Wednesday, August 17, 2022

Bab 46 - Back to Our

 


Nanda tersenyum saat melihat Ayu mencicipi hasil masakannya. Mereka sudah duduk di bawah salah satu pohon pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.

“Gimana? Enak?” tanya Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Mmh ... lumayan,” jawab Ayu sambil mengunyah mencicipi sup daging buatan Nanda.

Nanda tersenyum lega. Ia mulai mencicipi porsi sup miliknya dan menikmati suasana taman yang sepi dan tenang. “Kamu sering ke sini?”

Ayu mengangguk.

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Nggak takut ada yang godain kamu?” tanya Nanda sambil mengedarkan pandangannya.

Ayu menggeleng. “Di sini aman dan aku selalu bawa chili spray untuk jaga diri,” jawabnya santai.

“Dari mana kamu kepikiran buat bawa begituan?” tanya Nanda lagi.

“Karena aku nggak bisa bela diri, aku juga nggak bisa mengandalkan orang lain untuk menjagaku. Jadi, aku harus mengandalkan diriku sendiri,” jawab Ayu.

Nanda tersenyum dan menggenggam tangan Nanda. “Mulai hari ini ... aku yang akan jaga kamu.”

“Nggak usah ngegombal di depanku! Emangnya kamu bisa dua puluh empat jam nempel mulu ke aku? Nggak kerja? Nggak sosialisasi sama orang lain?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Aku akan kerja di samping kamu. Aku akan sosialisasi barengan sama kamu. Duniamu akan jadi duniaku juga,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Kamu ini lagi ngomong serius atau bercanda?”

“Ck. Serius, Ay. Emangnya mukaku nggak kelihatan serius?”

Ayu menggeleng.

Nanda langsung meletakkan mangkuk sup di tangannya. Ia menggeser posisi duduknya dan bersila di hadapan Ayu. Nanda menarik napas dalam-dalam dan memasang wajah serius. “Aku serius, Ay. Can you go back to me?”

“Kalau aku nggak bisa?”

“I’ll keep walking to you,” jawab Nanda serius.

Ayu tersenyum mendengar ucapan Nanda.

Nanda ikut tersenyum menikmati wajah Ayu yang terlihat sumringah. “Kamu mau buka hati kamu lagi buat aku ‘kan?”

“Hatiku nggak pernah tertutup buat siapa pun. Hanya saja ...”

“Apa?”

“Aku tidak diizinkan masuk kembali ke dalam keraton eyangku karena statusku yang hamil di luar nikah. Kalau kamu memang cinta sama aku ... dapatkan restu dari keluarga besarku!” pinta Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Sampai sekarang kamu masih belum boleh masuk ke rumah keluargamu sendiri, Ay? Bukankah kamu bisa masuk ke sana setelah menjalani upacara ... apa itu namanya?”

“Kesucen?”

Nanda mengangguk.

Ayu tersenyum. “Setiap rumah punya aturan, Nan. Aku adalah garis keturunan langsung dari eyang dan harus menjadi contoh yang baik untuk puteri-puteri keraton lainnya. Seharusnya, aku mendapatkan hukuman karena aku melanggar aturan. Tapi bunda dan ayah sudah memohon keringanan karena mereka tidak mau melukai janin yang aku kandung,” jelasnya.

“Aku boleh masuk keraton kembali setelah menjalani upacara menyucikan diri. Dan syarat untuk melakukan upacara itu tidak mudah. Bukan hanya aku yang harus melakukannya, tapi juga kamu. Upacara pernikahan kita saja, sudah membuatmu snewen dan tidak nyaman. Bagaimana dengan upacara kesucen yang dianggap nggak masuk akal untuk orang-orang awam? Aku takut, kamu nggak bisa menghadapinya,” lanjutnya sambil menundukkan kepala.

“Ay, kamu cukup bilang ke aku semua syarat yang harus kita penuhi dan aku akan berusaha melakukannya dengan baik. Kalau aku gagal, aku akan mencobanya lagi sampai kita berhasil mendapatkan restu dari keluarga keratonmu. Maafkan aku yang sudah membuatmu terusir dari istanamu sendiri, Ay,” ucap Nanda sambil menggenggam kedua tangan Ayu dan menciuminya.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Sudah jalan takdirku seperti ini. Aku hanya ... sering merindukan tempat lahirku saja.”

“Aku akan membawamu kembali ke sana. Bagaimana kalau kamu tunda program doctorate kamu? Kita menikah lagi!” ajak Nanda.

“Menikah?” Ayu langsung melepas tangannya dari genggaman Nanda.

Nanda mengangguk. “Kamu nggak mau nikah sama aku lagi?”

Ayu menggigit bibirnya sambil berpikir sejenak.

“Sejak kamu tinggal di London, apa pernah mengunjungi anak kita? Kamu tidak ingin pulang? Tidak merindukan dia?” tanya Nanda sambil tersenyum ke arah Ayu.

DEG!

Pertanyaan Nanda kali ini langsung menusuk ke ulu hatinya. Sejak ia dibawa pergi ke luar negeri, ia tidak pernah kembali ke Indonesia. Ia bahkan tidak pernah mengunjungi pusara anaknya. Air matanya langsung mengalir begitu saja saat mengingat masa-masa kehamilan dan penantiannya untuk melihat wajah sang putera, tapi tidak pernah ia lihat.

“Setiap tanggal kelahirannya, aku selalu mengunjungi Axel. Setiap hari ulang tahunnya, aku selalu membawakan hadiah untuk dia. Dua minggu lagi, ulang tahun dia yang keempat. Kalau dia masih hidup, tahun ini dia sudah masuk sekolah TK. Aku sudah berjanji pada Axel untuk membawa kamu sebagai hadiah ulang tahunnya tahun ini,” ucap Nanda sambil menahan air matanya jatuh. “Kalau kamu nggak bersedia kembali karena aku, kembalilah untuk Axel. Setidaknya, kamu punya waktu untuk mengunjungi dia meski hanya sekali.”

Ayu terdiam sambil menatap wajah Nanda yang menangis di hadapannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Ia sudah menangisi kepergian puteranya begitu lama dan air mata tidak cukup untuk menggambarkan rasa sakitnya kali ini.

“Kamu nggak percaya sama aku?” tanya Nanda sambil mengusap matanya yang basah dan mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ia langsung memperlihatkan foto-foto yang ia ambil setiap kali mengunjungi pemakaman puteranya.

“Nan, apa maksudmu seperti ini?” tanya Ayu sambil berusaha menahan air matanya untuk jatuh.

“Supaya kamu kembali ke aku, kembali ke Axel, kembali ke keluarga kita. Aku janji, tidak akan menyakitimu lagi!” jawab Nanda sambil menitikan air mata.

“Kamu ini ... kenapa jadi cengeng banget?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nanda. “Dulu, kamu nggak pernah nangis kayak gini?”

Nanda meringis sambil mengusap air matanya. “Entahlah. Apa pun tentang kamu dan Axel, selalu membuat air mataku keluar begitu saja. Air mata ini bukan sedang menangis, tapi sedang merindukan kalian.”

Ayu tersenyum sambil menyentuh lembut pipi Nanda. Ia mengusap lembut pipi pria itu dan mengecup sekilas bibirnya.

Nanda tertegun selama beberapa saat ketika Ayu menciumnya. Ia langsung tersenyum lebar dan menatap mata wanita itu penuh harap. “Mau pulang ke Indonesia ‘kan?” tanya Nanda sambil menggenggam tangan Ayu. “Aku janji, akan memintamu secara baik-baik ke keluargamu. Apa pun hukumannya, akan aku jalani asal kita bisa bersama lagi. Asal kamu cinta sama aku, aku akan berjuang.”

Ayu mengangguk kecil. “Makanlah dengan baik! Jangan terlalu banyak bicara! Supnya keburu dingin.”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Apa kita bisa kembali ke Indonesia besok pagi?”

“Aku nggak bisa terburu-buru. Harus menyelesaikan semua urusanku terlebih dahulu sebelum aku pergi. Lagipula, acara ulang tahun anak kita masih dua minggu lagi ‘kan?”

Nanda mengangguk. “Tapi ...”

“Apa?”

“Sonny  akan menikah tiga hari lagi dan dia memintaku membawamu pergi ke pesta pernikahannya. Kamu mau datang?”

“Eh!? Sonny mau menikah? Kenapa dia nggak kabari aku?” tanya Ayu sambil meraih ponselnya dan mencari nomor kontak Sonny.

“Nggak usah hubungi dia! Ntar dia nggak jadi nikah sama cewek itu karena ingat kamu terus,” pinta Nanda sambil  menahan pergelangan tangan Ayu.

Ayu berpikir sejenak, kemudian meletakkan ponselnya kembali. “Sebelum kembali ke Indonesia. Aku punya beberapa permintaan darimu.”

“Apa?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.

“Aku akan jawab setelah makanan kita habis,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“Oke.” Nanda langsung mengambil kembali makanan di hadapannya dan memakannya dengan cepat agar ia bisa memenuhi permintaan Ayu dan membawanya kembali ke Indonesia. Ia tahu, permintaan wanita seperti Ayu tidak akan muda. Ia harus menyiapkan banyak tenaga dan pikiran untuk mewujudkan permintaan Ayu yang mungkin ... rumit.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 


Bab 45 - Ciuman Hangat

 


Nanda langsung menyambar kantong belanja dari tangan Ayu begitu melihat wanita itu sedang berbelanja di salah satu minimarket yang ada di kota tersebut. “Pacarmu yang tadi mana? Nggak temenin kamu belanja?” tanyanya.

Ayu terdiam sejenak mendengar pertanyaan Nanda.

“Dia sibuk?” tanya Nanda lagi.

“Emangnya, pacar harus ada dua puluh empat jam buat kita?” sahut Ayu sambil berusaha menarik kantong belanja dari tangan Nanda.

“Nggak harus, sih. Tapi ... setidaknya dia bisa nemenin kamu karena ada aku di kota ini. Nggak takut kalau aku ngerebut kamu dari dia?” tanya Nanda sambil melangkah santai dan membawa kantong belanja milik Ayu.

Ayu menghela napas sambil mengikuti langkah Nanda. “Aku pikir, dia udah balik ke negaranya,” batinnya.

“Nan, kamu nggak balik ke Indo?” tanya Ayu sambil mengejar langkah Nanda.

“Aku balik kalau kamu mau balik juga ke sana.”

“Kalau aku  nggak mau?”

“Aku bisa pindah ke kota ini. It’s a good place,” jawab Nanda santai.

Ayu memutar bola matanya. “Kamu ini nganggur banget sampai punya waktu buat main-main di sini?”

Nanda langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ayu. “Aku sedang berjuang, Ay. Bukan sedang bermain.”

Ayu menghela napas dan tertunduk lesu. Ia benar-benar tidak bisa menghindar lagi dari Nanda. “Harusnya, kamu ngelakuin ini tiga tahun lalu. Kenapa baru sekarang?” gumamnya.

Nanda menatap wajah Ayu dan melangkah mendekati wanita itu. “Aku tahu, aku terlambat. Bisa kasih aku kesempatan? Aku janji, nggak akan sia-siakan kamu lagi.”

Ayu menatap lekat mata Nanda. Mencoba mencari ketulusan dari mata pria itu dan tatapannya malah membuatnya tidak bisa menolak permintaan pria itu. “Aku nggak yakin kalau kamu ...”

“Aku akan buktikan dan yakinkan kamu, Ay. Please ...! Kasih aku kesempatan lagi! Aku tahu, Blaize bukan pacarmu sungguhan ‘kan?”

“Kamu tahu dari mana?”

“Aku ke Rion Cafe dan dia ada di sana,” jawab Nanda berbohong.

Ayu langsung menatap ke arah yang tak menentu. Berusaha menyembunyikan perasaannya karena ketahuan berbohong.

Nanda menangkup wajah Ayu dengan satu telapak tangannya. “Ay, kita masih punya kesempatan untuk berbaikan. Bisakah kita berbaikan seperti dulu? Menjadi suami-istri yang bahagia seperti yang lainnya.”

“Aku nggak yakin.”

“Yakinlah, Ay! Aku bakal buktikan ke kamu. I promise. Asal kamu kasih aku kesempatan sekali lagi!” pinta Nanda.

Ayu menarik napas dalam-dalam sembari menatap wajah Nanda. “Aku mau lihat usahamu dulu!”

“Oke.” Nanda langsung tersenyum lebar. Ia menarik napas lega, berbalik dan melangkah bersemangat menuju flat tempat tinggal Roro Ayu. Wanita itu belum mengetahui kalau saat ini ia tinggal bersebelahan dengan flat miliknya. Ia harap, Ayu tidak pernah mengetahuinya agar ia memiliki alasan untuk tetap tinggal satu flat dengan wanita itu.

Ayu tersenyum kecil. Ia tahu, menghindar bukan lagi pilihannya saat ini. Jika cinta itu masih ada dan terlanjur membeku, ia masih bisa berharap mendapatkan kehangatan agar hatinya bisa mencair perlahan dan menikmati keindahan cinta yang sudah lama tak ia rasakan.

“Hari ini kamu mau masak apa?” tanya Nanda sambil meletakkan kantong belanja di atas meja pantry begitu ia sudah masuk ke dalam rumah Ayu.

“Nggak tahu mau masak apa,” jawab Ayu.

Nanda menghela napas. “Biar aku yang masak buat kamu. Oh ya, di sini ada taman bagus yang bisa kita gunakan untuk bersantai. Gimana kalau kita makan sore di sana setelah aku selesai masak?”

“Kamu bisa masak?” tanya Ayu sambil menatap ragu ke arah Nanda.

“Bisa. Meski hanya masakan sederhana. Aku belajar memasak selama aku di lapas,” jawab Nanda sambil tersenyum.

“Hmm ... penjara ada bagusnya juga untuk kamu,” ucap Ayu sambil melepas sweeter yang ia kenakan dan membantu Nanda menyiapkan bahan-bahan yang akan mereka masak.

“Penjara itu nggak buruk. Yang buruk orang-orangnya di dalamnya,” sahut Nanda.

“Udah ngaku?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Nanda.

“Aku nggak pernah mengingkari perbuatanku, Ay. Aku cuma nggak habis pikir sama keluarga besarmu yang menuntut aku habis-habisan. Padahal, aku nggak ngelakuin tindakan kriminal. Aku nidurin kamu juga atas dasar suka sama suka,” jawab Nanda.

“Apa? Suka sama suka!?” Mata Ayu terbelalak mendengar ucapan Nanda. “Aku nggak pernah suka sama kamu.”

“Oh ya?” Nanda menarik pinggang Ayu dan merapatkan ke tubuhnya. “Look at me! Beneran nggak pernah suka?”

Ayu terdiam sambil berusaha menelan salivanya dengan susah payah saat mata Nanda tepat berada di depan matanya. Wajah tampan ini begitu menyenangkan dan bola matanya begitu menyiratkan kenyamanan.

“Kenapa diam aja?” bisik Nanda sambil melingkarkan satu lengannya lagi ke pinggang Ayu. “Kamu nggak mau ngaku kalau kamu suka sama aku? Nggak ada cewek yang nggak suka lihat cowok ganteng kayak aku.”

“Kepedean banget, sih!?” dengus Ayu sambil mendorong dada Nanda agar melepas pelukannya.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya.

“Lepasin, Nan!” pinta Ayu sambil berusaha menarik lengan Nanda yang begitu kekar saat mendekap tubuhnya.

“Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu jawab pertanyaanku,” tegas Nanda sambil menatap wajah Ayu.

Ayu tetap berusaha berkelit. Ia menoleh ke arah kompor yang sudah menyala. “Masakan kita ntar gosong.”

“Itu cuma sup, nggak akan gosong,” sahut Nanda sambil mengalihkan kedua telapak tangannya, menekan punggung Ayu hingga dada wanita itu merapat ke dadanya. “Jawab pertanyaanku, Raden Roro Ayu Rizki Prameswari!” pintanya.

Ayu menatap wajah Nanda sambil meletakkan kedua telapak tangannya di dada pria itu agar tubuhnya tak langsung bersentuhan. Bola matanya tertuju pada wajah Nanda dan tidak tahu apa yang harus ia katakan karena saat ini perasaan hatinya sedang tak karuan.

Nanda melirik dada Ayu yang ada di bawahnya. Ia melihat rantai kalung yang tersembunyi di balik pakaian wanita itu dan teringat akan salah satu potret Ayu yang terpajang di kamarnya. Potret yang mengenakan kalung dengan liontin cincin yang membuatnya sangat penasaran karena potret itu terlalu jauh dan membuatnya tak bisa melihat jelas.

“Kamu lihat apaan!? Mesum banget, sih!?” dengus Ayu sambil memukul dada Nanda.

Nanda semakin mengeratkan pelukannya. “Aku sudah lihat semuanya, Ay. Aku tahu kamu luar dalam. Buat apa masih malu-malu?” tanya Nanda sambil merogoh rantai kalung dari dalam tubuh Ayu dan mengeluarkannya.

Ayu melebarkan kelopak mata saat liontin cincin pernikahannya tergantung tepat di bawah jari-jari tangan Nanda. Matanya tiba-tiba menghangat dan hatinya bergejolak tak karuan. Ia tidak ingin siapa pun mengetahui kalau ia masih menyimpan cincin pernikahan itu dengan baik di dalam dadanya dan mengenakannya setiap hari, terutama Nanda. Begitu Nanda menggenggam cincin itu ... rahasianya seolah terungkap begitu saja dan tak bisa ia sembunyikan lagi.

“Kenapa kamu masih simpan cincin pernikahan kita?” tanya Nanda sambil menatap lekat mata Ayu yang mulai berkaca-kaca.

Ayu menarik napas kasar sambil mengusap air matanya yang nyaris membasahi pipi.

“Ay, jawab! Kamu masih cinta sama aku ‘kan?”

Ayu menggeleng sambil mengusap matanya yang basah.

“Kenapa nangis?”

“Aku nggak tahu, Nan,” jawab Ayu sambil menitikan air mata. Semakin ditanya, air matanya malah semakin deras dan tidak sanggup ia bendung lagi. Tumpah begitu saja di saat ia harus mengubur perasaannya dalam-dalam.

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menengadahkan kepala. Menahan air matanya agar tidak ikut jatuh seperti sepasang mata milik Ayu yang kini sedang banjir. Telapak tangannya menyentuh kepala belakang Ayu dan membenamkan kepala wanita itu ke dadanya.

“Ay, kita pernah tertawa bersama, terluka bersama, menangis bersama bahkan menahan penderitaan bersama selama tiga tahun ini. Aku nggak pernah mengakui kalau aku pernah menyukaimu saat kita masih SMA. Saat pertama kali kamu terluka karena menyelamatkan nyawaku. Saat itu perasaanku benar-benar tak karuan. Aku menyukaimu, tapi kamu adalah wanita kesayangan sahabatku. Sampai akhirnya ... takdir buruk menyatukan kita dengan cara yang begitu menyiksa. Tapi aku tidak pernah menyesalinya, Ay. Aku bahagia dengan penderitaan ini karena aku sempat memilikimu,” ucap Nanda sambil menahan rasa sesak di dadanya. Saat kalimat terakhir terucap dari bibirnya, ia merasa sangat lega.

Ayu langsung menengadahkan kepalanya menatap Nanda. “Kamu beneran suka sama aku sejak masih sekolah?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum. Ia mengusap air mata Ayu dan menangkup wajah wanita itu perlahan. Nanda menatap lekat mata Ayu dan semakin mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu.

Ayu memejamkan mata perlahan ketika bibir Nanda menyentuhnya begitu lembut. Rasa ini sudah lama tak ia rasakan dan kecupan lembut dari pria ini melepaskan semua beban yang selama ini bergelayut di kepalanya. Tanpa ia sadari, nalurinya terus membawanya menikmati kehangatan yang diberikan Nanda dan membuatnya semakin bergairah membalas perlakuan mesra pria itu.

Nanda tersenyum puas setelah ia melepaskan ciumannya. Ia mengusap lembut pipi Ayu dan berkata, “kita lanjutkan masaknya! Setelah ini ... kita nikmati makanannya di taman. Ada banyak hal yang ingin aku diskusikan sama kamu, Ay.”

Ayu mengangguk setuju. Ia segera membantu Nanda menyelesaikan masakannya dan menyiapkan semua hal yang ia butuhkan untuk menikmati sore hari di Cherry Hinton Hall, salah satu taman yang cukup nyaman untuk bersantai di kota tersebut. Ia tidak tahu apa yang akan didiskusikan oleh pria ini. Ia harap, hal ini bisa membuat hubungan mereka menjadi lebih baik lagi.

Semua wanita ditakdirkan untuk menjadi penerima. Apa pun yang akan dilakukan Nanda, ia hanya bisa menerimanya. Sebab, menolak kehadirannya tetap saja tidak bisa membuatnye hidup tenang dan bahagia. Hatinya tetap rindu, rindu pada pria brengsek yang telah berhasil menjadi seorang ayah untuk anak yang pernah tumbuh di rahimnya.

Beberapa menit kemudian, Nanda dan Ayu sudah duduk bersama di bawah pohon pinus yang ada di Cherry Hinton Hall.

“Ay, kuliahmu di sini masih lama?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku sudah menyelesaikan S2 aku sekitar sebulan lalu. Aku lulus lebih cepat dari waktu yang seharusnya,” jawabnya sambil tersenyum.

“Oh ya? Kenapa kamu tidak kembali ke Indonesia?” tanya Nanda lagi.

“Aku lagi mempersiapkan diri untuk ambil Doctorate,” jawab Ayu sambil tersenyum.

“S3?” Nanda mengernyitkan dahi. “Apa kamu nggak berniat untuk kembali ke Indo lagi? Kenapa belajar terus? Nggak capek? Nggak bosan?”

Ayu menggelengkan kepala. “Nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain belajar.”

“Pulang ke Indonesia dan kita lakukan banyak hal bersama!” pinta Nanda sambil menggenggam tangan Ayu.

Ayu terdiam. Ia sendiri tidak tahu apakah ia harus tetap tinggal di kota ini atau kembali ke Indonesia. Ia sudah lama tidak mengunjungi keluarganya dan ia tidak punya muka untuk menginjakkan kakinya di tempat yang telah memutuskan takdirnya tiga tahun lalu.

 

 

 

 

 

 

((Bersambung ...))

Bab 44 - Saran dari Okky dan Nadine

 


Ayu menghela napas lega ketika Nanda sudah keluar dari dalam flat rumah yang ia tinggali. “Thank you, Blaize! Aku nggak tahu gimana cara mengusir dia dari sini.”

“He is your husband?” tanya Blaize sambil tersenyum.

Ayu mengangguk. “My ex husband.”

“How I say in Bahasa?”

“Mantan,” jawab Ayu sambil tertawa.

“Owh ... mantan? Itu seperti makanan yang kamu berikan untukku waktu itu ...”

“Itu ketan, Blaize,” sahut Ayu meralat.

“Oh. Different?” tanya Blaize sambil menatap wajah Ayu.

“Yeah.” Ayu mengangguk-anggukkan kepala dan melanjutkan menyiapkan masakannya.

“Still love him?” tanya Blaize sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menggeleng. Bukan ingin mengatakan tidak, tapi ingin mengatakan kalau ia juga tidak tahu dengan perasaannya sendiri.

“Jika kamu tidak mencintainya, kamu tidak akan terganggu dengan kehadirannya. Sama seperti aku saat ini yang ada di dekatmu,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.

Ayu menghela napas. “Aku bingung, Blaize. Terlalu banyak rasa sakit saat aku bersama dia. Juga terlalu banyak hal sakit yang tidak bisa aku lupakan di masa lalu kami.”

“Roro ... love is about fight. You have to love bravely. Kamu pernah mengatakan kalau kamu tertusuk pisau karena menyelamatkan dia. If you never love him, you never give your blood to him.”

“Itu hanya sebatas rasa kemanusiaan. Bukan cinta,” jawab Ayu sambil menyusun masakannya di atas meja. Selama tiga tahun ini ... Blaize adalah satu-satunya orang yang tahu bagaimana kehidupan masa lalunya. Profesi Blaize yang juga sebagai penulis buku fiksi, membuat mereka sering bersama di perpustakaan dan bertukar cerita mengenai banyak hal yang mereka temui.

“Tapi takdirmu selalu tertuju ke sana. Kamu ingin melawan takdirmu dengan pergi jauh. Tapi takdir itu tetap mengejarmu. How?”

Ayu menghela napas. “Entahlah, Blaize. Ganti topik pembicaraan saja! Aku tidak ingin membicarakan dia. Breakfast, yuk!”

Blaize segera melepas apron di tubuhnya. Ia duduk di meja makan mungil ruangan tersebut den bercerita banyak hal tentang apa yang akan mereka tuliskan untuk masa depan.

 

...

 

Sementara itu ...

Nanda melangkahkan kakinya tak bersemangat menyusuri pedestrian kota London. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah mengetahui kalau Ayu memiliki kekasih di kota ini. Harus merebutnya kembali atau merelakannya bahagia bersama orang lain?

Tiiin ...!

Suara klakson mobil, membuyarkan lamunan Nanda.

“Nanda, ya?”

Nanda langsung menoleh ke arah mobil sport yang sudah berhenti di dekatnya. “Rocky? Nadine? Kalian di sini?”

“He-em. Lagi liburan. Kamu ngapain di sini?” tanya Rocky.

“Jalan-jalan aja,” jawab Nanda.

“Kerja?” tanya Rocky.

Nanda mengangguk.

“Dia lagi ngejar Roro Ayu lagi,” bisik Nadine di telinga Rocky.

“Eh!? Tahu dari mana?”

“Roro Ayu tinggal di sekitar sini. Dia di sini, pasti nyari Roro Ayu,”  jawab Nadine.

“Oh.” Rocky manggut-manggut dan menoleh ke arah Nanda. “Kebetulan ketemu di sini. Ngopi, yuk!” ajaknya.

“Ngopi?”

“He-em.” Rocky mengangguk dan menoleh ke arah coffee shop yang ada di seberang mereka. “Aku parkir mobil dulu. Kita ngopi di sana aja. Gimana?”

“Mmh.”

“Kamu lagi ngejar cewek ‘kan? Mau dapet tips dari aku atau nggak?” tanya Rocky sambil mengerdipkan matanya.

“Boleh, deh.” Nanda mengangguk setuju. Sebab, ia juga sudah tak punya cara mendapatkan Roro Ayu kembali.

Tak berapa lama, Nanda, Rocky dan Nadine sudah duduk bersama di satu kafe yang ada di sana.

“Kalian ini lagi honeymoon? Udah nikah?” tanya Nanda sambil menatap Rocky dan Nadine. “Aku nggak dapet undangan pernikahan dari kalian.”

Rocky dan Nadine saling pandang dan tersenyum.

“Kami ini friend, Nan.”

“Friendzone?” tanya Nanda.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Nadine sambil tertawa kecil.

“Kalian happy dengan hubungan friendzone seperti ini?” tanya Nanda.

Rocky mengangguk. “Kami lebih bebas aja kalau temenan. But, kami punya komitmen untuk menikah dalam dua tahun ke depan.”

“Itu mah sama aja kalian pacaran, Njir!” sahut Nanda kesal.

“Hahaha. Kami nggak pacaran. Udah lewat masa-masa itu,” tutur Rocky.

“Kami udah tunangan,” tutur Nadine sambil menunjukkan cincin berlian yang melingkar di jarinya.

Nanda manggut-manggut. “Selamat ya buat kalian!”

Rocky dan Nadine mengangguk sambil tersenyum bahagia.

“Kamu sendiri gimana? Gagal mempertahankan rumah tanggamu karena mempertahankan perusahaan keluarga?” tanya Rocky sambil menahan tawa.

Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tidak tahu harus menjawab seperti apa.

“Sekarang, kamu lagi ngejar Roro Ayu?” tanya Nadine.

“Kamu tahu dari mana? Dia cerita ke kamu?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Nadine.

Nadine menggeleng. “Dia belum cerita kalau ada kamu di kota ini. But, Roro Ayu tinggal di sekitar sini ‘kan? Kami pernah ketemu sama dia setahun lalu waktu kami ada acara di kota ini.”

Nanda manggut-manggut tanda mengerti. Ia menarik napas dalam-dalam dan menatap serius ke arah Nadine. “Dia beneran sudah punya pacar di kota ini?”

Nadine tertawa mendengar pertanyaan Nanda.

“Kenapa ketawa?”

“Wanita yang menghabiskan waktunya di perpustakaan sepanjang hari dan sibuk menulis jurnal, punya waktu buat pacaran?” sahut Nadine tanpa bisa menghentikan tawanya.

“Dia punya pacar, Nad. Aku baru ketemu sama pacar dia tadi pagi. Ada di rumah Roro Ayu dan mereka masak bareng. Ngeselin banget!” sahut Nanda sambil mendengus kesal.

“Pacar? Siapa? Blaize?” tanya Nadine.

“Kamu kenal?” tanya Nanda sambil menatap serius ke arah Nadine.

Nadine tertawa kecil sembari memutar kepalanya ke arah meja counter kafe tersebut. “See that girl!” pintanya sambil menunjuk wanita berambut blonde yang terlihat sedang mengatur karyawan di sana.

Nanda mengangguk serius. “Apa hubungannya sama Ayu?”

“Dia pemilik kafe ini dan ... calon istrinya Blaize.”

“Kamu kenal?”

“Nggak kenal. Tapi tahu karena terkadang aku sama Ayu cerita banyak hal saat kami ada waktu luang untuk video call. Yang aku tahu, wanita itu namanya Catriona. Nama Rion Cafe ini juga diambil dari nama dia. Ayu sering kerja part time di kafe ini dan mereka punya hubungan baik. Oh ya, Ayu juga ngajar Bahasa Indonesia di sini, loh. Jadi, Blaize dan Rion juga belajar Bahasa Indonesia dari dia,” jelas Nadine sambil tersenyum.

Rocky menahan tawa mendengar penjelasan Nadine. “Nan, kamu langsung percaya gitu aja sama Roro Ayu tanpa menyelidikinya terlebih dahulu?”

“Nggak kepikiran, Ky. Aku percaya gitu aja dan pikiranku langsung kacau,” jawab Nanda lemas.

“Cowok itu nggak boleh gampang nyerah. Kalau aku ... waktu Nadine bilang dia punya pacar, aku pepetin terus tuh cowok. Siapa aja cowok yang deket sama Nadine, pasti aku deketin juga. Kalau sampai dia beneran suka sama Nadine, aku kasih tahu ke dia kalau Nadine itu punyaku dan nggak boleh ada yang deketin dia,” tutur Rocky.

Nadine mengernyitkan dahi. “Semua cowok yang deketin aku, tiba-tiba menjauh karena kamu, hah!?”

Rocky terkekeh mendengar pertanyaan Nadine. “Sorry ..! Aku takut kehilangan peliharaan lucu kayak kamu,” ucapnya sambil merangkul tubuh Nadine.

“Apa itu nggak terlalu possessive, Ky?” tanya Nanda. “Aku takut, Ayu malah nggak nyaman sama aku.”

“Eits, jangan salah! Cewek itu lebih suka di-possessive-in. Meski mulut mereka ngomel dan mencak-mencak, tapi mereka akan selalu kangen loh sama posesifnya cowok. Cewek itu akan merasa bahagia kalau dia merasa dimiliki, dijaga dengan baik dan dihargai. Lu cara posesifnya yang elegan dan berkelas, dong! Jangan payah!” sahut Rocky.

“Caranya?”

Rocky langsung mendekatkan wajahnya ke wajah Nanda. Ia menatap serius ke arah Nanda. “Kamu mau tahu?”

Nanda mengangguk.

“Jangan menjauh dari dia meski hanya semenit saja! Pahami benar-benar apa mau dia saat kamu nggak ada di sisinya! Cewek yang cinta sama kita, nggak akan tega lihat kita kesulitan. Mereka lebih memilih berbohong asal kita bisa bahagia dan tidak menderita. Kalau niat mau balikan sama Roro Ayu, jangan menyerah cuma karena satu pria di samping dia. Fight, dong! Yang suka sama Nadine juga banyak. Tapi aku ajak fight satu per satu sampai aku bisa miliki dia. Martabat dan harga diri laki-laki itu terletak dari bagaimana dia memperjuangkan dan mempertahankan apa yang akan menjadi masa depannya,” tutur Rocky panjang lebar.

Nanda terdiam sejenak. Ia langsung bangkit dari kursi dan melangkah pergi. “Bayarin kopi aku, ya! Aku akan ganti setelah aku berhasil bawa Roro Ayu balik ke Indonesia,” pintanya.

“Eh!?” Rocky melongo saat Nanda tiba-tiba pergi begitu saja dari hadapannya. “Itu maksudnya ... dia nggak bakal ganti uangku kalau nggak berhasil bawa Roro Ayu ke Indonesia?”

“Nggak usah diributin! Cuma secangkir kopi doang,” pinta Nadine.

Rocky tertawa kecil. “Kasihan juga sama anak itu. Berhadapan sama keluarga keraton emang susah banget. Bunda sama Ayah juga sampe pusing bantu Oom Andre waktu itu. Meski bisa meringankan hukuman penjara untuk Nanda, tapi nggak bisa bikin dia bener-bener lolos dari hukuman. Yang susah itu hukum adat mereka. Perasaan, Satwika nggak gini-gini amat.”

Nadine tertawa kecil. “Satwika itu beda sama Roro Ayu. Meski keturunan bangsawan, tapi Satwika bukan garis keturunan langsung di keraton kesultanan. Sedangkan Ayu ... dia sudah punya gelar Raden Roro sejak lahir dan dia memang puteri keraton. Mana bisa kamu bandingkan.”

Rocky tertawa kecil. “Iya juga, ya?” Ia mengangguk-anggukkan kepala sembari menatap tubuh Nanda yang semakin menjauh dan menghilang di balik simpangan jalan yang ada di sana. Ia harap, Nanda bisa memperjuangkan kembali masa depannya dan bundanya tidak perlu ikut pusing memikirkan kehidupan salah satu sahabatnya.

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah mau sabar menunggu cerita dari author!

Mohon maaf kalau terlambat update karena author juga butuh refreshing buat nyari inspirasi dan ide-ide baru di kala mentok. Hehehe.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 43 - Harapan Besar yang Sirna

 


Ayu mengerjapkan mata saat sinar matahari masuk lewat-lewat celah jendela dan menimpa wajahnya. Telapak tangannya menyentuh sofa yang ia tiduri yang terasa sangat nyaman, tak seperti biasanya.

Ayu meraba kain di bawahnya yang terasa berbeda dan terasa seperti tubuh seseorang. Ia melebarkan kelopak mata saat menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menengadahkan kepala. Ia menelan saliva dengan susah payah sambil bangkit perlahan dari pangkuan Nanda.

“Stupid!” umpat Ayu dalam hati sambil menepuk keningnya sendiri. “Kenapa aku bisa tidur di pangkuan dia?”

Ayu terdiam saat melihat wajah Nanda yang tertidur pulas di hadapannya. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya, memperhatikan guratan wajah pria yang sudah tidak pernah ia temui selama tiga tahun belakangan ini. Tapi bayangan wajahnya selalu menjadi kawan menikmati malam-malamnya yang sepi.

Ayu menitikan air mata sambil menyentuh lembut pipi Nanda. “Nan, ratusan hari aku mencoba mengusir bayanganmu dan aku selalu gagal. Aku benar-benar tidak tahu mengapa begitu sulit menepiskanmu. Hatiku yang terlalu benci atau aku yang terlalu takut mencintai lagi?” batinnya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia merasakan pipinya disentuh oleh seseorang.

Ayu buru-buru menarik tangannya dari wajah Nanda dan bergegas melangkah pergi.

Nanda mengucek mata sembari memijat lehernya yang terasa sangat pegal. Ia membuka mata dan menatap televisi di depannya yang sudah mati dan sinar matahari telah masuk melalui celah-celah jendela rumah itu.

Nanda menyunggingkan senyum sembari merentangkan kedua tangan dengan tubuh meliuk saat menyadari kalau masih berada di dalam flat milik Ayu. Meski wanita itu tak mengajaknya bicara sama sekali. Tapi juga tidak mengusirnya pergi.

Nanda melangkah perlahan menghampiri pintu kamar Ayu dan mengetuk pintu kamar tersebut. “Ay ...!”

Hening.

“Ayu ...!” panggil Nanda lagi.

Hening.

“Ay, kenapa diam aja?” tanya Nanda sambil menempelkan daun telinganya ke daun pintu kamar Ayu.

“Ada apa?” tanya Ayu sambil membuka pintu kamar tersebut.

“E-eh.” Nanda langsung terjerembab ke lantai saat pintu yang sedang ia sandari tiba-tiba terbuka. Ia membelalakkan matanya saat ia melihat tubuh Ayu yang berdiri menjulang di atasnya dan hanya mengenakan bathrobe.

“Nanda ...! Kamu lihat apa, hah!?” seru Ayu sambil menjepitkan kedua tangannya, menutup miss v miliknya yang berada tepat di atas kepala Nanda. Ia segera memundurkan langkahnya agar pria itu tak melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.

“Ay, aku tidak menceraikanmu. Kita  masih suami istri ‘kan?” tanya Nanda. Ia malah menyilangkan kedua tangan di belakang kepala dan berbaring terlentang di lantai kamar Ayu. Ia menoleh ke arah Ayu yang sedang duduk di tepi ranjang tidurnya.

“Nggak! Pernikahan kita sudah dibatalkan,” sahut Ayu ketus.  “Kita bukan suami-istri!”

“Aku masih pegang buku pernikahan kita. Kartu ID aku juga statusnya nggak pernah ganti. Kita itu nggak bercerai, Ay. Keluargamu aja yang maksa buat pisahin kita,” ucap Nanda santai.

 “Mereka nggak maksa. Gugatan itu memang atas permintaanku sendiri,” tutur Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

Nanda terdiam sambil melipat satu kaki di atas lutua dan memainkannya dengan santai.

“Nan, bisa keluar? Aku mau ganti baju,” pinta Ayu.

“Biasanya kamu ganti baju tanpa aku harus keluar dari kamar.”

Ayu menghela napas sambil memutar bola matanya.

“Nan, kamu ini kenapa jadi muka tebal gini, sih?” tanya Ayu sambil menatap Nanda yang berbaring di lantai.

“Kamu boleh ngatain aku apa aja asal kamu izinkan aku tinggal di sini,” jawab Nanda sambil tersenyum manis.

Ayu memutar bola matanya. Ia memeluk beberapa lembar pakaian ganti miliknya dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar mandi. Ia terpaksa mengganti pakaiannya di sana dan bergegas kembali.

“Nan ...!” panggil Ayu saat melihat Nanda masih berbaring terlentang di dekat pintu kamarnya. Pria itu malah memejamkan mata dan tidur di sana tanpa beban.

“Nanda ...!” Ayu meninggikan nada suaranya.

Nanda masih bergeming.

Ayu segera menghampiri pria itu. “Nan ...!” panggilnya sembari menggoyang-goyangkan tubuh Nanda.

“Tidur lagi?” gumam Ayu sambil menatap wajah Nanda yang tertidur pulas. “Bisa-bisanya dia ini tidur di lantai. Untung ada karpetnya.” Ia menarik selimut dari atas kasurnya dan menutupkan ke tubuh Nanda.

Ayu  melangkah perlahan melewati tubuh Nanda dan bergegas keluar dari rumah tersebut.

Nanda membuka mata ketika Ayu sudah keluar dari rumah tersebut. Ia tersenyum menatap selimut yang menutupi tubuhnya. “Kamu ketus sama aku, tapi masih ingat untuk memperhatikanku, Ay.”

Nanda segera bangkit dari lantai dan bermaksud untuk kembali ke flat miliknya yang bersebelahan dengan flat milik Ayu. Belum sampai keluar, ia mengurungkan niatnya untuk pergi dari sana. “Wait! Ayu ini ‘kan kelewat cerdas. Kalau aku balik ke flat aku untuk mandi dan ganti pakaian. Aku bakal ketahuan kalau aku bohongi dia. Bisa makin kacau dunia persilatan. Lebih baik, aku tetep di sini. Pura-pura jadi gelandangan di sini,” ucapnya.

Nanda segera berbalik dan melangkah masuk kembali ke dalam kamar Ayu. Ia memperhatikan detail kamar wanita itu. Tidak ada yang aneh dari kamar itu. Meja dan rak di sana dipenuhi dengan buku.

Mata Nanda tertuju pada buku diary yang ada di atas meja. Ia meraih buku itu dan membukanya.

Halaman pertama buku itu dibuka dengan potret USG yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Di bawahnya, tertulis jelas kalimat “The New World” yang membuat Nanda menitikan air mata.

Halaman berikutnya, ada sebuah ilustrasi foto wajahnya, wajah Ayu dan seorang anak kecil dengan tulisan “Lovely Family”. Di baliknya, ada banyak kata-kata harapan yang ditulis Roro Ayu tiga tahun silam saat ia masih mengandung anaknya.

Jika Tuhan beriku kesempatan ... aku ingin menjadi seorang istri yang dicintai ... menjadi seorang ibu yang dicintai ... menjadi seorang wanita yang dicintai dan berharga.

 Nanda terdiam saat membaca kalimat terakhir yang tertulis di buku itu. Ia menutup buku diary tersebut dan tersenyum penuh harapan. Meski terus menolak kehadirannya, tapi Ayu masih memiliki sebuah harapan untuk menjadi wanita yang dicintai. Dan kalimat-kalimat itu membuatnya mengerti bahwa wanita itu ingin dicintai oleh dirinya yang dulu tidak pernah melihat keberadaan wanita itu, apalagi menganggapnya berharga.

“Ay, selama kamu tidak mengusirku pergi. Aku masih memiliki harapan untuk membawamu kembali ke sisiku. Kamu boleh ucapkan semua kata kebencian yang ada di dunia ini dan aku akan tetap mencintaimu,” tutur Nanda sambil tersenyum menatap potret Ayu yang tersenyum lebar dengan pakaian toga dan latar Melbourne University.

Beberapa menit kemudian, pintu rumah Ayu terdengar terbuka. Nanda buru-buru keluar dari kamar milik Ayu dan duduk di sofa ruang tamu sambil menonton televisi. “Dari mana?” tanya Nanda sambil menoleh ke arah pintu. “Ini weekend. Kamu nggak sekolah ‘kan?”

Ayu tersenyum sambil membuka sepatu dan menggantinya dengan sandal. “Dari pasar,” jawab Ayu sambil tersenyum manis. Tangannya memeluk kantong kertas berisi sayur-sayuran.

Nanda tersenyum lebar. Ia bangkit dari sofa dan berniat meraih kantong belanjaan dari tangan Ayu. Namun, gerakan tangannya terhenti saat melihat seorang pria berada di belakang wanita itu. Ia melongo menatap pria tampan berdarah Eropa dengan tubuh menjulang tinggi. Mungkin, tingginya sekitar seratus delapan puluh sentimeter dengan rambut cokelat dan bola mata warna biru keabu-abuan.

Ayu langsung tersenyum lebar melihat reaksi Nanda. “Nan, kenalin ... ini Blaize. Kakak Senior aku di kampus sekaligus pacarku.”

“Eh!? Pa-pa-ca-car?” Mata Nanda terus tertuju pada pria tampan yang ada di hadapannya itu.

Blaize langsung tersenyum dan mengulurkan tangannya ke arah Nanda. “Hello ...! I’m Blaize. I’m Roro boyfriend. How do you do?”

Nanda tersenyum kecut sambil menyambut uluran tangan Blaize.

“Masuk, yuk!” ajak Roro sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya.

Blaize mengangguk. Ia segera masuk ke dalam rumah tersebut. Melewati tubuh Nanda begitu saja yang masih tertegun di sana.

Nanda mengerjapkan mata dan membuyarkan lamunannya. “Ay, dia beneran pacarmu?”

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis dan masuk ke pantry bersama Blaize. “Ini hari Minggu. Kami biasa menghabiskan waktu bersama saat hari libur.”

Nanda terdiam sambil berdiri menatap Ayu dan Blaize yang ada di sana. Blaize terus bergerak di dapur itu, seolah pria itu memang sudah hafal dengan letak barang-barang yang ada di dapur rumah Ayu.  

“Hari ini kita masak apa?” tanya Blaize dengan aksen British yang kental.

“Rendang.”

“Rendang? Oh, yeah. Rendang sangat terkenal. How to make it?”

Ayu tersenyum menatap Blaize sambil mengulurkan apron ke hadapan pria itu. “Masak rendang akan sangat lama. Tidak secepat masak nasi goreng.”

“Oh ya? Are you hungry? Bagaimana kalau ... aku potongkan buah untukmu. Supaya kamu tidak kelarapan,” tutur Blaize sambil menatap wajah Ayu.

“Kelaparan, Blaize. Bukan kelarapan,” sahut Ayu sambil tertawa kecil membenahi kalimat Blaize.

“Ke-la-pa-ran?” Blaize berusaha meralat ucapannya sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. Ia membantu Blaize mengenakan apron sambil melirik Nanda yang masih berdiri terdiam di sana.

Nanda terus menatap Ayu dan Blaize yang terlihat sangat akrab dan begitu mesra. Ia langsung membalikkan tubuhnya, menundukkan kepala sambil melangkah tak bersemangat. Ia segera keluar dari dalam flat milik Ayu dengan perasaan putus asa. Ia benar-benar tak menyangka kalau Ayu sudah memiliki seorang kekasih dan membuat harapannya yang tadi sangat besar, tiba-tiba sirna begitu saja.

 

 

((Bersambung...))

Terima kasih sudah menjadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf, karena ada problem ... kemarin nggak sempat nulis cerita ini!

Stay with me and together fall in love!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 42 - Sama-Sama Menderita

 


Nanda tersenyum sambil mengendus dua mangkuk mie instan yang ia buat. Ia tersenyum lebar sambil menggosok kedua telapak tangannya. Hawa di kota ini terlalu dingin untuk dia yang terbiasa tinggal di negara tropis.

“Nan, kamu buat dua porsi?” tanya Ayu sambil melangkah menghampiri Nanda.

Nanda langsung menoleh ke arah Ayu yang baru saja keluar dari kamarnya sembari mengikat rambutnya asal-asalan. Wanita itu tak lagi mengenakan kacamata dan terlihat sangat cantik.

“Kamu bilang, cuma mau masakin aku doang. Terus pergi, kan? Pergi sana!” pinta Ayu sambil menarik mangkuk yang jaraknya berjauhan dan menjadikannya berhimpitan. Ia duduk di kursi sambil memeluk dua mangkuk mie yang dibuat oleh Nanda.

“Ay, aku juga laper. Aku seharian nyari kamu dan belum makan apa-apa. Kamu nggak kasihan sama aku?” tutur Nanda sambil memasang wajah memelas.

“Nggak percaya! Kamu masih kuat masakin aku, nggak mungkin nggak makan seharian,” sahut Ayu.

“Serius, Ay. Aku belum makan. Suer!” tutur Nanda lagi sambil mengacungkan dua jarinya.

“Kamu banyak duit. Beli makan di luar sana!” sahut Ayu ketus.

“Jam segini masih ada yang jualan?” tanya Nanda.

“Banyak restoran dua puluh empat jam,” sahut Ayu.

“Aku nggak punya uang Pound Sterling. Nggak bisa jajan di sini, Ay. Boleh pinjam uang kamu?” tanya Nanda sambil memainkan matanya.

Ayu memutar bola matanya. “Sejak kapan kamu jadi kayak gini?”

“Sejak kamu pergi ninggalin aku tanpa pesan,” jawab Nanda.

Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Pergi dari sini!” pintanya sambil bangkit dari kursi dan mendorong tubuh Nanda agar pergi dari sana.

“Ayu, apa nggak ada kesempatan lagi buat aku?” tanya Nanda. Ia berusaha keras agar tidak keluar dari flat milik Ayu meski hanya sejengkal saja.

“Nggak ada!” tegas Ayu sambil mendorong tubuh Nanda dengan susah payah.

“Ay, jangan usir aku! Aku bisa jadi gelandangan di kota ini. Aku nggak punya uang. Pinjamkan aku uang!” pinta Nanda berdalih. Ia ingin mengatakan semua kalimat yang ada di dunia ini selama Ayu masih mau mendengarkannya dan membuatnya tetap tinggal di sisi wanita itu.

“Oke. Aku kasih kamu uang. Tapi setelahnya, kamu pergi dari sini!” pinta Ayu. Ia bergegas masuk ke kamar.

Nanda bergegas mengikuti langkah Ayu ke dalam kamar.

“Kamu!? Ngapain ikut masuk ke dalam sini? Kamu ini mesumnya nggak hilang-hilang, ya!?” seru Ayu sambil menatap kesal ke arah Nanda.

“Keluar dari sini! KEL—” Ucapan Ayu terhenti saat telapak tangan Nanda tiba-tiba membungkam mulutnya.

“Jangan teriak-teriak, Ay! Ini sudah tengah malam dan ganggu tetangga. Flat di sini cuma dibatasi dinding ‘kan?” pinta Nanda sambil menatap lekat mata Ayu.

“Kamu ...!?” dengus Ayu dalam hati sambil berusaha melepaskan tangan Nanda dari wajahnya. Ia berusaha memberontak agar Nanda segera melepaskannya. Namun, kekuatan yang ia miliki tak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki pria itu.

Nanda terus menekan tangannya agar Ayu tidak berteriak di tengah malam seperti ini hingga membuat kedua kaki Ayu terbentur oleh ranjang tidurnya dan membuat wanita itu terjatuh ke atas kasur. Tubuh Nanda pun ikut jatuh tepat di atas tubuh wanita itu.

Ayu menahan napas ketika wajah Nanda berada tepat di atasnya. Mata pria itu seolah mengunci tubuhnya hingga ia tidak bisa bergerak dan kesulitan untuk bernapas.

Jemari tangan Ayu mencengkeram selimut yang ada di bawahnya dan napasnya begitu memburu.

Nanda tersenyum dalam hati sambil melirik tangan Ayu yang mencengkeram selimutnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung membenamkan bibirnya di bibir wanita itu.

Ayu melebarkan kelopak mata saat Nanda tiba-tiba menciumnya. Kedua tangannya berusaha mendorong tubuh Nanda agar menyingkir dari tubuhnya. Tapi pria itu malah mengecupnya semakin dalam hingga membuat aliran darahnya berjalan tak karuan. Otaknya tiba-tiba kacau dan ia malah menikmati bibir Nanda yang begitu hangat mengulumnya.

“Ergh!” Ayu langsung mendorong dada Nanda dengan kedua telapak tangannya dan membuang pandangannya ke samping. Dadanya terlihat tegas bergerak naik turun seiring dengan perasaannya yang tak karuan ketika Nanda menyentuhnya.

“You still love me?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu. Ia mengusap lembut rambut wanita itu dengan siku bertumpu pada kasur yang ada di sebelah pundak Ayu.

Ayu bergeming. Kelopak matanya memanas dan semua rasa sakit tiga tahun lalu, membayangi pelupuk matanya.

“I’m sorry ...! Maafin aku yang dulu! Bisakah kamu kasih aku kesempatan sekali lagi?” bisik Nanda sambil menatap wajah Ayu yang ada di bawahnya.

Ayu masih bergeming dan enggan menatap wajah Nanda yang ada di atasnya. Tapi ia bisa merasakan embusan napas Nanda yang jatuh tepat di telinganya.

“Ay ... meski pengadilan telah menyetujui pembatalan pernikahan kita. Aku tetap menganggapmu sebagai istriku. Bisakah kita berbaikan dan kembali seperti dulu?” tanya Nanda lagi.

Ayu memejamkan matanya sambil berpikir. Sudah begitu lama dan begitu jauh ia pergi meninggalkan Nanda. Bagaimana bisa pria ini tiba-tiba ada di hadapannya dan mengatakan kalau ia masih istrinya? Tak cukupkah pria ini menghancurkan seluruh hidupnya tiga tahun lalu?

“Ay, give me one word! Aku masih ingin memperjuangkan pernikahan kita,” ucap Nanda sambil bangkit dari tubuh Ayu.

Ayu menghela napas lega saat Nanda sudah beranjak dari tubuhnya.

Nanda tersenyum kecil sambil mengeluarkan buku kecil dari saku celananya. “Ini buku pernikahan kita. Meski milikmu sudah diambil pengadilan, tapi buku yang ini masih ada di tanganku. Aku nggak pernah melepaskan buku ini, Ay,” ucapnya sambil menunjukkan buku nikahnya.

Ayu langsung menatap buku nikah yang dipegang oleh Nanda. Begitu kuatnya pria  brengsek ini mengikat hatinya hingga ia tidak sanggup melepaskan diri dan berlari selamanya.

Nanda menatap Ayu dengan mata berkaca-kaca. “Ay, pernikahan kita dibatalkan oleh keluargamu saat kamu dalam keadaan koma. Kamu dibawa berobat ke luar negeri tanpa sepengetahuanku. Saat hal itu terjadi, aku sedang melaksanakan upacara pemakaman anak kita. Aku berhari-hari berlutut di depan keluargamu, memohon agar mereka memaafkan aku dan memberi aku kesempatan menjaga dan merawatmu. Tapi mereka malah masukin aku ke penjara dan mengambil alih saham keluargaku,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Ayu terdiam mendengar ucapan Nanda. Ia langsung bangkit dari kasur dan duduk menatap wajah Nanda. Perasaannya semakin tak karuan saat melihat air mata pria itu. Ia tidak ingin percaya pada ucapan Nanda. Tapi mata pria itu seolah menyiratkan sebuah kebenaran yang selama ini tidak ia ketahui.

“Di sini yang kejam itu aku atau kamu, Ay? Aku tahu semuanya salahku. Aku mengakui semua itu dan aku berusaha bertanggung jawab. Aku berusaha menebus semua kesalahanku. Tapi kamu dan keluargamu ... begitu kejam dan sama sekali tidak peduli bagaimana penderitaanku selama tiga tahun ini,” tutur Nanda sambil menatap Ayu penuh luka.

Ayu tertegun sambil menatap wajah Nanda. Ia tidak tahu bagaimana penderitaan Nanda saat ini. Nanda juga tidak tahu bagaimana penderitaan yang ia alami saat ini. Mereka berdua sama-sama menderita karena keegoisan masing-masing. Karena keegoisan keluarga Ayu. Karena martabatnya yang begitu tinggi sebagai keturunan keraton kesultanan. Karena ia tidak bisa berbesar hati memaafkan kesalahan Nanda.

Andai ia bisa seperti wanita-wanita lain, mungkin ia tidak akan membuat lebih banyak orang menderita karenanya. Ia tidak akan membuat keluarganya dan keluarga Nanda ikut menjadi korban ketidakberdayaannya.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!”

Ayu menutup wajah dengan telapak tangannya seiring dengan tangisnya yang pecah seketika. Ia benar-benar menyesal. Mengapa ia tidak bisa menanggung rasa sakit dan penderitaannya seorang diri? Andai ia bisa, tentu hanya dia yang akan menderita, tidak ada orang lain lagi.

Nanda langsung merengkuh kepala Ayu ke dalam pelukannya. “Ay, kita sama-sama menderita. Bisakah kita saling memaafkan dan membuka pintu baru untuk masa depan kita? Apa pun syaratnya, akan aku penuhi asal kamu bisa memaafkan dan kembali ke sisiku lagi,” pintanya lirih.

Ayu tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar tidak mengetahui kalau ayahnya begitu kejam. Bahkan tidak memberitahukan perihal ia yang dibawa ke luar negeri bertepatan dengan pemakaman puteri mereka. Ayu terlalu mempercayai ayahnya hingga ia memilih untuk pergi jauh dari sisi pria yang ternyata sedang memperjuangkannya hingga saat ini.

Nanda menangkup wajah Ayu dan menatap lekat mata itu. “Jangan sedih lagi, ya! Kamu laper ‘kan? Makan dulu mie-nya. Kalau udah dingin, nggak enak,” pintanya sembari mengusap air mata yang membasahi pipi Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia melangkah menuju meja makan yang ada di dapurnya dan mulai menikmati semangkuk mie buatan Nanda tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Saat ini, ia tidak tahu bagaimana perasaannya sendiri. Ia tidak bisa menerima kehadiran Nanda yang begitu tiba-tiba, tapi juga tak bisa menolaknya.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan selalu menghargai karya-karya author ...!

Semoga, tulisan-tulisanku bisa bermanfaat dan bisa memberikan pelajaran hidup yang berarti.

Tidak ada manusia yang tidak pernah menyesal dalam hidupnya. Yang harus kita perhatikan bukanlah penyesalannya, tapi apa yang akan kita lakukan setelah kata penyesalan itu.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas