Thursday, February 11, 2021

Cerpen | Takdir Cinta

 


Entah apa yang terjadi pada Nella sejak seminggu belakangan ini. Ia merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Rico yang ia kagumi sejak SMP kini seperti didekatkan oleh Tuhan. Banyak moment yang secara tidak sengaja membuat mereka begitu dekat. Seperti saat ini, Nella berada di dalam Bus dan duduk berdekatan dengan Rico.

“Ya Tuhan...  apa aku sedang bermimpi?” batin Nella dalam hati. Detak jantung Nella tak menentu saat duduk di samping Rico. Ia merasa darah dalam tubuhnya mengalir 10 kali lebih cepat dari biasanya saat tubuh Rico menyentuh  tubuhnya tanpa sengaja.

“Hei, kamu mau ke mana?” tanya Rico membuyarkan lamunan Nella.

“Eh... Oh... ya? Kamu tanya sama aku?” tanya Nella ketika tersadar.

“Ia lah. Kamu dari tadi ditanyain ngelamun terus. Ntar kesambet Lho!” celetuk Rico.

Nella masih terdiam dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia maerasa seperti sedang bermimpi, cowok yang ia kagumi selama bertahun-tahun kini ada disampingnya dan mengajaknya bicara.

“Oii... Ngelamun mulu!” celetuk Rico sambil menyikut Nella.

“Eh... oh... sorry ...!” jawab Nella salting.

“Kamu dari tadi diem mulu? Ngomong kek! Aku bete nih nggak ada temen ngobrol, masih lama pula di Bus.” Tutur Rico sambil menyandarkan tubuhnya di kursi Bus.

“Emangnya kamu mau ke mana?” tanya Nella.

“Ya ampuuun... aku dari tadi tanya kamu, nggak dijawab, malah tanya balik.” Sahut Rico.

“Oh... maaf, aku mau ke Balikpapan.” Jawab Nella.

“Kok sama? Kamu mau ngapain ke sana? Jalan-jalan, belanja, atau ke rumah keluarga?” tanya Rico ingin tahu.

“Mau Pulang, lagi libur kuliah.” Jawab Nella.

“Oh ya? Kok Sama ya? Emang kamu kuliah di mana?” tanya Rico.

“Unmul.” Jawab Nella singkat. Nella nggak nyangka kalau ternyata Rico ini bawel banget.

“Lho? Kok sama? Tapi aku kok nggak pernah liat kamu sih?” tanya Rico.

Nella hanya tersenyum. “Jelas aja kamu nggak pernah liat aku, kamu kan cuma liat cewek-cewek yang cantik-cantik doank di kampus.” Batin Nella dalam hati.

“Aneh banget, kita ini satu kampus, sama-sama tinggal di Balikpapan, tapi nggak pernah ketemu.” Tutur Rico keheranan.

“Bukan nggak pernah ketemu, kamu aja yang terlalu sibuk sama fans-fans kamu yang cantik-cantik itu. Kamu kan sering pakai kendaraan pribadi, jelas aja kita nggak pernah ketemu kalau pulang.” Jawab Nella.

“Iya juga ya? Kamu kalau pulang naik bus terus?” tanya Rico.

Nella tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya sebagai tanda mengiyakan.

Dan mereka pun terlibat dalam sebuah obrolan hingga mereka sampai di tujuan. Banyak hal yang mereka bicarakan dan itu membuat Nella tidak percaya dengan apa yang terjadi hari itu. Kejadian itu membuat Nella tidak bisa tidur semalaman.

“Ya ampun Nella, kamu kenapa sih sampai kayak gini banget? Paling Rico udah lupa sama kejadian hari ini.” Celetuk Nella sambil memandang langit-langit kamarnya.

***

Di saat yang sama, Rico juga mulai memikirkan Nella. Gadis yang sangat manis, cantik dan baik. Dia merasa heran dengan dirinya sendiri. Selama bertahun-tahun mereka ada di sekolah yang sama tapi ia tidak pernah mengenal Nella sampai mereka hampir lulus S1.

“Rasanya aku kenal semua cewek di kampusku, tapi kenapa aku nggak kenal dia, sih? Si Adit nih nggak kasih aku info kalau ada cewek cantik banget di kelasnya. Tapi, Adit kan selalu cerita kalau ada cewek-cewek baru di sekolah yang cantik-cantik. Hmmm.... mending aku telepon Adit deh buat mastiin dia beneran sekelas pa nggak.” gumam Rico sambil mengambil handphonenya.

“Ada Apa, Ric? Tumben telepon aku?” tanya Adit dari ujung telepon.

“Ahh... kamu nih Dit, resek banget sih kamu nih!” ucap Rico dengan nada tinggi.

“Lho? Ada apa Ric? Resek kenapa?” tanya Adit keheranan.

“Di kelasmu ada cewek cantik banget nggak kamu kenalin ke aku ya!” celetuk Rico.

“Siapa Ric? Udah aku kenalin semua kok.” Jawab Adit santai.

“Udah apanya? Itu si Nella nggak pernah kamu kenalin ke aku!” sahut Rico jengkel.

“Astaga Rico....!” teriak Adit dari ujung telepon.

“Sialan kamu. Nggak usah teriak gitu juga kali! Lupa ya kamu kenalin sama aku?” tanya Rico ketus.

“Bukan lupa Ric, tapi dia itu kan teman kamu dari SMP, SMA sampai mau lulus kuliah. Masa nggak kenal sih? Lucu banget kamu!” jawab Adit sambil cekikikan.

“Serius aku nggak kenal,sahut Rico.

“Kamu sih terlalu sibuk ngeladenin cewek-cewek yang pada kecentilan itu.” Tutur Adit sambil tertawa.

“Eh, bukan aku yang sibuk. Mereka tuh yang bikin aku jadi sibuk.” Celetuk Rico.

“Ah, sama aja kali. Lagian Nella itu beda sama cewek-cewek lain yang kamu kenal. Dia itu baik, pintar, nggak sombong dan apa adanya. Aku nggak tega liat dia deket sama kamu kalau cuma buat kamu mainin.” Sahut Adit.

“Sialan kamu Dit! Kapan aku pernah mainin cewek? Mereka aja yang pada keganjenan sama aku.” Tutur Rico.

“Udah lah Dit, kamu kan udah punya banyak koleksi cewek-cewek cantik. Nella buat aku aja lah.” Kata Adit dengan nada santai.

“Ah... nggak... nggak! Ambil aja semua cewek yang deketin aku! Nella buat aku!” kata Rico bersikeras.

“Dasar Luu...! tapi jangan di mainin ya! Kalau sampai bikin dia sedih, urusannya sama aku!” ancam Adit.

“Ia, pokoknya kamu BBM aku alamat Nella yang di sini ya! Gak Pake Lama!” pinta Rico sambil menutup teleponnya.

***

5 bulan kemudian....

Pagi-pagi sekali Nella sudah bangun dari tidurnya dan bergegas keluar dengan motor matic kesayangannya.

“Mau ke mana pagi-pagi gini Nel?” tanya Mamanya saat Nella menstarter motor.

“Mau cari angin pagi sebentar Ma, sekalian cari objek yang seger-seger gitu.”  Jawab Nella sambil menggendong  Tas kamera SLR miliknya.

“Nggak mau tunggu sarapan dulu?” tanya Mama.

“Ah, nggak Ma, kalau udah siang ntar udah banyak kendaraan, banyak polusi. Aku kan mau cari yang masih seger. Ntar aja aku sarapan kalau udah pulang. Jam sepuluh aku udah pulang kok Ma.” Jawab Nella sambil bergegas pergi. Nella mencari objek yang masih berembun di pagi hari. Ia sangat senang dengan udara pagi hari yang masih sangat segar masuk ke dalam tubuhnya.

“Andai aja setiap saat udaranya bisa kayak gini terus ya? Siang dikit aja udah penuh asap dan debu.” gumam Nella sambil menikmati keindahan pagi di atas batu karang tepi laut.

Tak terasa arloji di tangan kiri Nella sudah menunjukkan pukul 10.00 WITA. “Cepet banget sih, padahal kan masih pengen jalan-jalan. Pulang dulu deh, ntar mama khawatir pula.” Ucap Nella sambil melajukan motornya menuju ke arah rumahnya.

Nella dibuat Shock ketika sampai di depan rumahnya. Ada sosok Rico yang sedang duduk di kursi terasnya.

“Rico!? kamu kok bisa di sini?” tanya Nella kaget.

Rico hanya tersenyum melihat reaksi Nella yang terlihat terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

“Udah lama di sini?” tanya Nella.

“Nggak, baru aja kok.” Jawab Rico.

“Masuk yuk! Nggak enak kalau di luar gini.” Ajak Nella sambil membukakan pintu rumahnya.

 “Aku mandi dulu ya?” pamit Nella pada Rico. “Ma, kalau nggak sibuk tolong temanin ngobrol teman Nella ya!” pinta Nella pada Mamanya.

Mamanya hanya mengangguk sambil tersenyum.

Tidak berapa lama Nella keluar kamarnya dengan kaos pink dan celana pendek warna hitam, rambutnya yang panjang masih sedikit basah dan terurai indah.

“Kenapa liatin aku kayak gitu?” tanya Nella yang meyadari tatapan Rico yang tak berkedip melihatnya.

“Eh, oh, nggak papa. Kamu cantik banget.” Celetuk Rico.

“Gombal aja terus kamu itu. Berapa ribu cewek yang udah kamu bilang begitu?” tanya Nella.

“Ah, kamu ini Nel, mana pernah aku bilang begitu sama cewek.” Jawab Rico.

“Terus pacar-pacar kamu selama ini, nggak pernah kamu puji?” tanya Nella.

“Nggak tuh, mereka itu cantiknya nggak alami kayak kamu. Kalau nggak dandan jelek semua.” Jawab Rico sekenanya.

“Hush... nggak boleh ngomong gitu. Biar gimanapun kamu kan pernah sayang sama mereka.” Tutur Nella.

“Aku nggak pernah sayang sama cewek-cewek itu Nel, semuanya sama, bikin aku risih. Udah centil, nggak ada berentinya ngejar-ngejar aku.” Sahut Rico.

“Kayak anak kecil aja main kejar-kejaran.” Celetuk Nella.

Rico tertawa mendengar celetukkan Nella.

“Udah dulu becandanya, pada sarapan dulu gih!” pinta Mama Nella.

“Oh, nggak usah tante! Saya sudah sarapan tadi.” Jawab Riko.

“Itu kan tadi, sekarang kan belum. Temanin aku sarapan bentar aja, aku laper banget nih belum sarapan.” Bujuk Nella agar Rico mau menemaninya sarapan.

“Hmm... Oke deh.” Jawab Rico.

“Ya udah kalian makan dulu! Mama mau istirahat dulu di kamar.” Tutur Mama Nella sambil beranjak menaiki tangga menuju kamarnya.

“Aku temanin kamu makan, tapi abis itu kamu temanin aku jalan ya!” pinta Rico sambil berjalan menuju ruang makan.

“Ia, makan dulu lah. Emangnya mau jalan kemana sih?” tanya Nella.

“Ntar juga kamu tau.” Jawab Rico.

“Ya udah makan dulu gih!” pinta Nella sambil menyendok makanan ke piring Rico.

Rico hanya memperhatikan gerak-gerik Nella. “Udah kayak bini aja ni anak. Seumur-umur dekat ma cewek nggak pernah makan kayak gini. Biasanya makan di cafe atau restoran yang tinggal makan doank.” Batin Rico dalam hati.

“Kok ngelamun? Makan donk!” pinta Nella membuyarkan lamunan Rico.

Rico segera menyantap makanan yang telah disiapkan oleh Nella.

“Abisin ya!” pinta Nella.

Mata Rico membelalak ketika baru meyadari piringnya penuh dengan nasi, ikan, ayam dan sayuran. “Serius Nel? Ini banyak banget. Perutku nggak sanggup makan sebanyak ini.”

“Tadi aku tanyain kamu diam aja. Coba dulu deh abisin!” pinta Nella.

“Ah, kamu mau nyiksa aku ya Nel? Aku baru aja makan tau!” celetuk Rico.

Nella hanya tersenyum mendengar celetukkan Rico.

“Ya dicoba dulu deh! Kalau nggak abis berarti aku nggak bisa temanin kamu jalan.” Tutur Nella.

“Huft... ngancam nih ceritanya. Ia deh aku abisin!”

Nella tersenyum dan dengan susah payah Rico menghabiskan nasi segunung yang diberikan Nella.

“Akhirnya habis juga.” Rico menghela nafasnya dan terduduk tak berdaya karena kekenyangan.

Nella tersenyum keki melihat ekspresi wajah Rico yang sedang menahan perutnya yang sesak. “Sampai segitunya ya kamu kalau mau ngajak jalan cewek. Pantes aja semua cewek pada klepek-klepek.” Celetuk Nella perlahan.

“Ah, kamu nih, aku nggak pernah ngajak jalan cewek. Mereka yang ngajakin aku jalan. Jalan sekarang yok!” pinta Rico.

“Sekarang?” tanya Nella meyakinkan.

“Ia, sekalian aku keluarin keringat biar kenyangnya ilang.” Jawab Rico.

“Mau jalan kaki?” tanya Nella.

“Nggak lah. Mobilku mau ku kemanain?” sahut Rico. “Ayo nah!” ajaknya mulai merengek.

“Manja banget sih kamu kayak anak kecil aja.” Tutur Nella sambil beranjak dari ruang makan.

“Kita mau ke mana sih?” tanya Nella ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

“Ke mana ya enaknya?” tanya Rico sambil melajukan mobilnya.

“What? Kamu mau ngajak pergi tanpa tujuan?” sentak Nella.

“Ada lah tujuannya. Cuma aku bingung kamu suka yang mana. Kamu sendiri sukanya ke mana? Ke Mall, ke Cafe, ke Bioskop, ke kolam renang, ke GOR, ke...” ucapan Rico terhenti.

“Ke rumah aku!” sela Nella.

“Kok ke rumah kamu lagi sih? Kita ke...”, tiba-tiba ucapan Rico terhenti kembali saat mendengar suara terompet di bawah tempat duduknya. Lebih tepatnya bukan terompet, tapi suara kentut yang mirip dengan suara terompet Tahun Baru.

Nella menahan tawa melihat wajah Rico yang tiba-tiba berubah memerah.

“Aduh... malu-maluin banget sih aku ini. Nella pasti ilfil banget sama aku.” Batin Rico tak karuan.

“Kamu sakit perut ya?” tanya Nella.

Rico hanya terdiam tanpa kata.

“Kita cari toilet terdekat aja deh. Aku nggak tega lihat muka kamu udah pucat kayak gitu. Kalau udah kebelet nggak usah di tahan. Kalau beol di celana kan nggak lucu Ric.” Tutur Nella.

“Di mana Nell? Aku udah nggak bisa mikir lagi nih. Udah lemes banget aku.” Tutur Rico Lirih.

“Astaga... ma’af ya aku bikin kamu kayak gini. Kamu tepikan mobil kamu deh, biar aku yang bawa! Bahaya kalau kamu maksa bawa mobil.” Tutur Nella.

“Oke.” Rico segera menepikan mobilnya dan bergantian tempat duduk dengan Nella.

Nella segera melajukan mobil Rico ke sebuah pusat perbelanjaan terdekat. Nella memasukan mobilnya ke tempat parkir gedung tersebut dan mengajak Rico masuk ke toilet.

“Masih kuat nahan bentar aja kan?” tanya Nella sambil bergegas menuju ke toilet.

Rico mengangguk dan mengikuti langkah Nella.

“Aku tunggu di sini ya?” tutur Nella setelah sampai di depan toilet.

Rico mengangguk dan segera masuk ke toilet. Beberapa menit kemudian Rico keluar dari toilet.

“Udah lega?” tanya Nella.

“Udah. Thank’s ya!”

Akhirnya Nella mengajak Rico ke tepi pantai yang penuh dengan batu karang.

“Ma’af ya aku bikin kamu jadi kayak gini. Seharusnya tadi nggak usah kamu paksain makan kalau emang nggak kuat makan.”

“Aku harus maksain diri aku sendiri supaya aku bisa jalan bareng sama cewek yang udah bikin aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.” Jawab Rico.

“Aku nggak percaya. Cinta kamu kan udah banyak di mana-mana.” Sahut Nella.

“Ya ampun... Demi Tuhan... Demi Allah... Aku nggak pernah ngomong cinta sama cewek manapun. Mereka semua nggak ada yang istimewa buat aku. Cuma kamu yang terlihat istimewa. Kamu itu beda!” tutur Rico.

Nella tersenyum kecil. “Makasih kalau kamu udah anggap aku istimewa.”

“Nell, ijinkan aku untuk pertama kalinya bilang cinta sama wanita, dan aku mau wanita itu kamu!”

“Ma’af Rico, aku nggak cinta sama kamu.” Jawab Nella.

“Bohong! Aku udah tau semuanya Nell, Adit udah cerita banyak sama aku, aku juga udah tau semuanya dari Maya, sahabat kamu dari kecil. Dan aku juga udah tahu semua foto-foto dan tulisan-tulisan yang kamu tulis di dinding kamar kamu.” Tutur Rico.

“Kamu masuk kamar aku? Gimana caranya?” tanya Nella kaget.

“Tuhan tahu cara menyatukan cinta sejati. Selalu ada jalan untuk itu Nell. Dan aku mohon kamu nggak nolak aku!”

“Aku nggak punya alasan buat terima kamu Ric, aku tahu siapa kamu.Kamu nggak pernah serius berhubungan sama cewek. Aku cuma nggak mau jadi bagian dari permainan hidup kamu.” Ucap Nella pelan.

“Aku tahu kamu akan ngomong seperti ini Nell. Satu hal yang perlu kamu tahu kalau aku serius,ucap Rico sambil merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berbentuk hati dan berwarna keemasan. “Kamu mau nggak jadi pendamping hidupku? Jadi ibu dari anak-anakku nanti?” tanya Rico sambil membuka kotak yang berisi cincin.

Nella terkejut dan meneteskan air mata karena terharu. “Kamu beneran serius?” tanya Nella yang masih tidak percaya.

“Mau kan?” tanya Rico sambil meraih jemari tangan Nella dan menyematkan cincin di jari manis Nella. Rico memeluk erat tubuh Nella “Aku serius cinta kamu.” Bisik Rico di telinga Nella. Sementara Nella terdiam dalam tangis kebahagiaan tanpa bisa berkata apapun.

 

Thanks udah baca cerita-ceritaku ...!


Baca terus cerita-cerita yang lainnya ya!



Much Love,

@rin.muna

Wednesday, February 10, 2021

Cerpen | I Am Sita

 I AM SITA

pixabay.com


Sita berjalan perlahan menyusuri jalan serapak dengan ransel di punggungnya. Setiap hari libur sekolah, gadis kelas 2 SMU ini selalu menyempatkan waktu untuk pergi mengunjungi adik-adik angkatnya. Butuh waktu satu jam untuk memasuki dusun tempat adik-adiknya tinggal.

“Kak Sita datang...!” teriak salah seorang bocah cilik yang sedang asyik bermain gundu.

Hanya dalam hitungan detik, anak-anak mengerubungi Sita. Sila duduk bersila di sebuah pondok yang hanya beratapkan ilalang. Tempat yang sangat sederhana untuk berkumpul dengan adik-adik angkatnya. Sita mengeluarkan isi ranselnya, ada banyak buku tentang pendidikan dan alat-alat tulis yang dibagikan satu persatu kepada 16 adik-adiknya. Dengan ijin dari kepalam dusun, Sita mengajak anak-anak bermain sambil belajar setiap hari minggu.

Beberapa bulan kemudian...

“Sit, nanti sore ada waktu nggak?” tanya Randi.

“Waktu untuk apa?” tanya Sita.

“Ya untuk jalan sama aku lah.” Jawab Randi.

“Hmm.... jalan ke mana?” tanya Sita.

“Ke mana aja yang kamu suka.” Jawab Randi.

“Yang bener nih?” tanya Sita.

Randi mengangguk sambil memainkan matanya.

Sita tersenyum geli, “Oke, kalau begitu jemput aku di rumah jam tiga ya!”

Randi melompat kegirangan. Ini kesempatan pertama baginya setelah beberapa kali mendapat penolakan.

Randi datang ke rumah Sita tepat jam 3 sore.

“Ran, kamu bisa bawa mobil kan?” tanay Sita saat melihat Randi datang dengan sepeda motornya.

“Bisa lah, kan setiap hari ke sekolah juga bawa mobil.” Jawab Randi.

“Kita pakai mobil aku aja ya!” pinta Sita.

“Kenapa? Trus motorku ini bagaimana?” tanya Randi.

“Masukin aja ke garasi!” jawab Sita sambil menunjuk ke arah garasi rumahnya.

“Gimana sih? Padahal kan lebih romantis kalau pakai motor. Emang dasar nih cewek kaya, nggak mau banget kena debu dikit aja.” Celetuk Randi sambil memasukkan motor kawasakinya ke dalam garasi.

Sita tersenyum sambil memberikan kunci mobilnya pada Randi.

“Kita mau ke mana?” tanya Randi.

“Nggak usah banyak tanya! Nanti juga bakalan tau kok, ikutin aja petunjukku!” sahut Sita.

Mereka terdiam untuk beberapa saat.

“Kamu nggak salah kan?” tanya Randi kebingungan. Mereka sudah ada di jalur jalan luar kota. Randi semakin bingung saat mereka sudah jauh dari kota dan tidak ada tanda-tanda dari Sita untuk menepikan mobilnya. Randi melirik arlojinya, mereka sudah menempuh tiga jam perjalanan. Randi melihat ke arah Sita yang sedang asyik membuka-buka majalah fashion dengan earphone di telinganya. Randi memberanikan diri menyentuh pundak Sita.

“Ada apa?” tanya Sita yang tersadar dengan sentuhan Randi. Sita melepas earphone dari telinganya.

“Masih jauh kah?” tanya Randi.

Sita memandang ke sekeliling jalan. “Tiga jam dari sini kita sudah sampai.” Jawab Sita.

Randi menginjak rem tiba-tiba karena kaget mendengar jawaban Sita.

“Eh, kamu kalau ngerem kira-kira dong!” sentak Sita.

“Kamu juga kalau ngajak jalan kira-kira dong!” jawab Randi.

“Lho? Kan kamu sendiri yang menawarkan diri untuk jalan sama aku.” Sahut Sita.

“Tapi nggak sejauh ini, aku Cuma pengen menikmati malam mingguku bareng kamu. Setidaknya kamu punya waktu buat nonton bareng, makan bareng, dan pergi ke tempat-tempat yang romantis...” ucapan Randi terhenti saat jemari telunjuk Sita mendarat di bibirnya.

“Aku nggak pernah memimpikan kencan romantis sama siapapun. Sekarang kamu mau pergi sama aku atau pulang balik sendirian?” bisik Sita lembut di telinga Randi.

Randi terdiam beberapa saat, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menemani Sita. Randi kembali melajukan mobilnya, mereka berhenti sejenak di sebuah warung makan untuk mengisi perut mereka.

“Kamu yakin makan di sini?” tanya Randi melihat kondisi warteg yang sangat jauh di luar dugaannya.

“Kenapa? Kamu nggak mau makan di sini? Nggak ada restoran di sini.” Jawab Sita.

Randi tersenyum manis pada Sita. Randi tak menyangka kalau Sita yang selama ini dikenal sebagai gadis kaya yang sombong dan borjuis, ternyata bisa juga makan di sebuah warteg seperti ini.

“Pa kabar Mbah?” sapa Sita pada nenekn pemilik warteg.

“Ya Ampun Mbak Dewi. Sudah lama tidak kelihatan.” Sambut Nenek itu dengan hangat.

“Iya Mbah, saya masih sibuk beberapa bulan ini.” Jawab Sita.

“Lagi sibuk ngurusin proyek ya Mbak?” tanya si Mbah.

“Proyek apa Mbah?” tanya Randi yang keheranan. Karena Sita sangat akrab dengan orang-orang yang ada di sekitar situ. Semua orang sangat mengenal dan menghagrai Sita dengan nama Dewi.

“Lho? Mas ini ndak tau toh kalau Mbak Dewi ini yng suka nolong orang-orang di sini. Mbak Dewi yang buat...” ucapan Mbah terhenti karena panggilan Sita.

“Mbah, buatin nasi pecel ya!” pinta Sita memotong pembicaraan Mbah.

“Sit, ini ada apaan sih? Banyak tanda tanya di otakku. Kenapa kamu di panggil Dewi dan semua orang yang makan di warung ini kenal sama kamu sebagai Dew?” tanya Randi yang kebingungan.

“Kali ini kamu akan lihat sisi lain dari kehidupanku.” Jawab Sita singkat.

Randi masih tak mengerti dengan jawaban Sita. Masih ada ribuan tanda tanya di otaknya.

Tiba-tiba lelaki setengah baya menghampiri Sita. Sita tersenyum dan menyambut hangat kedatangan lelaki itu. Sita memperkenalkan Randi pada lelaki itu. Randi menyambut uluran tangannya dengan senyuman .

“Kenapa tidak memberi kabar terlebih dahulu kalau mau ke sini mbak?” tanya Pak Wiryo, lelaki setengah baya itu.

“Tidak apa-apa Pak, saya hanya ingin berkunjung saja kemari. Sudah lama sekali saya tidak berkunjung kemari. Bagaimana dengan proyeknya Pak? Apakah ada kendala?” tanya Sita.

“Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar Mba, semua warga turut berpartisipasi, jadi semua pekerjaan terasa lebih ringan. Warga sangat antusias dengan apa yang telah Mba berikan kepada mereka,” jawab Pak Wiryo.

“Baik, semuanya saya percayakan pada Bapak. Semoga saja semuanya bisa dikerjakan dengan baik. Kalau ada kendala langsung hubungi saya!” pinta Sita.

Dengan segala tanda tanya dan rasa penasarannya, Randi memberanikan diri untuk bertanya pada Pak Wiryo. Apa yang sebenarnya terjadi. Dan akhirnya, Randi mendapatkan jawaban setelah Pak Wiryo menceritakan semua yang telah Sita lakukan untuk warga kampung dan dusun-dusun tertinggal. Sita yang mengucurkan dana untuk pembangunan beberapa daerah tertinggal. Untuk pembuatan jalan akses ke kota, pembangunan beberapa sekolah, fasilitas desa.

“Semulia itukah hatimu, Sita?” batin Randi mengagumi sosok Sita yang ada di sampingnya kini. Sangat berbeda sekali dengan Sita yang ia kenal di sekolah. Sita yang angkuh, jutek, selalu bergaya hidup mewah dan galak sudah tidak di kenalnya kali ini.

Seusai makan, Pak Wiryo mempersilahkan Sita dan Randi untuk beristirahat di rumahnya karena hari sudah larut malam.

“Sampai kapan kita di tempat terpencil seperti ini?” tanya Randi.

“Sampai semuanya selesai,” jawab Sita.

“Apa itu Sit?” tanya Randi.

“Besok kamu akan tahu, segeralah tidur dan siapkan tenagamu untuk besok!” perintah Sita.

Akhirnya mereka masuk ke kamar masing-masing dan semua terlelap dalam hening malam kecuali Randi. Randi gelisah dengan suara jangkrik yang tak ada hentinya. Randi menutupi telinganya dengan bantal, namun tetap tidak berhasil. Randi membuka jendela kamar karena kepanasan dan kembali berbaring di ranjang. Baru saja matanya terpejam, ia di bangunkan oleh gigitan nyamuk.

“Aaaargh...!” teriak Randi membangunkan orang-orang di rumah itu.

Pak Wiryo, Istrinya dan Sita langsung menuju ke kamar Randi.

“Ada apa Mas Randi?” tanya Pak Wiryo dari balik pintu.

Randi membuka pintu kamarnya. “Pak, nggak ada AC ya? Nggak ada obat nyamuk? Panas Pak, banyak nyamuk juga. Nggak bisa tidur saya.” Omel Randi.

“Maaf Mas, ini di kampung. Tidak Ada AC di sini Mas, kalau obat nyamuk ada. Tolong bakarkan ya Bu!” tutur Pak Wiryo pada istrinya.

“Apa? Obat nyamuk bakar Pak? Saya nggak biasa pakai obat nyamuk bakar.” Sahut Randi.

Sita tertawa kecil melihat kelakuan Randi. “Manja banget sih kamu jadi cowok!” celetuk Sita.

“Aku bukan manja. Tapi aku nggak biasa hidup susah. Kamu kan tau sendiri kalau aku...” ucapan Randi terputus.

“Anak orang kaya?” sahut Sita. “Yang nggak bisa hidup susah, yang nggak bisa cari duit sendiri, yang semuanya bisa kamu lakuin cuma dengan nyuruh babu-babu kamu itu kan!” sambungnya sambil berlalu pergi.

“Bukan gitu Sit! Tapi...”

“Sudah lah Pak, nggak usah di urusin tuh anak! Kalau udah ngantuk banget pasti bisa tidur kok ” perintah Sita pada Pak Wiryo.

 

Keesokan harinya...

“Masih pagi kok sudah bangun Tuan?” sapa Sita saat Randi baru saja keluar dari kamarnya, padahl sudah jam 10 pagi.

“Makan apa kamu?” tanya Randi yang melihat Sita sedang asyik mengunyah makanan.

“Mandi dulu sana! Bauuu...” sahut Sita sambil menutup hidungnya.

Randi menciumi tubuhnya sambil mesam-mesem. “Nggak ada baju ganti”, celetuknya.

“Itu!” tunjuk Sita dengan dagunya ke arah meja yang di atasnya ada tas belanjaan.

Randi mengambil dan membukanya. Baju-baju cowok dan semuanya bermerek. Randi tersenyum sumringah melihatnya. “Ini kamu yang siapin?” tanya Randi.

Sita hanya mengangkat kedua alisnya sebagai tanda mengiyakan pertanyaan Randi.

“Pengertian banget ya kamu jadi cewek”, celetuk Randi sambil berlalu pergi.

Setelah Randi selesai mandi dan makan. Sita mengajak Randi untuk pergi ke sebuah tempat yang sudah lama tak di datanginya. Sepanjang perjalanan Randi hanya mengomel saja karena Sita mengajaknya berjalan kaki naik turun bukit dan melewati rawa. Namun Sita tak memperdulikannya dan tetap saja melanjutkan perjalanan.

“Sit, kamu lihat? Sepatu aku rusak kalau kayak gini, baju, celana. Ya ampun, ini mahal semua. Mamaku belikan di luar negeri.” Tutur Randi yang sudah kelelahan.

“Aku ganti tiga kali lipat.” Sahut Sita.

“Kalau gitu, kita istirahat dulu”, pinta Randi.

Sita tersenyum melihat Randi dan melemparkan sebotol minuman pada Randi. “Minumlah dan lanjutkan perjalanan! Tempat yang kita tuju sudah dekat.”

“Di mana?” tanya Randi sambil meneguk minuman dan membasuh wajahnya yang kepanasan oleh terik matahari.

“Di balik gunung itu.” Jawab Sita menunjuk gunung yang sangat jauh sekali.

“Apa!?” Randi kaget dan tak sadarkan diri.

Sita panik karena sebenarnya dia hanya bercanda. Kenapa pingsan betulan? Tapi ternyata Randi tidak pingsan sungguhan.

“Kamu ini jadi cowok ngerepotin banget sih”, celetuk Sita.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di tempat yang mereka tuju. Sudah ada Pak Wiryo yang menyambut mereka. Randi bingung melihat Pak Wiryo dan beberapa anak orang yang di temuinya semalam sudah ada di tempat itu.

“Tidak usah bingung Mas Randi. Tadinya Mba Dewi juga akan bersama kami pagi-pagi. Tapi Mas Randi masih tertidur pulas dan susah sekali dibangunkan. Makanya Mbak Dewi menunggu Mas Randi sampai bangun.” Tutur Pak Wiryo.

Randi terdiam mendengar penuturan dari Pak Wiryo. Begitu baiknya hati Sita, menungguku bangun hingga berjam-jam. “Aku sangat payah, bahkan untuk melakukan perjalanan seperti ini saja aku selalu mengeluh selama perjalanan”, batin Randi.

Ternyata Sita mengajak Randi ke sebuah tempat yang masih sangat terpencil dan sulit di jangkau. Ada sebuah perkampungan kecil, fasilitas yang tidak memadai dan tidak ada sarana pendidikan yang layak. Randi melihat sekeliling dan mencoba memahami kehidupan baru yang dikenalkan oleh Sita. Banyak hal yang dia pahami kali ini. Saat ia berbicara dengan anak-anak di kampung itu. Saat ia melihat bagaimana Sita bekomunikasi dengan orang-orang kampung itu. Seakan tak ada garis batas di antara mereka. Sita mampu berbaur dengan warga kampung itu. Randi hanya berdiri mematung memandang Sita yang sedang asyik bercengkerama dengan beberapa warga. Randi sama sekali tak tahu kalau di dalam mobil yang mereka bawa ada begitu banyak sembako untuk warga di sini. Pak Wiryo dan beberapa orang telah membantu Sita untuk memasokkan barang-barang itu ke kampung ini dengan di pikul.

“Mbak, alatnya sudah datang.” Tutur Pak Wiryo pada Sita.

“Langsung dikerjakan saja Pak!” perintah Sita.

Dengan bantuan dan partisipasi beberapa warga, akhirnya Sita dan beberapa warga mampu membuka jalan akses ke kampung itu. Sehingga warga tidak harus kesulitan berjalan kaki untuk bisa menjual hasil pertanian mereka. Sita menggunakan beberapa alat berat untuk dapat membuka jalan. Semuanya tak akan selesai dalam waktu satu hari, Pak Wiryo telah mendapatkan kepercayaan dari Sita untuk dapat menjalankan semuanya.

“Ibu-Ibu, Bapak-bapak, Adik-adik semuanya, saya mohon pamit. Saya tidak bisa berlama-lama di tempat ini karena saya masih banyak urusan.” Pamit Sita pada warga yang sedang mengerubunginya.

“Terima kasih ya Bu Dewi. Berkat Ibu, Kampung kami ini menjadi lebih maju.” Tutur seorang kepala dusun di tempat itu.

Sita dan Randi segera bergegas dari tempat itu. Mereka harus segera pulang karena harus kembali ke bangku sekolah sebagai seorang murid.

“Kamu lagi kampanye politik kah?” tanya Randi.

“Maksudnya?” tanya Sita tak mengerti.

“Kamu sampai rela ngehabisin uang banyak untuk pembuatan jalan di kampung, pembangunan sekolah-sekolah dan sebagainya. Bukannya itu urusan pemerintah?” tutur Randi.

“Apa? Urusan pemerintah? Pemerintah itu lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri Ran. Kalau Pemerintah memperhatikan rakyatnya. Nggak akan ada tempat yang masih tertinggal seperti itu. Apa kamu nggak miris melihat kehidupan mereka? Aku punya uang lebih untuk membantu mereka. Dan tidak harus duduk di bangku pemerintahan kalau memang kita mau membantu warga yang kekurangan.” Ucap Sita.

“Aku nggak nyangka kamu punya hati sebaik ini, seandainya kamu di sekolah seperti ini tak akan ada penilaian buruk tentang dirimu.”

Sita memutar bola matanya. “ Biarlah. Anak-anak di sekolah pun semuanya hampir sama. Ingin meneunjukkan kemewahan yang mereka miliki. Aku saja yang beruntung di antara mereka semua karena aku punya yang lebih dari mereka semua.” Tutur Sita.

Randi tersenyum memandangi wajah Sita yang sebenarnya tampak kelelahan. Namun, Sita masih punya jutaan semangat untuk membantu orang-orang di sekelilingnya.

“Kamu nggak dimarahi sama Ayah kamu kalau sampai pergi sejauh ini?” tanya Randi

“Marah kenapa? Ayahku di luar negeri dan dia tahu semua kegiatanku. Aku yang membantu bisnis ayah di sini. Dia sedang sibuk mengurus bisnisnya di Kanada.” Jawab Sita. Sedangkan Mama Sita sudah meninggal saat Sita berusia 7 tahun. Mamanya lah yang menjadikan inspirasi bagi Sita. Mama Sita salah satu anggota dewan pemerintahan yang banyak memberikan partisipasi dalam pembangunan daerah terpencil. Namun berbeda degan Sita. Sita sama sekali tak mau duduk menjadi anggota dewan pemerintahan seperti ibunya. Sita ingin jadi pengusaha seperti ayahnya dan tetap ingin membantu warga lain seperti ibunya tanpa duduk sebagai anggota dewan.

“Jadi? Hidupmu begitu bebas.”

“Tapi aku tidak terlibat dalam pergaulan bebas.” Pootong Sita.

Randi tersenyum menanggapinya.

“Aku tahu itu Sit, kamu wanita yang sangat mulia. Seperti ibu kamu.”

Sita tersenyum sambil menyandarkan tubuhnya di kursi mobil, memasang earphone di telinganya dan bernyanyi mengikuti alunan musik santai dari earphonenya. Randi hanya tertawa kecil melihat kelakuan Sita.

“Ini pelajaran buat aku. Sebuah pengalaman terburuk dan aku ingin mengulanginya kembali.” Tutur Randi sambil tersenyum.

Akhirnya mereka pulang dan kembali memulai aktifitas di sekolah seperti biasa.

 

 

 

 

Puisi "Bayanganku Pun Tak Tahu"

 

BAYANGANKU PUN TAK TAHU

pixabay.com

 

Karya : Walrina/Rin Muna

 

Tak satupun orang tahu saat aku bersedih

Tak ada mata yang melihat raut dukaku

Tak ada bibir yang berucap menghiburku

Tak ada tangan yang usap air mataku

 

Bahkan bayanganku pun tak tahu

Kapan aku jatuhkan air mata itu

Kapan hatiku merasa pilu

Kapan batinku terasa ngilu

 

Dan kaupun takkan pernah tahu

Bagaimana rasa hatiku

Saat ku tahu bahwa dirimu

Selamanya takkan jadi milikku....

 

Samboja, 6 Agustus 2011

 

Dongeng "Asal-Usul Jamur Merang"

 


pixabay.com


ASAL USUL JAMUR MERANG

 Karya : Walrina / Rin Muna



Di sebuah desa tinggal sepasang petani yang memiliki anak cantik jelita bernama Arjana. Arjana adalah gadis yang sangat lembut, baik hati dan selalu peduli pada siapapun. Ia sering menolong orang yang sedang kesusahan tanpa pandang bulu. Sifatnya yang ramah banyak disenangi oleh anak-anak dan pemuda yang ada di negeri itu. Bahkan kecantikan dan kebaikan hatinya sudah dikenal oleh warga di desa-desa sebelahnya. Banyak sekali pemuda yang mengagumi kecantikan dan kebaikan hati Arjana. 

Namun, Arjana hanya terpikat pada pemuda bernama Ranggida. Ranggida memiliki sifat yang pemberani, baik hati dan bijaksana. Penduduk desa sangat menyegani Ranggida bukan hanya karena dia anak Kepala Desa. Tapi juga karena Ranggida memang memiliki sikap bijaksana dan mampu merangkul semua penduduk desa dalam hal apapun.

Suatu hari, terdengar kabar bahwa Raja Asmanan meninggal dan tahtanya digantikan oleh anaknya yang bernama Murgantara . Raja Murgantara memiliki sifat tamak, kasar, egois dan sangat ambisisus. Seluruh desa yang awalnya hidup dengan tentram dan damai tiba-tiba berubah menjadi desa-desa yang tak lagi nyaman untuk dihuni. 

Penduduk desa selalu  merasa  ketakutan dengan kekuasaan Raja Murgantara. Warga desa dipaksa untuk memberikan hasil panen ke kerajaan dengan jumlah yang sangat tinggi. Banyak warga desa yang kelaparan dikarenakan hasil panen yang mereka miliki tidak cukup untuk bertahan hidup hingga panen berikutnya.

“Apa ini!? Kurang banyak!” bentak Raja Murgantara pada petani yang tidak mampu untuk memberikan hasil panen lebih banyak.

“Maafkan kami Tuan, hasil panen kami hanya ini saja.” Jawab sang petani.

“Bohong...! Geledah rumahnya dan ambil semua yang ada di sana!” kata Raja.

“Jangan tuan, hanya itu saja yang kami punya untuk bertahan hidup sampai panen tiba.” Ucap petani ketika melihat satu karung gabah yang ia sisakan untuk makan keluarganya di ambil juga.

“Panen berikutnya harus lebih banyak lagi atau ku penggal kepala kalian!” kata Raja yang dzalim.

Semua warga desa geram melihat hal itu namun tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Ranggida dan Arjana menyusun sebuah rencana agar warga desa bisa selamat dan tidak kelaparan lagi. Ia meminta warga desa untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan hasil panen padi. Bukan hanya padi saja, Ranggida juga menyarankan warga untuk menanam singkong, gandum dan sayuran lain agar mereka memiliki hasil panen lebih untuk bertahan hidup. Namun Raja Murgantara justru semakin menjadi ketika melihat hasil panen penduduk desa melimpah. Dia menaikkan lagi pajak dan memaksa para petani untuk memberikan hasil panen yang lebih lagi.

Ranggida semakin geram dengan tingkah sang Raja yang sangat dzalim pada penduduk desa.

“Ini tidak bisa dibiarkan! Raja Murgantara sudah sangat keterlaluan” kata Ranggida.

“Lalu kami harus bagaimana?” tanya warga ketika sedang berkumpul.

“Kita harus melawan!” jawab Ranggida.

“Bagaimana bisa kami melawan sedang kami tak punya senjata? Prajurit Raja sangatlah banyak dan kami tidak mungkin bisa melawannya.”

Ranggida hanya terdiam dan terduduk lesu, memikirkan bagaimana caranya agar Raja yang dzalim itu tidak semena-mena. Ayah Ranggida sudah beberapa kali menemui Raja dan mencoba membujuk agar tidak memperlakukan warga desa dengan semena-mena. Namun, Ayah Ranggida tidak pernah berhasil dan Raja justru semakin dzalim.

Ketika musim panen tiba, Raja Murgantara mendatangi sawah milik orang tua Arjana yang baru usai panen.

“Hei Petani... Aku dengar kau punya anak gadis yang cantik jelita. Serahkan anak gadismu itu padaku!” seru Raja.

“Tidak Tuan...! Ambillah seluruh hasil panen kami, asal jangan ambil anak kami!” jawab Ayah Arjana.

Raja geram mendengar perkataan petani itu dan menghunuskan pedang di leher ayah Arjana.

“Kau berikan anak gadismu atau kupenggal kepalamu sekarang juga!” pinta Raja dengan paksa.

Tubuh petani itu bergetar karena ketakutan, namun ia juga tidak ingin anak satu-satunya diambil oleh raja.

Arjana tidak tega melihat ayah dan ibunya tak berdaya dihadapan Sang Raja.

“Bawalah aku tuan!” ucap Arjana yang muncul dari sebuah pondok kecil.

Raja memandanginya sambil tersenyum senang. Ia melihat betapa cantiknya anak petani itu. Rambutnya yang hitam dan panjang, kulitnya putih dan parasnya sangat cantik membuat Raja ingin segera mempersuntingnya.

Ayah dan ibu Arjana tersungkur dengan berjuta-juta kesedihan melihat anaknya dibawa paksa oleh Sang Raja. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

“Tunggu!” tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkah Raja dan Arjana yang akan kembali ke kerajaan.

“Siapa Kau?” tanya Raja Murgantara.

“Aku kekasih Arjana! Tidak akan kubiarkan kau membawanya!” kata Ranggida dengan sangat lantang.

“Berani sekali kau menantangku!?” sentak Raja geram.

“Aku tidak takut padamu. Sekalipun nyawaku taruhannya. Kau sudah kejam kepada semua penduduk desa. Kau Raja yang dzalim!”

Raja semakin geram, matanya memerah dan wajahnya penuh dengan amarah. Ia memerintahkan para prajurit untuk membunuh Ranggida. Namun, semua prajurit terkalahkan di tangan Ranggida. Ranggida sangat pandai bela diri sehingga dia bisa melawan para prajurit Raja dengan mudah. Melihat hal itu Sang Raja mulai ketakutan dan mencoba menghunuskan pedang panjangnya dari belakang saat Ranggida masih berperang melawan dua prajurit yang masih tersisa. 

Arjana yang menyadari hal itu mencoba menghalangi Raja Murgantara. Alhasil, Arjana tertusuk pedang panjang yang dihunuskan oleh Sang Raja demi melindungi Ranggida. Raja Murgantara tertegun sesaat melihat Arjana yang cantik jelita itu tertusuk oleh pedangnya. Darah mengucur deras dari perut Arjana.

“Tidak....!” teriak Ranggida yang kemudian menangkap tubuh Arjana yang sudah tak berdaya. Ia menggendongnya dan meletakkannya di atas tumpukan merang.

Sementara Sang Raja mencoba berlalu tanpa rasa bersalah. Ia tinggalkan para prajurit yang mati bersimbah darah di atas tanah. Ia tinggalkan Arjana yang cantik jelita bersama dengan tangisan para warga desa.

Ranggida tidak bisa tinggal diam, ia segera mengambil anak panah dan busurnya yang kuat. Dengan jarak lebih dari 200 meter, satu anak panah Ranggida tepat menusuk punggung Raja Murgantara yang akan naik ke kudanya. Satu lagi, satu lagi dan satu lagi hingga Sang Raja tersungkur di tanah karena beberapa anak panah yang menusuk ke jantungnya.

Hujan datang dengan sangat deras kala itu. Ranggida masih memeluk tubuh Arjana di atas tumpukkan merang padi sambil terus menangisinya. Tiba-tiba Arjana menjelma menjadi jamur yang sangat cantik, putih dan wangi. Warga berlomba-lomba mengambilnya untuk dijadikan lauk makan. Semenjak itu warga desa selalu menunggu datangnya jamur merang dan mengambilnya untuk dimasak sebagai tanda syukur atas pengorbanan Arjana.

Sementara tubuh Sang Raja juga menjelma menjadi jamur tanah yang hitam, bau, dan beracun. Tidak ada satupun orang yang berani menyentuh atau mengambil jamur itu.

 

 

 Cerita ini terlah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam Antologi Dongeng berjudul "Janji Seekor Tikus dan Semut"

 


______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

 

 

                               

 

 

 

 





Thursday, February 4, 2021

2 Tahun Bersama Mamuja - Menjaga Kebersamaan Itu Tidak Mudah

 


03 Februari 2021.

Pagi-pagi sekali, tiba-tiba group dikejutkan dengan peringatan hari ulang tahun MAMUJA yang muncul di Facebook.
Dari delapan orang anggotanya, nggak ada yang ingat sama hari ulang tahun Mamuja kali ini. Entah, mungkin karena kesibukan masing-masing. Juga mungkin karena aku pernah bilang mau merayakannya saat peresmian Rumah Literasi Kreatif. Jadi, emang nggak diingat-ingat, hahaha.

Mamuja adalah salah satu komunitas divisi Literasi Finansial yang ada di taman bacaku. Aku bentuk satu tahun setelah aku mendirikan Rumah Literasi Kreatif pada 18 Februari 2018.


Alhasil, karena nggak ingat .. cuma beli kue ulang tahun doang. Itupun karena aku sekalian keluar nyari kayu. 

Akhirnya, kami harus merayakan tahun kedua kami dengan cara yang sangat sederhana. Mmh ... sebelumnya juga sangat sederhana, sih. Kami ini orang kampung, makan daun singkong dan iwak asin saja sudah merasa mewah. Hehehe.

Meski dalam kesederhanaan, tapi kami tetap bersama-sama. Menjadi teman dalam suka dan duka. Meski tak punya banyak uang, asal bisa bersama-sama menikmati kebersamaan.

Tak terasa, dua tahun sudah aku membersamai Mamuja. Salah satu komunitas ibu-ibu kreatif yang kami bentuk secara mandiri. Bergerak dengan dana pribadi yang kami mampu untuk tetap bisa berkarya dan menginspirasi masyarakat di sekitar.

Kami bukan satu-satunya komunitas di desa ini. Kami hanya sebagian kecil yang ada di sini. Tidak banyak yang bisa kami lakukan, hanya bisa mencoba menjadi orang yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain.

Setiap kali melihat semangat ibu-ibu ini ... aku selalu terharu. Banyak suka dan duka yang sudah kami lalui. Mungkin, orang hanya melihat sukanya saja. Tapi tidak tahu bagaimana kami berjuang hingga sampai di titik ini.

Dengan banyak hal yang harus kami hadapi, mereka tetap solid, tetap bersama dan menemani langkahku berjuang hingga detik ini. 

Terkadang, ada sebuah pertanyaan yang kerap mendera. Untuk apa aku memperjuangkan orang lain hingga sampai seperti ini?

Jawabannya, karena kebahagiaan dan obat dari rasa sakit yang teramat dalam. Aku bahagia melihat orang lain, ingin membuat mereka bisa merasakan kebahagiaan. Sebab, merasakan hidup menderita dan dikucilkan di masyarakat adalah salah satu hal yang membuat hidup tidak nyaman.

Awalnya, aku sudah merasa tidak percaya diri saat aku nggak tahu lagi harus membawa mereka ke mana. Berkoordinasi dengan pemerintah pun tidak akan ada hasilnya untuk komunitas pengepul sampah yang kecil seperti kami. Kalau menunggu bantuan, tidak akan ada kegiatan yang kita buat. Akhirnya, kami berinisiatif untuk mengumpulkan uang kas yang akan kita gunakan untuk kesejahteraan anggota nantinya.

Alhamdulillah ... hanya dengan modal 5rb per pertemuan ... sekarang sudah bisa memiliki uang kas di atas 2 juta rupiah dan menjadi modal bagi Mamuja untuk mulai menjadi pelaku ekonomi kreatif. Saat ini, kami tidak perlu lagi memungut uang kas dari anggota dan tetap bisa berkarya, tentunya juga menghasilkan finansial.

Harapan saya, orang-orang ini tidak hanya membesarkan komunitas ini. Tapi juga bisa menjadi besar karena komunitas. Sebab, aku baru berhasil ketika mereka bisa merasakan manfaatnya, merasakan ilmu yang mereka dapat di Rumah Literasi Kreatif benar-benar berguna.

Untuk bisa menyamaratakan visi dan misi tidaklah mudah. Dari seratus orang, mungkin hanya ada 1 orang yang berjiwa sosial dan peduli dengan orang lain. Mereka adalah bagian dari orang-orang itu dan saya bersyukur dipertemukan dengan ibu-ibu muda yang begitu hebat.

Sebab, Mamuja memanglah sebuah komunitas sosial. Lebih banyak kegiatan sosialnya daripada kegiatan ekonominya. Tapi ... dengan kegiatan sosial kita bisa mendapatkan banyak hal. Hal yang tidak akan bisa dinilai dengan uang.

Uang sebanyak apa pun, akan habis dalam sekejap. Tapi ilmu yang kita dapat walau secuil, akan berguna untuk bekal dunia dan akhirat. 
Dengan berkegiatan sosial, kita mengenal banyak orang yang beragam. Memiliki profesi dan pola pikir yang berbeda pula. Bisa mendapatkan banyak ilmu yang mungkin saja tidak bisa dinilai dengan uang. Mendapatkan banyak pengalaman yang mungkin saja tidak bisa dinilai dengan harta yang hanya titipan.

Terima kasih Mamuja ...!
Kalian mengajarkan banyak hal padaku.
Mengajarkan kebersamaan, kekeluargaan.
Mengajarkan tentang bagaimana aku bisa menerima kekurangan orang lain.
Mengajarkan tentang bagaimana aku bisa menunjukkan kekuranganku pada orang lain.
Mengajarkan tentang sabar dan ikhlas dalam menghadapi hidup.
Mengajarkan tentang kekuatan dan keuletan dalam menjalani sesuatu.
Mengajarkan tentang semangat saat aku berada di titik terakhir hampir menyerah.
Mengajarkan tentang cinta dan kasih sayang yang bisa tumbuh meski tak punya pertalian darah.

Aku bahkan belum memberi apa-apa. Apa yang kuberikan tak sebanding dengan apa yang kuterima. Kalian sudah memberikan begitu banyak hal untukku. Pengalaman hidup yang tidak akan bisa aku beli dengan semua uang yang kuhasilkan seumur hidupku.

Terima kasih ... selama 2 tahun bersama dan tetap menjaga kebersamaan.
Suatu hari ... anak-anak kita akan bercerita tentang kita di masa depan. 
Tentang bagaimana kisah kita tertulis hingga 1000 tahun kemudian ...











Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas