Wednesday, November 17, 2021

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan



Satu bulan kemudian ...

Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun.

“Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya.

Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan.

Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sudah selesai mandi. Memoles wajahnya dengan make-up tipis dan bergegas keluar dari dalam kamarnya.

“Roro Ayu , mau ke mana malam-malam begini?” tanya Bunda Rindu yang melihat puterinya buru-buru melangkah keluar dari rumah.

“Eh!? Ada urusan, Bunda. Mau ketemu sama temen. Bahas kerjaan,” jawab Ayu berdalih. Ia segera berpamitan dan keluar dari dalam rumahnya.

Ayu mengendarai mobilnya perlahan menuju ke Virgina Regency. Ia langsung memarkirkan mobilnya begitu ia sampai di mansion milik keluarga Nanda.

“Malam, Tante ...!” sapa Ayu begitu seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Ia langsung menghampiri Tante Nia, mama Nanda.

“Hei, Roro Ayu  ...!? Gimana kabarnya? Sudah lama nggak main ke sini. Mau cari Nanda?”

Ayu mengangguk. “Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia.”

“Nanda masih di atas. Jam segini, biasanya dia lagi siap-siap mau kencan sama pacarnya. Datengin aja ke kamarnya!”

“Tapi ...” Ayu menggigit bibir sambil menatap lantai dua rumah tersebut.

“Nggak papa. Keburu dia berangkat, nggak sempat bicara lagi sama Nanda. Dia suka marah kalau waktu kencannya diganggu.”

Ayu mengangguk. Ia melangkah perlahan menaiki anak tangga dan menghampiri pintu kamar Nanda. Nanda adalah sahabat baik Sonny. Berteman sejak kelas satu SMA hingga mereka bekerja, tentunya Ayu sudah sangat hafal dengan keadaan rumah pria itu karena sering berkumpul di sini setiap kali Sonny pulang dari Jakarta.

Tok ... tok ... tok ...!

KLEK!

Nanda tertegun saat melihat Ayu tiba-tiba sudah ada di depan kamarnya. Ia langsung tersenyum sambil melipat kedua tangan dengan tubuh bersandar di bibir pintu. “Tumben ke sini? Kangen sama aku? Pengen main lagi kayak malam itu? Ketagihan? Enak mana, punyaku atau punya Sonny?”

Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Sonny bukan cowok brengsek kayak kamu!”

Nanda manggut-manggut. “Iya. Aku percaya. Dia memang alim. Mau apa ke sini? Aku mau jalan sama Lita.” Ia menarik gagang pintu dan menutup pintu kamarnya dari luar.

Ayu memundurkan langkahnya agar Nanda tidak terlalu dekat dengannya. “Aku mau ngomong penting sama kamu.”

“Ngomong aja! Kamu punya waktu dua menit buat ngomong.” Ia menatap arloji di tangan kirinya.

“Nggak perlu selama itu. Aku cuma mau bilang kalau aku ... hamil.”

“Hahaha. Kamu hamil? Buat apa laporan ke aku? Emangnya aku dokter kandungan?” sahut Nanda sambil tertawa lebar.

“Ini anak kamu, Nan.”

Seketika, Nanda menghentikan tawanya. “Anakku?”

Ayu mengangguk.

Nanda menahan tawa sambil menatap wajah Ayu. “Udah banyak cewek yang ngaku-ngaku hamil anakku. Bisa aja, itu anak dari cowok lain. Kamu itu tunangannya Sonny. Mana ada yang bakal percaya kalau itu anakku. Kamu mau buat lelucon?”

“Aku nggak pernah ngelakuin hubungan seperti itu sama siapa pun selain kamu, Nan.”

“Kamu kira, aku percaya? Udahlah, nggak usah bikin lelucon di hadapanku. Nggak lucu, Ay! Kamu jangan pura-pura jadi cewek polos buat dapetin seorang Ananda Putera Perdanakusuma. Cowok paling ganteng, paling kaya dan paling populer di negeri ini. Siapa yang nggak mau jadi pasanganku, hah!? Jangan pakai trik bayi untuk mendapatkanku! Aku masih terlalu muda untuk jadi seorang ayah,” ucap Nanda penuh percaya diri. Ia langsung melangkah melewati tubuh Ayu begitu saja.

“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu .

Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu .

DEG!

Jantung Ayu  berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya.

Ayu  kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Tante Nia sambil menatap Ayu  yang melangkah perlahan sambil menitikan air mata. “Nanda menyinggung kamu?”

“Eh!?” Ayu  buru-buru mengusap air matanya. “Nggak papa, Tante. Ayu pamit pulang dulu!” Ia langsung berlari keluar dari dalam rumah tersebut dan masuk ke mobilnya.

Ayu  menggenggam setir dan menjatuhkan kepalanya, kemudian terisak kembali karena Nanda tidak mau mengakui jika bayi yang ada di dalam perutnya adalah darah dagingnya. “Aku harus gimana?”

“Ayu , kamu kuat! Kamu kuat! Kalau Nanda nggak mau bertanggung jawab, nggak papa. Kamu punya pekerjaan, kamu nggak akan kesulitan menghidupi anakmu,” tutur Ayu  mencoba menyemangati dirinya sendiri.

“Tapi gimana dengan keluargaku? Gimana kalau bunda dan ayah tahu kalau aku hamil? Aku harus gimana menghadapinya? Aku nggak mungkin bisa menyembunyikan kehamilanku ini terus-menerus,” gumam Ayu . Haruskah ia menggugurkan kandungannya sendiri?

Ayu menarik napas dalam-dalam dan menjalankan mobilnya perlahan tanpa arah hingga larut malam. Ia benar-benar menyesal telah pergi ke pesta ulang tahun Nanda malam itu. Jika waktu bisa diputar, ia ingin berdiam diri di rumah. Menghabiskan waktu untuk bercerita bersama Sonny meski hanya lewat panggilan video.

 

***

 

 

Satu minggu setelahnya ...

“Roro, bunda pinjam pemotong kuku kamu. Bunda lupa taruh punya bunda di mana.” Bunda Rindu masuk ke dalam kamar Ayu.

“Ambil aja di laci nakas!” sahut Ayu yang sedang bercermin sambil menyisir rambutnya.

Bunda Rindu langsung melangkah menghampiri meja nakas dan menarik laci tersebut. Ia mencari pemotong kuku di dalamnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada pregnancy test strips bergaris dua merah di sana. Ia meraih benda kecil itu dengan tangan gemetar.

Ayu melebarkan kelopak matanya saat ia teringat kalau ia juga meletakkan testpack ke dalam laci nakas. Ia buru-buru memutar tubuhnya dan berlari menuju ke sana untuk mencegah bundanya mendapatkan benda paling keramat yang ada di kamarnya saat ini.

DEG!

Terlambat. Bunda Rindu sudah memegang testpack itu di tangannya dengan tangan gemetar seperti terserang tremor.

“Bunda, aku ...”

“Kamu hamil?” tanya Bunda Rindu lirih.

“Bunda, aku bisa jelasin semuanya. Aku ...”

“KAMU HAMIL!?” Nada suara Bunda Rindu meninggi karena Ayu berusaha untuk berdalih dan tidak menjawab pertanyaannya.

Ayu terdiam dan menundukkan kepala. Ia meremas jemari tangannya sambil mengangguk kecil.

“Anak siapa? Sonny?” tanya Bunda Rindu.

Ayu tidak menjawab pertanyaan bundanya.

“Jawab, Ro! Kenapa kamu menyembunyikan kehamilan kamu? Kamu dan Sonny sudah bertunangan. Bukannya kalian sendiri yang sepakat untuk tidak menikah sebelum Sonny menyelesaikan koasnya?”

Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Ia tidak sanggup mengungkapkan kebenaran di hadapan orang tuanya sendiri.

“Sonny tahu soal ini?”

Ayu menggeleng.

“Biar bunda yang ngomong langsung sama Sonny. Kalian harus menikah secepatnya!” tutur Bunda Rindu sambil melangkah keluar dari kamar Roro Ayu .

Ayu buru-buru mengejar langkah bundanya. Ia tidak ingin kalau bundanya meminta pertanggungjawaban pada Sonny dan membuat pria itu membencinya. “Bunda, tunggu ...!”

“Bunda, bunda ...! Dengerin Roro dulu! Ini bukan anaknya Sonny.”

“APA!?” Bunda Rindu menghentikan langkahnya. Tubuhnya seakan tersambar petir ribuan volt saat mendengar kalau bayi yang dikandung oleh Roro Ayu  bukanlah anak dari tunangannya. Ia selalu berusaha menjadi orang tua yang baik untuk puterinya. Ia benar-benar merasa gagal saat mengetahui kalau puteri kebanggaannya telah melakukan perbuatan yang begitu hina. Sudah bertunangan, tapi malah hamil dengan pria lain.

“BUNDA ...!” seru Ayu saat tubuh Bunda Rindu tiba-tiba merosot ke lantai. Ia langsung menangkap tubuh bundanya sambil menangis. “Maafin Ay, Bunda ...!” bisiknya lirih sambil menitikan air mata.

“Tell me ...! Siapa ayah dari anak ini?” tanya Bunda Rindu di sisa-sisa tenaganya yang nyaris sirna karena pukulan yang begitu besar dari puteri semata wayangnya.

Ayu terisak sambil memeluk tubuh bundanya. Ia tidak sanggup mengatakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung saat ini karena Nanda pun sudah menolak kehadirannya. “Aku nggak tahu, Bunda ...!” lirihnya penuh luka.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Tunggu kelanjutannya di postingan selanjutnya ya...

 

 

MuchLove,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com


BAB 1 - Pesta Malapetaka

 





 

Ayu  melangkahkan kaki perlahan menghampiri Arlita yang sedang duduk di salah satu bar sambil menikmati vodka. Dentuman musik menggema di seluruh ruangan yang sengaja di-booking untuk Birthday’s Party Ananda Putera Perdanakusuma, kekasih dari Arlita Holsler sekaligus sahabat baik Sonny Pratama.

Ayu  sengaja datang untuk mewakili Sonny karena tunangannya itu masih berada di kota Jakarta. Pekerjaannya sebagai dokter muda, membuat Sonny tak bisa kembali ke Surabaya dan memberikan selamat pada sahabat baiknya yang sedang merayakan ulang tahun ke-24.

“Lit, Nanda mana ya?” tanya Ayu  sambil membawa kotak kado di tangannya. Ia sudah celingukan sejak masuk ke bar tersebut. Tapi tak menemukan sosok Nanda, pria yang sedang merayakan ulang tahun di bar yang ada di salah satu hotel ternama di pusat kota Surabaya.

“Nanda? Lagi main sama temen-temennya kali. Coba aja tanya ke yang lain!”

“Kamu ini pacarnya, kenapa nggak tahu ke mana perginya Nanda?”

“Emangnya aku disuruh ngintilin Nanda dua puluh empat jam? Yang ada, dia eneg dan sebel sama aku. Kayak nggak tahu Nanda aja. Dia mana mau diganggu kalau lagi sama temen-temennya,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. “Minum dulu, Ay!”

Ayu  melirik arloji di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Andai ia tidak dipaksa lembur oleh atasannya, ia tidak mungkin tiba semalam ini. Untungnya, pesta ulang tahun Nanda memang dibuat sampai pagi. Jadi, ia masih punya waktu untuk memberikan hadiah yang sudah ia pilih bersama Sonny.

“Minum dulu, Ay! Nanda marah loh kalau kamu nggak menghargai dia. Pesta semewah ini, harus kamu nikmati!” Arlita merangkul tubuh Ayu  sambil menyodorkan segelas vodka.

Ayu  tersenyum kecil. Ia meletakkan kotak kado yang ia bawa ke atas meja dan meminum segelas vodka yang disodorkan Arlita. “Lit, aku nggak bisa lama-lama. Ini udah malem banget. Kamu tahu, aku nggak nyaman ada di pesta kayak gini.”

Ayu  mengedarkan pandangannya. Semua orang di sana menari bebas sambil minum alkohol. Terlihat sangat bahagia dan riang gembira. Bahkan, ada beberapa wanita yang dengan bangga memperlihatkan tubuhnya yang dirayapi oleh tangan-tangan nakal para pria yang ada di sana.

“Ay, kamu ini udah dewasa. Kenapa sih masih kuno aja? Eh, Sonny juga nggak datang ke kota ini ‘kan? Kamu pilih satu cowok yang ada di sini dan bersenang-senang!” pinta Arlita. “LDR itu nggak enak. Apa enaknya pacaran cuma lewat video call doang?”

Ayu  mengedikkan bahunya. “Nggak, Lit. Aku harus ngantor lagi besok pagi. Nggak bisa tidur terlalu larut.”

“Hei, kamu pemburu dollar banget, sih? Besok hari Minggu, Sayang. Buat apa sih kerja terus?”

“Ini last month, Lit. Di kantor selalu sibuk untuk closing data bulanan. Bos nyuruh aku lembur,” jawab Ayu .

“Hmm ... iya, deh. Kalau bisa, kamu cari pacar yang banyak duitnya dan royal kayak Nanda. Nggak perlu kerja keras. Kamu bisa bersenang-senang setiap hari pakai uang pacar kamu!”

Ayu  tertawa kecil. “Kamu ini ada-ada aja. Aku masih setia sama Sonny. He is a best man for me.”

“Hahaha. Iya, iya. Tujuh tahun LDR, masih setia aja. Kalo aku, udah punya banyak selingkuhan, Yu,” sahut Arlita sambil menenggak vodka di hadapannya. Ia kembali menyodorkan satu gelas vodka ke arah Ayu . “Minum lagi!”

“Aku nggak bisa minum banyak. Aku cari Nanda dulu, ya! Mau kasih kado ini untuk dia. Soalnya, Sonny nggak bisa balik. Aku harus kasih hadiah ini secara langsung ke dia.”

“Minum sekali lagi, Yu! Aku udah capek nuangin minuman ini buat kamu. Kamu nggak menghargai kerja kerasku?” sahut Arlita.

Ayu  menghela napas. Ia meraih gelas vodka dan langsung menenggak habis minuman tersebut.

“Wah ...! Ayu  keren! Lagi! Lagi!” seru beberapa wanita yang muncul di belakang tubuh Arlita.

Ayu  menggelengkan kepalanya. Meski ia sudah mengenal Arlita sejak duduk di bangku SMP, tapi ia tidak begitu dekat dengan wanita itu. Gaya hidup Arlita yang suka mabuk-mabukkan, membuatnya tak nyaman. Ia selalu mengingat pesan bundanya untuk menjaga jarak dengan Arlita meski mereka berteman sangat lama.

“Aku pergi dulu, Lit!” pamit Ayu . Ia buru-buru menyambar kotak kado yang ia letakkan di bar table. Kemudian bergegas pergi. Menyelinap di antara keramaian untuk mencari keberadaan Nanda sambil menahan pening di kepalanya karena reaksi vodka yang ia minum.

“Angga, kamu lihat Nanda?” tanya Ayu  sambil menghampiri Angga dan beberapa teman sepergaulan Nanda yang sedang berkumpul di salah satu meja.

“Nanda? Lagi ke kamar hotel. Katanya mau ganti baju karena ketumpahan bir,” jawab Angga sambil mengacungkan jarinya ke atas. Bar tersebut memang berada di salah satu hotel. Tak heran jika Nanda juga menginap di hotel tersebut.

“Tahu nomor kamarnya?” tanya Ayu .

“Kamar tiga dua empat,” jawab Angga sambil menatap tubuh Ayu  yang berdiri di hadapannya.

“Makasih, Ngga!” Ayu  berbalik. Ia buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari bar tersebut. Waktu sudah semakin malam, ia harus bergegas pulang ke rumah dan beristirahat. Ia tidak ingin pergi ke kantor dengan mata panda karena kurang tidur.

“Ngga, itu ceweknya si Sonny ‘kan?” tanya salah seorang pria yang bersama Angga.

Angga mengangguk.

“Cantik banget, Ngga. Kenapa mau sama Sonny yang biasa aja?”

Angga mengedikkan bahu. “Mereka udah pacaran lama banget. Roro Ayu  itu bukan cuma cantik, tapi juga kaya raya dan baik hati. Dari Sonny nggak punya apa-apa sampai bisa jadi dokter, dia selalu nemenin cowok itu berjuang. Beruntung banget si Sonny dapetin dia.”

“Emang bener, sih. Cewek baik emang untuk cowok yang baik. Nggak mungkin cewek baik-baik mau sama cowok bajingan kayak kita-kita. Hahaha.”

“Stok cewek baik di dunia ini makin menipis. Andai aja si Roro mau sama aku, udah aku jadikan istri. Nggak perlu jadi pacar,” sahut Angga.

“Hahaha. Jangan ngimpi!”

 

Sementara itu, Roro melangkahkan kakinya menyusuri koridor hotel sambil menghafal nomor kamar yang disebutkan oleh Angga. Begitu sampai di kamar yang dengan nomor yang tepat, ia langsung mengetuk pintu.

Tok ... tok ... tok ...!

Ayu  menghela napas sambil menunggu Nanda membukakan pintu untuknya. Ia melangkah mondar-mandir, memutar tubuhnya dengan gelisah karena Nanda tak kunjung membukakan pintu. Sementara, ia sudah ingin pulang ke rumahnya.

Tok ... tok ... tok ...!

Ayu  kembali mengetuk pintu tersebut.

“Apa Nanda sudah tidur? Ini Birthday Party dia. Nggak mungkin tidur ‘kan?” gumam Ayu .

KLEK!

“Aargh ...!” teriak Ayu  saat Nanda menyambar pergelangan tangannya dan menarik paksa untuk masuk ke dalam kamar tersebut.

“Sst ...! Jangan teriak!” bisik Nanda sambil menekan tubuh Ayu  di balik pintu yang sudah tertutup rapat.

“Nan ... Da ...!” Suara Ayu  tercekat saat melihat mata Nanda yang tepat berada di hadapannya. Mata itu menatap tajam ke arahnya. Ia bisa melihat dengan jelas meski lampu ruangan itu sangat redup. Hanya lampu tidur di sudut ruangan yang menyala dan membuatnya tidak bisa melihat semua sudut ruangan itu dengan baik.

“I’m waiting you, Baby.” Nanda menangkup wajah Ayu  dan menghisap kuat bibir wanita itu.

Ayu  langsung menjatuhkan kotak kado yang sedari tadi ia genggam erat di tangannya. Ia berusaha mendorong tubuh Nanda yang menciumnya paksa.

“Kamu ...!?” Nanda sangat kesal saat ia mendapat penolakan. Ia kembali menekan tubuh wanita itu dan mencium paksa. Semakin gadis itu memberontak, gairahnya semakin tidak terkendali.

“Nanda ...! Aku Ayu , bulan Arlita ...!” seru Ayu  sambil mendorong tubuh Nanda.

“Ayu ?” Nanda terdiam sesaat. Ia mengerjapkan mata sambil memukul pelan keningnya yang berdenyut. Kepalanya terasa pening karena alat vitalnya sudah berada dalam mode on sejak ia menarik paksa gadis yang ada di hadapannya itu.

Tiga puluh menit lalu, ia baru saja menghisap permen yang mengandung epimedium. Membuatnya sangat bergairah. Terlebih, ia sengaja memasang aroma therapi yang dapat membangkitkan gairah seksualnya karena ia ingin menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Arlita.

“Nan, aku ke sini untuk kasih hadiah dari aku dan Sonny. Sonny nggak bisa ke sini. Jadi, aku yang antar langsung. Sorry! Aku udah ganggu kamu. Aku pulang dulu!” pamit Ayu  sambil meraih gagang pintu dan bersiap untuk pergi.

“Aargh ...!” Ayu  kembali berteriak saat Nanda menarik pergelangan tangannya dengan kasar.

Nanda menarik paksa tubuh Ayu  dan menghempaskannya ke atas tempat tidur. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Mendengar suara Ayu  yang begitu lembut dan sensual, membuatnya tak bisa menahan diri.

“Nan, kamu mau apa?” Ayu  menatap Nanda dengan tubuh gemetaran. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada. Berusaha bergerak mundur untuk menghindari Nanda yang sedang menatapnya seperti Singa kelaparan.

“Kamu yang ngantar dirimu sendiri ke sini,” ucap Nanda sambil tersenyum menatap Ayu . Ia segera melepas kemejanya. Memperlihatkan dadanya yang kekar dengan kotak-kotak teratur di perutnya.

GLEG!

Ayu  menelan ludah melihat tubuh Nanda yang terekspose di hadapannya. Delapan tahun berpacaran dengan Sonny, ia bahkan tidak pernah melihat tubuh pria itu secara langsung. Bagaimana bisa ia menodai matanya sendiri dengan pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat?

“Nanda ... jangan, Nan!” seru Ayu  saat Nanda melepas gesper yang melingkar di pinggangnya. Ia bergerak mundur dan terduduk di pojok ranjang hingga terdesak pada headboard. Matanya menatap tubuh Nanda yang sudah berhasil melepas seluruh pakaiannya. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas bagian inti kelelakian Nanda yang sudah menegang sempurna.

Nanda langsung menangkap pergelangan kaki Ayu  dan menyeretnya.

“Jangan, Nan! Please ...!” pinta Ayu  sambil berpegangan kuat pada ujung kasur agar tubuhnya tidak tertarik.

Nanda semakin kesal karena Ayu  terus memberontak. Ia naik ke atas ranjang berukuran King sambil menyingkap dress yang dikenakan oleh Ayu . Dengan cepat, ia menurunkan hot pant yang membalut string yang dikenakan oleh Ayu .

“Nanda, kamu jangan gila! Kita bukan ... mmh ... mmh ...” Ayu  menghentikan ucapannya saat telapak tangan Nanda membungkam mulutnya. Ia berusaha menguasai kesadarannya meski ia sendiri dipengaruhi oleh alkohol.

Ayu  menitikan air matanya saat Nanda duduk di atas tubuhnya yang menelungkup. Pria itu membungkam mulut Ayu  dengan telapak tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya melingkar erat di tubuh Ayu  hingga ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

“Nanda, jangan lakuin ini ...!” lirih Ayu  dalam hati sambil terus menitikan air mata. Bayangan wajah Sonny yang selalu menjaga dan menyayanginya dengan tulus, tiba-tiba terlintas di pelupuk mata. Bagaimana jika Sonny tahu kalau ia kehilangan keperawanan di tangan sahabat baiknya sendiri? Ia langsung diselimuti rasa bersalah pada kekasihnya saat Nanda berubah menjadi penguasa tak terkalahkan di ruangan yang hanya disinari lampu tidur warna biru di sudut ruangan.

“Aargh ...! Nan ... don’t touch me!” seru Ayu  saat Nanda melepaskan telapak tangan dari wajahnya.

Nanda semakin tak sabar mendengar teriakan Ayu . Kepalanya semakin pusing dan kesal saat ia kesulitan melakukan penyatuan dengan Ayu .

“Nan, aku ....” Ayu tak sanggup berkata-kata lagi saat Nanda membenamkan tubuhnya dan berubah menjadi penguasa atas semua yang ia miliki. Merenggut hal paling berharga yang seharusnya ia berikan pada pria yang sangat ia cintai dan sedang berjuang bersama menyusun rencana masa depannya.

 Air mata Roro Ayu  menetes dan semua rasa persahabatannya kini berubah jadi kebencian. Nanda telah menghancurkan semuanya detik itu juga. Yang lebih kejamnya lagi, ia tidak berdaya karena Nanda menganggapnya sudah sering melakukan hal seperti dengan tunangannya.

 

 

 ((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Tunggu kelanjutannya di postingan selanjutnya ya...

 

 

MuchLove,

@vellanine.tjahjadi

 



DAFTAR BACAAN :

 Bab 1 - Pesta Malapetaka 

Bab 2 - Bayi yang Tak Diinginkan

Bab 3 - Pukulan untuk Ayah

 Bab 4 - Tak Ingin Berdamai

Bab 5 - Menolak Pernikahan Kontrak

Bab 6 - Hari Pertama Jadi Mantu

Bab 7 - Tak Harmonis

Bab 8 - Mulai Cemburu

Bab 9 - Membangun Hubungan

Bab 10 - Nyaman Bersama Mantan

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com

 ______________________


Dilarang keras menyalin, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com

 

 


Senangnya Hadir di Klinik Belajar Tugas dan Ujian Universitas Terbuka


Selasa, 16 November 2021

Hari ini, jadi hari yang paling menegangkan dalam hidupku.
Setelah aku belajar menulis begitu lama hingga novelku bisa menduduki posisi Best Seller. Aku malah mengambil risiko tinggi dengan masuk kuliah di Universitas Terbuka dan mengambil jurusan Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan. Saat lagi sibuk-sibuknya kejar tayang deadline novel, sibuk juga ngerjain tugas kuliah yang buanyak banget dan selalu deadline.

Kenapa sih ambil kuliah Sastra Inggris?

Yah, agak riskan sebenarnya dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang minim banget. Tapi itulah yang bikin aku semangat. Aku pengen bisa bahasa Inggris. Setidaknya, untuk mengajar anak sendiri. Lebih seneng lagi, kalau aku juga bisa terbitkan novel berbahasa Inggris suatu hari nanti. (Ini mimpi, berdoa jadi kenyataan)

Dan hari ini ... aku ikut hadir dalam acara Klinik Belajar Tugas dan Ujian yang diadakan oleh Pokjar Amanah di Hotel Benakutai Balikpapan.

Seneng banget bisa hadir di acara ini.
Meski aku terlambat satu jam karena terkendala hujan deras dan lokasiku ke sana yang membutuhkan waktu hampir dua jam.
Di sini, aku bisa kenal dengan teman-teman baru. Mereka semua ramah. Aku pikir, cum aku doang emak-emak yang ambil kuliah di sana. Ternyata, ada banyak juga yang ambil kuliah meski sudah menikah dan punya anak. Yah, lumayan mengurangi tingkat insecure aku.

Sayangnya, Mahasiswa Prodi Sastra Inggris itu nggak banyak. Aku cuma ketemu sama dua orang temen di sana. Mbak Rani yang super duper bawel dan Melly yang super duper pendiem alias introvert banget.

Meski begitu, tetep seru sih. Ada yang diajak foto-foto bersama.
Aku mah, udah cekrak-cekrek aja tanpa tahu malu. Udah muka paling kucel, paling hitam, paling kampungan dan nggak punya malu juga. Hahaha.
Udahlah. Aku pikir, berteman tidak memandang warna kulit, kok. Biar nggak insecure melulu. Jujur, aku paling takut di depan kamera karena wajahku nggak cocok untuk dipajang.
Akibat dari keterlambatanku kali ini, akhirnya ya nggak punya teman. Semua juga sudah sibuk sama temannya masing-masing. Malu-malu gimana gitu kan? Secara, aku tuh kerjaannya di dalam rumah terus. Jarang bergaul. Jadi, agak sulit deh mau ngomong sama yang lain. So, kalau aku diam dan kehabisan kata-kata ... kamu ajak aku ngomong, ya! Supaya dunia kita ini tidak sepi.

Nah, ini nih temen prodi aku yang ketemu di sana. Mbak Rani yang super duper bawel, penyayang anak (Yang pakai kerudung kuning) karena dia guru bimbel dan private. Satunya lagi si Melly, pendiem, introvert, anak rumahan yang nggak bisa diajak jalan (hihihi).
Jangan tanya aku yang mana. Aku yang tengah, dong. Si kulit cokelat yang manis. Eeeaak ...
Pede amat ya ngomong gitu? Wkwkwk.

Oke. Ini perkenalan dan cerita singkat aku di kegiatan Klinik Belajar ini. Semoga, bisa bermanfaat. Menambah keilmuan dan pertemanan.

Buat kalian yang jurusan Sastra Inggris seperti aku ... komen di bawah, dong! Biar aku punya teman lebih banyak lagi. Yah, kalo kalian sudi berteman denganku, sih.


Salam kenal...!

Jangan lupa tinggalkan komentar!

MuchLove,
@rin.muna



Sunday, November 7, 2021

Self Love

 



Ada sebuah perjalana penuh liku yang hanya bisa kita rasakan sendiri. Mungkin, kamu  tahu bagaimana rasanya berjalan di atas kerikil tajam tanpa alas kaki. Sakit 'kan?
Ada yang lebih sakit dari itu. Ada kaki lain yang menginjak kakimu dan menopangkan hidupnya pada rasa sakit itu tanpa ingin memberimu satu waktu untuk tersenyum.

Selama enam tahun ini, aku benar-benar tidak tahu bagaimana rasanya tidur nyenyak. Terlalu banyak rasa sakit yang harus aku tanggung. Terlebih, orang yang menyakiti adalah orang yang paling dekat dengan diri sendiri. Ibarat sebuah pisau, ia akan lebih mudah melukai jika berada di dekat kita. 

Benar apa kata orang ... orang yang paling berpotensi membuat kita sakit adalah orang yang paling dekat dengan kita. Jika orang yang jauh atau tak kenal sama sekali, mungkin kita akan menjadi acuh tak acuh dengan semua yang terjadi.

Tapi ketika semua rasa sakit itu datang dari orang yang paling dekat, rasanya sangat-sangat menderita. Ingin pergi, tapi tak bisa pergi. Ingin lari, tapi tak punya kekuatan untuk berdiri. Ingin menangis, tapi air mata ini sudah terkuras habis.

Hingga di satu titik, aku menyadari kesalahanku. Aku harus bisa mencintai diriku sendiri sebelum aku mencintai orang lain. Satu hal yang belum pernah aku lakukan dalam hidupku. Selama ini aku memang lebih mencintai orang lain daripada diriku sendiri. Aku melakukan banyak hal untuk keluarga, berjuang dan berkorban tanpa memikirkan kebahagiaanku sendiri. 

Sampai akhirnya, aku sendiri tidak sanggup menahannya.

Aku memilih untuk berjalan seorang diri. Meski tertatih, setidaknya batu terbesar yang menjadi beban terberat dalam hidupku bisa aku lepaskan.

Aku ingin lebih menghargai hidupku sendiri. Membahagiakan diri sendiri dan orang-orang yang menjadi prioritas untukku saat ini. 



Mainan Buatan Si Mbah





Ini kisah sederhana yang ingin kutuliskan untuk masa depan. 
Untuk putera kecilku yang mungkin saja akan membacanya 10 tahun lagi.

Foto yang aku ambil ini adalah salah satu mainan favorite puteraku. Sederhana, tapi penuh makna bagiku.

Ini adalah salah satu mainan yang dibuatkan oleh bapakku. 
Bapakku bukan pensiunan pegawai negeri, bukan mantan karyawan swasta yang punya banyak tabungan untuk manusia. Beliau lahir sebagai petani dan sampai sekarang masih aktif bertani. 
Sebagai petani kecil, tentunya kedua orang tuaku tidak memiliki banyak penghasilan. Bahkan, untuk sekedar membelikan mainan saja, mereka pasti berpikir. Masih ada hal yang harus diprioritaskan, yaitu bahan makanan untuk makan besok.

Aku juga bukan pegawai yang memiliki penghasilan tetap. Kegiatan sehari-hariku hanya menjadi penjahit kecil dengan penghasilan rata-rata hanya dua puluh ribuan setiap harinya. Itulah sebabnya, aku juga harus berhemat dan berhati-hati dalam menggunakan uang. Tidak bisa membelikan banyak mainan untuk anak-anakku.


Saat ini, aku memilih menjadi seorang single mother. Terlalu banyak rasa sakit yang harus aku jalani ketika hidup berumah tangga sampai akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan seluruh beban dan rasa sakit ini. 

Selama ini, aku hanya mengandalkan bertahan hidup dari tulisan-tulisanku. Dari pembaca yang berkenan membaca novelku.

Aku tidak punya banyak uang untuk membelikan mainan baru. Terlebih setiap kali membelikannya, pasti langsung dirusak karena sifat puteraku yang memang keras dan perusak nomor satu di dunia.

Sampai akhirnya, aku yang tidak tahu harus membelikan mainan seperti apa yang bisa awet di tangan puteraku. Bapakku dengan telaten membuatkan mainan untuk putera kecilku. Sederhana saja, mainan dari ban mobil bekas yang sudah rusak dan pipa bekas instalasi listrik, dirakit olehnya. Kalau kata bapakku, itu namanya 'gledegan'. Entah kalau di daerah lain, namanya apa.

Meski hanya mainan sederhana dan tak butuh modal banyak, hanya bermodalkan barang bekas, puteraku sangat menyukainya. Setiap harinya, dia akan mendorong 'gledegan' ini sambil berjalan kaki di halaman rumah atau di jalanan depan rumah. 

Terima kasih, Mbah ...!
Si Mbah selalu menyayangi cucunya dengan tulus. Meski tak punya uang untuk membelikan mainan cucunya, tapi selalu punya cara untuk membuatkan mainan untuk cucu-cucu kesayangannya. 

Terkadang, aku merasa bersalah.
Hidupku sudah sangat merepotkan kedua orang tuaku selama belasan tahun. 
Sampai aku menikah, aku justru semakin merepotkan mereka. Merepotkan mereka dengan membantu mengurus dan menghidupi anak-anakku.

Semoga, aku bisa membayarnya dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih mulia untuk kalian ... orang tua yang kasihnya takkan hilang sepanjang masa.


Nak, jika 10 tahun kemudian kamu membaca tulisan ini. Ingatlah, ada hal kecil yang lebih berharga dan berarti yang membuatmu bisa hidup hingga membaca tulisan ini...


Much Love,

Rin Muna
 

Friday, October 1, 2021

Novel Baru "I am Here Mr. Rich" karya Vella Nine

 


SPOILER BAB 1 - KEJUTAN ULANG TAHUN TERKEJAM

“Pak ... pak ... Pak Tirta! Dengerin saya dulu!” Rose berusaha mengejar langkah Tirta, asisten pribadi pemilik PT. Galaxy Future yang mengurus pembangunan proyek hotel dan apartemen di ibukota. Ini kesempatan terakhirnya untuk mendapatkan kembali kontrak kerja yang diputus hanya karena masalah kecil. Terlambat sehari dalam menjalankan proyek pembangunan apartemen dan tidak ada toleransi sedikit pun.

“Keputusan bos kami tidak bisa diganggu gugat. Kontrak dibatalkan!” tegas Tirta sambil menghentikan langkahnya sejenak.

“Saya bisa ketemu sama bos kalian? Saya akan bertanggung jawab. Saya perlu bicara dengan pimpinan kalian. Please ...!” pinta Rose memohon.

“Bos kami di luar negeri. Tidak bisa ditemui.” Tirta melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Rose begitu saja.

Rose menghela napas kecewa. Ia tertunduk lemas saat kembali gagal mendapatkan proyek perusahaannya. “Mampus kamu, Rose! Mampus! Siap-siap jadi pengangguran abadi! Kawin aja biar nggak hidup susah! Huuaaa ... Sandi ...! Buruan kawinin aku!”

“Bukannya kamu bakal nikah sama Sandi dua bulan lagi? Oke. Tarik napas, Rose! Selamat berjuang!” serunya menyemangati diri sendiri.

Rose melangkahkan kakinya tak bersemangat. Ia langsung kembali ke kantor perusahaan begitu ia mendapatkan penolakan mentah-mentah dari Galaxy Future.

“Kenapa, Rose? Gagal lagi?” sapa salah seorang karyawan begitu melihat Rose memasuki lobi kantor dengan wajah tak bersemangat.

Rose mencebik ke arah karyawan tersebut. Ia termasuk karyawan terbaik di perusahaan tersebut. Selalu melakukan pekerjaan dengan baik hingga membuat bosnya sangat senang. Tapi tidak dengan beberapa bulan terakhir. Ia selalu saja ditimpa kesialan setiap kali menjalankan proyek. Galaxy Future adalah perusahaan ketiga yang membatalkan kontrak karena ia tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi.

“Siang, Pak ...!” sapa Rose sambil masuk ke dalam ruang kerja pimpinannya.

“Siang, Rose ...! Ambil ini!” tutur Indra, CEO PT. Julian Karya yang menjadi atasan Rose.

“Pak, ini ...?”

“Tuntutan dari Galaxy sangat tinggi. Risiko pelanggaran kontrak kita sangat besar. Kamu tahu persis berapa kerugian perusahaan. Surat ini untuk menyelamatkan kamu dari jeratan hukum. Ambillah!” perintah Indra sambil menyodorkan amplop di atas mejanya agar lebih dekat dengan Rose.

Rose berusaha meraih amplop tersebut dengan tangan gemetar. Kontrak dengan Galaxy adalah kontrak besar. Melanggar perjanjian kontrak, kerugian perusahaan juga sangat besar. Mungkin surat ini bisa membuatnya terbebas dari jeratan hukum sebagai penanggungjawab proyek. Tapi bisa saja surat itu malah menjerat lehernya sampai mati mengenaskan.

“Mulai hari ini, kamu sudah bisa bersantai di rumah. Nggak perlu kembali ke perusahaan lagi!” perintah Indra.

Rose menghela napas sambil membuka amplop berisi surat pemutusan hubungan kerja. Lebih parahnya lagi, ia juga harus menanggung denda separuhnya dari kerugian perusahaan. Benar saja, surat itu memang sedang mencekiknya agar mati lebih cepat daripada harus hidup dalam penjara.

   “Pak, saya udah dipecat dari sini, gimana saya bisa bayar denda? Dapet uang dari mana?” tanya Rose.

“Itu bukan urusan saya lagi. Kamu pikirkan sendiri!” sahut Indra dingin.

“Gaji terakhir saya nggak dikasih? Uang pesangon?” tanya Rose. Ia tetap harus berusaha mendapatkan haknya. Setidaknya, bisa ia gunakan untuk membayar denda perusahaan, juga bertahan hidup selama menjadi pengangguran.

“Denda yang tertulis di situ sudah dipotong gaji terakhir dan pesangon kamu. Jangan ditanyakan lagi!” jawab Indra. “Sudah salah, masih minta pesangon lagi,” celetuknya kesal.

Rose mendengus kesal. Ia menahan sesak dan perih di dadanya. Hari ini, menjadi hari tersial dalam hidupnya. Setelah satu tahun bekerja sebagai Kepala Bagian Proyek, ia malah dipecat karena kesalahan yang tidak disengaja. Sialnya, kesalahan tidak disengaja itu sudah terjadi tiga kali dan semua orang menganggap kalau kesalahan itu disengaja oleh Rose untuk merugikan perusahaan.

“Kamu boleh keluar dari sini!” perintah Indra.

Rose mengangguk. Ia menunduk hormat ke hadapan bosnya itu. “Baik, Pak. Terima kasih atas ilmu dan kerjasamanya selama ini!” ucapnya sambil menitikan air mata. Kemudian, ia bergegas keluar dari ruangan tersebut.

“Rose, kamu dipecat? Akhirnya ... kesayangan bos ini dipecat juga. Sok-sok’an sih jadi orang. Kalau bikin rugi perusahaan, trik menggoda atasan nggak akan berlaku,” tutur salah seorang karyawan saat melihat Rose keluar dari dalam ruang CEO sambil memegang amplop.

Rose tersenyum sambil menatap beberapa karyawan yang ada di sana. Semua sudah tahu kesalahannya yang nyaris membuat perusahaan bangkrut dan mereka akan kehilangan pekerjaan. Itulah sebabnya, mereka sangat senang ketika Rose diberhentikan dari perusahaan.

“Masih bagus Pak Bos nggak bawa kasus ini ke penjara. Kalau dipenjara, mau gimana nasibnya? Wajah cantik dan sok pintarnya ini langsung hilang di balik jeruji besi. Hahaha.”

“Untungnya dia cepat dipecat. Kalo nggak, kita yang jadi gelandangan karena kehilangan pekerjaan. Kamu cukup tahu diri juga, Rose.”

Rose terus tersenyum saat semua karyawan terus mencacinya. “Udah selesai menghinanya?”

Semua orang terdiam mendengar pertanyaan Rose.

“Surat ini adalah surat yang akan bikin hidupku lebih baik dari kalian! Ingat itu!” tutur Rose sambil mengangkat amplop surat yang ada di tangannya. Kemudian, ia bergegas pergi dari kantor tersebut.

“Pembualan, Rose! Paling hidupmu makin melarat. Hahaha.”

“Rosemini ... Rosemini ... besok, ganti nama jadi Rosebig biar keberuntunganmu big juga!” seru yang lainnya.

Rose menarik napas dalam-dalam. Ia berlari keluar dari kantor tersebut dengan perasaan tak karuan. Begitu ia berhasil masuk ke mobilnya, air matanya langsung mengalir deras.

“Rose ... kamu akan baik-baik aja. Masih banyak pekerjaan lain. Semangat!” seru Rose menyemangati dirinya sendiri sambil mengusap pipinya yang basah. Ia menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi.

Rose membuka ponsel dan menelepon nomor Sandi, tunangannya. Hari ini adalah hari ulang tahun Rose yang ke-25. Mereka biasa merayakannya bersama. Untuk menghilangkan kesedihannya, lebih baik ia pergi merayakan ulang tahun bersama tunangannya itu. Toh, dua bulan lagi mereka akan segera melangsungkan pernikahan.

“San, kenapa nomor kamu nggak aktif, sih?” gumam Rose setelah ia mencoba menghubungi nomor Sandi beberapa kali. “Jangan-jangan ... dia lagi nyiapin pesta kejutan ulang tahun buat aku? Lebih baik, aku pulang dulu!”

Rose menyunggingkan senyuman sambil menatap potret kebersamaan ia dan Sandi yang ia gantung di atas dashboard mobilnya. Selama lima tahun ini, ia sudah menjalani banyak hal bersama Sandi. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Meski sedih karena kehilangan pekerjaan, tapi hatinya tetap bahagia memiliki tunangan seperti Sandi. Pria yang sangat lembut, perhatian, tampan dan mapan. Pria impian semua orang dan dia sudah berhasil mendapatkannya.

Beberapa menit kemudian, Rose sudah memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Ia langsung tersenyum saat melihat mobil Sandi sudah ada di sana.

“La ... la ... la ... la ...!” Rose melenggang santai memasuki pintu rumahnya yang terbuka. Semua orang sudah berkumpul di sana. Ada keluarganya, juga keluarga Sandi.

Rose langsung tersenyum saat melihat orang tua Sandi. Ia pikir, semua orang berkumpul untuk merayakan hari ulang tahunnya seperti biasa.

“Siang, Ma ...!” sapa Rose sambil merengkuh tubuh calon mertuanya itu. Menyalami pipinya seperti biasa dan tersenyum manis. “Mama tumben main ke sini siang-siang gini, mau rayain ulang tahun aku, ya?”

Hilda langsung tersenyum hangat menatap Rose. “Kamu ulang tahun hari ini?” Ia hampir lupa kalau tunangan puteranya itu sedang berulang tahun.

Rose mengangguk. “Aku traktir kalian semua makan enak malam ini. Gimana?”

Semua orang saling pandang. Tidak ada satu pun yang berani menjawab pertanyaan Rose. Bahkan Sandi hanya menundukkan          kepala sejak Rose masuk ke dalam rumah tersebut.

Pandangan mata Rose langsung tertuju pada Risma. Adiknya yang sedang duduk di sofa sambil menutup wajah menggunakan scraf yang ada di tangannya.

“Ini ada apa?” tanya Rose kebingungan. “Risma, kamu nangis? Kenapa?”

Risma menggeleng sambil terisak kembali.

“Rose, duduk dulu!” pinta Hilda sambil merangkul tubuh Rose. “Mama sekeluarga mau minta maaf sama kamu.”

“Maaf kenapa, Ma?” tanya Rose.

“Maafkan keluarga kami kalau ada salah sama Rose. Mmh ...” Hilda tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia menatap Sandi yang masih menundukkan kepalanya.

Rose menatap semua orang yang ada di sana selama beberapa saat.

“Pa, Ma ...! Ini ada apa? Kenapa Risma nangis?” tanya Rose pada orang tuanya sendiri.

Yulia menghela napas sambil menatap wajah Rose. “Risma hamil.”

Rose langsung memutar kepalanya menatap Risma. Ia tercengang mendengar dua kata yang keluar dari mulut ibunya. Bagaimana bisa adiknya itu hamil? Bukankah Risma masih kuliah dan tidak punya pacar.

“Bener, Ris?” tanya Rose. Ia bangkit dan beringsut ke hadapan Risma.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Risma hanya terisak mendengar pertanyaan Rose.

“Jangan nangis! Jangan nangis! Laki-laki itu pasti mau tanggung jawab ‘kan?” tanya Rose.

Risma semakin terisak mendengar pertanyaan Rose. “Maafin Risma! Maafin Risma!”

Rose menangkup wajah Risma dan mengusap air mata gadis itu. “Bilang ke aku! Siapa yang sudah hamilin kamu? Aku bakal cari laki-laki itu. Kalau dia nggak mau tanggung jawab. Aku bakal bunuh dia!”

Sandi langsung memutar kepalanya menatap Rose dan Risma.

Risma terisak sembari melirik Sandi yang duduk di seberangnya. Ia tidak berani mengatakan apa pun di hadapan kakaknya. Meski menyebalkan, tapi Rose sangat menyayangi dirinya. Ia benar-benar merasa bersalah karena ia sudah hamil tiga bulan.

“Bilang ke aku, siapa yang sudah hamilin kamu, Ris?” tanya Rose dengan nada lebih tinggi. Ia sangat kesal karena adiknya yang pendiam dan selalu bersikap baik, tiba-tiba hamil. “Sudah berapa bulan?”

“Tiga bulan,” jawab Yulia, ibu kandung Risma.

“Tiga bulan? Kita harus cari pelakunya, Ma? Apa laki-laki itu nggak mau tanggung jawab?” tanya Rose kesal. “Sudah hamilin adikku, terus lari? Aku nggak akan pernah maafin orang itu!”

“Sandi,” tutur Yulia sambil menatap wajah Rose yang sedang menahan amarahnya.

“Sandi? Namanya Sandi? Sama dengan tunanganku? Oke. Aku akan cari orang itu. Kamu kasih tahu ke aku, seperti apa orangnya! Biar aku yang cari dia dan mempertanggungjawabkan perbuatannya!”

Risma tidak bisa berkata-kata. Ia terus terisak melihat sikap kakaknya itu.

“Orangnya sudah ada di sini. Nggak perlu kamu cari!” sahut Yulia sambil menunjuk Sandi dengan dagunya.

DEG!

Jantung Rose berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ia memutar kepalanya menatap Sandi yang hanya menundukkan kepala. Dadanya sangat sesak saat pria itu bahkan tak berani menatap wajahnya. Ia ingin menangis. Tapi rasa sakit yang mengejutkan, justru membuat air matanya tak sanggup untuk jatuh. Ia terkulai lemas sambil menatap lantai kosong.

“Rose ...!” Hermanto, ayah kandung Rose mencoba mengangkat tubuh Rose yang terduduk lemas di lantai dengan tatapan kosong.

Rose langsung menepiskan tangan Hermanto dengan kasar. Ia menatap Sandi dan menggeser tubuhnya ke hadapan tunangannya itu.

“San, semua ini nggak bener ‘kan?” Rose menengadahkan kepalanya menatap Sandi. Air mata yang sejak tadi tertahan oleh luka, akhirnya jatuh berderai di depan wajah pria itu.

 “BILANG KE AKU KALAU SEMUA INI NGGAK BENER, SAN!” teriak Rose histeris karena Sandi masih saja bergeming.

 

((Bersambung...))

Baca kelanjutan cerita "I am Here Mr. Rich" karya Vella Nine hanya di aplikasi Novelme dan Novelaku!

Download dulu aplikasinya di Playstore atau Appstore kalau kalian belum punya.



MuchLove,

@rin.muna

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas