Wednesday, January 19, 2022

I Haven't Previlege

 





Sukses dari nol untuk mereka yang punya previlege itu sudah biasa.

Beberapa hari lalu, aku melihat video podcast dari Deddy Corbuzier yang membahas tentang previlege seseorang yang sukses dan tidak pernah di-ekspose ke luar. 

Banyak orang yang bisa meraih kesuksesan berkat dukungan keluarga dan mereka bilang kalau mereka memulai semuanya SENDIRI dari nol.

Yeah, sendiri di sini dalam arti yang seperti apa? Apakah effort orang tua yang begitu besar untuk memberikan pendidikan yang baik terhadap mereka itu tidak ada nilainya? Nilainya di angka nol, padahal mereka sekolah di sekolah yang baik dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang baik pula.

Tidak semua orang memiliki previlege untuk berada di puncak kesuksesan. Ada banyak orang yang bisa sukses tanpa previlege dan itu tidak banyak. Hanya sedikit. Lihat saja para orang sukses yang namanya berada di papan teratas dan selalu menjadi motivasi banyak orang, tidak ada satu pun dari mereka yang tidak menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mereka semua punya previlege, meski katanya kesulitan untuk membayar uang kuliah, mereka tetap mendapatkan dukungan secara moral atau pendidikan dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Apakah pendidikan yang diberikan orang tua itu tidak termasuk sebuah previlege? Sesuap nasi atau seliter bensin yang membawa mereka menempuh pendidikan, tidak termasuk previlege? 

Sukses dari nol untuk mereka yang punya previlege itu beda dengan sukses dari nolnya orang yang tidak punya previlege.

Bagaimana kisah hidup perjuangan orang yang tidak punya previlege dan bisa sukses? Susah sekali untuk mendapatkan yang seperti ini. Sebab, ada banyak orang yang mengatakan dia sedang memulai bisnisnya dari nol dan dia tinggal di rumah mewah berharga di atas 800 jutaan. It's previlege yang tidak pernah mereka akui di depan banyak orang.

Bagaimana dengan kita yang tidak punya previlege, tapi ingin sukses? Rasanya memang sangat berat. Karena untuk menjadi sukses, semua faktor lingkungan kita itu harus mendukung. Mulai dari pendidikan, lingkaran pergaulan, jaringan, dukungan orang tua dan keluarga dan biaya yang kita butuhkan untuk mencapai kesuksesan tersebut.

Untuk mereka yang punya previlege, pinjam uang lima juta ke bank tidak akan khawatir karena mereka yakin punya sesuatu yang bisa menjadi jaminan kalau dia bisa mengembalikan uang tersebut. Misalnya rumah orang tua, kendaraan pribadi (meski hadiah orang tua) dan lain-lain.

Bagaimana dengan yang tidak punya previlege? Tentunya tidak percaya diri untuk meminjam modal di bank atau orang lain. Lah, wong untuk makan besok saja, masih kesusahan. Apalagi mau pinjam uang  untuk modal usaha? Orang yang tidak punya previlege, sukses itu hanya ada di angan-angan karena tidak ada faktor yang mendukung. Pendidikan tidak tinggi, hanya modal pendidikan gratis 12 tahun dari pemerintah dengan fasilitas pendidikan yang apa adanya. Dari faktor pendidikan saja, kita sudah tertinggal jauh, apalagi ditambah dengan faktor lain-lainnya. Sukses itu kayak khayalan, yang saat kita bangun, dia tetap menjadi sebuah khayalan belaka.


Itulah sebabnya, aku tidak pernah iri dengan pencapaian mereka yang sudah jauh lebih sukses dari aku dan punya previlege. I think, itu wajar. Mereka sudah punya modal besar yang aku tidak punya, salah satunya adalah modal pendidikan. Bohong banget kalau pengusaha sukses itu tidak memiliki ilmu bisnis untuk mencapai kesuksesannya. Mereka sudah punya bagian dari satu hal  (previlege) dalam hidup mereka.


Begitu juga dengan dunia yang sedang aku geluti. Aku adalah seorang penulis novel yang dituntut memiliki wawasan luas dan ilmu yang banyak. Sedangkan aku tidak memiliki apa itu previlege. Tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan fasilitas pendidikan tinggi dan faktor lain yang mendukung untuk menambah wawasan pengetahuan mereka.

Jangankan mau sekolah tinggi atau kuliah, untuk beli satu buah buku saja ... mikir! Why? Karena uang yang aku punya sekarang, cuma cukup untuk makan sampai besok. Sisanya, masih harus cari utangan. Ya, mau nggak mau cuma bisa baca buku gratis di perpustakaan atau pinjam sama temen. Karena aku emang hobby baca, hanya keterbatasan modal untuk beli buku yang bikin aku akhirnya kurang membaca. Ini juga salah satu alasan kenapa aku buka sebuah taman baca gratis. Karena aku pernah ada di posisi di mana aku ingin baca buku, tapi tidak mampu untuk membelinya.


Kalau dibilang sukses, aku masih jauh dari kata itu. Tapi setidaknya, aku bisa lebih berada di depan dibandingkan dengan yang lain. Tanpa memiliki previlege, aku bisa membuktikan bahwa kerja kerasku membuahkan hasil yang cukup. Cukup untuk makan keluarga dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Aku tidak punya previlege seperti yang lain. Aku tidak menempuh pendidikan tinggi. Hanya lulusan SMA dengan modal sekolah gratis dari pemerintah. Saat itu, aku juga tinggal di sebuah panti asuhan hanya karena ingin bersekolah seperti yang lain. Keinginanku untuk kuliah juga tidak kesampaian karena kedua orang tuaku yang hanya bekerja sebagai petani kecil, tidak mampu membiayai kuliahku. Juga masih ada dua adikku yang masih bersekolah dan butuh banyak biaya.

Setelah lulus sekolah, aku bekerja sebagai admin keuangan di salah satu perusahaan swasta. Gajiku tidak banyak. Harus berbagi untuk nenek-kakek yang harus aku rawat, juga untuk kedua orang tuaku yang juga hidupnya berada di bawah garis kemiskinan sementara dua adikku masih bersekolah. Selama tujuh tahun bekerja di perusahaan, aku tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan untuk membeli sebuah sepeda motor saja, harus menyisihkan uang dengan credit selama tiga tahun. Saat itu, rasanya sangat berat. Tapi tetap bisa terselesaikan.


Hidupku yang begitu berat, memaksaku untuk melakukan banyak pekerjaan. Jika boleh memilih, aku ingin hidup santai dan punya banyak uang, hahaha. Tapi jelas itu tidak bisa.


Hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja. Meski tidak diizinkan untuk resign, aku tetap bersikeras dengan dalih ingin menjadi penulis novel, padahal saat itu aku tidak tahu sama sekali kalau menulis novel bisa menghasilkan uang. Karena aku harus mengurus puteri kecilku dan dua nenek-kakek yang sudah tidak bisa bekerja dan berpenghasilan. Hidupku semakin berantakan karena aku tidak punya pekerjaan, begitu juga dengan suamiku. Kami sama-sama pengangguran.

Aku memaksa diri untuk melakoni kerja serabutan. Di saat sedang jatuh-jatuhnya, aku malah melakukan hal gila dengan membuka sebuah taman baca yang tidak menghasilkan apa pun, malah mengeluarkan banyak uang untuk biaya operasional dan menunjang kebutuhan taman baca. Rasanya membuatku semakin menggila, tapi anak-anak taman baca adalah hiburan terbaik buatku saat aku memikirkan kesulitan hidup yang tidak ada jalan keluarnya.


Sampai akhirnya, aku bertemu dengan Novelme setelah aku berjalan ke sana ke mari tak tentu arah. Aku sudah mencoba untuk menulis di GWP, Storial, Wattpad dan blog saat itu. Tidak ada hasilnya karena tidak tahu harus bagaimana dan tidak ada feedback dari platform. Maybe, karena tulisanku saat itu memang tidak menjual dan tidak layak untuk dibaca.

Di Novelme, aku hanya mencoba peruntungan untuk ikut kompetisi menulis NTW Season 1 dan alhamdulillah, masuk lima puluh besar pun tidak. Bagaimana bisa jadi juara NTW yang hanya dipilih tiga orang teratas saja. Saat itu, penulis teratas utama adalah Shanty Milan yang tulisannya sudah terkenal di mana-mana. Karya pertama yang aku baca di Novelme adalah karya beliau. 

Di Novelme aku dihubungi oleh editor dan diminta untuk membuat alur cerita yang menarik dan dibimbing oleh tim editor. Aku bahagia sekali mendapat sambutan baik dari editor dan mau membimbingku dengan telaten. Sampai akhirnya, Novelme meluncurkan fitur bab berbayar. Di situlah aku mulai mendapatkan penghasilan dari menulis.

Pertama kali mendapatkan hasil penjualan bab berbayar, hanya berkisar 1 jutaan dalam sebulan dan aku sudah bahagia banget mendapatkannya karena itu adalah nilai paling besar yang aku dapatkan sepanjang sejarah menulisku. Hingga akhirnya, aku bisa merasakan menerima penghasilan sekitar 1 jutaan sehari. Membuat diriku bisa terbilang sukses dalam dunia kepenulisan. Meski belum sukses besar seperti yang lain, tapi sudah cukup sukses untuk aku yang baru belajar menulis ini. Aku juga tidak menyangka akan mendapatkan uang ratusan juta hanya dari satu novel saja. Dan saat ini, menulis menjadi bagian dari profesionalitas. Aku dituntut untuk terus menulis cerita. Bukan karena uang, tapi karena pembaca yang selalu merindukan tulisanku. Uang yang mereka keluarkan untukku adalah sebuah bentuk penghargaan dan rasa kasih sayang mereka terhadapku agar aku bisa tetap melanjutkan hidup. 

Dari menulis novel di platform, kini aku sudah bisa membangun sebuah rumah untuk keluarga kecilku. Membeli sebuah sepeda motor, laptop, handphone, furniture dan lain-lain. Uang jajan anak-anak pun aku dapat dari menulis novel. Saat ini, aku juga masih harus survive sebagai single mom. Aku dan suamiku akhirnya bercerai karena permasalahan pelik. Yang jelas bukan masalah finansial karena aku tidak pernah menuntut itu darinya.


Semua penderitaan yang ada di balik kesuksesan menulisku, tidak perlu diceritakan semuanya. Mungkin, aku akan bercerita selengkapnya suatu hari nanti saat aku sudah berada di titik sukses dalam hidupku. Karena saat ini, aku masih merintis karirku untuk menjadi seorang yang sukses dari nol, tanpa sebuah previlege. 

Satu hal yang harus aku buktikan, kalau aku juga bisa setara dengan mereka yang mendapatkan fasilitas pendidikan di perguruan tinggi. 

I haven't previlege. But, I have effort to be succes.

Untuk sukses, harus melewati banyak hal dan penderitaan. Itulah ujian dari Tuhan yang harus kita jalani supaya kita bisa menjadi orang yang sukses. So, kalian semua jangan pernah menyerah! Terutama untuk para kaula muda yang masih memiliki banyak peluang untuk sukses. Banyak belajar, banyak membaca buku, banyak berteman dengan orang-orang yang berwawasan dan banyak berdoa. Semoga kita semua bisa sukses dalam peran hidup masing-masing. 

Jika menulis adalah jalan suksesmu, maka kamu akan mendapatkannya asal tidak pernah menyerah untuk menjalani rasa sakit dan perjuangannya. Buktikan pada dunia bahwa orang yang tidak punya previlege juga punya kesempatan untuk menjadi sukses.


Jika kalian tidak percaya, ini adalah rumahku pada tahun 2015. Saat itu, aku masih belajar menulis dan belum menjadi apa-apa. Belum punya penghasilan dari menulis walau hanya Rp 1,- saja.



Saat ini, aku sudah punya penghasilan dari menulis dan rumahku dibangun dari hasil uang menulis novel. Rasanya masih tidak percaya jika pencapaianku bisa sebesar ini. Aku harap, kalian yang tidak memiliki previlege, bisa memiliki semangat lebih dari apa yang sudah aku lakukan. Bisa sukses dalam dunia yang kamu inginkan dan bisa menjadi inspirasi banyak orang.




Much Love,


Rin Muna







Sunday, January 16, 2022

Bab 9 - Membangun Hubungan

 






BAB 9 – MEMBANGUN HUBUNGAN

 

“Ro, kenapa kamu nggak ngomong ke aku kalau kamu pergi ngisi pentas di acara ulang tahun kota?” tanya Nanda begitu ia sudah masuk ke dalam rumah bersama Ayu.

“Kamu juga nggak bilang kalau bawa Arlita ke pesta itu,” sahut Ayu sambil melangkah santai menaiki anak tangga rumahnya.

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku lagi bicarain kamu!” Nanda mengejar langkah Ayu sambil menahan kesal.

“Bukan kamu, tapi kita!” sahut Ayu.

Nanda menghela napas kesal. “Aku udah rela ninggalin Arlita dan nungguin kamu sampai selesai nari. Kamu malah kayak gini? Dengerin aku, Ay!”

“Aku denger, Nan. Kamu juga harusnya bisa dengerin aku. Aku ini perempuan, Nan. Istri sah kamu. Meski kita menikah tanpa cinta, tolong hargai pernikahan ini! Aku capek ya setiap hari lihat kamu jalan sama Arlita. Giliran aku deket sama cowok lain, kamu misuh-misuh nggak jelas kayak gini,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam kamarnya.

“Aku ini laki-laki, Ay. Mau deket sama perempuan mana pun, nggak akan jadi masalah. Tapi kamu ... kamu ini perempuan. Pakai pakaian seksi dan nari mesra sama laki-laki di depan umum, nggak malu?” tanya Nanda sambil menatap tubuh Ay yang sedang duduk di depan meja rias.

Ayu menarik napas dalam-dalam. “Kamu sendiri, nggak malu jalan sama cewek lain sementara kamu sudah beristri?”

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku tanya ke kamu!” sahut Nanda kesal. “Aku heran, kenapa aku bisa punya istri pembangkang kayak kamu! Apa yang aku lakuin di luar sana, nggak seharusnya kamu cari tahu. Cukup berdiam diri di rumah dan jadi istri yang berbakti! Nggak perlu keluyuran di luar sana apalagi tampil di depan umum cuma pake kemben dan jarik doang!”

“Nggak usah kuno, Nan! Apa sih bedanya sama Arlita yang pakai bikini di pantai atau di kolam renang? Lebih seksi dari aku. Kamu pernah marahin dia karena pakaiannya yang terlalu seksi itu? Kamu malah suka ‘kan?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Kamu ...!?” Nanda gelagapan mendengar ucapan dari Ayu.

“Nan, aku capek berantem sama kamu setiap hari. Kalau kamu nggak suka sama pernikahan ini dan ingin menikahi Arlita, kamu ceraikan aku aja!” pinta Ayu sambil membersihkan sisa make-up di wajahnya.

“Kamu minta kayak gitu supaya kamu bisa deket sama laki-laki itu?” tanya Nanda.

“Laki-laki mana? Nggak usah ngada-ngada, Nan! Dari awal yang salah itu kamu! Kenapa kamu buat seolah-olah aku adalah kesalahan utama dalam hubungan pernikahan yang tidak pernah bahagia ini!” sahut Ayu kesal. Ia bangkit dari kursi sambil menyambar tas tangannya dan melangkah pergi.

“Kamu mau pergi ke mana lagi?”

“Mau pulang ke rumah orang tuaku! Aku nggak betah berlama-lama tinggal di rumah kayak neraka ini!” sahut Ayu ketus.

Nanda buru-buru berlari ke arah pintu dan menghadang Ayu agar tidak keluar dari kamar tersebut. “Jangan bikin masalah baru, Ay! Papa Andre bisa marah sama aku kalau kamu pergi dari sini.”

“Bodo amat! Mau Papa Andre, Papa Sule atau Papa apa pun itu, aku udah nggak peduli. Kamu bisa balik sama Arlita meski kita sudah menikah. Kenapa aku nggak bisa memutuskan hidupku sendiri dan balik ke Sonny? Jelas-jelas dia jauh lebih baik dari kamu!”

Nanda menatap wajah Ay sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Emosinya selalu tak terkendali setiap kali berhadapan dengan wanita ini. Ia sendiri, tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya hingga membuat pikirannya menjadi sekacau ini.

“Nan, aku udah merelakan semuanya demi menerimamu menjadi suamiku. Kamu tahu, sejak dulu aku cinta sama Sonny. He is my future, Nan! Dan kamu yang menghancurkan semuanya!” Ayu menurunkan nada bicaranya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku nggak tahu aku salah apa di masa lalu sampai Tuhan tega menghukumku seperti ini,” ucap Ayu sambil menitikan air mata. “Satu hal yang paling aku sesali dalam hidupku saat ini adalah mengenalmu, Nan. Kamu adalah satu-satunya pria yang tidak pernah menghargai keberadaanku. Bahkan kamu akan tetap melihatku hanya sebagai sampah meski aku memberikan  nyawaku sekalipun untuk kamu.”

DEG!

Nanda terdiam sambil menatap mata Ayu yang terus meneteskan air mata. Saat masih SMA, Ayu memang hampir mati karena menolongnya. Bahkan wanita ini sering terluka karena menjadi target utama musuh-musuh Nanda saat itu. Karena tidak ingin melukai wanita ini, ia memilih untuk membencinya dan menjauhkan Ayu dari kehidupannya yang keras di luar sana. Menjadi ketua genk yang kerap tawuran saat masih sekolah, ia selalu saja mendapatkan banyak kesulitan. Dan sialnya, Ayu selalu datang tiba-tiba di tengah konflik dan ikut menjadi korban.

“Nan, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik meski aku tidak mencintaimu. Demi orang tua, aku berusaha untuk berbakti dan berharap kita bisa menjalani rumah tangga yang bahagia. Sudah hampir tiga bulan, kenyataannya kita malah selalu perang dingin atau perang mulut. Aku sudah lelah seperti ini terus, Nan. Kalau memang kamu tidak menginginkan anak ini, aku bisa merawatnya sendiri. Saat ini aku tidak menginginkan apa pun selain kedamaian.”

Nanda menghela napas sambil menundukkan kepalanya. “I’m sorry, Ay ...! Aku akan berusaha menjadi pria yang bertanggung jawab terhadapmu. Dia anakku dan dia harus bersamaku!”

“Kamu nggak pernah menginginkan anak ini, Nan. Begitu juga denganku. Impianku adalah menikah dan punya anak dari Sonny. Bukan dari pria bajingan sepertimu. Apa yang harus kuceritakan pada anak ini di masa depan? Haruskah aku bilang sama dia kalau ayahnya tidak pernah menginginkan kehadiran dia dan selalu pergi bersama wanita lain untuk menyenangkan diri sendiri?” tanya Ayu lirih sambil berlinang air mata.

Nanda menggelengkan kepalanya. “Nggak, Ay! Kamu nggak boleh lakukan itu! Dia anakku dan aku akan bertanggung jawab.”

“Dengan cara apa? Menikahiku saja tidak cukup, Nan.”

“Aku akan menafkahi kalian berdua.”

“Yang aku permasalahkan bukan soal finansial. Aku bukan wanita yang hidupnya bergantung sama pria seperti pacarmu itu. Meski tidak menikah denganmu, aku masih bisa menghidupi keluargaku sendiri. Aku juga bukan wanita yang tidak punya prestasi. Asal aku bilang ke Sonny kalau aku tidak bahagia hidup denganmu, maka dia akan senang hati menerimaku kembali,” tutur Ayu lirih.

“STOP, AY ...!” seru Nanda sambil mencambak rambutnya sendiri.

Ayu menyeringai kecil menatap Nanda yang semakin kacau dan tidak bisa ia mengerti keinginannya.

“Jangan sebut Sonny atau siapa pun yang statusnya selalu jauh lebih baik di matamu!” pinta Nanda. “Aku nggak tahu kenapa Tuhan ngasih wanita baik-baik untuk pria bajingan sepertiku. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan.” Ia berbalik dan menyandarkan keningnya di pintu. Ia terus memukul-mukulkan kening ke daun pintu beberapa kali.

“Yang harus kamu lakukan saat ini adalah bersyukur, Nan! Hargai pernikahan ini dan aku akan menghargaimu sebagai suamiku. Bagaimana kamu memperlakukanku, begitu juga aku akan memperlakukanmu,” tutur Ayu sambil mengusap sisa air matanya dan menatap punggung Nanda.

Nanda langsung membalikkan tubuhnya menatap Ayu. Ia melangkah perlahan mendekati wanita itu. Mengikis jarak di antara mereka yang selama ini saling menyakiti tanpa mereka sadari.

“Ay, aku sudah salah?” tanya Nanda sambil menyentuh lembut pipi Ayu.

Ayu menarik sisa cairan hidungnya sambil menahan perih di matanya. Ia sendiri tidak tahu jelas apa yang sebenarnya dia inginkan. Ia hanya ingin ... bisa menjalani rumah tangganya dengan baik dan melepaskan masa lalunya. Sebab takdir telah menentukan bahwa hidupnya akan seperti ini. Ia tidak bisa meminta untuk kembali, hanya bisa menikmati.

Nanda mendekatkan bibirnya perlahan ke bibir Ayu. Entah mengapa hatinya sangat menginginkannya. Rasa vanila yang manis di bibir Ayu, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk menikmatinya dan terus mengulum bibir itu tanpa meminta persetujuan dari Ayu.

Ayu menelan salivanya dengan susah payah ketika Nanda mengulum lembut bibirnya. Ia tidak bisa menolak perlakuan lembut dari Nanda dan mulai menikmati ciuman dari pria itu. Bahkan, ia malah membalasnya dan membuat Nanda menginginkan hal yang lebih dari sekedar berciuman. Ini pertama kalinya ia sangat menikmati setiap sentuhan yang dihadirkan Nanda di seluruh tubuhnya. Setelah tiga bulan menikah, ini pertama kalinya ia bisa melayani suaminya di ranjang dengan perasaan ikhlas dan bahagia.

 

...

Keesokan harinya, Ayu menyiapkan sarapan pagi seperti biasa. Dan ini pertama kalinya Nanda mau duduk di meja makan setelah mereka tinggal bersama. Biasanya, Nanda pergi begitu saja tanpa mau melihat meja makan, apalagi menyentuh makanan yang sudah ia siapkan.

“Nan, aku nggak pernah tahu apa makanan kesukaanmu. Aku cuma bisa siapin ini untukmu pagi ini. Kamu bisa bilang ke aku, apa yang ingin kamu makan dan aku akan menyiapkannya untukmu,” tutur Ayu sambil tersenyum menatap Nanda.

Nanda tersenyum menatap nasi goreng yang ada di hadapannya. “Nevermind. Aku juga biasa sarapan seperti ini waktu masih kecil.” Ia langsung menyendok nasi goreng tersebut dan memasukkan ke dalam mulutnya.

“Gimana? Enak?” tanya Ayu hati-hati.

Nanda mengangguk kecil dan menahan rasa pedas di mulutnya yang semakin menyiksa. Ia akhirnya mengeluarkan napas dengan kasar dari dalam mulut begitu ia berhasil menelan nasi goreng buatan Ayu. Ia buru-buru mengambil air putih di hadapannya dan menenggak habis dalam sekejap.

“Nan, kamu nggak suka pedas?” tanya Ayu khawatir sambil menyodorkan gelas air minum miliknya.

“Suka. Tapi nggak sepedas ini, Ay,” jawab Nanda sambil mengusap mulutnya dengan tisu.

“Emangnya pedes banget, ya?” tanya Ayu sambil mencicipi nasi goreng buatannya sendiri dan ia merasa kalau tidak pedas sama sekali.

“Pedes banget, Ay! Kamu ini makan makanan terlalu pedas seperti ini. Apa maksudnya? Nggak sayang sama bayi yang ada di perutmu?” Nanda menatap wajah Ayu sambil mengipas mulut menggunakan telapak tangannya. Meski sudah minum dua gelas air, rasa pedas di mulutnya tak kunjung hilang.

“Aku ngerasa ini nggak pedas, Nan. Kalau kamu nggak tahan, aku akan buatkan makanan baru untukmu. Sorry banget! Aku pikir, kamu suka pedas.” Ayu bangkit dari kursinya.

Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu. Membuat Ayu mengurungkan niatnya untuk bangkit dan membuat wajahnya dan wajah Nanda saling bertemu.

“Nan, kamu ...!?”Ayu menatap mata Nanda yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari matanya dan membuat wajah mereka saling menempel.

“Nggak perlu siapin makanan baru untukku! Ini saja,” pinta Nanda sambil mengulum lembut bibir Ayu dan menghisapnya semakin dalam.

Ayu langsung membalas ciuman dari Nanda. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menegang, dadanya mengencang dan bagian inti tubuhnya minta diperlakukan lebih. Pagi-pagi seperti ini, Nanda sudah berhasil membangkitkan gairahnya. Parahnya lagi, ia menjadi mudah terpancing hasratnya dan tidak bisa menahan diri. Mungkinkah hormon kehamilan memengaruhi perasaannya seperti yang sering ia baca di artikel-artikel tentang dunia kehamilan.

Nanda tersenyum saat mendapati tubuh Ayu menggeliat karena sentuhan darinya. Ia langsung menaikkan Ayu ke pangkuannya, menghadap ke arahnya dan semakin bersemangat menghisap bibir dan leher istrinya itu. Kedua tangannya bergerak liar di belakang pinggang Ayu dan meremas dua gundukan empuk di bawahnya.

“Mmh ... Nan, aku ... mmh ...” Ayu menggigit bibir bawahnya. Menahan desahan ketika bibir Nanda mulai bermain di dadanya. Jemari tangannya mencengkeram erat punggung Nanda, menahan hasrat yang sudah memuncak di kepalanya.

Nanda semakin tersenyum puas tubuh Ayu semakin gemetar. “Nggak perlu ditahan. Kita sudah sah dan bebas melakukannya kapan saja,” bisiknya di telinga Ayu.

Ayu tersenyum kecil sambil menyembunyikan wajahnya yang menghangat. Jika Nanda terus seperti ini, ia pasti menginginkannya diperlakukan lebih.

Nanda menggoyangkan tubuhnya. Menekan tubuh Ayu ke atas senjata andalannya yang kini sudah berada dalam siap tempur. “Aku sudah on. Do something for me!” pintanya.

“Nan, aku nggak berpengalaman soal begini. Aku ...” Ay menatap bagian bawah tubuh Nanda sambil meremas jemari tangannya sendiri. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu.

Nanda tersenyum. Ia menarik salah satu tangan Ay dan memasukkan ke dalam celananya. “Pegang ini! Tarik keluar perlahan dan masukkan ke itumu!” pintanya.

Ayu melebarkan kelopak matanya. Ia mengerjapkan mata dan berusaha mengembalikan kesadaran dari sikap liar yang tiba-tiba saja muncul tanpa ia sadari.

“Nggak usah malu-malu! Ini bagian dari kebutuhan dan rutinitas kita,” pinta Nanda lagi.

“Mmh ... kamu mau pergi ke kantor ‘kan?”

“Kantor gampang untuk diurus. Selesaikan dulu urusan ini! Pusing kalau sudah on gini dan nggak diservis dengan baik,” sahut Nanda.

“Beneran pusing?”

“Iya. Pusing atas bawah, Ay! Do it!” pintanya.

“Ini ... langsung masukin aja?” tanya Ayu polos.

Nanda tertawa kecil. “Kamu memang belum cocok jadi istri yang baik! Harus lebih banyak belajar lagi!” Ia menggeser piring dan gelas yang ada di hadapannya dan mendudukkan Ayu ke atas meja. Dengan cepat, tangannya menaikkan daster yang dikenakan istrinya itu dan melepaskan CD yang dikenakannya. Ia juga segera menurunkan celana yang ia kenakan dan memainkan inti tubuhnya terlebih dahulu ke pintu masuk inti tubuh Ayu sebelum ia benar-benar menyatukan diri dengan wanita itu. Ia mengajari Ayu perlahan untuk mendapatkan kesenangannya dan menikmati pagi yang hangat di atas meja makan.

“Aach ...! Thank’s, Ay ...!” ucap Nanda saat ia berhasil melakukan pelepasan dengan sempurna di dalam inti tubuh Ayu. Ia merasa, paginya kali ini benar-benar luar biasa karena Ayu bisa dengan cepat mempelajari setiap gerakan yang ia ajarkan dan membuat ia sangat puas.

Ayu mengangguk. Ia meraih CD yang tergeletak di lantai dan buru-buru berlari ke kamar mandi. “Aku bersihkan tubuhku dulu!”

“Bersihkan dengan baik sampai harum! Nanti malam, aku akan ajari kamu gaya baru yang nggak kalah nikmat. Aku akan pulang kerja lebih cepat. Oke?” seru Nanda sambil membersihkan alat vitalnya menggunakan tisu dan mengenakan kembali celana miliknya karena ia harus secepatnya pergi ke perusahaan.

“He-em. Nanti malam aku ada janji sama temen-temen sanggar untuk perpisahan. Kamu bisa temani aku ke sana?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Aku akan temani kamu. Aku buru-buru harus ke kantor. Besok pagi, buatkan aku nasi goreng lagi! Tapi jangan sepedas ini karena bisa bikin aku minta menu yang lebih enak dari makanan. Apalagi, adik kecilku ini semakin nakal setiap kali bertemu denganmu.”

Ayu tertawa kecil sambil menatap bagian bawah tubuh Nanda. Ia mempercepat langkahnya menaiki anak tangga untuk membersihkan diri.

Nanda tersenyum puas dan segera melenggang santai keluar dari rumahnya. Ia merasa, hidupnya lebih baik seperti ini. Bisa bersenang-senang dengan istrinya kapan saja ia mau tanpa khawatir dengan apa pun. Meski Arlita pandai menemaninya bersenang-senang di luar sana, tapi ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal lebih terhadap wanita itu. Hanya ingin membawanya pergi ke tempat-tempat mewah untuk menutupi rasa gengsinya sendiri. Ia tidak mungkin pergi ke perjamuan atau klub malam tanpa wanita cantik di sisinya. Baginya, Ayu masih terlalu cupu dan kuno untuk ia ajak keluar. Lebih nyaman jika istrinya itu disimpan di rumah dan hanya menjadi miliknya seorang.

 

...

 

Sesuai dengan janjinya, Ayu akhirnya mengajak Nanda untuk pergi ke perjamuan perpisahan yang dilaksanakan di sanggar tempat Ayu selama ini berlatih kesenian.

“Roro Ayu ..! How are you?” seru Nadine sambil berlari ke arah Ayu dan memeluk tubuh wanita itu.

“Nadine? Kamu lagi di Surabaya? Bukannya kamu tugas di Semarang, ya?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nadine.

“Iya. Aku dengar kamu mau melakukan perpisahan  karena sudah menikah dan suamimu tidak mengizinkan kamu menari lagi, ya? Sayang banget, sih? Harusnya tetep nari, dong! Ntar siapa yang jadi partner Tari Merak kalau kamu nggak ada?” cerocos Nadine.

“Iih ... gaya banget! Padahal kamu juga udah jarang nari sejak jadi dokter.”

“Hahaha. Pasienku banyak! Sulit bagi waktu. Eh, duduk, yuk!” ajak Nadine.

Ayu mengangguk. Ia merangkul lengan Nanda dan membawa suaminya itu bergabung dengan teman-teman sanggar latihannya.

“Selamat malam semuanya ...!” sapa Ayu sambil tersenyum manis.  “Kenalin, ini suamiku. Namanya Mas N anda.”

“Salam kenal semua!” sapa Nanda sambil tersenyum manis.

Semua orang saling pandang.

“Mbak Roro beneran sudah menikah?” tanya salah seorang remaja yang ada di sana.

Ayu mengangguk sambil tersenyum.

“Yu, bukannya kamu tunangan sama Dokter Sonny?” bisik Nadine.  “Kenapa kamu malah nikah sama cowok lain?”

“Ceritanya panjang, Nad. Ntar aku ceritain ke kamu kalau kamu ada waktu untuk mendengarkan ceritaku, Dokter Nadine yang super sibuk,” jawab Ayu berbisik.

Nadine tertawa kecil. “Oke. Aku akan luangkan waktuku untuk mendengarkan ceritamu,” balasnya berbisik.

“Hari ini Mbak Roro Ayu datang ke sini dan mengajak makan malam karena ingin merayakan hari perpisahan untuk kita semua. Setelah hari ini, Mbak Roro Ayu tidak akan bergabung dengan sanggar kita karena beliau sudah berkeluarga dan akan segera punya anak. Kesibukan baru beliau, tidak bisa membuatnya terus berpartisipasi di sanggar ini. Mohon kalian bisa mengerti dan mendoakan Mbak Roro Ayu supaya sehat wal afiat. Menjadi keluarga yang bahagia, harmonis dan langgeng sampai kakek-nenek.” Enggar mengambil alih pembicaraan.

“Yah, makan malam ini untuk perpisahan dengan Mbak Roro Ayu? Kalau tahu seperti ini, aku tidak akan datang,” celetuk salah seorang remaja yang ada di sana.

Ayu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Kalau kalian rindu, rumah kami akan selalu terbuka untuk kalian!”

“Kenapa harus berhenti di sanggar, sih? Suaminya jahat banget?” celetuk remaja yang lain lagi.

Nanda langsung menoleh ke arah remaja tadi. Ia merasa tidak enak karena semua orang tidak menginginkan Ayu berhenti. Namun, kehamilan istrinya itu memang membatasi gerak-gerik Ayu dan ia tidak ingin terjadi hal buruk karena istrinya terlalu banyak bergerak.

“Mbak Roro Ayu lagi hamil muda. Nggak bisa leluasa untuk bergerak. Mohon pengertian kalian!” ucap Nanda sambil menunduk sopan.

“Kalau nggak bisa menari, bisa melatih kami ‘kan?” sahut seorang remaja lain.

“Iya, bener. Kalau nggak ada Mbak Roro Ayu, kami gimana? Nggak seru!” ucap salah seorang remaja sambil bangkit dari lantai dan melangkah pergi begitu saja.

Enggar langsung menatap remaja yang telah lancang beranjak dari sana. “Prima kembali!” perintahnya.

Remaja yang dipanggil Prima itu tidak menghiraukan teriakan Enggar dan pergi begitu saja dari aula gedung tempat mereka biasa berlatih kesenian.

Semua yang ada di sana mulai pergi satu persatu menyusul Prima. Mereka memilih untuk berkumpul di luar gedung. Membiarkan makanan yang sudah terhidang di sana begitu saja. Tidak bersemangat untuk menyentuhnya karena mereka akan kehilangan penari sekaligus pelatih mereka mulai hari ini.

“Biar aku urus mereka dulu!” ucap Enggar sambil bangkit dan menyusul semua putera-puteri didiknya.

Ayu mengangguk.

“Aku ikuti mas pelatih itu. Biar aku bantu memberi pengertian pada mereka!” bisik Nanda di telinga Ayu dan ikut keluar dari sana.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia menundukkan kepala sambil meremas jemari tangannya. Hanya tersisa ia dan Nadine di ruangan tersebut.

“Eh, suami kamu lumayan juga. Lebih ganteng dari Dokter Sonny. Dapet di mana?”

“Dia sahabat baiknya Sonny,” jawab Ayu lirih sambil memejamkan matanya.

“WHAT!?” Mata Nadine terbelalak mendengar ucapan Ayu.

“Semua karena kecelakaan, Nad. Aku mengandung anak dari Nanda dan terpaksa harus menikah sama dia.”

“Terus, Dokter Sonny gimana? Pantesan akhir-akhir ini aku sering lihat dia murung, Ay. Hubungan kalian separah ini? Aku nggak peka banget sampai nggak tahu permasalahan Dokter Sonny. Dia terlihat ceria aja ngurus pasien anak-anaknya,” tutur Nadine.

Ayu menghela napas. “Dia bukan orang yang suka menunjukkan kesulitannya. Aku sudah melukai dia dan nggak berani menghubungi dia sama sekali. Apa dia baik-baik aja, Nad?”

“Kelihatannya baik-baik saja secara fisik. Nggak tahu kalau hatinya,” jawab Nadine.

Ayu mengerutkan wajahnya. “Nad, kalau ada kesempatan. Fotoin dia dan kirimin ke aku, dong! Tapi jangan sampai dia tahu, ya!”

Nadine menatap Ayu selama beberapa saat. “Kamu nggak bahagia sama pernikahan kamu, Ay?”

Ayu menghela napas. “Wanita mana yang bisa bahagia kalau menikah dengan pria yang tidak mencintai dia? Tapi ... aku sedang berusaha memupuk hubungan kami agar bisa bahagia. Aku sudah menikah, tidak bisa semudah berpacaran yang tinggal bilang putus saat merasa tidak nyaman.”

“Yang sabar, ya! Semoga suami kamu adalah pria yang terbaik untukmu, Ay. Semua orang ingin menikah sekali saja dalam hidupnya dan aku harap, pria itu bisa membahagiakanmu setiap hari,” ucap Nadine.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. “Kamu sendiri gimana? Hubunganmu dengan Enrocky ada perkembangan?”

“Masih gitu-gitu aja,” jawab Nadine sambil terkekeh geli. “Kemarin dia nembak aku, aku tolak lagi, hihihi.”

“Aneh banget, sih!? Kalau dia nembak kamu tolak. Giliran dia digosipin deket sama cewek lain, kamunya uring-uringan. Kamu cinta atau nggak sama dia? Ada pria yang begitu hebat bertahan mencintaimu, jangan disia-siakan!” pinta Ayu sambil menatap wajah Nadine.

“Tenang aja! Dia nggak akan berpaling dan macem-macem. Aku tinggal bilang ke papaku supaya dia bikin perhitungan sama keluarga Hadikusuma karena anaknya berani main-main sama aku. Lagian, cowok playboy kayak dia itu harus dikasih pelajaran. Harus buktikan kalau dia cinta sama aku, baru aku terima. Ogah kalau dipermainkan ke depannya,” tutur Nadine sambil tersenyum lebar.

Ayu tertawa kecil. “Apa pun itu, aku akan bantu doa supaya kamu dan dia bisa bersatu.”

“Aamiin ...!” seru Nadine antusias. Ia dan Roro Ayu bercerita banyak hal tentang hubungan asmara mereka akhir-akhir ini.

 

((Bersambung...))

 

 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


 

 

 

 

 




Bab 8 - Mulai Cemburu

 




BAB 8 – MULAI CEMBURU

 

Hari ini adalah hari ulang tahun kota. Nanda sebagai pengusaha muda mendapat undangan kehormatan untuk duduk di kursi VIP. Namun, ada hal yang aneh dan berbeda. Dia bukan menggandeng Ayu sebagai partner, tapi Arlita yang terlihat sangat cantik dan memesona dengan gaun malam dan pehiasan yang mahal. Tentunya, semua itu disiapkan oleh Nanda, kekasihnya.

“Nan, makasih ya! Kamu masih ajak aku ke perjamuan ini. Aku bahagia banget!” ucap Arlita sambil menyandarkan kelapanya di pundak Nanda.

Nanda tersenyum menanggapi ucapan Arlita. Baginya, lebih bahagia membawa Arlita daripada harus pergi bersama istrinya. Sebab, rumah tangga mereka tidak pernah harmonis dan ia enggan berdebat dengan istrinya. Toh, Ayu juga tidak akan tahu kalau Nanda pergi ke perjamuan walikota bersama kekasihnya. Andai tahu, istrinya itu tidak akan berani berbuat apa-apa.

“Baiklah ... saatnya kita memasuki acara ramah-tamah. Para undangan diperkenankan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Kami akan mempersembahkan sebuah tarian romantis yang sangat terkenal di negeri ini. Tarian Rama-Shinta yang akan dibawakan oleh saudara Enggar Prakasa Dierjaningrat dari keraton kesultanan Jogjakarta dan Raden Roro Ayu Rizky Prameswari dari keraton kesultanan Surakarta. Pasangan yang sangat serasi untuk menghibur semua masyarakat yang ada di sini. Selamat menikmati ...!” seru Master of Ceremony yang membawakan acara tersebut.

Nanda langsung bangkit dari kursi begitu ia mendengar nama lengkap istrinya disebut oleh MC. Matanya langsung tertuju ke atas panggung. Dan benar saja, Roro Ayu muncul dari belakang panggung bersama seorang pria dengan pakaian dan riasan khas Rama-Shinta.

“Nan, Ayu lagi hamil muda ‘kan? Dia masih nari-nari gitu? Bukannya kamu bilang, dia nggak pernah keluar rumah? Kenapa bisa ngisi acara di sini?” tanya Arlita yang ikut berdiri di samping Nanda.

“Diam!” sahut Nanda sambil terus memperhatikan tubuh Ayu yang begitu molek menari di atas panggung bersama dengan seorang pria. Hatinya tiba-tiba memanas saat keduanya terlihat sangat mesra. Terlebih, pria duetnya itu bertelanjang dada. Selain tampan dan memukau, pria itu juga keturunan bangsawan, sama seperti istrinya.

“Pasangan dari keluarga bangsawan ini memang mengagumkan. Kalau mereka benar-benar menikah, akan menghasilkan bibit keturunan yang bagus,” celetuk seorang pria paruh  baya yang duduk tak jauh dari Nanda.

Nanda langsung menyeringai dan melangkah pergi dari tempat tersebut. Ia sangat kesal karena Ayu diam-diam masih melakukan tari-tarian tradisional di belakangnya dan keluar dari rumah tanpa izin darinya.

“Nan, mau ke mana?” tanya Arlita. Ia langsung mengejar langkah Nanda.

Nanda terus melangkahkan kakinya menuju ke backstage.

“Maaf, Mas ...! Selain tim kami, tidak ada yang boleh masuk ke dalam backstage.” Seorang pria bertubuh tegap langsung menghadang langkah Nanda.

“Aku mau ketemu istriku!” seru Nanda kesal.

“Istri? Siapa?” tanya pria itu lagi.

“Roro Ayu. Yang lagi nari di panggung itu,” jawab Nanda.

“Mbak Roro sudah menikah?” tanya pria itu pada tim lainnya.

Orang yang ditanya langsung menggelengkan kepala.

“Ini ada orang yang ngaku-ngaku jadi suaminya,” tutur pria itu lagi.

Seorang wanita langsung ikut menghampiri Nanda dan memperhatikan pria itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Setahu aku Mbak Roro belum menikah. Lagipula, tunangan dia ‘kan Dokter Sonny. Bukan orang ini.”

Nanda gelagapan mendengar ucapan wanita itu. Pernikahan ia dan Roro Ayu memang dibuat tertutup dan hanya dihadiri oleh keluarga saja. Tidak banyak yang mengetahui tentang pernikahan mereka. Terlebih, teman-teman Roro Ayu yang tidak banyak ia kenal.

Pri yang ada di hadapan Nanda langsung tersenyum sinis. “Ada aja orang ngaku-ngaku jadi suaminya. Ckckck. Silakan pergi dari sini, Mas!”

“Heh, aku ini memang suaminya Ayu. Panggil dia ke sini kalau nggak percaya!” seru Nanda saat suara alunan musik di panggung sudah hilang dan tarian yang ditarikan istrinya itu sudah usai.

“Nggak usah bikin kekacauan di sini! Kalau masih ngotot, kami akan laporkan Anda ke pihak keamanan!” ancam pria yang ada di hadapan Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya saat manik mata itu menangkap bayangan tubuh Ayu bersama Enggar yang baru saja turun dari panggung dan terlihat berbincang intim. “RORO AYU ...!” teriaknya.

Ayu menoleh sejenak ke arah Nanda dan Arlita yang juga ada di belakang pria itu, kemudian mengalihkan pandangannya kembali dan berbincang dengan Enggar.

“Mbak Roro, ada cowok di luar yang ngaku-ngaku sebagai suami Mbak Roro. Beneran suaminya?” tanya salah seorang wanita yang mengenakan baju khas tim panitia sambil menghampiri Ayu.

Ayu menggeleng. “Aku nggak kenal. Mungkin cuma penggemar yang pura-pura.”

“Baiklah. Biar saya urus!”

Ayu mengangguk. “Makasih ...!” Ia langsung melangkah pergi ke meja rias. “Mbak, tarian selanjutnya Cendrawasih, ya?” tanya Ayu pada tim make-up dan wardrobe.

“Iya, Mbak Roro. Masih bisa istirahat, kok. Masih diselingi dua tarian lagi.”

“Oh. Oke.” Ayu langsung duduk di kursi yang kosong dan beristirahat di sana bersama Enggar.

Di luar pintu, Nanda masih saja berusaha meminta panitia untuk mempertemukan ia dan istrinya.

“Maaf, Mas ...! Kata Mbak Roro, dia tidak kenal dengan sampeyan? Silakan pergi dari sini!” tutur seorang tim panitia sambil menatap Nanda.

“Nggak kenal?” Nanda melebarkan kelopak matanya. Amarah di dadanya semakin menjadi-jadi begitu mendengar kalau Roro tidak mengakui keberadaan dirinya.

“Nan, sudahlah. Nggak perlu kayak gini! Dia juga sengaja tidak mau mengakui dirimu. Lebih baik, kita nikmati saja pesta ini,” pinta Arlita sambil merangkul lengan Nanda.

Nanda langsung menepiskan tangan Arlita dan mendorong pria yang menghalanginya.

“Mas, jangan masuk ...!” teriak pria itu dan semua orang langsung tertuju pada Nanda yang sedang berjalan cepat menghampiri Ayu.

“Ayu ...!” Nanda langsung menarik pergelangan tangan Ayu dan menyeret wanita itu keluar dari sana.

Ayu melebarkan kelopak matanya. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nanda. “Kamu siapa?”

“Kamu nggak mau ngakui aku sebagai suamimu, hah!?” seru Nanda sambil menatap wajah Ayu.

“Memangnya kamu mau mengakui aku sebagai istrimu?” sahut Ayu tak mau kalah.

Nanda menyeringai kesal dan kembali menyeret tangan Ayu dengan kasar.

“Mas, jangan memperlakukan wanita dengan kasar seperti ini!” Enggar langsung menghadang tubuh Nanda.

“Kamu siapa? Ini urusan rumah tangga kami! Orang luar nggak usah ikut campur!” seru Nanda kesal.

“Yang kami tahu, Roro Ayu belum menikah,” tutur Enggar santai sambil menatap Nanda.

Nanda langsung menatap wajah Ayu. “Bilang jujur ke mereka! Aku siapa kamu!?” sentaknya.

Ayu menarik napas perlahan sambil memejamkan mata melihat sikap Nanda yang selalu saja berapi-api dalam menghadapi sesuatu. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan mendapatkans seorang suami yang kasar seperti ini.

“Kami semua tahu siapa tunangannya Ayu. Ayu nggak mungkin punya suami yang bad attitude kayak gini!” ucap Enggar sambil menatap Nanda.

“Dia memang suamiku, Mas!” ucap Ayu lirih.

Enggar menaikkan kedua alisnya. “Beneran suamimu?”

Ayu mengangguk kecil sambil menggigit bibir bawahnya.

“Kapan kamu nikah, Yu?” tanya Enggar lagi.

“Nggak penting kapan kami nikah! Karena aku suaminya, aku berhak bawa istriku pulang!” sahut Nanda sambil menarik lengan Ayu dan membawanya keluar dari backstage tersebut.

Semua mata langsung tertuju pada Nanda yang mengenakan setelan jas rapi berwarna biru metalic dan Roro Ayu yang terlihat kontras dengan pakaian tradisional ala tokoh Shinta dalam pewayangan Ramayana.

Nanda langsung meminta Ayu masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Arlita begitu saja.

“Nan, aku masih ada satu tarian lagi. Kamu mau bawa aku pergi dari sini?” tanya Ayu.

Nanda menghela napas sambil menyalakan mesin mobilnya. “Kamu pergi nari nggak izin sama suami? Nggak menghargai keberadaanku, Ay?”

“Aku sudah bilang. Kamu yang gak pernah menghiraukan ucapanku karena sibuk sama selingkuhan kamu terus,” sahut Ayu dingin.

“Arlita itu bukan selingkuhan!” sahut Nanda.

“Apa namanya kalau bukan selingkuhan? Kamu sudah beristri dan pacaran sama dia juga?”

“Kamu juga pacaran sama Sonny. Why?” sahut Nanda.

“Aku sudah putus sama Sonny sejak aku nikah sama kamu. Tapi kamu ...? Setiap hari, kamu masih aja jalan Arlita. Makan malam, clubing, sarapan bareng dia, makan siang bareng dia. Bahkan kamu bawa dia ke setiap acara perjamuan? Yang istrimu itu aku atau dia?” Sahut Ayu kesal.

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menahan emosinya. “Kamu tahu, aku nggak pernah cinta sama kamu dan nggak pernah menginginkan pernikahan ini terjadi!”

“Sama. Aku juga! Aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini. Punya suami brengsek kayak kamu, malapetaka buat aku!” seru Ayu sambil berusaha membuka pintu mobil dan keluar dari sana.

“Berani keluar?”  seru Nanda.

Ayu menghela napas dan menghentikan gerakan tangannya. “Nan, mau kamu apa?” tanya Ayu menurunkan nada suaranya.

Nanda menghela napas sambil menatap dada Ayu yang terekspose di hadapannya karena kostum tari yang dikenakan memang hanya kemben dan jarik saja. “Kamu pakai baju kayak gini, buat narik laki-laki lain lagi?”

“Nggak usah mengalihkan perhatian, Nan! Aku udah biasa menari tradisional sejak aku masih kecil. Pakai pakaian begini juga udah biasa. Apa yang salah?”

“Kamu nggak sadar kalau dada kamu ini ...” Nanda menarik ujung kemben Ayu dan melihat pahanya yang terbuka. “Kamu ini terlalu seksi untuk tampil di atas panggung!”

“Bukannya kamu suka cewek yang seksi? Arlita selalu berpakaian seksi setiap hari dan kamu suka menikmatinya. Iya ‘kan?”

“Nggak usah bawa-bawa Arlita!” sahut Nanda kesal. “Aku lagi ngomongin kamu, Ay!” Ia menahan pening di kepalanya saat bagian inti tubuhnya tiba-tiba berkedut. Melihat tubuh Ayu terekspose di depannya, ia benar-benar tidak bisa menahan diri.

“Tiga bulan ini aku diam bukan berarti aku nggak ngerasa sakit, Nan. Meski aku nggak cinta sama kamu. Kamu tetep suamiku dan kamu nggak pernah menghargai keberadaanku sebagai istri. Aku sudah coba jadi istri yang baik buat kamu dan kamu nggak pernah lihat itu. Kalau kamu nggak cinta sama aku, kamu nggak perlu marah-marah. Kita bisa hidup masing-masing dan tidak perlu saling mengatur. Kamu juga nggak perlu cemburu kayak gini karena di antara kita nggak pernah saling mencintai!” tutur Ayu sambil mendorong pintu mobil dan keluar dari sana.

“Cemburu?” Nanda mengernyitkan dahi sambil menatap tubuh Ayu yang bergerak pergi meninggalkan mobilnya. Ia menghela napas dan menyandarkan kepalanya ke kursi. “Apa iya aku cemburu?”

Ayu langsung melangkah kembali menuju ke backstage dan masuk ke ruang rias.

“Yu, kamu balik? Suamimu marah?” tanya Enggar saat melihat Ayu kembali ke sana.

“Biarkan saja! Dia terlalu kekanak-kanakkan,” jawab Ayu sambil melepas aksesoris yang melekat di tubuhnya satu per satu.

“Gimana ceritanya kamu nikah sama orang itu? Bukannya kamu tunangan sama Sonny?”

“Ceritanya panjang, Mas. Nggak enak cerita di sini.”

“Setelah selesaikan tarian terakhirmu, kita bicara di atas sana!” ajak Enggar sambil menunjuk rooftop yang berada di gedung pemerintahan di atas sana.

Ayu mengangguk. Ia segera mempersiapkan dirinya untuk menarikan tarian selanjutnya. Setiap tahunnya, ia selalu menyumbang tarian untuk ulang tahun kota dan ulang tahun negara dan ia harus bertanggung jawab. Baginya, menari tradisional adalah bagian dari hobby untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Terlebih setelah ia resign, ia tidak punya kegiatan dan terus-menerus di dalam rumah seorang diri terasa sangat membosankan.

 

***

 

“Minumlah ...!” Enggar menyodorkan satu cup capucino hangat ke hadapan Ayu. Saat ini, mereka sudah berdiri di rooftop gedung yang mengarah ke panggung. Waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam dan suasana kota itu masih sangat ramai karena panggung hiburan masih menyuguhkan beragam kesenian.

“Makasih, Mas ...!” Ayu meraih cup tersebut dan memeluk dengan kedua telapak tangannya. Melawan dingin malam yang masih menembus kulit meski ia sudah mengenakan sweeter.

“Berceritalah! Aku akan mendengarkanmu,” pinta Enggar.

Ayu menghela napas. “Aku memang menikah diam-diam, Mas. Semua teman-teman tahu kalau aku bertunangan dengan Dokter Sonny. Pasti akan menjadi pertanyaan besar kenapa aku menikah dengan pria lain. Aku juga tidak menginginkan ini terjadi.”

Enggar manggut-manggut seolah mengerti perasaan Ayu. “Banyak orang yang mengalami kasus seperti ini. Mungkin, kamu dan Sonny tidak ditakdirkan berjodoh.”

Ayu tersenyum kecut. “Aku masih sangat mencintai dia, Mas. Bagiku, Sonny adalah pria impian. Aku menyukai dia sejak pertama masuk SMA. Hingga kami bertunangan, Sonny tetaplah sosok pria baik, penyayang dan bertanggung jawab. Aku tidak tahu telah melakukan dosa apa hingga takdir mempermainkan aku seperti ini.”

“Aku sudah berusaha menjadi wanita yang baik agar aku bisa ditakdirkan menjadi jodoh pria yang baik pula. Tapi aku malah dapet suami yang nggak pernah sayang sama aku, cuek dan selalu memperlakukan aku dengan kasar. Dia juga lebih mencintai wanita lain daripada aku. Wanita mana yang tahan diperlakukan seperti ini setiap hari?” tutur Ayu sambil mengusap air matanya yang jatuh tanpa ia sadari.

“Ayu ... jangan bersedih seperti ini! Semua hal sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kalau memang dia jodohmu, kamu harus sabar. Mungkin, inilah ujian hidup yang harus kamu terima,” tutur Enggar sambil menyentuh lembut pundak Ayu.

Ayu mengangguk sambil mengusap sisa air matanya. “Aku juga nggak mau terlarut dalam kesedihan, Mas. Aku lagi hamil muda. Kata dokter, ibu hamil nggak boleh setress. Awalnya sangat sakit. Sekarang, sudah terbiasa.”

Enggar tersenyum menatap wajah Ayu. “Aku kenal kamu sudah lama. Aku yakin kalau kamu pasti kuat menghadapi ujian seberat apa pun. Setiap orang punya ujian hidup yang berbeda. Terkadang terlihat mengagumkan di depan semua orang, tapi seseungguhnya di dalam sedang terluka. Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu seperti ini.”

Ayu tersenyum menatap Enggar. “Nggak papa, Mas. Lama-lama akan terbiasa.”

Enggar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Gimana kabar Bunda Rindu? Sudah lama aku tidak bertemu dengan beliau.”

“Baik.”

“Hari ini dia nggak datang ke sini?” tanya Enggar lagi.

“Sepertinya datang. Tapi aku tidak tahu dia ada di mana.”

“Nggak telepon? Siapa tahu, perasaan kamu bisa lebih baik kalau ketemu beliau?”

Ayu menggeleng. “Aku nggak mau rumah tanggaku jadi beban pikiran buat bunda. Aku mau dia melihat semuanya baik-baik saja dan kami hidup bahagia. Aku nggak pernah bermimpi punya suami pengusaha. Dunia mereka terlalu liar untukku dan hatiku nggak siap menahan semua godaan dari luar.”

“Jodoh nggak bisa dipilih. Semua wanita di luar sana malah menyukai pengusaha yang banyak uang. Kamu bisa mendapatkannya dengan mudah. Harusnya kamu bersyukur!” ucap Enggar sambil tersenyum manis.

Ayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bersyukur dan menerima semuanya.”

“Gitu, dong! Kalau dia melukaimu, kamu bilang ke Mas, ya! Mas pasti akan membantu menjaga dan melindungimu. Kamu lagi hamil, sebaiknya kita pulang saja! Aku akan mengantarkanmu. Udara malam tidak begitu baik untukmu,” tutur Enggar.

Ayu mengangguk. “Mmh ... Mas, mungkin dua bulan lagi ... perutku akan terlihat membesar. Aku tidak akan bisa menari setelah ini. Sepertinya, ini adalah hari terakhir aku menari. Setelah melahirkan, aku tidak akan punya waktu lagi. Bisakah kita bikin acara makan-makan untuk perpisahan?”

Enggar mengangguk. “Bisa. Aku akan undang semua anak di sanggar. Mau makan di mana?” tanyanya.

“Mas Enggar saja yang pilih tempatnya. Kira-kira, anak-anak sukanya makan di mana?”

Enggar mengangguk. “Nanti aku bicarakan dengan mereka. Kalau anakmu sudah besar, apa kamu masih mau kembali ke dunia seni?”

“Belum tahu, Mas,” jawab Ayu lirih. “Suamiku tidak seperti Sonny yang membebaskan aku untuk bergerak. Kalau dia mengizinkan, mungkin aku akan kembali.”

Enggar mengangguk tanda mengerti. “Aku mengerti posisimu. Aku pasti akan merindukan saat-saat menari bersamamu. Sudah bertahun-tahun, kamu tiba-tiba berhenti berkesenian. Dunia kami akan merindukanmu.”

Ayu tersenyum kecil. Ia melangkahkan kakinya perlahan turun dari gedung tersebut dan menuju ke parkiran. Matanya langsung menangkap mobil Nanda yang masih terparkir di sana.

“Mas, sepertinya suamiku masih nunggu aku pulang. Aku pulang bareng dia aja.”

“Yang mana?” tanya Enggar.

Ayu langsung menunjuk mobil Nanda dengan isyarat kepalanya. “Aku nggak mau menambah kemarahan dia karena Mas Enggar mengantarku.”

Enggar mengangguk tanda mengerti. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku!”

“Baik, Mas. Terima kasih ...!” Ayu tersenyum manis dan melangkah menghampiri mobil Nanda. Ia mengintip ke dalam kaca jendela, melihat Nanda sedang terlelap di dalam sana.

Tok ... tok ... tok ..!

Ayu mengetuk pintu mobil Nanda beberapa kali hingga pria itu terbangun.

Nanda langsung mengerjapkan matanya begitu mendengar pintu mobilnya diketuk. Ia menoleh ke luar jendela mobilnya dan menangkap bayangan wajah Ayu di sana.

Ia melirik jam di mobilnya sejenak dan membuka kaca jendelanya. “Udah selesai?”

“Kamu masih nungguin aku? Arlita mana?” tanya Ayu balik.

“Nggak tahu,” jawab Nanda ketus. “Masuklah!”

Ayu tersenyum kecil dan langsung masuk ke dalam mobil Nanda. Ia tidak menyangka jika suaminya itu mau menunggunya hingga larut malam dan membuang pacarnya entah ke mana.

“Nan, kalau kamu ngantuk, biar aku yang bawa mobil!” pinta Ayu.

Nanda menggelengkan kepala. Ia bergegas menekan start engine dan menjalankan mobilnya perlahan keluar dari padatnya keramaian ulang tahun kota.

“Ay, kenapa kamu diam-diam pergi ke tempat ini? Kamu masih nari terus?” tanya Nanda lirih.

“Aku sudah bergabung dengan sanggar tari sejak usia lima tahun. Kamu sendiri yang bilang kalau tidak akan mengganggu rutinitasku meski kita sudah menikah. Aku sudah menuruti keinginanmu untuk berhenti bekerja. Apa aku harus berhenti juga dari sanggar?” jawab Ayu sambil bertanya.

Nanda melirik ke arah Ayu yang sudah mengenakan pakaian sopan seperti biasa. Ia lebih nyaman melihat ayu seperti itu. Melihat istrinya berpakaian seksi, membuat kepalanya pening dan membayangkan banyak hal tidak senonoh yang bisa menimpa istrinya itu.

“Cuma itu hiburanku satu-satunya saat ini, Nan. Aku menghabiskan waktu sendirian di rumah dan itu membosankan. Setelah perutku membesar dan melahirkan, aku tidak akan bisa melakukan hal seperti ini lagi. Ini terakhir kalinya aku menari di atas panggung,” ucap Ay lirih sambil menundukkan kepalanya.

Nanda melirik ke arah Ayu sejenak. “Sorry ...! Aku nggak bermaksud mengekang kamu, Ay. Aku cuma ...”

Ayu menggigit bibir bawahnya. Ia sendiri yang memutuskan untuk berhenti dari dunia seni karena kehamilannya yang akan semakin membesar.

Nanda menghela napas sambil menatap Ayu. “Sudah makan?”

Ayu menggeleng.

“Kita makan dulu sebelum pulang,” pinta Nanda. Ia langsung menghentikan mobilnya di depan halaman restoran dua puluh empat jam.

Ayu tersenyum saat Nanda menggandengnya masuk ke dalam restoran tersebut. Setelah tiga bulan menikah, ini pertama kalinya Nanda mengajaknya makan bersama. Meski berada di waktu yang tidak tepat, ia merasa bahagia karena diperhatikan oleh suaminya itu.

“Makan yang banyak supaya bayi kita sehat!” pinta Nanda saat makanan yang mereka pesan sudah terhidang di atas meja.

Ayu mengangguk sambil tersenyum manis. “Makasih, Nan ...!”

“Nggak usah berterima kasih! Aku melakukannya demi anakku yang ada di perutmu."

Ayu mengangguk tanda mengerti. Ia tahu, Nanda tidak akan pernah tulus bersikap di hadapannya. Meski ia tidak ada cinta dalam hubungan mereka, ia tetap menginginkan diperlakukan sebagai seorang istri. Sebab, pernikahan mereka adalah pernikahan sungguhan dan sah secara hukum. Mereka juga tidak mungkin mengakhiri hubungan tanpa cinta ini dengan mudah karena keluarga mereka sama-sama berharapn hubungan keluarga kecil ini bisa harmonis.

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita dan berkenan memberikan penghargaan untuk author dengan membeli karya ini. Apa yang kalian lakukan, sangat berharga untukku.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


 


 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas