Sunday, May 17, 2020

Mother is My First Love



Ibu ... hari ini tanggal 22 Desember 2018. Itu artinya, engkau sudah menemaniku selama 9.898 hari sejak aku membuka mata dan hadir ke dunia ini.
Sebanyak itu hari yang telah kita lalui bersama. Namun, aku masih belum bisa menciptakan bahagiamu. Aku masih belum bisa meringankan bebanmu. Aku masih belum bisa membalas peluh dan air susumu.
Setiap pagi kau langkahkan kaki menuju tanah tandus untuk diurus. Agar subur dan memberi berkah di sisa umur. Tak peduli terik mentari membakar kulitmu. Tak peduli kerikil jalanan menyayat-nyayat telapak kakimu. Tak peduli dengan jutaan peluh yang setiap hari menetes. Bahkan senyum indah selalu kau hadirkan saat pulang kala matahari tenggelam. Ceria selalu kau hadirkan kala malam siap memujamu dalam pembaringan. Tanganmu masih setia menyuguhkan teko teh manis dan kudapan di atas meja walau telah lelah.
Tak pernah kau mengeluh walau setiap hari berpeluh. Tak pernah kau mengeluh walau aku sering berkeluh karena inginku tak kunjung terpenuhi.
Sejak di pangkuanmu hingga aku mampu berjalan sendiri, aku belum bisa membalas apa yang telah engkau beri untuk diri ini. Peluhmu berharga bagi kami. Peluhmu lambang derajat keluarga kami. Bahkan aku tak kan mampu membayarnya dengan uang. Begitu banyak peluh yang telah engkau relakan untuk manusia yang bahkan belum bisa memberimu kebahagiaan. Jika harus aku bayar dengan uang, sudah pasti sepanjang hidupku tak kan mampu membalasnya.
Ibu, hari ini pun aku telah menjadi seorang ibu. Telah aku lalui hari-hari yang pernah engkau jalani saat mengandungku selama berbulan-bulan.
Darimu aku belajar untuk tidak manja, tidak merengek dan mudah menangis. Darimu aku belajar tetap mandiri menjalani hari-hari tanpa bergantung pada suami. Jika kau rela terpanggang matahari sembari menimangku di dalam perut. Aku pun rela terpanggang mentari dan menahan sakitnya deras air hujan sembari menimang calon puteri dalam perutku.
Telah kutahu rasa sakit melahirkan. Bukan, bukan rasa sakit ketika aku menyadarinya. Itu sebuah kenikmatan yang tidak bisa dirasakan oleh semua orang terutama para lelaki. Menurut penelitian, melahirkan adalah rasa sakit yang paling sakit. Dan kini kusadari sakitnya melahirkan adalah nikmat yang begitu indah. Sangat indah ... terlebih ketika menatap wajah mungil itu untuk pertama kalinya.
Wajah mungil itu membuatku jatuh cinta setiap hari hingga detik ini. Ingin mengecupnya setiap saat, ingin memeluknya setiap waktu, ingin bahagiakan dia di sepanjang usiaku.
Ibu ... apakah sama yang engkau rasakan?
Apakah seperti ini rasanya menjadi ibu?
Sakit, tapi nikmat.
Lelah, tapi Lillah.
Bahkan hingga saat ini kau tak pernah mengeluh memberi cinta pada anak dari anak-anakmu.

Ibu ... sejauh ini belum bisa kuciptakan bahagiamu dengan tanganku sendiri. Aku tak tahu bagaimana membalasnya. Bukan, bukan aku tak tahu. Aku tahu tapi aku tak mampu. Aku tak kan mampu membalas semua yang kau beri untukku. Sekedar cinta dan kasih sayang yang mampu kupersembahkan.
Ibu, 10 tahun lalu aku pernah merasakan jatuh cinta seperti yang dibilang banyak orang. Jatuh cinta pada lelaki yang sampai kini aku sendiri tak pernah tahu sesungguhnya apa itu cinta. Ada yang bilang, pacar pertama bukanlah cinta pertama. Lalu, siapakah cinta pertamaku? Pacar kedua, ketiga, keempat dan seterusnya? Bagaimana? Aku rasa tidak! Karena hingga kini aku masih tak yakin salah satu dari mereka adalah cinta pertamaku.
Sampai akhirnya wajah polos mungil itu menyadarkanku. Bahwa tak ada cinta lain yang kuterima selain cinta dari seorang ibu. Tidak ada yang bisa memberikan cinta sebesar cintamu padaku. Jika ditanya siapa cinta pertama? Harusnya aku bilang “Cinta Pertamaku adalah Ibu”. Sebab dari hari pertama aku hadir ke dunia, ibu adalah orang pertama yang menatapku penuh cinta. Ibu adalah orang pertama yang kulihat bahkan saat aku belum bisa untuk menyadarinya.
Ibu, betapa bodohnya aku, betapa jahatnya aku. Ketika aku harus membandingkan cintamu dengan cinta orang lain. Ketika aku lebih berusaha mencintai pria lain daripada dirimu. Padahal kaulah pemilik singgasana hati tertinggi dan terindah dalam ruang hidupku. Bohong jika aku bilang, ada seorang pria yang kusebut dengan cinta pertama.
Ibu, kaulah orang pertama yang aku cintai dan begitu seterusnya sampai ke surga nanti.
Jangan lelah mengajarkanku untuk berbakti walau kadang tak sadar aku menyakiti.
Ibu ... jika peluk dan ciumku masih tak mampu membayar masa yang telah lewat, maka kuukir kata-kata ini agar namamu abadi dalam hati ini.
Ibu, maafkan jika selama ini aku belum mampu jadi anak yang baik.
Maafkan jika selama ini aku masih sering merepotkanmu.
Maafkan jika selama ini aku masih bersikap manja.
Maafkan jika selama ini aku masih jadi puteri kecilmu yang suka merengek.
Ibu, maafkan jika aku belum mampu bahagiakanmu. Belum mampu beri istana indah di dunia. Hanya doa yang bisa kupanjatkan setiap hari agar doa-doaku jadi istanamu di Surga nanti.
Ibu, ijinkan aku selalu ada di sisimu sampai masa senjamu. Ijinkan aku memeluk tubuhmu yang kini mulai renta. Ijinkan aku mengelus kulitmu yang tak lagi mulus. Ijinkan aku mengusap rambutmu yang telah pudar dan memutih. Ijinkan aku tetap mencintaimu sampai kita sama-sama menutup mata dalam senyum bahagia.
Ibu ... sampai kapan pun aku tak kan mampu membalas apa yang telah engkau berikan. Bahkan jika aku menjadi orang paling kaya di dunia, hartaku tetap tak kan mampu kupakai untuk membayar peluh, air susu dan air matamu. Maka tunjukkan padaku cara membahagiakanmu. Jangan biarkan aku ada dalam kebutaan hidup ini.
Ibu ... you are my first love. Yesterday, now and forever...



Teruntuk Ibunda tercinta yang tak pernah mengeluh walau berselimut peluh.
Ditulis Oleh ~Rin Muna~ untuk Hari Ibu
East Borneo, 22 Desember 2018
Kecup manis dari puteri kecilmu.



#SuratuntukEmak
#KeluargaCemara

Aiktimal Al-Qamar (Purnamaku)

Source Image : pixabay.com


 Aku memandang cahaya bulan yang terang dari atas balkon rumahku.
      "Ayah..." desisku. Aku melihat wajahnya tersenyum dalam terangnya bulan purnama.
      Almarhum ayahku bernama Purnama. Dan dia sangat senang jika bulan purnama datang. Dia selalu mengajakku bermain di luar rumah. Menikmati indahnya bulan sambil menyanyikan gending-gending jawa. Walau aku tak mengerti, tapi aku selalu menikmatinya hingga aku tertidur di pangkuannya.
      "Ayah... aku rindu. Aku kesepian tanpamu. Aku rindu semua hal yang ada pada dirimu. Aku rindu terlelap dalam dekapmu." Aku menghela napas. Tak seharusnya aku terus memikirkannya. Seharusnya aku mengirimkan do'a-do'a agar Ayah bahagia di Surga. Sudah sepuluh tahun Ayah meninggal, kenangan tentangnya tak kan pernah bisa terhapuskan. Aku bukan lagi gadis kecilnya yang akan terlelap di pangkuannya. Tapi, aku selalu merindukan kisah itu, kisah yang takkan pernah terulang selamanya.
      Tin... tin... tin...
      Bunyi klakson motor membuyarkan lamunanku. Al melambaikan tangannya ke arahku. Aku segera turun untuk menyambutnya di depan pintu. Al, pemilik nama lengkap Aiktimal Al-Qamar adalah pria yang aku kenal beberapa bulan lalu. Hampir setiap malam ia datang ke rumah. Aku tahu, dia sangat menyukaiku walau tak pernah ia ungkapkan. 
      Al adalah pria yang baik. Aku tahu dia sedang proses pedekate denganku. Tapi, dia belum menyatakan perasaannya. Dia tidak pernah mengajakku nonton film di bioskop, katanya nonton di bioskop itu banyak setannya, takut khilaf. Dia juga tak pernah mengajakku keluar rumah walau sekedar mencari makan. Ia selalu datang membawakan makanan dan cemilan favoritku. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk mencuri perhatian Mama.
      "Tumben bawa gitar?" Aku menatap gitar yang bersandar di punggungnya. 
      Al tersenyum. "Malam ini bulan purnama, aku ingin bernyanyi bersamamu di taman."
      "Nih!" Al menyodorkan beberapa kantong plastik yang sudah bisa kutebak apa isinya.
      "Masuk!" pintaku, mengajak Al menuju taman belakang rumahku.
      Al sudah duduk manis sambil mengetem gitarnya. Aku bergegas ke dapur untuk mengambil piring.
      "Ada Al?" tanya Mama.
      Aku mengangguk. Sibuk membuka kantong platik berisi beberapa potong martabak telur dan cemilan lainnya. Mengambil piring dan menyusunnya dengan rapi.
      "Biar Mama yang buatkan minum!" pinta Mama.
      Aku menatapnya tajam. Mengernyitkan dahi. "Tumben?" batinku. Tak banyak berpikir, aku langsung bergegas menghampiri Al.
      "Sudah habis berapa album?" Aku duduk di sisi Al.
      Al tersenyum ke arahku. "Baru kelar aku stem."
      "Owh, Oke. Kita mau nyanyi apa nih?" tanyaku.
      "Karena ini malam purnama, gimana kalau kita nyanyikan lagu 'Purnama Merindu'?" Al memberi saran.
      "Boleh."
      Al mulai memainkan gitarnya. Aku dengan fasih menyanyikan lagu 'Purnama Merindu' milik Siti Nurhaliza. Aku menyandarkan punggungku di punggung Al. Kami saling menikmati cahaya purnama yang indah. Suasana yang sederhana tapi terasa sangat romantis. Ah, andai saja Al adalah kekasihku. Aku seperti sedang mengulang kisah romantis bersama Ayahku sepuluh tahun lalu.
      "Ran... apa yang kamu pikirkan ketika melihat purnama?" tanya Al saat mengakhiri sebuah lagu yang kami nyanyikan.
      "Ayah... Karena namanya Purnama. Jadi, setiap purnama aku selalu mengingatnya." tuturku sambil memandang cahaya bulan yang indah.
      "Namaku juga artinya Bulan Purnama. Apa kamu juga akan mengingat Al-Qamar saat purnama?" tanya Al.
      Jantungku berdegup kencang. Bibirku tiba-tiba beku. Dalam hati ingin berkata 'iya'. Tapi bibirku tak mampu berucap.
      Al diam. Tak ada kata yang terucap di antara kami selama beberapa saat. Aku memandang lekat sang rembulan. Ada wajah yang sedang tersenyum di sana, wajah Ayah yang kemudian berubah menjadi wajah Al. Kenapa ada wajah Al? Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Namun bayangan wajahnya tak hilang juga. Apa iya aku sebenarnya sedang memikirkan dia?
      "Apa yang sedang kamu pikirkan Al?" tanyaku dengan napas tersengal.
      "Kita." jawabnya santai.
      "Ada apa dengan kita?" Aku membalikkan tubuhku bersamaan dengan Al. Al menatapku tanpa berkedip.
       "Ayoo... Al! Katakan! Katakan kamu mencintaiku!" batinku dalam hati. Berharap dia bisa mendengar isi hatiku.
      Al menggenggam kedua tanganku. "Kita...." wajah Al memerah karena gugup.
      Aku mengernyitkan dahi? Kenapa dimulai dari kata 'Kita'? Bukankah saat menyatakan cinta harusnya dimulai dari kata 'Aku mencintaimu' atau kata 'Kamu mau tidak jadi pacarku?'. Kenapa dia pakai kata kita? Ah, jelas-jelas dia hanya menganggap kita hanya bersahabat.
      "Kita kenapa?" tanyaku makin tak sabar.
      "Kita... kita... " Al menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
      "Kamu kenapa sih, Al? Aneh banget!" celetukku.
      Al menarik napas, menghembuskannya lagi. Ia lakukan berkali-kali. "Sebentar, aku bingung harus mulai dari mana," tuturnya.
      "Tadi sudah mulai dari kata Kita. Lanjutin aja!" pintaku. Menahan tawa melihat tingkah Al yang lucu.
      "Oke. Kita... kita... kita menikah! Maukah kita menikah?" Al menatapku tajam.
      Aku tertawa geli melihat wajahnya.
      "Kok malah diketawain? Aku serius! Kamu nggak cinta ya sama aku?"
      Aku terkekeh. "Iya deh, aku cinta sama kamu."
      "Kenapa iya deh? Kesannya kamu terpaksa mencintai aku."
      "Emang kamu cinta sama aku?" tanyaku balik.
      "Kalau nggak cinta, nggak mungkin aku ngajak kamu menikah!" ungkapnya sebal.
      "Hmm... iya, aku cinta sama kamu," tuturku lirih.
      "Serius dong ngomongnya! Aku nggak dengar, Rania!" Al balik menggodaku.
      "Aku cinta sama kamu," bisikku.
      "Apa? Aku nggak dengar!"
      "Aku cinta sama kamu Aiktimal Al-Qamar, Purnamaku!" teriakku.
      Al tersenyum, kembali memetik senar gitarnya. Menyanyikan lagu-lagu romatis hingga aku terlelap di pangkuannya. Sosok Ayah ada dalam diri Al. Itulah sebabnya aku selalu nyaman ada di dekat Al.
        
       Ayah, mungkin ragamu memang pergi jauh. Tapi hatimu tak pernah pergi. Bahkan hatimu menjelma menjadi malaikat penjagaku. Aku tahu, Ayah selalu mengawasi dan menjagaku. Mempertemukan aku dengan laki-laki yang mampu menjaga dan menemaniku, sama seperti yang Ayah lakukan dahulu. Terima Kasih untuk cintamu Ayah Purnama, Purnamaku...


Puisi Akrostik | Plukme | Cerita Kita

Judul Puisi "Cerita Kita"
Karya : Rin Muna



Source Image : pixabay.com




Pagi ini aku sesap aroma kopi bersama senandung kata yang kurangkai menjadi kalimat.
Langkah jemari menyusuri dunia kata di angkasa
Untuk tahu bagaimana caramu bercerita tentang rumah kita yang indah
Kalimat yang aku tulis adalah tanda keabadian cerita kita
Menghiasi setiap ruang dengan rangkaian abjad penuh pesona
Esok, cerita kita akan jadi sejarah yang indah


-Rin Muna-
Samboja, 20 Juli 2018

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas