Tuesday, October 13, 2020

7 Cara Meningkatkan Reviewer Novel dalam Aplikasi Novelme / Novelaku

 

 


Hai, temen-temen semua. Apa kabarnya nih? Maaf banget karena kesibukan aku menulis novel dan beberapa kegiatan sosial, bikin rumahku yang satu ini selalu kosong.


Nah, kali ini aku nongol sejenak buat ngasih tips ke kalian semua.

Tips apa ya? Emang aku ini siapa? Kok, ngasih tips segala? Hahaha ...

Biarlah, aku penulis sampah ini akan sangat bahagia kalau kamu bisa baca tulisanku ini sampai akhir. Eeeaaaak!


Karena aku adalah salah satu penulis Best Seller dan Ambassador di Novelme. Aku ditugasin buat membimbing bayi-bayi di Novelme biar bisa jadi penulis yang baik dan benar. Kalau ada yang nggak baik, maafkan kegagalanku ini. (Ambil yang baik, buang yang jauh)


Kali ini aku mau  bahas soal pembaca dan reviewer novel kita yang ada di aplikasi Novelma. Mmh, sebenarnya semua aplikasi hampir sama saja sih. Tapi, menurutku aplikasi Novelme adalah tempat di mana para pembaca menghargai karya penulisnya.


Reviewer di aplikasi itu sangatlah penting walau subscriber/follower buku kita cuma sedikit. Review dari pembaca bisa menjadi salahs atu daya tarik pembaca lain untuk membaca karya kita. 


Supaya novel kita dibaca dan di-review oleh pengguna Novelme, aku punya beberapa cara yang bisa kalian coba juga, loh. Aku sudah mencobanya dan berhasil membawa Perfect Hero ke Top Best Seller.

Apa aja sih caranya?

Simak di bawah ini ya!


1. Buat Cover Menarik

Cover novel itu ... udah kayak kemasan produk UMKM. Tampilannya harus menarik dulu. Supaya, orang pensaran untuk lihat-lihat, kemudian membelinya. Buat cover semenarik mungkin untuk mendapatkan viewers dan star vote. Karena cover adalah kesan pertama untuk buku kamu. Buatlah orang lain jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat cover novel kamu. Ilustrasi yang sesuai dan pemilihan font yang baik akan berpengaruh pada cover novel kamu. Meski ada quotes legendaris “Don’t judge book by its cover!”, jangan lantas membuat cover asal-asalan.

 

2. Judul yang Menjual dan Deskripsi yang Menarik

Judul novel itu ...  kayak nama produk yang akan kita jual. Harus enak dilihat (eye catching), unik, bikin penasaran dan beda dari yang lain. Meski sulit, tapi masih bisa mengusahakan untuk membuat judul novel kita semenarik mungkin. Begitu juga deskripsi novel kita. Harus bisa membuatnya menarik dan membuat penasaran orang yang membacanya.

(baca; THEN LOVE & PERFECT HERO)


3. Rajin Membaca dan Mengapresiasi Karya Author Lain

Rajin membaca dan berkomentar di karya author lain termasuk salah satu cara untuk mem-branding nama kita di Novelme. Kalau kita rajin berkomentar, tentunya author lain akan mengenal kita. Begitu juga dengan pembaca, pembaca akan mudah mengingat nama kita karena kita sering memberikan review pada novel orang lain. Usahakan, tetap harus membaca minimal 1 bab supaya komentar kita tidak melenceng dari apa yang ditulis oleh penulis tersebut. 


4. Sapa Mereka (Para Pembaca) yang Telah Memberikan Review

Nah, kalau kita mendapatkan komentar dari pembaca, kita harus bisa menyapa balik pembaca itu. Aktif aja menyapa. Karena mereka itu senang kalau disapa sama authornya dan akan menjadi pembaca setia novel-novel kita. Enak 'kan kalau udah punya pembaca setia. Setiap mau bikin karya baru. Sudaha ada yang menunggu karya-karya kita.


5. Rutin Update Cerita

Cara yang satu ini sangat ampuh untuk meningkatkan jumlah pembaca di Novel kita. Kalau kita rutin update cerita, pembaca akan menunggu setiap harinya. Kalau tidak rutin update cerita, pembaca lama akan lari dan sulit untuk menemukan pembaca baru.


6. Gabung di Komunitas


Ada banyak banget komunitas-komunitas NovelMe di sosial media, seperti yang di WhatsApp. Bergabunglah di komunitas yang menurut kamu cocok. Tapi jangan sekedar gabung. Sesekali kamu harus aktif berdiskusi di dalam komunitas itu. Jangan cuma sekedar promosi-promosi cerita sendiri.

 

Biasanya di dalam group juga ada pengguna NovelMe yang berbaik hati menawarkan jasa merekomendasi cerita. Jangan sia-siakan kesempatan itu, coba tawarkan karya kamu.


 

 7. Share ke Media Sosial

Cara paling mudah meraup banyak pembaca adalah dengan membagikan setiap bagian cerita ke jejaring sosial dan surat elektronik. Jika mengakses melalui website di desktop (komputer/laptop), Dan biar sharingnya efektif, lakukan di waktu-waktu pengguna media sosial sedang banyak yang online. Tapi sebaiknya bagikan sewajarnya saja. Kalau terlalu sering bisa-bisa kita malah dianggap nyepam dan dihapus dari daftar pertemanan.

 

Inilah 7 Cara Meningkatkan Reviewer Novel yang bisa kamu coba. 

Semoga bermanfaat.

 

Salam kreatif, salam menuulis.

 

Much Love,

 

Vella Nine a.k.a Rin Muna

 

______________________________________________
🅒Copyright. 

Dilarang mengutip atau menyebarluaskan konten blog ini tanpa mencantumkan link atau kredit penulis.

 

Tuesday, October 6, 2020

Terus Terendam Banjir, Warga Desa Beringin Agung Gotong Royong Membersihkan Parit

 

Minggu, 04 September 2020

 

Warga Desa Beringin Agung bergotong royong serempak membersihkan selokan-selokan dan parit dari RT.01 hingga RT.11. Pasalnya, hujan deras yang mengguyur desa seminggu sebelumnya menyisakan kegelisahan bagi warga desa.

Rumah-rumah warga yang berada di daerah rendahan, terendam banjir walau intensitas hujan deras sama seperti hujan-hujan sebelumnya. Beberapa titik memang menjadi langganan banjir di desa ini saat intensitas hujan yang turun sangat deras. Namun, banjir kali ini mulai membuat warga gelisah karena lebih parah dari biasanya dan begitu cepat merendam rumah-rumah warga.

Kepala Desa, Ketua BPD, Ketua LPM, Karang Taruna dan semua warga terus meninjau banjir di beberapa titik untuk mengetahui penyebab banjir kali ini. Dari peninjauan yang dilakukan, memang Desa Beringin Agung tidak memiliki sistem drainase yang baik. Banyak parit yang sudah dangkal bahkan sudah tidak seperti parit lagi. Sehingga, kondisi parit yang ada tidak mampu menampung curah hujan yang berlebih. Akibatnya, meluap dan merendam rumah-rumah warga di beberapa titik.


 

Tidak hanya rumah warga, sawah-sawah penduduk juga menjadi korban dari intensitas hujan yang padat.

Oleh karena, hari Minggu lalu ... semua warga bergotong-royong membersihkan parit-parit di setiap RT agar warga desa bisa beristirahat dengan tenang saat hujan deras mengguyur Desa Beringin Agung.


 

Selain karena parit yang tidak berfungsi sebagai sistem drainase yang baik, penggundulan hutan juga menjadi salah satu penyebab cepatnya air masuk-masuk ke dalam rumah warga. Karena saat ini, hutan-hutan yang ada di sekitar Desa Beringin Agung sudah beralih menjadi lahan pemukiman dan tambang batu bara.


 

Harapannya, warga Desa Beringin Agung bisa memilih solusi yang baik agar tidak mengakibatkan banjir yang lebih parah lagi saat hujan deras. Hal ini, tentunya menjadi PR semua pihak. Bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tapi menjadi tanggung jawab semua warga untuk menjaga lingkungannya.

Pemerintah bisa mengatur sistem drainase yang baik, warganya juga harus bisa menjaga infrastruktur yang telah diupayakan oleh pemerintah. Saling bersinergi untuk kebaikan bersama agar Desa Beringin Agung tetap menjadi desa yang aman dan nyaman untuk warganya.

 

 

/Picture taken by : Toto Prayogo (Ketua LPM Desa Beringin Agung)

 

 

_________________________________________________________

©Copyright

Dilarang copy paste, screenshoot atau menyebarkan postingan ini tanpa izin dari penulis.

Penulis Sampah dan Tulisan-Tulisan Sampahnya


 

 


 

Hari ini aku dibuat kecewa, bahkan lebih kecewa dan sakit hati karena seorang penulis senior mengatakan aku adalah penulis sampah hanya karena aku memilih menaruh tulisan-tulisanku dalam bentuk digital, bukan melalui buku cetak lagi.

Aku bahkan baru tahu kalau ada kasta senior-junior di dunia literasi yang jaraknya begitu jauh. Bahasaku yang teramat santai di media sosial, dianggap tidak sopan dan tidak menghormati penulis senior. Kenapa? Karena aku sudah mengikuti semua postingannya selama berhari-hari yang terus-menerus menyerang penulis platform dalam dalih diskusi. Kemudian, aku dianggap membela platform tempatku bernaung karena aku adalah salah satu Ambassador di platform tersebut.

Penulis senior itu mengatakan kalau beliau tidak hanya membahas satu platform saja. Namun, dari sebutan “Ambassador” saja, semua penulis platform sudah tahu kalau hanya ada satu platfom menulis yang memiliki Ambassador.

Banyak tulisan di sana yang memancing emosiku sebagai penulis sampah. Sebagai penulis senior, mereka tidak segan mengatakan saya penulis sampah, karya-karya sampah, saya bodoh karena terlalu menggebu-gebu membela platform. Sebenarnya, yang membuat saya terpancing bukanlah masalah platform-nya. Tapi ada kata “Ambassador” di sana yang akhirnya membuat jari ini gatal untuk berkomentar. Yang pada akhirnya, kami sebagai penulis platform dijuluki sebagai penulis sampah yang hanya menulis tentang esek-esek. Tidak ada faedah dan manfaatnya sama sekali.

 

Dulu, saya pernah ada dalam posisi yang sama. Menganggap penulis yang menuliskan konten 21+ adalah orang yang seharusnya disingkirkan. Tapi, lama-kelamaan ... saya masuk ke dalamnya karena saya mendapatkan pesan yang ingin disampaikan oleh seorang penulis. Ada orang yang dianggap kotor di masyarakat, dikucilkan, dihina ... kemudian dia menjadi sosok yang berbeda.

 

Aku bukan tidak menghormati senior. Aku sangat menghormati mereka. Bahkan, banyak tulisan-tulisan mereka yang aku baca. Tulisan-tulisan berkualitas yang aku gunakan sebagai role-model dan belajar. Membacanya, memahami maknanya dan mengaguminya. Tapi, kekagumanku itu seketika sirna, berubah menjadi kekecewaan yang mendalam bahkan sakit hati yang entah sampai kapan bersarang dalam diriku. Membuatku merasa, bahwa dunia literasi itu sangat kejam. Mereka akan menganggap orang yang masih berproses adalah sampah. Sampah yang seharusnya dilenyapkan dari muka bumi ini.

 

Aku tahu ... tidak semua penulis di platform memiliki kualitas yang baik. Banyak mereka yang sedang belajar, berusaha mencintai baca-tulis dan semangatnya patut untuk diapresiasi. Seburuk apa pun tulisannya, orang itu pasti sedang berusaha. Seperti beberapa tahun lalu saat aku bertemu seorang penulis difable. Dia begitu bersemangat menulis, tulisan yang masih berproses itu ... kini ia menjadi penulis yang kualitas tulisannya sudah meningkat. Ketika membaca tulisannya yang berantakan, aku menangis. Bukan karena tulisannya yang tidak berkualitas, tapi karena kegigihan dan semangatnya untuk belajar padahal dia seorang tuna netra. Aku tidak tahu bagaimana proses dia menulis di sana, menggunakan braile dalam bentuk digital atau bagaimana. Aku tak pernah menanyakan itu karena takut melukai perasaannya.

Dari kejadian kecil itu ... aku belajar menghargai tulisan orang lain seburuk apa pun. Mungkin, mereka sedang belajar. Mungkin ... mereka sedang berusaha di belakang sana untuk melahirkan tulisan yang lebih baik lagi.

Aku pikir, kasta senior-junior dalam dunia literasi tak separah ini. Dan sasaran empuknya adalah penulis platform karena tulisan-tulisan mereka (yang masih berproses) dapat diakses oleh siapa saja dan dari mana saja.

Kalau dalam kasta kehidupan, penulis platfom digital sepertiku dianggap sampah. Mungkin setara dengan pengemis, pemulung dan preman-preman di jalanan yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Tidak ada manfaatnya dan tidak menghasilkan manfaat sama sekali. Kami dianggap semak belukar, pohon yang berduri dan bergetah yang seharusnya dibasmi.

Jujur, aku menangis membaca tulisan-tulisan itu ... merasa bagaimana kehadiranku sebagai penulis era digital yang dianggap sampah dan bodoh. Karena kebodohanku, aku tidak bisa menghasilkan tulisan lain selain tulisan sampah. Tapi, aku masih bisa menggunakan hatiku untuk memungut sampah-sampah yang berceceran walau dengan air mata.

Kini, aku tak bisa menyebut diriku sebagai penulis yang dulu begitu bangga nama itu tersemat dalam diriku. Aku tidak bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas, hanya sampah-sampah yang berserakan di mana-mana. Sebutlah saja aku ini tukang sampah atau pemulung kata-kata. Karena kata-kata yang aku dapat dari memulung adalah sampah, maka jadilah aku sempurna sebagai pemungut sampah saja. Aku kini menyadari kalau aku tak layak disebut penulis, sama halnya dengan aku yang tak layak disebut manusia dalam kehidupan bermanusia.

Aku menulis ini bukan karena aku membela platform yang menaungiku dan telah memberikan begitu banyak hal berharga untukku. Aku menulis ini sebagai seorang manusia biasa yang sedang belajar. Gelar “Ambassador” yang tersemat di namaku juga bukan semata-mata aku yang menginginkannya. Ini semua aku lakukan karena aku ingin membalas kebaikan platform, orang-orang di dalamnya yang mau menerimaku yang masih berproses.

Aku ini cuma gelandangan, yang berjalan ke sana ke mari tak tentu arah. Berkelana tanpa tahu ke mana tujuanku. Saat aku bertemu dengan platform yang memberikan aku pakaian, memberiku makan dan memberikan ilmu untukku. Alangkah tak tahu dirinya aku jika tak mengabdi pada sosok yang telah menganggapku seperti anaknya sendiri.

Aku hanya ingin merangkul para penulis baru, mereka yang pernah jadi gelandangan sepertiku. Yang beli satu bungkus nasi dimakan orang sepuluh. Yang hanya bisa beli satu gelas teh hangat untuk dinikmati beramai-ramai. Bahkan tak jarang minum air hujan hanya untuk bertahan hidup.

Kini, aku mulai ragu dengan diriku sendiri yang dulunya disebut penulis. Sebutan “Penulis Sampah” itu terus terngiang di kepalaku. Mungkin, seumur hidupku aku hanya bisa menghasilkan sampah yang berserakan. Tidak memberikan manfaat sama sekali. Atau, sebagai tumbuhan liar yang seharusnya dibasmi oleh orang-orang Yang Mulia itu.

Tiba-tiba aku menangis pada mawar-mawar yang berduri, pada kaktus-kaktus yang berduri, apakah mereka bisa memilih terlahir tidak berduri? Agar bisa dianggap layak untuk hidup?

Tiba-tiba aku menangis pada pohon nangka yang bergetah, pohon pepaya yang bergetah, apakah mereka bisa memilih terlahir tanpa getah? Agar bisa dianggap layak untuk ada?

Tiba-tiba aku menangis pada semak-semak yang tumbuh liar, pada puteri malu yang entah untuk apa diciptakan. Dia merayap di tanah, berduri, menjadi semak yang tak akan dianggap layak untuk hidup.

Aku memang penulis sampah, karya-karyaku adalah sampah. Sampah-sampah yang akan terus menggunung, memenuhi jalanan, memenuhi selokan, memenuhi sungai, memenuhi lautan, memenuhi tempat-tempat yang bau dan kotor.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menjadi penulis bermanfaat. Aku tidak tahu bagaimana cara menghasilkan tulisan yang bermanfaat. Maka biarlah aku menjadi penulis sampah yang akan menghasilkan sampah-sampah setinggi gunung Semeru.

 

Terima kasih untuk pelajaran berharga dari para senior yang telah mengatai aku sebagai penulis ‘sampah’ dan ‘bodoh’.

Dari dua kata itu aku belajar banyak hal. Belajar bagaimana menghargai mereka yang terlahir dari jalanan, menghargai mereka yang tinggal di kolong jembatan. Sebab ... mereka tak bisa memiliki pilihan lain untuk berdiri sejajar dengan orang-orang Yang Mulia itu.

 

Terima kasih telah berkenan membaca tulisan sampahku ini.

 

My Quote :

"Jika suatu hari namamu terbang setinggi langit. Ingatlah, bahwa kakimu selalu berpijak di bumi."

 

 

Salam Manis,

 

Vella Nine a.k.a Rin Muna

 

 _____________________________________________________________

©Copyright.

Dilarang copy paste, screenshoot atau membagikan postingan ini tanpa mencantumkan nama penulis.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas