki rumahnya sambil memanggil nama Ayu. “Ay, aku udah beliin testpack yang kamu pesan. Cepet pake, ya!” Ia meletakkan kantong kresek ke atas meja dapur.

“Banyak banget? Kamu beli testpack atau beli keripik?” Ayu menaikkan alis saat membuka kantong tersebut dan mendapati ada banyak testpack di dalamnya.

“Biar akurat aja hasilnya kalau testpack-nya banyak, Ay. Kali aja ada yang error.”

Ayu menghela napas sambil menatap serius ke arah Nanda. “Satu aja cukup kali, Nan. Selebihnya, bisa periksa ke dokter. Itu lebih akurat. Kayak gini namanya pemborosan!”

“Jadi, gimana? Aku jual lagi testpack-nya?” tanya Nanda.

Ayu memutar kepala sambil menarik kantong kresek tersebut. “Siapa yang mau beli testpack?” Ia segera mematikan kompor dan masuk ke dalam kamar mandi.

Nanda tertawa kecil sambil mengikuti langkah Ayu. Ia berdiri di sebelah pintu kamar mandi, menunggu hasil testpack yang sudah dibawa masuk oleh Ayu.

“Ay, udah, belum? Lama banget?” seru Nanda sambil menatap daun pintu kamar mandi.

“Gimana nggak lama kalau kamu belikan testpack sebanyak ini?” sahut Ayu berseru.

“Pakai satu aja, Ay!”

“Lain kali, kamu belinya juga satu! Nggak usah buang-buang duit!” seru Ayu.

“Siap, Ibu Bendahara!” sahut Nanda sambil tersenyum. Ia tidak sabar menunggu Ayu keluar dan sangat berharap kalau istrinya itu bisa segera hamil. Kali ini, ia benar-benar merasa bahagia jika bisa menjadi seorang ayah sungguhan. Ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan anaknya seperti bagaimana Axel Noah saat berada dalam kandungan Ayu.

Ia benar-benar menyesal karena ia tidak pernah bisa menghargai apa yang sudah ia miliki di masa lalu. Jika waktu bisa kembali, ia ingin kembali ke titik di mana ia pertama kali mengenal Ayu dan menjatuhkan hatinya ke tempat terdalam yang ada di dalam diri Ayu. Sebab, cinta itu bukan melulu soal gengsi dan minder. Tapi tentang sebuah keberanian melawan keputusan semua orang yang menganggapnya bersalah, padahal itu adalah jalan terbaik yang ia pilih.

 

((Bersambung ...))

 

 

 

 

 


Bab 78 - Cinta Adalah Tentang Rasa Takut

 


“Saya terima nikah dan kawinnya Raden Roro Ayu Rizki Prameswari binti Raden Mas Edi Baskoro Hadiningrat dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dollar dibayar tunai ...!” ucap Nanda tegas sembari menjabat tangan penghulu yang membimbing hari pernikahannya dengan Roro Ayu.

SAH!

SAH!

SAH!

“Alhamdulillah ...!”

Semua orang ikut tersenyum lega saat Nanda bisa mengucapkan ijab kabul dengan baik di hadapan penghulu yang menikahkannya dengan Ayu.

Air mata Ayu menetes perlahan. Meski ini pernikahan yang kedua kalinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menahan rasa haru ketika Nanda benar-benar mengucapkan ijab kabul dari hatinya sendiri. Bukan dengan cara terpaksa seperti yang sudah terjadi pada pernikahan sebelumnya.

Bunda Rindu langsung memeluk tubuh Ayu dan menangis sesenggukan. Banyak hal yang telah membuat puterinya itu sakit dan Ayu tetap memilih untuk mencintai Nanda. Hati seorang wanita bisa begitu sabar dan setia pada pria yang pernah menyakiti. Dan ia kagum pada puterinya sendiri karena mau membuka hati dan memberikan kesempatan untuk Nanda, pria yang pernah menghancurkan kehidupannya di masa lalu dan menciptakan dendam antara keluarga ini.

“Ay, selamat, ya ...!” ucap Nadine sambil tersenyum meski air matanya ikut menetes. “Semoga kalian selalu bahagia, langgeng sampai maut memisahkan!”

Ayu mengangguk sambil memeluk erat tubuh Nadine. “Makasih banyak, Nad. Kamu udah jauh-jauh mau datang ke acara pernikahan aku.”

Nadine mengangguk sambil tersenyum manis. Ia mengusap air mata Ayu yang membasahi pipi indah itu. “Ini hari bahagia kamu. Jangan nangis, ya!” ucapnya.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia menoleh ke arah Nanda yang sudah berdiri tersenyum sambil menatapnya.

Nanda mengulurkan telapak tangannya ke arah Ayu dan merangkul mesra pinggang wanita itu. “Ay, terima kasih sudah bersedia kembali menjadi istriku, menjadi calon ibu dari anak-anakku kelak,” ucapnya sembari mengecup punggung tangan Ayu. Ia beralih mengecup kening Ayu dan menjalankan bibirnya hingga bermuara ke bibir lembut wanita itu.

Ayu memejamkan mata perlahan. Merangkul pundak Nanda sembari menikmati sentuhan lembut pria itu bersama iringan musik piano yang begitu romantis dan nyaman di telinganya.

Beberapa jam kemudian, tamu-tamu undangan sudah mulai kembali ke rumah mereka masing-masing.

Nanda mengempaskan tubuhnya ke kursi pengantin sambil bernapas lega karena para tamu sudah pergi dan ia bisa segera menikmati malam pengantinnya berdua dengan Ayu saja. “Akhirnya ... kelar juga. Pegel banget!” keluhnya.

“Udah waktunya istirahat. Aku ke kamar duluan, ya! Masih harus bersihin make-up dulu sama tim WO,” tutur Ayu sambil menatap wajah Nanda.

Nanda mengangguk. Ia membiarkan Ayu pergi ke kamar pengantin mereka. Sementara, ia memilih untuk bergabung di meja sang papa dan ayah mertua yang sedang sibuk membicarakan bisnis dan terlihat sangat akrab.

Beberapa menit kemudian, Nanda memilih untuk berpamitan karena tubuhnya sudah sangat lelah dan matanya terserang kantuk berat.

“Sudah pernah malam pertama, masa ya masih buru-buru?” goda Edi Baskoro sambil menatap tubuh Nanda yang baru saja bangkit dari kursi.

“Hehehe. Ini bukan masalah malam pertama, Ayah. Masalahnya, aku memang sudah lelah duduk di pelaminan seharian,” ucapnya. Ia menunduk hormat dan segera pergi ke kamar Ayu yang ada di dalam keraton tersebut.

Nanda mengerutkan dahi saat masuk ke kamar Ayu dan tak menemukan siapa pun di sana.

“Ay ...! Ayu ...!” panggil Nanda sambil melangkah menyusuri setiap inchi lantai ruang kamar Ayu yang besar. Matanya langsung teralihkan pada kain putih yang tersangkut di jendela dan tercium bau anyir darah. Buru-buru, ia menyalakan semua lampu dan menatap potongan gaun pengantin milik Ayu sudah berlumuran darah.

“Ay, kamu di mana!?” teriak Nanda. Ia langsung membuka pintu jendela kamar Ayu dan bercak darah juga ada di sekitar luar bangunan itu. Dengan cepat, Nanda berlari keluar dari dalam kamar sembari membawa potongan gaun milik Ayu yang penuh darah.

“Ayah ...! Tolong ...!” Nanda menghampiri Edi Baskoro dan semua keluarga yang ada di sana dengan napas tersengal.

“Ada apa?” tanya Edi Baskoro sambil menatap wajah Nanda.

“Ayu hilang,” jawab Nanda sambil berusaha mengatur napasnya. Ia menunjukkan kain potongan gaun pengantin di tangannya yang berlumuran darah. “Gaun pengantinnya berdarah. Apa ada penyusup yang masuk ke keraton ini dan membunuh istriku? Ayah, harusnya tempat ini aman ‘kan?”

Edi Baskoro melebarkan kelopak matanya dan bangkit dari kursi. Ia langsung memerintahkan seluruh pengawal istana untuk mencari keberadaan puteri mahkota mereka.

Nanda memukul tiang pilar dengan kesal sembari memeluk kain gaun milik Ayu. Perasaannya tak karuan melihat banyak darah yang tertinggal. Semua bayangan buruk tentang Ayu memenuhi otaknya hingga membuat lututnya tak bisa berdiri tegak.

“AARGH ...! Roro Ayu ... jangan tinggalin aku!” teriak Nanda histeris sambil memeluk potongan gaun pengantin Ayu seperti sedang memeluk seorang bayi mungil. Ia benar-benar takut kehilangan wanita yang baru ia nikahi beberapa jam lalu. Banyak hal yang telah mereka korbankan untuk bisa bersatu kembali dan Tuhan masih saja membuat mereka harus berpisah dengan cara yang begitu keji.

Nanda terus menangis sesenggukan di halaman dalam keraton tersebut dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi kemungkinan buruk yang terjadi pada istrinya itu. Ia benar-benar tidak siap kehilangan karena belum sempat membuat wanitanya itu hidup bahagia.

Sementara itu ... dari lantai tiga menara keraton tersebut. Sepasang mata Ayu menikmati tubuh Nanda yang sedang meratap karena kehilangan istrinya.

“Ay, lucu ‘kan? Mampus tuh Nanda! Hihihi.” Rocky terkekeh geli sambil menatap kamera video di ponselnya yang sudah aktif sejak tadi.

“Sonny, Okky, Nadine ...! Aku nggak tega lihat Nanda kayak gitu. Kalian ngerjainnya keterlaluan tahu,” ucap Ayu sambil menatap wajah beberapa groomsman dan bridesmaid yang bersamanya.

“Sst ...! Biarkan dulu! Sampai kita puas nontonin wajah payah dia,” sahut Rocky sambil menahan tawa. “Son, Sonny ...! Udah disiapkan kembang apinya?”

Sonny mengangguk. Ia dan beberapa saudara sepupu Ayu, sudah bersiap meledakkan kembang api di tangan mereka masing-masing.

“Aku hitung mundur, ya!” ucap Rocky dengan suara setengah berbisik. “Tiga ... dua ... satu ...!”

DUAR ...!

DUAR ...!

DUAR ...!

Percikan indah kembang api tiba-tiba menghiasi tempat tersebut. Di saat bersamaan, lampu-lampu di sekitar menara menyala terang satu per satu dan tubuh Ayu yang masih dibalut gaun pengantin, terlihat begitu jelas dada di atas sana.

Nanda langsung menengadahkan kepalanya menatap menara keraton yang ada di sana. “AYU ...!” teriaknya sambil mengucek matanya sendiri. “Itu Ayu atau bukan, sih? Aku nggak halusinasi ‘kan?” gumamnya.

Ayu tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya ke arah Nanda.

Nanda langsung tersenyum lebar. Ia langsung berlari menghampiri menara tersebut dan naik ke atas dengan cepat. Menghampiri Ayu yang berada di balkon lantai tiga menara bersama para pendamping pengantin.

“Ay, ini beneran kamu ‘kan?” Nanda langsung memeluk erat tubuh Ayu dan memeriksa seluruh tubuh wanita itu. “Gaun kamu nggak rusak?”

Ayu menggelengkan kepala sambil tersenyum manis. “I’m fine and wanna be with you.”

“Ini ...?” Nanda menunjukkan potongan gaun pengantin yang sudah berlumuran darah.

“Sengaja kami siapkan buat ngerjain kamu,” jawab Nadine sambil tersenyum manis.

“Kalian ...!?” Nanda mendengus kesal ke arah semua pendamping pengantin yang berhasil mengerjai dirinya. “Kalian sukses bikin pengantin nggak bisa hidup lagi, ya!” umpatnya kesal sambil melemparkan potongan gaun berlumuran darah itu ke bawah menara begitu saja.

Nanda langsung memeluk erat tubuh Ayu. Mengangkat dan memutarnya dengan gembira. “Aku udah takut banget kehilangan kamu, Ay. Lain kali, bercandanya jangan kayak gini. Ini nggak lucu!”

“Lucu, Nan. Aku lihat muka kamu nangis, lucu banget! Asli. Ini lucu!” sahut Rocky sambil menunjukkan rekaman video yang ia ambil.

“Hapus, nggak!?”

“Nggak. Weee ...!” Rocky menjulurkan lidah dan bergegas berlari dari tempat tersebut bersama dengan yang lainnya.

Nanda tersenyum kecil dan menggenggam kedua tangan Ayu. “Ay, aku bener-bener takut kehilangan kamu. Demi apa pun, kamu nggak boleh pergi atau mati sebelum aku bisa membahagiakan kamu. Oke?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia mengecup lembut bibir Nanda dan pria itu membalasnya penuh kehangatan. Hari ini ... ia merasa menjadi wanita yang sempurna karena berhasil membuat Nanda, menangis sesenggukan saat kehilangan dirinya.

Mereka ingin, cinta bisa terus seperti ini. Bisa terus merasa takut. Sebab, cinta adalah tentang rasa takut. Takut kehilangan, takut tak bisa membuat bahagia, takut berada jauh di sisinya dan takut menjadi lebih buruk dari hari ini.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Ada yang request malam pertama mereka untuk ditulis?

Kalau nggak ada, author skip-skip aja, ya!

Hehehe.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 77 - Sebelum Pernikahan

 



Jalanan kota Solo yang basah oleh embun pagi, mulai menghangat dan langkah kaki penghuni kota itu mulai ramai. Keraton Kesultanan Surakarta dan masyarakat di sekelilingnya disibukkan dengan persiapan pernikahan Puteri Mahkota keraton tersebut.

“Bunda, apakah pernikahanku harus seberlebihan ini?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu.

Bunda Rindu tersenyum sambil merangkul tubuh Ayu. “Bunda tahu, kamu selalu menyukai hal yang sederhana. Tapi ini semua keinginan masyarakat sekitar. Mereka sangat mengenalmu dan meminta untuk mengadakan pesta rakyat. Ay, kamu ini puteri mahkota di keraton ini. Saat ayahmu tutun tahta, kamu dan keturunanmu yang harus menggantikannya. Semua warga di sini mencintai dan membutuhkanmu. Jangan kecewakan mereka, ya!” ucapnya lembut.

Ayu mengangguk. Ia mengedarkan pandangannya menatap begitu banyak abdi dalem dan masyarakat sekitar yang antusias menyambut pesta pernikahannya.

“Aku dengar, calon suami Ndoro Puteri itu orang biasa saja. Bukan dari keluarga bangsawan. Kalau gitu, rakyat jelata seperti kita juga punya kesempatan mempersunting wanita dari keluarga bangsawan,” ucap salah seorang pria yang berdiri membelakangi Ayu sambil memperbarui cat tembok keraton tersebut.

“Ndul, memang bukan dari keluarga bangsawan, tapi dari keluarga pengusaha kaya raya. Kamu ndak lihat undangannya itu namanya bagus banget? Perdanakusuma. Yang namanya kusuma-kusuma gitu, mesti bukan orang-orang biasa,” sahut pria di sebelahnya lagi.

Ayu menahan tawa mendengar ucapan orang-orang di sekelilingnya yang sibuk membicarakan dirinya.

“Kakak Ayu ...!” seru beberapa anak kecil yang berlari berhamburan menghampiri Ayu dengan setangkai mawar merah di tangan mereka masing-masing. “Selamat menempuh hidup baru! Semoga bahagia dan selalu sayang kami semua!” ucap mereka serentak.

Ayu tersenyum sambil berjongkok menatap anak-anak kecil yang mengulurkan bunga mawar untuknya. “Anak-anak pintar. Siapa yang suruh kalian ke sini?” tanya Ayu.

“Kakak itu ...!” Mereka semua langsung menunjuk serentak ke arah Nanda yang sudah berdiri di seberang jalan. Jelas sekali senyum di bibirnya merekah indah menatap Ayu dari kejauhan.

Ayu langsung tersenyum lebar sambil menatap Nanda yang berdiri di seberang sana. Besok, mereka akan melangsungkan pernikahan. Nanda dan keluarga besarnya sudah bersiap dan tinggal di salah satu hotel yang letaknya tak jauh dari keraton tersebut. Karena ini adalah pernikahannya yang kedua, Ayu tidak harus menjalani tradisi pingitan yang begitu tertutup. Ia masih bisa menikmati udara segar di luar, hanya saja tidak boleh bertemu secara langsung dengan pria itu.

Bunda Rindu menghela napas melihat Ayu dan Nanda yang saling melambaikan tangan meski posisi mereka berada di seberang jalan. “Ayu, baru berapa hari nggak ketemu sama dia, udah kangen?”

Ayu menoleh ke arah Bunda Rindu. “Bunda bisa aja. Oh ya, Nadine bakal datang ke acara pernikahan aku atau nggak, ya?”

“Kamu udah kabari dia?” tanya Bunda Rindu balik sambil merangkul lengan Ayu dan membawa puterinya itu masuk ke dalam keraton.

Ayu terus menoleh ke belakang meski langkah kakinya maju ke depan. Ia menatap Nanda yang terlihat begitu kecewa karena Bunda Rindu membawanya masuk.

“Bunda, Ayu boleh ketemu Nanda sebentar aja?” tanya Ayu.

“Nggak usah. Besok juga ketemu,” jawab Bunda Rindu sambil melangkahkan kakinya.

“Tapi ... kasihan dia yang udah jauh-jauh datang ke sini, Bunda.”

“Biarkan saja! Dia sudah sangat rindu padamu, Ay. Lihat saja wajahnya! Kalau kamu menemuinya hari ini, besok wajahnya akan biasa saja karena rindunya sudah terobati,” ucap Bunda Rindu.

“Oh, gitu?” tanya Ayu sambil tertawa kecil. “Leluhur memang sengaja menyiksa generasi penerusnya?”

Bunda Rindu terkekeh mendengar ucapan Ayu. “Dua orang yang saling mencintai, ada kalanya harus berpisah. Supaya tahu bagaimana cara mengungkapkan rindu saat bertemu.”

“Bunda sama ayah juga dulu seperti itu?” tanya Ayu sambil menatap wajah Bunda Rindu.

Bunda Rindu menganggukkan kepala. “Bunda harus dipingit selama empat puluh hari sebelum pernikahan. Tidak boleh bertemu dan berkomunikasi dengan ayahmu. Kamu bayangkan sendiri gimana rasanya? Pasti kangen banget ‘kan?”

Ayu mengangguk sambil tertawa kecil. Ia terus bercengkerama bersama sang bunda. Menceritakan banyak hal tentang masa lalu dan detail pernikahan Ayu agar semuanya terlihat sempurna, tidak mengecewakan semua orang yang akan datang ke pesta tersebut.

 

...

 

Keesokan harinya ...

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menatap dirinya di depan cermin. Setelan jas warna cream dengan lis warna cokelat, sudah ia kenakan dan membuat tampilannya jauh lebih segar dari biasanya.

“Udah siap?” tanya Nia sambil melangkah masuk ke dalam kamar Nanda.

Nanda mengangguk. “Gimana? Ganteng, nggak?”

“Ganteng, dong!” ucap Nia sambil tersenyum menatap wajah Nanda.

Nanda tersenyum lebar dan merapikan kembali jasnya yang sudah rapi.

“Nan, kamu jaga baik-baik pernikahanmu kali ini, ya!” pinta Nia sambil menyentuh lengan Nanda.

Nanda mengangguk sambil tersenyum menatap Nia.

“Baik atau buruknya rumah tangga, semua tergantung suami sebagai pemimpin. Kalau istri salah, ingatkanlah dan kembalikan ke jalan yang baik. Kalau kamu yang salah, kamu harus berani untuk mengakui dan meminta maaf,” ucap Nia sambil menatap wajah Nanda. “Kamu boleh egois di depan semua orang, tapi tidak boleh egois demi kebaikan rumah tanggamu di masa depan.”

“Iya, Ma. Aku pasti ingat semua nasehat Mama,” balas Nanda sambil mengecup pipi Nia. Ia merangkul tubuh wanita yang telah melahirkannya itu dan bergegas keluar dari kamar hotel tersebut.

Nia tersenyum bangga menatap Nanda yang kini telah banyak berubah. Ada hal yang tidak bisa dikendalikan dengan ucapan. Ada keburukan yang tidak bisa diubah hanya dengan nasehat. Roro Ayu, telah mengubah hidup puteranya dengan rasa sakit bertubi-tubi. Menjatuhkan keluarga mereka sejatuh-jatuhnya, tapi tetap menerima semua sifat buruk Nanda ... kemudian mencintainya lagi.

Nanda tersenyum sambil menatap semua orang yang sudah bersiap mengantarkannya memasuki keraton tempat Ayu dilahirkan. Mobil-mobil sudah dihias dengan bunga khas pengantin di depannya dan semua orang sudah menyiapkan banyak hadiah mahal untuk keluarga mempelai wanita.

Mereka semua bergegas pergi menuju Keraton Kesultanan Surakarta. Keraton yang hampir tidak pernah dibuka dan tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Tapi kali ini ... para tamu undangan masuk ke dalam keraton tersebut. Juga dengan masyarakat sekitar, meski dengan pengawalan ketat.

“Nan, aku nggak nyangka kalau cowok brengsek kayak kamu bisa dapetin tuan puteri dari keluarga bangsawan kayak gini,” bisik Rocky yang ikut mengantarkan Nanda ke acara pernikahannya.

“Emang sekarang lagi nge-trend menikahi wanita dari anak orang kaya raya. Biar ikutan kaya juga,” sahut Angga yang juga ada di sana.

“Apalagi kalau hamilin anaknya orang kaya, udah pasti dinikahkan,” sambar Sonny lagi.

“Tapi anak orang kaya yang lemah. Jangan anak orang kaya yang kuat! Yang ada, kita malah dihancurin. Tinggal nama doang, hahaha.” Okky tergelak sambil merangkul Sonny yang ada di sana.

“Hahaha. Hancur satu burung dan dua telurnya!” Angga menimpali.

“Kalian ini apaan, sih!? Calon pengantinnya dikata-katain! Nyesel aku milih kalian jadi groomsman!” seru Nanda sambil menahan kesal.

“Hahaha.” Rocky dan yang lainnya tergelak mendengar ucapan Nanda. Mereka kembali memasang wajah serius saat pintu besar aula utama keraton tersebut terbuka dan mereka semua disambut dengan tari-tarian tradisional yang sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan pengantin pria.

Nanda langsung tersenyum lebar saat melihat Roro Ayu sudah berdiri di atas pelaminan yang berada beberapa meter darinya. Melihat wanita itu dari kejauhan saja, sudah berhasil membuat senyum di bibirnya merekah.

“Ya Tuhan, ternyata istriku cantik banget!” gumamnya dalam hati dengan perasaan tak karuan. Meski berusaha untuk terlihat biasa saja, rasa gugupnya tetap tak bisa disembunyikan dari mata semua orang. Terlebih, keringat menetes perlahan dari sudut-sudut keningnya meski aula megah itu sudah full AC.

 

 

 

((Bersambung...))

Karena Roro Ayu nggak demen pakai make-up dan selalu natural. Nanda sampai nggak menyadari kalau istrinya itu aslinya cantik banget! Hihihi

 

Oh ya, kalian mau sumbang ide permainan apa untuk hari pernikahan mereka biar seru? Komen di bawah, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 76 - Persiapan Pernikahan

 



Nanda menggandeng tangan Ayu sembari melangkah memasuki Chel’s Modista. Salah satu butik yang paling terkenal di kota Surabaya. Hari ini, ia sengaja membawa Ayu untuk memilih sendiri gaun pengantin yang akan mereka kenakan untuk acara pernikahan.

“Ay, kamu suka yang mana?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya. Menatap gaun-gaun pengantin yang terpajang indah di sana.

“Selamat sore, Mbak, Mas ...!” sapa seorang pegawai sambil menghampiri Nanda dan Ayu. “Ada yang bisa kami bantu? Mau pilih gaun pengantin yang seperti apa?”

Ayu tersenyum saat pegawai butik itu menyambutnya dengan ramah. “Mmh ... saya mau gaun yang sederhana aja. Nggak terlalu ramai dan ... nuansa budaya jawanya tetap terlihat meski gaunnya modern,” jawabnya.

“Oh. Silakan lihat di lorong sebelah  sini, Mbak!” Pegawai itu langsung menunjuk lorong yang ada di sayap kanan bangunana tersebut.

Ayu mengangguk dan segera mengikuti langkah pegawai tersebut. Ia mengedarkan pandangannya dan tersenyum menatap design gaun pengantin bernuansa moden yang dipadukan dengan motif tradisional, tapi tetap terlihat cantik dan elegan.

“Suka yang mana?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Suka semuanya,” jawab Ayu sambil menahan senyumannya.

Nanda langsung menatap serius ke arah Ayu. “Di sini ada puluhan gaun dan kamu mau pakai semuanya? Mau resepsi setiap hari selama setahun?”

Ayu tertawa kecil. “Kapan malam pertamanya kalau resepsi mulu?”

“Eh!? Barusan kamu ngomong apa?” tanya Nanda sambil merangkul tubuh Ayu dan mengendus telinga wanita itu. “Udah centil, ya?” bisiknya.

Ayu tertawa kecil sambil menatap wajah Nanda yang menempel tepat di pipinya. “Kamu suka sama yang centil-centil ‘kan?”

Nanda tersenyum sambil menarik dagu Ayu dan mengecup lembut bibirnya.

“Lihat tempat! Main cium-cium aja!” dengus Ayu sambil melepaskan tubuh Nanda dan kembali melihat-lihat gaun pengantin yang akan ia kenakan.

“Mbak, aku suka model yang ini. But, motifnya bisa diganti pakai motif batik Solo?” tanya Ayu sambil menunjuk salah satu gaun warna putih yang dihiasi motif batik Borneo yang dibordir dengan benang warna keemasan di bagian bawahnya.  Juga dihiasi oleh kristal swarovski di bagian dada dan pinggangnya.

“Bisa banget, Mbak. Ini salah satu model favorite beberapa pengantin. Terlihat lebih bersih dan elegan. Cocok untuk hari pernikahan yang sakral. Akan saya catat dan sampaikan ke designernya. Ada lagi yang diminati?”

Ayu menggeleng. “Satu aja, Mbak. Mmh, budgetnya kira-kira berapa, ya?”

“Nggak terlalu mahal, kok. Yang ini cuma sekitar delapan puluh jutaan aja,” jawab pegawai itu sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk dan tersenyum lega. Meski Nanda sanggup membayar gaun pengantin itu, tapi ia juga tidak ingin memberatkan pria itu karena ia tahu kalau kondisi keuangan Nanda tidak begitu baik. Hanya mengandalkan harta dari orang tua karena saat ini ia harus memulai semuanya dari nol. Jika ia memilih gaun yang lebih mahal lagi, Nanda mungkin akan membatalkan pernikahan mereka karena menganggap Ayu terlalu materialistis.

“Kamu mau pilih setelan jas yang mana?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda.

“Apa pun yang kamu pilih, aku ikut aja,” jawab Nanda sambil memainkan ponselnya.

“Kamu ngapain, sih!?” Ayu langsung menyambar ponsel Nanda dan melihat game online yang sedang dimainkan oleh pria itu. “NANDA ...! Yang mau nikah itu kita berdua. Kenapa yang mikir cuma aku doang!?” serunya protes.

“Aku udah kasih modal, Ay. Kamu pilih aja mana yang kamu suka. Aku nggak ngerti beginian,” sahut Nanda sambil menarik kembali ponselnya dari tangan Ayu.

Ayu mendengus kesal sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Ya udah, nggak usah nikah. Kalau cuma aku yang mikir, mending aku nikah sama tiang listrik.”

Nanda langsung mematikan ponsel dan menyimpan di saku jasnya. “Jangan ngambek, dong!”

“Pulang aja, deh!” ucap Ayu menahan kesal sambil melangkahkan kakinya.

“Jangan, Ay! Belum selesai, kan?” Nanda langsung menghadang langkah kaki Ayu.

“Kalau udah tahu belum selesai, kamu jangan main game, dong! Apa susahnya sih diskusi bareng? Aku nggak suka kalau cowok itu ngomong ikut aja – ikut aja! Ngeselin tahu, nggak!?” sahut Ayu.

“Hehehe. Iya, iya.” Nanda langsung merangkul tubuh Ayu. “Pilih, deh! Kamu sukanya yang mana?”

“Aku udah pilih, Nanda! Tinggal cari baju untuk kamu. Kamu sukanya yang mana?” seru Ayu menahan kesal.

“Apa pun pilihan kamu, aku pasti suka, Ay. Kamu aja yang pilih, ya! Sesuaikan aja sama baju pengantin kamu,” jawab Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Ntar kamu nggak suka, Nan. Kalau warnanya putih juga, bagus atau nggak, sih? Kayak gimana gitu, ya?”

“Yang ini aja, deh!” Nanda menunjuk salah satu jas berwarna cream dengan lis cokelat keemasan.

Ayu mengangguk. “Oke. Ambil yang ini aja.”

Nanda tersenyum sambil menatap Ayu yang sedang berbincang dengan pegawai butik tersebut. Hal sederhana yang kerap dipermasalahkan oleh wanita hanyalah ketika pria mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Meski jawaban sama dari pertanyaan sama, akan menjadi berbeda saat moment-nya pun berbeda. Mood wanita memang mudah berubah, bahkan hanya karena hal sepele saja.

 

 

Di saat bersamaan ...

Nia tersenyum lebar saat melihat kotak seserahan dan mahar pernikahan untuk puteranya sudah tersusun rapi dan cantik di ruang keluarga. Ia menoleh pada Yuna, Icha dan Mira, sahabat sejak masih muda dan kini ikut membantunya mempersiapkan pernikahan puteranya.

“Makasih ya, kalian udah repot-repot bantu aku mempersiapkan ini semua,” ucap Nia sambil tersenyum manis.

“Nggak papa, kami senang karena bisa membantumu. Pernikahan sebelumnya, kamu tidak melibatkan kami,” ucap Yuna sambil menatap wajah Nia.

“Tapi ... aku nggak bisa ikut ke Solo, Nia. Pernikahan Nanda dan Roro Ayu akan digelar di Solo? Beneran nggak bikin resepsi di Surabaya juga?” tanya Mira sambil menatap wajah Nia.

Nia menggelengkan kepala. “Cukup di sana aja, Mir. Kesehatanku juga nggak sebaik dulu. Kalau harus gelar resepsi lagi, aku nggak mampu.”

“Kamu beneran nggak dateng, Mir? Nggak penasaran sama pernikahan ala keraton?” tanya Icha.

“Lumayan penasaran. But, aku tetep nggak bisa datang karena bertepatan dengan upacara kematian suamiku, Cha,” jawab Mira. “Eh, si Ayu kenapa pesen gaun modern mix tradisional gitu? Di keraton, nggak harus pakai baju khas sana, ya?” tanya Mira.

“Pakai. Mungkin, ada beberapa yang sudah disiapkan sama keraton dan dia menginginkan gaun khusus untuk dia sendiri.”

“Oh. I see.” Mira mengangguk-anggukkan tanda mengerti.

Yuna tersenyum sambil duduk kembali di sisi Nia. “Kalau ada almarhumah Jenny, dia pasti yang paling bersemangat menyiapkan pernikahan anak-anak kita,” ucapnya. Ia selalu tersenyum sambil menitikan air mata saat teringat pada salah satu sahabat mereka yang harus pergi lebih dahulu.

Nia tersenyum sambil mengelus lembut pundak Yuna. Dari mereka semua, Yuna dan Jheni adalah sahabat yang berteman paling lama karena teman sejak kecil. Sedang ia adalah wanita paling terakhir yang dekat dengan mereka karena hubungannya dengan Andre. Ia merasa sangat bahagia karena mendapatkan dunia baru. Meski terkadang, Andre lebih banyak menghindari interaksinya dengan Yuna. Walau bagaimana pun, suaminya itu pernah menjadi pria yang begitu mencintai Yuna. Jika tidak ada Yeriko yang begitu kuat, mungkin Yuna akan bersanding dengan suaminya.

Nia kembali melanjutkan menyiapkan keperluan pernikahan Nanda bersama dengan teman-teman lamanya sambil bercanda tawa bahagia. Ia harap, pernikahan puteranya kali ini mendapat restu dari langit dan kehidupan rumah tangganya bisa bahagia.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Bab 75 - Lamaran yang Kacau

 



Nanda menghampiri tubuh Nia yang masih duduk di kursi roda sambil menikmati pemandangan dari luar jendela kamar rawatnya. “Mama, I have something for you,” bisiknya sembari memeluk tubuh Nia dari belakang dan mengulurkan bucket bunga untuk wanita istimewa yang telah memberinya hidup dan menghidupkannya itu.

Nia langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. Ia tersenyum saat puteranya itu begitu romantis. Membuatnya teringat akan masa-masa mudanya saat bersama Andre. “Kenapa tiba-tiba jadi romantis seperti ini ke Mama?” tanyanya.

“Nggak boleh?” tanya Nanda sambil tersenyum manis.

“Boleh banget. Kalau perlu, kamu setiap hari seperti ini. Mama pasti bahagia banget,” ucap Nia sambil menyentuh lembut pipi Nanda.

“Dalam satu bulan, Mama udah bisa buka toko bunga,” ucap Nanda sambil tertawa kecil.

Nia ikut tertawa menanggapi ucapan Nanda. “Boleh juga. Mama jualan bunga untuk ngisi waktu luang di hari tua biar nggak bosan.”

“Hmm ... katanya mau main sama cucu? Kalau sibuk sama bunga, ntar cucunya dicuekin.”

“Kalau kamu kasih mama cucu, mama pasti prioritaskan main sama cucu, dong. Kapan kamu menikahi Ayu?” tanya Nia.

Nanda tersenyum dan beringsut ke hadapan Nia. Ia berjongkok tepat di depan wanita itu dan menggenggam tangan Nia. “Ma, kalau aku menikahi Ayu ... apakah Mama akan menyayangi dia seperti anak Mama sendiri?”

Nia mengangguk sambil tersenyum manis. “Siapa pun wanita pilihanmu, Mama akan menyayangi dia seperti Mama menyayangi kamu.”

“”Makasih, Ma ...! Aku janji akan membuat istriku juga menyayangi Mama seperti mamanya sendiri.”

Nia mengangguk sambil tersenyum. “Mama harap, kamu bisa membawa istrimu menjadi anak mama yang baik. Yang sayang sama mama kamu dan tetap sayang sama ibunya sendiri.”

Nanda menganggukkan kepala dan mencium punggung tangan Nia. “Maafin Nanda karena selama ini sudah membuat Mama bersedih terus-menerus. Mama harus sehat, ya! Kalau Mama udah sehat, Nanda janji akan kasih cucu yang banyak supaya Mama nggak kesepian di rumah.”

Nia menganggukkan kepala. “Jadi, kapan kamu akan menikah dengan Ayu?”

“Setelah papa merestui kami,” jawab Nanda sambil melirik ke arah Ayu dan papanya yang sudah berdiri di belakang tubuh mamanya itu.

“Kapan papamu akan memberikan restu, Nan. Usiamu dan Ayu sudah semakin tua. Mau sampai kapan hubungan kalian seperti ini? Kalau nggak bisa punya keturunan, gimana? Mama yang punya anak satu aja, sekarang udah ngerasa kesepian karena anak Mama sudah dewasa dan punya kehidupan sendiri,” ucap Nia sambil menatap pilu ke arah Nanda.

Nanda tersenyum sambil menyentuh lembut pipi mamanya. “Mama nggak perlu khawatir! Nanda pasti akan kasih cucu yang banyak buat Mama. Supaya Mama nggak kesepian, supaya istriku juga nggak kesepian di hari tuanya.”

“Janji?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. Ia memutar kursi roda Nia. Menghadapkan wanita itu pada Andre dan Ayu yang sudah berdiri berdampingan di sana.

“Mas Andre? Ayu? Ka-kalian ...?”

Ayu tersenyum sambil merangkul lengan Andre. “Aku dan Nanda akan segera menikah. Papa Andre sudah merestui hubungan kami. Jadi, Mama Nia harus sehat supaya bisa menikahkan kami!” ucapnya.

Nia langsung tersenyum lebar sambil menutup mulutnya yang ternganga lebar. “Gimana ceritanya ... Mas Andre, kamu benar-benar merestui hubungan Ayu dan anak kita?”

Andre mengangguk sambil tersenyum manis. Ia melangkah perlahan menghampiri Nia. “Maafkan aku karena terlalu takut akan masa depan anak kita. Aku lupa bahwa sekarang dia sudah menjadi pria dewasa.”

Nia tersenyum manis. Ia bangkit dari kursi roda dan memeluk tubuh Andre. “Aku juga punya rasa takut yang sama. Tapi kita harus belajar bijak jadi orang tua. Nggak boleh egois. Saat anak udah dewasa, dia bukan milik kita lagi, Mas,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Sungguh, hati Nia sangat berat ketika mendengar kata pernikahan. Sedih bercampur bahagia. Tidak ada orang tua yang tidak sedih ketika anak yang sudah ia rawat selama kurang lebih dua puluh tahun lamanya, harus ia serahkan untuk orang lain. Membiarkan anak-anak mereka itu menghabiskan waktunya lebih banyak bersama orang yang dicintai daripada dengan orang tuanya sendiri.

Andre memeluk erat tubuh Nia sambil menganggukkan kepala.

Nanda tersenyum sembari menghampiri Ayu yang berdiri di dekat ranjang tidur mamanya. “Ay, sudah tidak ada yang mengganjal dalam hubungan kita. Apa aku sudah boleh melamarmu di depan kedua orang tuaku?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis.

Nanda merogoh cincin berlian yang ia selipkan di kantong celananya dan menekuk lututnya di hadapan Ay.

“Ay, maukah ...”

TING!

Cincin yang dipegang Nanda tiba-tiba merosot jatuh membentur lantai, kemudian menggelinding cepat tak tentu arah hingga berhenti di bawah lemari nakas yang sempit.

“Astaga ...!” seru Nanda kesal saat cincin itu tak mau bersahabat dengannya.

“Kamu gimana sih megangnya?” Ayu langsung membungkukkan tubuhnya, mencari di mana cincin berlian itu berada.

“Aku nervous, Ay! Aku nggak pernah ngelamar cewek. Tanganku gemetaran,” sahut Nanda sambil merayap di lantai, mencari cincin berlian yang masih belum tertangkap oleh matanya.

Nia dan Andre tertawa melihat kekacauan lamaran yang terjadi. Terlebih, Nanda masih terus merayap mencari keberadaan cincin berlian yang akan digunakan untuk melamar Ayu.

“Pa, jangan ketawa! Bantuin cari cincinnya!” pinta Nanda sambil menggeser sofa dan semua perabotan yang ada di dalam ruangan tersebut hingga menjadi kacau balau.

“Nan, kamu niat ngelamar aku atau nggak, sih? Kenapa cincinnya malah dihilangkan?” tanya Ayu sambil menahan kesal.

“Niat, Sayang! Ya Allah ...!” Nanda berlari menghampiri Ayu. Menangkup kepala wanita itu dan menciumi wajahnya. “Aku cari dulu cincinnya.”

Nia dan Andre terkekeh melihat sikap puteranya yang masih kebingungan mencari cincin itu. Meski mereka melihat ke mana arah cincin itu menggelinding, mereka sengaja tidak memberitahukan Nanda.

Nanda menggeser ranjang pasien yang ada di ruangan tersebut. Kemudian, menggeser lemari nakas yang menjadi target terakhirnya.

“AY, KETEMU ...!” seru Nanda sambil meraih cincin itu dari lantai dan meniupnya. Masih menggosoknya di kain celana  yang ia kenakan agar tidak kotor dan melompat ke atas tempat tidur. Kemudian, menarik lengan Ayu dengan cepat.

Ayu langsung mengerutkan bibir sambil menahan senyumnya.

“Kita jadi nikah ‘kan? Gimana kalau kamu yang lamar aku aja biar nggak salah-salah? Aku nervous,” ucap Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu langsung menoleh ke arah Andre dan Nia. “Oom, masa Ayu yang disuruh lamar dia? Dia nggak mau lamar aku, dong? Nggak jadi nikah, nih!”

“Hehehe. Jangan gitu dong, Ay! Iya, iya. Aku yang lamar kamu,” sambar Nanda sambil memperbaiki posisi duduknya. Ia duduk di tepi ranjang dengan dua kaki tergantung dan menarik tubuh Ayu agar merapat dengannya.

“Ay, apakah kamu mau menikah dengan lelaki brengsek ini?” tanya Nanda sambil menatap lekat wajah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kamu sudah lima belas tahun jadi pria brengsek. Sudah waktunya pensiun. Harus berubah jadi pria baik, suami yang baik, ayah yang baik dan kakek yang baik di masa depan.”

Nanda mengangguk. “I promise. Aku akan menjadi apa pun yang kamu katakan dan kamu inginkan.”

Ayu tersenyum manis sambil mengulurkan jemari tangannya. “Jadi pasangin aku cincin, nggak?”

Nanda tertawa kecil. Ia segera memasangkan cincin itu ke jari manis Ayu dan mengecup lembut punggung tangan wanita itu. “I love you, Ay ...!”

“So am I,” sahut Ayu sambil tersenyum manis.

Nanda langsung memeluk erat tubuh Ayu dan mengulum bibir wanita itu penuh cinta. Ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa menjalani setiap paginya bersama dengan wanita itu. Ia tahu, ada banyak hal buruk di dunia yang tidak bisa ia kendalikan dan membuatnya terjerumus.

Satu hal yang paling ia sesali ketika remaja adalah ia tidak mampu membatasi pergaulannya sendiri hingga pergaulan bebas adalah sebuah kebanggaan untuk dunianya. Hingga membuat masa depannya begitu suram. Ayu adalah satu-satunya wanita yang berani menghukumnya dengan kejam agar ia bisa menjadi pria yang baik di masa depan. Dan hari ini ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pria baik dan melahirkan anak-anak yang baik pula untuk kehidupan-kehidupan berikutnya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 



 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas