Monday, June 7, 2021

Sinopsis Novel "Perfect Hero Season 2"

 


BRAAK ...!

Pria setengah baya itu membanting pintu begitu Yurika sudah keluar dari kamar.

“Huu ... dasar tua bangka! Siapa juga yang mau tidur sama kamu! Aku nggak akan kasih keperawananku buat laki-laki biadab kayak kalian!” seru Yurika sambil menendang pintu tersebut. Ia menoleh ke semua pintu kamar hotel untuk memastikan tidak ada yang mendengar teriakannya. Kemudian, ia berlari keluar dari hotel tersebut.

Beberapa hari terakhir, Pak Wira selalu memaksa Yurika melayani pria-pria hidung belang untuk mendapatkan uang. Dia tidak punya pilihan lain karena kerap kalah di meja judi, membuatnya terlilit hutang saat istrinya juga sedang sakit keras. Dan, Yuri selalu menggunakan cara yang sama untuk lari dari pria hidung belang: mengaku mengidap HIV/AIDS.

Yurika tak berani pulang, ia memilih untuk melangkahkan kakinya tanpa arah yang pasti. Dingin angin malam mulai menusuk tulang secara perlahan. Ia hanya menggunakan dress berbahan sifon yang membuat tubuhnya terlihat indah dan menggoda.

“Malam cantik ...! Sendirian aja?” sapa seorang pria dan teman-temannya yang tiba-tiba sudah menghadang Yuri.

“Kalian mau apa?” tanya Yuri sambil memundurkan langkahnya.

“Mau nemenin kamu, dong! Butuh temen main ‘kan?” tanya pria itu dengan wajah penuh gairah saat melihat tubuh Yuri yang seksi dan mulus.

Yuri langsung memundurkan langkahnya. Ia berbalik dan mencoba untuk pergi dari tempat tersebut. Tapi ... pria-pria itu langsung menangkap tubuhnya.

KREEEK ...!!!

Gaun yang dikenakan Yuri langsung robek saat salah seorang pria menariknya.

“TOLONG ...!” teriak Yuri.

Seorang pria langsung membungkam mulut Yuri.

“Mmh ... mmh ... mmh ...!” Yuri berusaha memberontak dari cengkeraman preman-preman yang menyeretnya ke tempat gelap dan bersiap memangsanya.

“Lepasin wanita itu!” seru seorang pria berjaket hitam yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka.

“Heh, kamu siapa? Berani-beraninya mengganggu kami? Selesaikan orang ini!” seru salah seorang pria yang masih memegangi tubuh Yuri.

“Siap, Bos!” Dua orang pria itu langsung bangkit.

BUG!

BUG!

BUG!

Seketika, terjadi perkelahian sengit antara pria berjaket hitam itu dengan tiga orang preman yang ingin memperkosa Yuri. Hanya dalam hitungan detik, tiga pria itu berhasil dilumpuhkan dan buru-buru berlari dari tempat tersebut saat mereka menyadari kalau yang mereka hadapi adalah seorang polisi.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Yuri terduduk lemas sambil terus menangis di tanah. Ia baru saja lulus sekolah, harus menghadapi ayahnya yang kejam dan dunia luar yang lebih kejam lagi.

“Kamu nggak papa?” tanya pria berseragam polisi itu sambil melepas jaketnya dan menyelimutinya ke tubuh Yuri.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Yuri hanya bisa menjawab pertanyaan dengan isak tangis.

“Kamu nggak usah takut. Aku polisi.”

Yuri langsung menengadahkan kepalanya menatap pria yang wajahnya tak terlihat jelas di kegelapan. Tapi ... ia bisa melihat seragam polisi yang dikenakan oleh pria itu. “Oom Pol ... aku takut ...! Kenapa semua orang jahat sama aku? Kenapa dunia ini begitu kejam? Aku salah apa?” tanyanya dengan derai air mata.

“Kamu nggak usah takut! Selama ada aku ... semua akan baik-baik aja. Bangunlah!” pinta polisi muda tersebut sambil mengulurkan tangan ke arah Yuri.

Yuri menengadahkan kepala sambil mengusap air mata. Ia menyambut uluran tangan dari polisi tersebut dan berusaha bangkit. Tapi, lututnya sangat lemah dan ia kembali tersungkur di tanah.

“Kamu kenapa? Kakimu luka?” tanya polisi tersebut.

Yuri menggelengkan kepala dan kembali terisak. “Aku nggak bisa berdiri. Tanah ini terlalu dingin. Aku punya spasmofilia di kakiku.”

Polisi itu langsung mengangkat tubuh Yuri dan menggendongnya. “Rumah kamu di mana? Aku antar kamu pulang!”

“Nggak punya rumah,” jawab Yuri sambil terisak.

“Nggak punya rumah? Ini sudah jam tiga pagi. Untuk sementara, aku akan mengamankan kamu di kantor  polisi. Setelah ini, kamu bisa cari tempat tinggal,” tutur polisi tersebut sambil menghampiri mobil yang ia parkir di tepi jalan.

Yuri hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia langsung menyandarkan kepalanya ke dada polisi itu saat kepalanya tiba-tiba berdenyut. Pandangannya mulai hilang perlahan hingga ia tidak sadarkan diri.

“Bang Dik, ada apa ini?” tanya salah satu rekan polisi lain sambil menghampiri Grandika.

“Nggak ada apa-apa. Ada preman-preman iseng di sini. Besok, kalian patroli lagi!” jawab Grandika sambil memasukkan tubuh Yuri ke dalam mobil.

“Ckckck. Kalau dapet cewek cantik, diembat sendiri aja.”

“Ck. Minggir! Aku bawa dia ke kantor dulu.”

“Dia sakit? Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit? Buat apa ke kantor? Di kantor nggak ada apa-apa, Bang.”

“Iya juga, ya?”

“Ckckck. Grandika ... Grandika ... cewek cantik memang berpotensi bikin polisi berbakat jadi nge-blank,” goda Dion, anggota polisi yang lain.

“Aih ... kalian ini!” seru Grandika sambil bergegas masuk ke dalam mobil. Ia memasang safety belt ke pinggang Yuri dan membawa wanita itu ke rumah sakit terdekat agar bisa segera di tangani.

 

...

 

 

“Suster, siapa yang bawa aku ke rumah sakit ini?” tanya Yuri sambil turun dari brankar.

“Pak Polisi.”

“Sekarang, dia di mana?”

“Sudah kembali dari subuh tadi, Mbak. Katanya, masih ada tugas penting.”

“Suster tahu, siapa nama polisi itu?”

“Kalau soal itu, saya kurang tahu, Mbak.”

“Huft! Ya sudahlah. Semoga bisa ketemu lagi buat ngucapin terima kasih. Biaya pengobatan saya berapa, suster?”

“Sudah dilunasi semua sama Pak Polisi itu.”

“Oh ya?”

Perawat itu mengangguk.

Yurika segera berpamitan. Ia pergi dari rumah sakit tersebut dan kembali ke rumahnya yang ada di pinggiran kota Semarang.

“Kamu masih hidup? Masih punya nyali buat pulang ke rumah?” Pak Wira langsung berseru begitu Yuri melangkah masuk ke dalam rumah.

Yuri menghela napas dan berusaha menghadapi ayah yang sudah menjual dirinya pada pria-pria hidung belang di luar sana.

“Kamu pakai trik penyakitan lagi supaya nggak melayani pelanggan kamu? Kamu tahu, sudah bikin rugi Bapak, hah!?” sentak Pak Wira.

“Maaf, Pak! Yuri nggak suka sama Oom-Oom itu. Yuri ...”

“Suka atau nggak, kamu tetap harus melayani mereka! Kalau kayak gini terus, gimana kamu bisa menghasilkan uang untuk Bapak!?” seru Pak Wira.

“Anak nggak becus! Nggak tahu diri! Apa susahnya cuma tidur sama laki-laki itu, hah!? Ini kerjaan enak. Nggak usah capek-capek, kita bisa dapet uang banyak. Ibu kamu masih di rumah sakit. Butuh banyak uang! Kamu mau bunuh Bapakmu sekalian, hah!?” Pak Wira menatap Yuri dengan mata berapi-api.

Yuri menggeleng sambil menitikan air mata. “Pak, Yuri akan bantu bapak ngelunasin hutang dan bayar biaya pengobatan ibu. Tapi Yuri nggak mau jual diri. Yuri masih bisa cari kerjaan lain, Pak.”

“Kerjaan apa yang bisa menghasilkan uang banyak? Kerja di perusahaan? Buat keperluan sehari-hari aja, nggak cukup. Apalagi mau bayar hutang-hutang kita. Kamu mikir nggak, sih!?” sentak Pak Wira.

“Pak, kasih kesempatan Yuri buat cari kerjaan lain!” pinta Yuri sambil menitikan air mata.

“Kerja apa? Hutang kita itu puluhan juta. Kamu kira cuma puluhan ribu, hah!?”

Yuri terdiam sambil menggigit bibirnya. Ia menoleh ke arah meja yang penuh dengan botol bir berserakan. Mungkin saja, ayahnya itu sedang berada di bawah pengaruh alkohol meski hari sudah pagi. Bisa-bisa, Pak Wira akan memukulinya lagi tanpa sadar.

“Bapak sudah telepon Frans untuk mengambil kamu. Kalau malam ini kamu gagal mendapatkan uang. Bukan cuma ibu kamu yang bakal mati, kamu dan Bapak juga akan mati!” seru Pak Wira.

“Pak, tolong jangan kirim Yuri ke Oom Frans! Please! Yuri mohon ...!” pinta Yuri sambil memeluk kaki Pak Wira.

“Bapak sudah nggak bisa ngasih kamu kesempatan lagi. Kita butuh uang banyak. Kalau Bapak nggak bisa melunasi hutang-hutang judi Bapak. Bapak akan dibunuh sama mereka. Ibu kamu juga bisa mati karena nggak punya biaya pengobatan. Kamu mau hidup bahagia sendirian tanpa kami, hah!? Bapak nggak akan membiarkan itu terjadi!” tegas Pak Wira sambil menjepit rahang Yuri.

Yuri menatap pilu ke arah Pak Wira. Ia sangat berharap kalau bapaknya itu tidak akan mengirimkan ia kepada Frans. Salah satu bos besar dalam dunia prostitusi di kota tersebut. Ia bisa benar-benar kehilangan seluruh hidupnya jika ia masuk ke dalam dunia hitam milik Frans.

“Bapak nggak akan melukai kamu lagi. Wajah dan tubuh kamu ini aset paling berharga yang Bapak punya. Malam ini ... kamu harus berhasil mendapatkan uang yang banyak. Jadi, masuklah ke kamar dan rawat tubuh kamu ini dengan baik!” perintah Pak Wira.

Yuri menggeleng sambil menitikan air mata. “Pak, Yuri mohon ...! Jangan bawa Yuri ke tempat Oom Frans!”

“Nggak bisa! Kamu harus ikut dia! cuma dia yang bisa bantu Bapak menghasilkan uang banyak untuk bayar hutang dan bayar biaya pengobatan ibu kamu itu!” tegas Pak Wira.

Yuri menggeleng. Ia masih berharap kalau bapaknya itu bisa memberikan kesempatan untuknya.

“Cepat masuk kamar!” seru Pak Wira sambil menendang tubuh Yuri yang masih memeluk kakinya.

“Cepet masuk! Sebentar lagi, anak buah Frans akan jemput kamu!” perintah Pak Wira sambil menyeret gadis itu ke dalam kamarnya. Ia sudah menyiapkan banyak perawatan tubuh untuk gadis itu agar ia bisa menjual puterinya itu dengan harga tinggi.

 

....

 

 

“Puteri Anda sangat cantik, mulus dan berkelas. Kalau kayak gini, saya bisa beli dia dengan harga tinggi.”

“Beneran!?” tanya Pak Wira sambil menatap wajah Frans penuh semangat.

Frans mengangguk-anggukkan kepala sambil memperhatikan tubuh Yuri dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Pak Wira minta uang berapa?”

“Enam puluh juta,” jawab Pak Wira.

“Enam ratus juga,” jawab Yuri bersamaan.

Frans tertawa kecil sambil menatap wajah Yuri. “Kamu berani menghargai diri kamu sendiri dengan harga yang setinggi ini?”

“Yuri, kamu jangan minta uang terlalu banyak! Bisa-bisa, kita nggak dapet uang sama sekali. Bapak hanya perlu enam puluh juta buat bayar hutang Bapak,” bisik Pak Wira.

“Bapak cuma mikirkan hutang judinya Bapak aja? Bapak nggak bener-bener mikirin biaya pengobatan Ibu? Bapak sudah janji kalau akan obati Ibu ‘kan? Biaya transplantasi hati buat ibu itu enam ratus juta. Kalau mereka nggak bisa bayar, aku nggak akan pergi!” sahut Yuri.

“Kamu harus tetep pergi sama dia dan menghasilkan uang yang banyak buat Bapak! Kamu bisa mengumpulkan uangnya pelan-pelan. Nggak perlu pasang tarif terlalu mahal. Yang penting, hutang Bapak bisa lunas dulu,” pinta Pak Wira.

“Pak, Ibu itu lagi sakit! Bapak bukannya mikirin biaya berobat ibu dulu, malah mikirin judinya Bapak. Bapak nggak akan punya hutang sebanyak ini kalau nggak punya hobby judi. Ibu sudah sakit parah, kenapa dia bisa punya suami yang sangat biadab kayak gini,” sahut Yuri sambil menatap wajah ayahnya.

PLAK ...!

Pak Wira langsung menampar pipi Yuri. “Anak nggak tahu diuntung! Sudah dibesarkan sampai seperti ini. Bukannya balas budi, malah ngatain bapak sendiri, hah!?”

“Pak Wira, tolong jangan main kekerasan! Wajah cantik ini aset berharga untuk kami!” pinta Frans.

“Maaf! Aku terlalu emosi,” tutur Pak Wira sambil menatap Frans.

“Aku akan bayar uang muka enam puluh juta. Sisanya, baru akan bayar sesuai dengan ... berapa banyak dia bisa menghasilkan uang untukku,” tutur Frans.

Pak Wira mengangguk-anggukkan kepala. “Baiklah. Baiklah. Mulai hari ini, dia menjadi milik kalian.”

Frans mengangguk-anggukkan kepala. “Bawa dia!” perintahnya pada semua anak buahnya.

Lima orang anak buah yang bersama Frans langsung membawa Yuri keluar dari rumah tersebut dan membawanya ke markas besar tempat mereka biasa melakukan transaksi.

“Bersikap baiklah di sini dan jangan coba-coba untuk kabur! Aku sudah terbiasa membayar kekecewaanku dengan nyawa. Kalau mau hidup dengan baik, ikuti semua perintahku!” tutur Frans saat ia sudah memasukkan Yurika ke dalam sebuah kamar yang telah ia sediakan sebelumnya.

“Hiks ... hiks ... hiks ...!” Yuri hanya bisa meneteskan air mata dan tidak sanggup melakukan apa pun. Ia tidak punya kekuatan untuk melawan anak buah Frans yang begitu banyak. Malam ini ... hidupnya akan benar-benar berakhir.

“Usap air mata kamu ini!” pinta Frans sambil menekan kedua pipi Yuri dengan satu tangannya. “Kalau kamu keluar dengan wajah jelek, bisa menurunkan harga kamu. Kamu mau dapet uang banyak ‘kan?”

Yuri mengangguk pelan. Ia segera menghapus air matanya. Yang ada di pikirannya, hanyalah menyelamatkan ibunya yang butuh banyak biaya untuk operasi.

“Anak manis!” Frans tersenyum puas sambil menepuk-nepuk pipi Yuri dan meninggalkannya seorang diri di dalam kamar tersebut.

“Aargh ...! Aku harus gimana? Ya Tuhan ... kirimkan malaikatmu buat nolongin aku!” seru Yuri sambil mondar-mandir di dalam kamar. Ia benar-benar tidak bisa menghadapi pria yang punya begitu anak buah seperti Frans.

 

...

 

Tepat jam dua belas malam ... acara pelelangan di gedung lantai tiga pusat perjudian terbesar kota Semarang dimulai. Tidak hanya Yuri, di sana ... Frans melelang beberapa wanita yang baru saja ia dapatkan untuk diambil oleh pria-pria berdompet tebal yang sudah duduk rapi di kursi tamu yang mereka sediakan.

Yurika menarik napas beberapa kali sambil berdoa agar ia bisa mendapatkan pria yang baik dan juga uang yang banyak untuk biaya pengobatan ibunya.

“Berdoa saja semoga kita ditawar dengan harga tinggi dan bisa hidup dengan mereka yang berduit. Meski cuma jadi simpanan, no problem. Yang penting ... bisa hidup enak. Udah capek hidup susah terus,” tutur salah seorang wanita bergaun merah yang berdiri di sebelah Yuri.

Yuri hanya tersenyum kecut. Hatinya tidak akan rela jika ia harus menjadi wanita simpanan. Meski tidak punya banyak uang, ia ingin berada di posisi yang layak sebagai wanita yang dicintai dan diakui secara resmi.

“Eh, kenapa kamu pakai gaun putih kayak gini?” tanya wanita lain sambil menatap Yuri.

“Supaya kelihatan polos. Lihat aja! Make-up dia polos banget. Kalau kayak gini, nggak bakal dapet uang besar,” sahut wanita yang lainnya lagi.

Yuri terdiam. Ia memilih untuk tidak banyak bicara. Di sekeliling ruangan itu, penuh dengan anak buah Frans. Jika ia ingin melarikan diri, pastilah kaki dan tangannya akan dipatahkan lebih dulu.

“Oke, Deal! Wanita pertama kita mendapat harga tertinggi sebesar lima belas juta rupiah. Selamat kepada tuan yang telah memenangkan gadis-gadis terbaik di tempat kami ini,” seru pembawa acara yang ada di dalam sana.

Wanita kedua, terjual dengan harga dua puluh lima juta rupiah.

Yuri mendapat giliran yang ketiga. Ia langsung melangkahkan kakinya perlahan memasuki panggung begitu namanya dipanggil. Ia mengedarkan pandangannya ke arah semua tamu yang ada di hadapannya. Semua pria di sana mengenakan topeng, mereka tidak saling mengenali satu sama lain. Ia juga tidak bisa melihat wajah pria-pria itu.

Di sekeliling ruangan itu, anak buah Frans berjaga-jaga. Sungguh, ia tak punya celah untuk melarikan diri dari tempat itu. Ia hanya berharap kalau di depan sana, ada pria baik yang dikirim Tuhan untuknya.

Suara MC terdengar menggema di seluruh ruangan saat membacakan profil Yurika. Semua pria di sana mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Yurika.

“Oke. Kita akan buka harga untuk wanita ketiga kita dengan harga dua puluh juta rupiah. Ada yang berani?”

“Tiga Puluh Juta ...!” seorang pria tua bertubuh gempal langsung mengangkat papan yang telah disediakan.

“Empat puluh juga!” sahut pria yang lainnya lagi.

“Enam puluh juta!”

“Seratus juta!” seru pria muda berjas putih yang ada di sana.

“Seratus juta? Wow ...! Harga yang fantastastis! Masih ada yang berani menawar lagi?” tanya pembawa acara yang ada di sana.

“Dua ratus juta!” seru pria lain.

“Dua ratus lima puluh juta!” seru pria muda yang awalnya sudah menawar dengan harga tinggi.

Kini, tinggal dua orang yang masih bersaing sengit untuk mendapatkan Yurika dengan harga tinggi, salah satunya adalah Grandika yang tidak ingin kehilangan wanita cantik yang pernah ia temui sebelumnya itu.

“Tiga ratus lima puluh juta!”

“Empat ratus juta!”

“Empat ratus lima puluh juta!”

“Enam ratus juta!” seru pria muda berjas putih itu.

“Bang, kamu beneran nawar sebesar ini? Duit dari mana?” bisik pria yang ada di sebelahnya.

“Diam!” balas pria berjas putih itu berbisik.

Semua orang yang ada di sana terdiam. Tidak ada yang berani bersaing dengan harga yang lebih tinggi lagi.

“Enam ratus juta? Wow ...! Masih ada yang berani menawar lagi?” tanya pembawa acara.

Hening.

“Oke. Karena tidak ada yang berani menawar lagi. Kami tutup dengan harga enam ratus juta! Selamat kepada tuan berjas putih yang telah memenangkan gadis cantik ini!” seru pembawa acara.

“Tuan ... silakan naik ke atas panggung untuk mengambil wanita Anda!” pinta pembawa acara.

Pria berjas putih itu mengangguk. Ia langsung naik ke atas panggung didampingi oleh empat orang anak buah Frans dan melakukan transaksi untuk mendapatkan wanita yang dia inginkan.

 

 

...

 

Baca cerita selengkapnya dengan cara klik link berikut ini :

Perfect Hero Season 2 Full Episode 

 

Friday, May 28, 2021

Kisahku dan Dedikasinya (Selamat Jalan Pak Slamet)


“Rin, ojo tegang-tegang! Nanti cepet tua kalo keakehan mikir!” Pak Slamet langsung memijat pundakku begitu ia masuk ke kantor.

“Enaknya, Pak! Sering-sering aja pijitin!” sahutku sambil terkekeh geli.

“Malah keenakan!” dengus Pak Slamet. Ia langsung menarik salah satu kursi kosong yang tak jauh dari tempat dudukku, kemudian duduk tepat di sampingku.

“Dari afdeling, Pak?” tanyaku sambil menatap layar ponsel.

“Iya. Dari mana lagi? Masa dari warung janda?”

“Halah, biasane juga mampir warung janda,” sahut Pak Mesdi sambil terkekeh geli.

Kami semua yang ada di dalam ruangan ini, ikut tertawa lebar.

“Ohh ... Pak Met, ya ... diam-diam suka ke warung janda juga!” seru kerani yang lainnya.

“Cuma ngopi aja,” sahut Pak Slamet sambil mengeluarkan buku agendanya.

“Rin, BKM ada masalah apa nggak?” tanya Pak Slamet.

“Nggak ada sih, Pak. Tapi ini anggaran bapak sudah mau habis, loh. Over budget untuk pekerjaan piringan.”

“Kok, bisa?” tanya Pak Slamet.

“Ya nggak tahu, Pak. Kemarin pengajuan dananya gimana? Pasti copas, nih!” tuduhku ngasal sambil menahan tawa.

“Kayak nggak tahu aja, Rin. Wes mumet neng lahan, suruh bikin laporan lagi. Tambah mumet,” sahut Pak Slamet.

“Suruh kerani bapak, lah. Apa gunanya gaji kerani kalau asistennya masih repot ngurusin laporan?” sahutku.

“Kamu aja yang jadi keraniku!” sahut Pak Slamet.

“Hahaha. Lawan dulu Bos Besarnya, Pak. Kalo boleh jadi keraninya Pak Met. Aku mau aja. Kerjaannya santai dan nggak banyak. Daripada kayak gini, mumet juga aku, Pak,” sahutku.

Aku bekerja di kantor sebagai Kerani Pembukuan. Tapi, bukan hanya mengerjakan laporan pembukuan saja. Di perusahaan perkebunan yang memiliki keterbatasan anggaran. Kami sebagai kerani harus bisa semuanya. Tapi, memang tidak semua kerani. Kalau kata bosku, aku adalah joker di perusahaan. Salah satu kerani yang bisa mengerjakan semua pekerjaan di semua divisi. Mulai dari laporan harian kerani sampai penyusunan budget perusahaan.

Hampir setiap hari, asisten lapangan akan mengecek laporan yang sudah masuk ke akunku. Hanya akunku yang bisa melihat semua transaksi perusahaan melalui sistem yang sudah terintegrasi (Integrated Plantation System; iPlas), sehingga asisten kerap mengecek laporan bersamaku. Kadang, aku juga sering berantem dengan asisten karena data lapangan yang masuk ke akunku tidak sinkron. Hal biasa, tapi memang harus terjadi demi kebaikan bersama.

Pak Slamet adalah asisten yang paling aktif pergi ke kantor. Kalau istilah candaan kami, mereka rindu sama aku. Rindu karena modus. Minta baikin laporan dan sebagainya.

Setiap jam dua siang, saat karyawan lapangan sudah pulang kerja. Asisten akan pergi ke kantor untuk mengecek laporan. Terkadang, mereka juga terpaksa datang saat aku menelepon. Aku hanya menelepon ketika ada masalah dalam laporan yang masuk, sementara laporan harus segera dikunci. Supaya tidak banyak revisi yang memberatkan sistem kami.

Sebenarnya, aku tidak tega kalau harus menyuruh asisten harus bolak-balik ke kantor dan lapangan yang jaraknya tidak dekat. Tapi itulah perjuangan seorang asisten lapangan. Menjadi atasan yang dibenci karyawan karena keputusannya. Menjdi bawahan yang dimaki-maki atasan karena belum menjalankan prosedur dengan baik. Kalau kata KTU, posisi kami ini serba salah. Di atas ditojok sama bos, di bawah di dodos sama karyawan. Hahaha.

Yah, mau diapakan lagi. Sudah nasib kami yang berada di posisi tengah-tengah seperti ini.

Seperti saat ini, Pak Slamet tiba-tiba datang ke kantor untuk mengecek laporannya.

“Haduh, Rin ... pusing aku. Di lahan banyak masalah. Di kantor banyak masalah. Di rumah juga mumet. Mau mindahin sekolahnya anakku, biayanya banyak banget,” keluh Pak Slamet.

Aku menanggapi ucapannya. Kami bercerita sambil mengecek laporan yang ada di komputerku. Meski sambil mengerjakan laporan, sesekali aku sering mendengar keluhan atasan kami. Mungkin, ada beban hidup yang tak bisa mereka katakan pada orang lain, bercerita adalah salah satu cara untuk melepaskannya perlahan. Dan aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik.

Pak Slamet ... setiap ke kantor, bukan hanya curhat masalah pekerjaan dan pendidikan anak-anaknya. Tapi juga kerap memberi nasehat padaku. Aku bisa membeli sepede motor, juga berkat saran beliau. Biasanya, aku memilih jalan kaki dari rumah ke kantor atau ke mess. Saat itu, gajiku hanya 1,3 juta. Tidak berani kredit motor karena aku harus menghidupi nenek-kakek, dua orang tua dan adik-adikku. Tapi akhirnya, aku memberanikan diri mengambil cicilan motor berkat saran dari dia.

Banyak hal yang tidak bisa aku lupakan. Meski hanya sebagai rekan kerja, tapi kami sudah sepertu keluarga. Kami bukan hanya berbagi suka-duka. Kami juga saling support, sering berantem. Tapi tetap berjalan bersama-sama untuk saling support.

Saat aku tahu beliau sakit, aku merasa iba. Tubuhnya semakin kurus dan ringkih. Tatapan matanya tak lagi bercahaya. Tapi dia tetap semangat setiap hari. Bahkan, selalu menyempatkan diri datang ke kantor hanya untuk menghibur kami.

Hari ini ... rasanya masih tak percaya kalau beliau benar-benar sudah pergi untuk selamanya. Meski sudah 4 tahun aku resign dan tidak lagi menjadi bagian dari keluarga AMS/Gama Group, tapi dedikasi atasan-atasanku tak kan pernah terlupakan.

Pak Slamet, bukan hanya rekan kerja yang baik. Dia banyak memberi nasehat. Selalu menghibur meski kami tahu dia sedang lelah. Baginya, anak-anak di kantor sudah seperti anaknya sendiri. Menjadi tempat untuk menenangkan diri saat ia sudah lelah di lahan.

Hari ini ... tanggal 28 Mei 2021 adalah hari pemakaman beliau. Meski sudah 4 tahun tak lagi bekerja bersama. Tapi kami sudah menjadi rekan kerja selama 7 tahun. Bagiku, dia sudah seperti seorang ayah. Selalu memberi nasehat, menceritakan pengalamannya, mengajak diskusi, membuat kami tertawa bersama, membuat kami merasakan kehangatan sebuah keluarga di dunia kerja.

Selamat jalan, Pak Slamet ...!

Terima kasih untuk dedikasinya selama ini. Terima kasih untuk semua ilmu dan pengalamannya. Mungkin, semua ilmu yang pernah kamu berikan tak terlihat, tapi bisa dirasakan oleh orang banyak. Kamu mengajarkan aku untuk kuat menghadapi masalah, berani mengambil resiko. Hingga hari ini, mentalku yang kuat terbentuk karena peran darimu juga.

“Cintailah perusahaan tempatmu bekerja. Meski tidak membuatmu kaya, tapi memberikanmu hidup.”

Kutipan ini seringkali kudengar di tempatku bekerja. Kutipan sederhana yang membuat kami terus bekerja dengan hati, memberikan dedikasi kepada perusahaan demi keluarga dan si buah hati. Membuat kami selalu bekerja dengan sungguh-sungguh. Tak mudah pergi meski banyak orang yang ingin menjatuhkan dan menyakiti.

Selamat jalan, Pak Slamet ...!

Banyak pelajaran hidup yang telah beliau berikan. Pelajaran hidup yang tidak pernah terlupakan adalah ...

 “Tetap semangat dan jangan menyerah pada hidup. Yang hidup, akan terus menghadapi ujian kehidupan. Kalau sudah tidak diuji, maka sudah waktunya untuk pulang.”

 

 

___________________________________________ 

Tulisan kecil ini aku persembahkan untuk mendiang Pak Slamet (Asisten Afdeling PT. Alam Jaya Persada, PT. Tritunggal Sentra Buana – AMS GAMA GROUP)

 

 

 

Sunday, May 9, 2021

Secret Beloved - Vella Nine

 


“Secret Beloved”

A short story by Vella Nine


 

 

 

“Hei ...!” Rara langsung menyenggol lenganku saat aku sedang duduk di tepi lapangan.

Lapangan futsal di sekolah disulap menjadi panggung pensi usai ulangan semester. Aku salah satu siswa yang tidak pernah ketinggalan hadir di setiap harinya.

“Eh, kamu kenapa sih? Dari tadi ngelamun terus?” tanya Rara sambil duduk di sampingku. Ia menyodorkan kantong plastik berisi es teh ke hadapanku.

Aku langsung meraih es teh tersebut. Ini pertama kalinya aku melamun di tengah-tengah keramaian. Ah, entah berapa orang yang menyadari lamunanku. Kurasa, hanya Rara seorang dari sekian ratus siswa.

“Kamu nunggu Kak Ian tampil lagi?” tanya Rara sambil menatap panggung yang sedang mempersembahkan tarian daerah khas Aceh.

Aku menggelengkan kepala.

“Halah, ngaku aja! Abis ini, jadwalnya Kak Ian tampil main tingkilan loh,” tutur Rara.

Aku hanya tersenyum kecil. Entah kenapa, kali ini aku tidak begitu bersemangat melihat penampilan Kak Ian. Apa karena kejadian dua hari lalu ...???

Kak Ian termasuk cowok paling populer di sekolah. Dia tidak seganteng Li Hongyi, tapi menjadi favorite semua cewek di sekolah karena sifatnya yang humble dan banyak terlibat dalam kegiatan sekolah.

Kak Ian, pemilik nama asli Satria Satwika itu tidak hanya terampil memainkan musik tradisional tingkilan asal Kalimantan. Ia juga vokalis dan gitaris salah satu band ternama di kota ini. Selain di dunia musik, Kak Ian aktif menjadi komandan paskibraka sekolah, menjadi wakil ketua osis, juga aktif dalam kegiatan rohani di sekolah.

Siapa yang tidak mengenal Kak Ian di sekolah dengan kegiatan dan organisasinya yang seabrek itu? Bahkan, anai-anai penghuni perpustakaan yang tidak pernah keluar dari ruang perpustakaan pun mengenal Kak Ian.

 

Semua cewek di sekolah mengagumi Kak Ian walau kelakuannya slengean dan penampilannya selalu berantakan. Tidak pernah memasukkan baju ke dalam celananya, bahkan memakai topi pun asal nempel di atas kepalanya. Kalau soal kerapian pakaian, sudah pasti nilanya di bawah angka lima puluh.

 

Aku juga tidak mengerti kenapa aku menjadi deretan cewek yang ikut mengagumi Kak Ian. Yah, sekedar kagum saja. Bukan karena menyukai sosok cowok berkulit sawo matang yang memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua sentimeter itu.

 

 

Dari mana aku tahu tinggi badan Kak Ian seakurat itu? Ah, sepertinya rasa kagumku ini bukan hanya karena kegiatan organisasi dan prestasi-prestasi yang sudah ia ukir. Tapi, mulai memerhatikan kehidupan pribadinya. Aku sangat mengetahui ukuran nomor sepatu, ukuran kemeja dan celananya, makanan favoritnya juga tempat dia biasa nongkrong bersama teman-temannya.

 

“Woy ... masih aja ngelamun!” Rara berteriak tepat di telingaku.

 

“Sialan kamu!” makiku sambil menutup kuping. “Kupingku sampe ‘peng-peng-peng’ kayak gini. Kalo gendang telingaku pecah gimana?”

 

“Hahaha. Abisnya ngelamun terus,” tutur Rara. “Eh, itu Kak Ian. Cakep banget!” seru Rara sambil menunjuk ke arah panggung.

 

Aku hanya tersenyum kecil. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kak Ian. Sejak pertama masuk sekolah hingga aku duduk di kelas sebelas, aku sudah mengagumi Kak Ian seperti yang dilakukan oleh semua cewek di sekolah. Satu setengah tahun, cukup untuk mengetahui banyak hal tentang Kak Ian.

 

Dua hari lalu, aku dihadapkan dengan keadaan yang membuatku menjadi canggung, malu dan tidak punya nyali menghadapi Kak Ian. Aku terus membayangkan bagaimana seluruh cewek di sekolah menyerangku karena mereka mengetahui apa yang telah terjadi antara aku dan Kak Ian.

 

“Rin ...! Maurin!” Rara kembali menyadarkan lamunanku. Aku langsung menoleh Rara yang duduk di sampingku.

 

Rara menunjuk-nunjuk seseorang dengan bola matanya. Aku langsung menatap sepasang kaki yang sudah ada di hadapanku. Aku menengadahkan kepala menatap sosok pria pemilik kaki tersebut.

 

Oh ... Tuhan! Berapa lama aku melamun tentang Kak Ian? Kenapa aku terlarut dalam lamunan yang begitu lama hingga aku tidak menyadari penampilan Kak Ian kali ini. Lebih parahnya lagi, aku tidak menyadari kalau Kak Ian sudah berdiri di hadapanku.

 

Kak Ian melambaikan tangannya tepat di depan wajahku.

Aku langsung gelagapan begitu menyadari kehadirannya. Oh, tidak! Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku saat ini. Otakku terasa sangat kacau. Sepertinya, aku telah melakukan hal yang memalukan.

“Ayo!” Kak Ian tertawa kecil sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

“Eh!? Ke mana?” tanyaku bingung.

“Pulang.”

Rara membelalakkan mata begitu mendengar ucapan Kak Ian. “Rin, kamu diajak pulang sama Kak Ian. Ini kesempatan langka, buruan!” bisiknya di telingaku.

“Mmh ... aku belum mau pulang. Tunggu pensi kelar,” jawabku sambil tersenyum ke arah Kak Ian.

“Tapi kita sudah janji sama mama kamu kalau ...”

Aku langsung bangkit dan membungkam mulut Kak Ian. “Jangan bilang apa pun tentang hubungan kita di sini!” pintaku berbisik.

“Kenapa?” tanya Kak Ian sambil menggenggam pergelangan tanganku.

Aku mengedarkan pandanganku. Semua mata tertuju pada kami berdua. Aku tidak sanggup menjadi pusat perhatian banyak orang. Terlebih, Kak Ian punya banyak penggemar. Aku tidak ingin semua orang tahu kalau ... kalau ... kalau aku dan Kak Ian punya hubungan lain di luar sekolah.

“Eh!?” Aku terkejut saat tangan Kak Ian menarik kuat pergelangan tanganku dan membawaku keluar dari kerumunan banyak orang.

“Kak, lepasin!” pintaku saat kami tiba di lorong yang sepi. Aku berusaha melepas pegangan tangan Kak Ian yang begitu erat.

Kak ian melepas tanganku dan berbalik menatap wajahku. “Kenapa?”

“Aku malu diperhatikan banyak orang.”

“Kamu malu punya pacar kayak aku?”

“Kita nggak pacaran,” sahutku cepat.

“Rin, aku nggak ngerti sama kamu. Semua cewek di sekolah ini pengen jadi pacarku. Kenapa kamu malah nggak mau sama aku?”

Aku menggelengkan kepala. “Kak, hubungan kita karena perjodohan orang tua. Bukan karena kita saling mencintai. Aku tahu, Kakak seperti ini karena aku nggak enak sama orang tuaku. Aku bakal mengatasi mereka supaya perjodohan kita dibatalkan.”

“Kenapa kamu pengen perjodohan ini batal?” tanya Kak Ian.

“Karena aku nggak mau punya hubungan sama seseorang yang nggak sayang sama aku. Lagipula, aku masih kelas dua SMA. Perjalanan kita masih panjang. Bisa aja suatu saat nanti, kita bertemu sama orang yang benar-benar kita cintai.”

“Apa aku pernah bilang kalau aku nggak sayang sama kamu?”

Aku menggelengkan kepala. “Kamu juga nggak pernah bilang kalau kamu sayang sama aku,” jawabku sambil tersenyum.

Kak Ian merogoh saku celana dan mengeluarkan kain merah dari sakunya. “Ini punya kamu kan?” tanya Kak Ian sambil menunjukkan syal paskibra di tangannya.

Aku menggelengkan kepala. “Banyak yang punya syal kayak gitu.”

“Di sini, ada bordiran nama Maurin,” tutur Kak Ian sambil mendekatkan tubuhnya.

Aku melebarkan kelopak mataku. Ia hampir lupa kalau syal paskibra miliknya memang pernah ia pinjamkan kepada Kak Ian setahun lalu. Pantas saja, aku terus mencari dan tidak bisa menemukan syalku.

Aku meringis ke arah Kak Ian. “Kakak ambil aja! Aku bisa beli lagi, kok.”

“Rin, aku nggak ngembalikan syal kamu bukan karena aku nggak mampu beli syal lagi atau nggak punya syal lain. Setiap aku paskibra, aku selalu pakai syal ini sambil melihat kamu dari jauh.”

Aku terdiam. Masih tidak mengerti maksud dari ucapan Kak Ian.

“Sejak kamu ngasih pinjam syal ini, aku udah suka sama kamu. Aku cuma nggak tahu gimana caranya bisa deketin kamu di sekolah. Bahkan aku nggak punya keberanian buat nyapa kamu, Rin. Aku bahagia banget saat tahu orang tua kita bersahabat dan mempertemukan kita.”

Aku langsung menatap wajah Kak Ian. “Benarkah dia menyukaiku sejak setahun lalu?”

“Aku nggak mau perjodohan kita batal. Aku mau kamu dari dulu. Aku nunggu lama banget buat dapetin kesempatan ini. Kesempatan buat deket sama kamu. Bisa nggak kalau kita ... pacaran bukan karena perjodohan itu?”

“Maksud Kak Ian?”

“Aku sayang sama kamu, jauh sebelum kita dijodohkan. Aku nggak bisa terus-terusan memerhatikan kamu dari kejauhan. Aku pengen jadi orang yang paling dekat sama kamu.” Kak Ian menyentuh lenganku. “Seperti ini ...” Ia menempelkan dahinya ke dahiku.

Oh ... My God! Aku tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhku. Apa jantungku sudah lepas dari tempatnya? Apa jantungku masih berdetak? Kenapa aku tidak bisa mengatakan apa pun saat menatap wajahku yang tergambar jelas di dalam manik matanya.

Perasaanku tak karuan, telapak tanganku gemetaran, berusaha mencari sesuatu untuk bisa menopang tubuhku agar tidak terjatuh. Tanpa sadar, aku langsung memeluk punggung Kak Ian saat bibirnya berhasil membuat seluruh tubuhku membeku.  Oh ... God! Ciuman pertamaku ...

 

 

(( Selesai ... ))

 

Terima kasih sudah membaca. Ini adalah cerpenku yang ke ...? Ah, entahlah. Aku tak pernah menghitungnya. Kalau suka sama ceritanya, silakan komen di bawah biar author makin semangat nulisnya!

 

 

Much Love,

-Vella Nine-

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas