Tuesday, November 5, 2019

Race in Love


www.rinmuna.com


Hari ini, aku kembali duduk di bangku penonton untuk menyaksikan balapan sepeda motor. Sebenarnya, aku tidak suka berada di tempat ini karena aku harus menyaksikan kalau pacarku sedang dalam bahaya. Bahaya? Ya, bahaya yang bisa saja terjadi di sirkuit. Aku tidak ingin melihatnya terluka sedikit saja.

Setiap kali Rendra cedera, aku selalu menangis semalaman. Aku tidak bisa melihatnya terluka. Tapi, dia selalu bilang kalau dia baik-baik saja. Ia sangat mencintai dunia balap. Sekalipun aku terus memohon padanya untuk berhenti, ia tidak akan melakukannya. 
 
"Banyak hal yang harus dipertimbangkan. Aku mencintai dunia balap. Aku tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah memberikan kepercayaan kepadaku," tutur Rendra tiga tahun silam saat ia lolos seleksi tingkat nasional. 

Aku ingin mengakhiri semuanya. Beberapa kali hubungan harus putus karena aku egois. Aku terus menginginkannya berhenti balapan. Sementara Rendra, selalu kembali ke pelukanku setiap kali ia mengakhiri musim balapannya. Kami saling mencintai, itulah alasan kenapa aku tidak bisa melihatnya di arena balap.

Waktu terus bergulir, Rendra tak menyerah memberikan aku pengertian sampai akhirnya aku terus berada di sisinya dalam keadaan apa pun. Kini, Rendra berhasil menjuarai beberapa kejuaraan internasional di beberapa negara Asia. Walau banyak prestasi yang sudah ia raih. Aku tetap saja mengkhawatirkan dirinya.

Aku langsung menghampiri Rendra begitu ia selesai balapan. Aku selalu berlari ke arahnya dan memeluknya begitu erat. Aku berharap, Rendra akan terus memelukku sampai kami menua bersama.

"Kenapa masih nangis?" tanya Rendra sambil mengusap air mataku.

Aku tersenyum. "Karena aku takut kehilangan kamu."
"Kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Aku ada di sini," tutur Rendra sambil menunjuk dadaku.

Ya, dia tahu kalau aku selalu menyimpan hatinya di dalam hatiku. Dia tahu kalau aku sangat mencintainya.

Rendra memelukku dengan erat. "Kamu jangan pernah pergi lagi! Jangan pernah bilang kata putus lagi. Aku sayang sama kamu. Sama seperti aku mencintai dunia balap. Jangan minta aku memilih antara kamu dan dunia balap. Aku mencintai keduanya."

Rendra selalu menenangkan perasaanku. Ia mengerti kekhawatiran yang menghantuiku. Itulah sebabnya, ia selalu mengajakku makan malam romantis setiap kali ia usai balapan.

Waktu begitu cepat bergulir. Rendra akan kembali ke sirkuit seminggu lagi. Entah kenapa, perasaanku begitu gelisah. Tak seperti biasanya. Rendra selalu menginginkan aku ada di kursi penonton setiap kali ia balapan. Tapi, kali ini Rendra justru memintaku untuk berdiam di dalam rumah. Dia bilang, "tidak perlu menyusul aku ke sini. Aku bakal baik-baik aja. Aku pasti pulang. Jangan lupa bikinin aku cream soup! Aku rindu cream soup buatan kamu."

Sikap Rendra benar-benar tak biasa. Hal ini justru membuat aku gelisah dan khawatir. Kami sudah tidak bertemu selama beberapa bulan karena Rendra sibuk latihan dan aku sibuk dengan tugas kuliahku.

Tak ingin terus dihantui rasa khawatir. Aku langsung mengemasi pakaianku ke dalam koper dan memesan tiket menuju Malaysia. Di sana, Rendra akan mengikuti balapan yang ke sekian kalinya. Aku tetap ingin melihatnya sebab aku sangat merindukannya.

Aku baru memberi kabar pada Rendra ketika aku sudah sampai di Malaysia. Rendra sangat terkejut karena aku selalu rela terbang ke negara tempat ia mengikuti kompetisi balap.
 
Malam hari sebelum balapan, Rendra memaksakan diri menemuiku di apartemen tempat aku menginap. Ia langsung memeluk erat tubuhku begitu aku membukakan pintu untuknya.

"Kamu boleh keluar?" tanyaku heran.

"Sebentar saja, mereka nggak akan tahu. Aku kangen sama kamu," jawab Rendra sambil memelukku begitu erat. Ia bahkan menciumku berkali-kali. 

"Oh ya, aku bikinin cream soup buat kamu. Mau makan?" tanyaku sambil menatap wajah Rendra.

"Serius?" Rendra terlihat senang dan langsung menghampiri meja makan. Ia tersenyum senang dan langsung menikmati cream soup buatanku dengan lahap.

"Mmh ... aku kangen banget sama cream soup buatan kamu. Nggak nyangka kalo kamu bikinin sekarang. Padahal, aku kan minta bikinin kalo udah pulang ke Indonesia."

Aku tertawa bahagia melihat wajahnya. "Kamu sudah telepon Mama kamu?" tanyaku.

"Sudah. Besok pagi aku telepon lagi sebelum mulai balapan," jawab Rendra.

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala.

"Besok kamu nggak usah ke sirkuit ya!" pinta Rendra.

"Hah!? Kenapa?"

"Nggak papa. Aku janji bakal langsung nemuin kamu begitu selesai balapan. Kita pulang ke Indonesia bareng," tutur Rendra sambil tersenyum. 

"Tumben buru-buru pulang?"

Rendra tersenyum. "Nggak boleh?"

"Boleh banget," sahutku.

Kami terdiam selama beberapa saat.

"Ren, aku khawatir sama kamu. Aku takut kehilangan kamu," tuturku perlahan sambil bergelayut di pundak Rendra.

"Anggi sayang ... kamu nggak perlu khawatir! Kamu cukup doain aku biar aku menang," pinta Rendra.

Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Buat seorang pembalap, mati di sirkuit itu sebuah kehormatan," tutur Rendra sambil tersenyum.

"Iih ... apaan sih!? Nggak usah ngomong soal mati, deh!" Aku menepuk bahu Rendra.

Rendra tertawa kecil. "Semua orang bakal mati dan aku bakal bahagia banget kalau aku mati dalam kompetisi. Itu kehormatan buat aku."

Hatiku nyeri mendengar ucapan Rendra. Aku tidak bisa menahan kesedihan dan air mataku menetes begitu saja. Aku paling benci ketika Rendra membahas soal kematian. Apa dia tidak tahu kalau perkerjaannya penuh dengan resiko dan dia justru menakut-nakuti dengan kematian.

Rendra tertawa kecil dan langsung merengkuh tubuhku. "Jangan pernah nangisin aku, karena aku bahagia sama dunia ini. Kamu harus tersenyum!" pinta Rendra sambil mengusap air mataku.

"Gimana aku bisa senyum kalo kamu ngomongnya kayak gitu? Kamu tahu nggak sih kalo aku khawatir banget sama kamu. Rasanya, aku pengen iket kamu sekarang di sini biar kamu nggak pergi ke sirkuit!" tuturku kesal.

Rendra tertawa kecil. "Jangan marah, dong! Jelek tahu."

Aku bergeming. Rendra benar-benar tak mengerti perasaanku. Apa dia tidak bisa merasakan kalau aku begitu mengkhawatirkannya?

Rendra tertawa kecil. Ia mengangkat tubuhku dan menarik ke pangkuannya. "Aku cuma bercanda. Makasih ya udah peduli dan selalu khawatir sama aku," tutur Rendra sambil tersenyum menatapku. Ia menyentuh pipiku dengan lembut, menyibakkan anak rambut yang berantakan menutupi wajahku. Kemudian ia menciumku penuh cinta.

"Aku sayang sama kamu," tutur Rendra terus menciumiku. 

Mungkin ia sangat merindukanku sehingga ia sampai menciumku berkali-kali. Tak seperti biasanya.

"Kita menikah setelah kamu wisuda ya!" pinta Rendra.

Aku menganggukkan kepala. Aku masih harus menyelesaikan empat semester lagi untuk bisa mendapatkan gelar sarjana. Kami sudah bertunangan sejak setahun yang lalu. Rendra tidak ingin aku terus mengajaknya putus hanya karena balapan dan dia benar-benar membuktika keseriusannya untuk menjadikan aku satu-satunya wanita yang ada dalam hatinya.

"Aku balik dulu!" pamit Rendra. "Besok nggak usah dateng ke sirkuit. Aku yang bakal datengin kamu. Kita sama-sama pulang ke Indonesia." Rendra mencium keningku dan bergegas pergi.

Keesokan harinya, aku menuruti permintaan Rendra untuk tidak hadir di sirkuit. Aku hanya menontonnya lewat siaran live di televisi. Aku menonton sambil sibuk membuatkan cream soup untuk Rendra. Dia akan senang sekali jika aku menyiapkan makanan kesukaaannya saat ia datang.

Aku langsung menatap layar televisi begitu mendengar nama Rendra disebut oleh komentator. Aku melangkah perlahan mendekat ke televisi sambil membawa mangkuk berisi cream soup hangat yang baru saja aku masak.

PRANG!

Aku membiarkan mangkuk itu terjatuh di lantai. Tangan dan tubuhku tiba-tiba lemas saat melihat Rendra terjatuh dari motornya saat balapan hampir usai. Ini bukan pertama kalinya Rendra terjatuh dari motor. Ia pernah cedera beberapa kali dan aku berharap Rendra hanya mengalami luka ringan. Aku langsung melangkahkan kaki keluar dari apartemen. Aku tidak ingin menunggu kabar dari televisi tentang keadaan Rendra. Aku langsung memesan taksi dan berangkat menuju lokasi sirkuit.

"Rendra mana?" tanyaku pada salah satu tim Rendra. Hampir semuat tim Rendra mengenaliku karena Rendra sering mengajakku pergi bersama mereka.

"Udah di bawa ke rumah sakit," jawab tim yang aku tanya.

"Rumah sakit? Emangnya petugas medis di sini nggak bisa nanganin?" tanyaku.

Cowok itu menggelengkan kepala dengan wajah murung.

"Rendra baik-baik aja, kan?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.

"Kami nggak tahu."

"Dia di bawa ke rumah sakit mana?" tanyaku.

Cowok itu menyebutkan nama rumah sakit yang ada di Kuala Lumpur. Aku langsung bergegas kembali menaiki taksi menuju rumah sakit. Perasaanku makin tak karuan saat tahu kalau Rendra dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa menahan tangis selama perjalanan. 

Saat Rendra mengalami cedera ringan saja, aku menangis semalaman di sampingnya. Bagaimana aku harus menghadapi kenyataan yang lebih dari itu? Rasanya, hatiku begitu sakit.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung berlari mencari Rendra. Tidak begitu sulit untuk mendapatkan informasi. Aku langsung menuju ke ruang Emergency. Di luar ruangan, ada beberapa tim yang sedang duduk sambil menangis. Manager Rendra langsung berdiri menatapku begitu aku datang. Dari raut wajahnya, aku bisa mengerti kalau Rendra tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kakiku terasa begitu berat untuk melangkah. Aku menyeret kakiku untuk mendekati Manager Rendra. Aku tidak bisa mengatakan apa pun, aku hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Manager itu menatapku penuh kesedihan, ia menahan tangisnya dan tidak bisa berkata apa pun.

"Mister, dia baik-baik aja kan?" tanyaku perlahan saat melihat matanya berlinang. Aku berusaha untuk tersenyum walau hatiku begitu sakit.

"He's died." Tangis Manager itu akhirnya pecah.

DUAR!!

Aku merasa seperti tersambar petir ribuan voltase. Dunia dan isinya serasa runtuh. Aku tidak bisa menahan air mataku lagi. Aku menatap pintu ruang emergency. Di dalam sana ada Rendra yang ingin ia peluk erat. Aku ingin menagih janjinya untuk pulang sama-sama ke Indonesia. Aku tidak ingin pulang bersama dalam keadaan seperti ini. Tidak adakah hal yang bisa lebih membahagiakan, Rendra?

Kakiku terasa lemas, aku menjatuhkan lututku ke lantai dan membiarkan derai air mataku membasahi lantai. Hari ini, Rendra melarangku pergi ke sirkuit karena tidak ingin melihatnya merasakan sakit seorang diri. Ini jelas lebih menyakitkan dari apa pun. Aku tidak ada di saat dia berjuang sendirian. Kenapa dia biarkan aku seperti orang bodoh? Kenapa aku tidak pergi saja ke sirkuit dan memberikan semangat untuknya? Bukankah dia berjanji kalau dia tidak akan pernah membiarkan aku merasa kehilangan?

"Nggak mungkin. Nggak mungkin kamu ninggalin aku," ucapku sambil menggelengkan kepala. "Baru semalam kamu bilang kalo kamu nggak akan ninggalin aku. Kamu janji bakal datang dan kita sama-sama pulang ke Indonesia. Kamu bakal menuhin janji kamu kan?" tanyaku sambil terisak.

Beberapa saat kemudian, pintu ruang emergency terbuka. Aku langsung berlari dan menerobos masuk. Beberapa teman Rendra mencoba menahanku dan aku tetap tidak bisa mengendalikan diriku untuk menemui Rendra yang sudah terbaring kaku di atas ranjang pasien. Aku langsung memeluk erat tubuhnya.

"RENDRA, BANGUN!" teriakku sejadi-jadinya. "BANGUN, REN! BANGUN!" Aku memeluk tubuh Rendra dengan erat. Membiarkan air mataku jatuh ke pipinya. Aku terpaku menatap Rendra yang tersenyum dalam beku. 

Aku langsung menciumi bibirnya yang dingin. "Please ... balik buat aku, Ren!" bisikku bersama derai air mata. Aku terus menangis sambil memeluk erat tubuh Rendra sampai aku tidak bisa merasakan apa pun selain tubuh Rendra yang dingin seperti es. Aku harap ini cuma mimpi. Aku memejamkan mata dan berharap, Rendra masih tersenyum sambil memelukku erat saat aku membuka mata.

Aku berharap semuanya hanyalah mimpi. Tapi, Tuhan tidak berpihak padaku. Ia benar-benar mengambil Rendra untuk selamanya. Aku begitu terluka saat pulang ke Indonesia bersama Rendra yang tak lagi bisa kuajak bicara. Rendra selalu membuatku tertawa dengan candaan-candaan yang keluar dari mulutnya. Kini, ia hanya diam dan tak bicara apa pun.

Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau aku harus berpisah untuk selama-lamanya. Saat melihat tubuh Rendra dimasukkan ke dalam liang lahat. Aku benar-benar yakin kalau Rendra tidak akan pernah kembali lagi untukku. Aku terjatuh beberapa kali, aku merasa tubuhku benar-benar lemas dan tak bertenaga. Aku belum bisa menerima kenyataan kalau Rendra benar-benar meninggalkanku.

"Ikhlaskan ... Biarkan Rendra bahagia di surga!" Sebuah bisikan terdengar di telingaku. Entah bisikan dari siapa di saat kesadaranku tidak begitu baik.  Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ya, Rendra pasti bahagia di sana dan aku tidak bisa menahannya seperti ini. Aku harus belajar mengikhlaskan kepergiannya walau rasanya begitu sulit.

"Mati di sirkuit itu sebuah kehormatan." Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Aku melihat wajah Rendra tersenyum bahagia saat mengatakan kalimat itu.

"Ren, apa kamu bahagia ninggalin aku dan dunia balap yang sama-sama kamu cintai?" bisikku dalam hati.

Aku sama sekali tidak menyangka kalau Rendra begitu cepat pergi meninggalkanku. Setiap hari dalam doaku, aku berharap Tuhan akan mempersatukan kembali aku bersama Rendra dengan cara-Nya. Sebab, tak ada hal lain yang lebih membahagiakan selain menjalani hari bersamanya.

"Ren, terima kasih karena kamu telah memberikan kenangan indah dalam hidupku. Sungguh, aku tidak ingin menjadikannya kenangan. Tapi takdir Tuhan membawa kisah kita menjadi sebuah kenangan, bukan harapan masa depan. Kamu cintai aku sampai menutup mata, aku janji akan selalu tersenyum seperti yang kamu inginkan. Kamu juga harus bahagia di sana, di tempat yang abadi... "

"Tunggu aku, sampai surga menjadi milik kita!"





Ditulis oleh Rin Muna dalam isak tangis.


Samboja, 05 November 2019.
_______________________________________________________________

Cerita ini hanyalah fiktif belaka.

Aku persembahkan cerita ini untuk Alm. Afridza Syach Munandar. Salah satu anak muda yang berprestasi dan berhasil mengharumkan nama Indonesia. Semoga tenang dan bahagia di Surga Allah. Prestasi-prestasimu akan dikenang selalu ...

_______________________________________________________________





























Friday, November 1, 2019

Yang Bikin Aku Makin Sayang sama Kompasiana


Source: pixabay.com




Hai ... hai ... temen-temen!
Apa kabar semuanya?
Masih rajin nulis? Pasti nggak bakal baca tulisanku karena sibuk nulis ya...
Yang masih rajin baca, baca terus postingan aku karena ada banyak cerita menarik yang bakal aku bagiin buat kalian.

Kali ini, aku mau cerita tentang salah satu platform menulis aku yakni Kompasiana.
Kenapa Kompasiana dan sejak kapan sih aku nulis di Kompasiana?
Mmh ... kalo ditanya kenapa, jelas aja aku bakal jawab karena Kompasiana itu nyaman banget. Aku belum pernah berdebat sama penulis lain dan belum pernah dapet kripik pedas dari senior. Mmh ... sebenarnya aku kangen sih sama kripik pedasnya. Karena itu salah satu alasan yang bikin aku terus semangat belajar menulis.

Aku bergabung di Kompasiana tanggal 29 Mei 2018, tapi aku baru mulai nulis pada bulan September 2018. Ada waktu empat bulan yang bikin aku terus berpikir dan belajar supaya tulisanku layak bertengger di Kompasiana.

Pertama kali, aku nulis artikel Melestarikan Budaya Jawa di Pulau Kalimantan dan langsung kegirangan karena jadi artikel Pilihan Editor. Kebayang nggak sih gimana senengnya aku waktu pertama kali nulis dan langsung dapet sambutan baik dari tim editor Kompasiana. Aku langsung semangat nulis dan ngajak temen-temen penulis di platform sebelah buat nulis juga di Kompasiana. Alhamdulullah, sampai saat ini mereka aktif nulis di Kompasiana. Walau akunya sekarang yang jarang nulis. Soalnya aku lagi ngerjain kontrak nulis yang cukup menyita waktuku.

Satu bulan setelah aku nulis di Kompasiana. Aku dihubungi sama Mimin buat hadir di acara Kopiwriting yang diadakan oleh JNE dan Kompasiana. Saat itu, aku seneng banget dan langsung pergi ke kota Balikpapan buat dateng ke acara itu. Tentunya, sebagai blogger kami punya tanggung jawab untuk menyampaikan pesan yang baik. Kamu bisa baca Kisah Perjalananku ke Event Kopiwriting JNE Balikpapan dan Menyikapi Konsumen Era Milenial, JNE Terus Berinovasi.
Dari kegiatan Kopiwriting itu, aku mulai tahu bagaimana menghasilkan uang dari menulis. Biasanya, aku nulis cuma hobi aja. Dapet royalti dari buku dan di platform lain juga sempat mencairkan uangku yang buat dapetinnya aja susah banget. Bisa berbulan-bulan buat dapetin 200rb rupiah.
Nah, di Kompasiana aku ngerasa benar-benar dihargai sebagai penulis. Satu artikelku bisa dapet honor antara 100-300 ribu rupiah.

Siapa sih yang nggak seneng kalo bisa dapet duit dari rumah. Nggak pernah ke mana-mana tapi uang jajannya ada terus. Mmh ... bener juga kata Mimin Kompasiana. Makanya, aku seneng banget sama Platform #BeyondBlogging yang satu ini. Karena di sini, bukan cuma menghasilkan uang. Tapi juga meningkatkan kualitas tulisan yang digemari oleh banyak orang.
Yah, mungkin yang sulit buat aku adalah menulis dengan kalimat baku. Mmh ... dibilang sulit juga nggak sih. Mungkin karena aku emang orangnya santai dan suka sama tulisan yang berbau santai. Jadi, aku selalu pengen ngajak pembaca ngobrol aja kayak biasanya. Biar nggak ada rasa canggung.

Di #11TahunKompasiana ini, aku berharap bisa terus berkontribusi buat ngisi tulisan di sana. Walau saat ini aku mulai sibuk ngerjain kontrak nulis webnovel adaptasi dari luar negeri. Aku selalu nyempatin waktu buat nulis di Kompasiana. Rasanya, selalu rindu sama platform yang udah membawa aku sampai sejauh ini. Mulai dari penulis yang tulisannya sama sekali nggak ada harganya, sampai saat ini bisa dapet kontrak nulis dengan nilai puluhan juta. Itu semua karena Kompasiana yang bikin aku semangat buat belajar menulis dan menulis.

Buat aku, Kompasiana satu-satunya platform yang nggak pernah bikin aku down karena aku ngerasa tulisanku nggak layak. Di Kompasiana juga ada banyak tulisan-tulisan yang berkualitas dan beragam sehingga aku bisa belajar banyak hal. Belajar membuat artikel yang baik, belajar menulis puisi yang bagus, belajar menulis cerpen yang menarik sampai akhirnya aku bisa menulis webnovel yang memiliki ratusan episode.

Aku berharap, Kompasiana makin bergembang dan makin ramah dengan penulis. Ada banyak kompetisi yang diselenggarakan oleh Kompasiana dan tentunya menjadi salah satu sumber semangat untuk menulis.

Selamat Ulang Tahun yang ke-11 Kompasiana ...!
Selamat menuju kedewasaan. Semoga bisa terus melahirkan penulis-penulis berkualitas dan menjadi rumah paling nyaman untuk banyak penulis di Indonesia.


Salam manis,



Rin Muna

01 November 2019




Baca:

1 Lomba Terakhir yang Bisa Kamu Ikuti dalam Rangka #11TahunKompasiana

Saturday, October 26, 2019

Ikrar Damai Calon Kades Desa Beringin Agung | Pilkades 2019

Senin, 30 September 2019

Desa Beringin Agung telah melaksanakan Ikrar/ Deklarasi Kampanye Damai Pilkades 2019.
Dalam kesempatan ini, hadir 3 calon kades sesuai nomor urut, yakni:
1. Suyono
2. Juhardin
3. Kusnadi

Acara diawali dengan Ikrar/ Deklarasi Damai dari ketiga calon kades dan penandatanganan ikrar yang disaksikan oleh Kepala Desa, Ketua BPD, Komandan Koramil Samboja, Kepala Kepolisian Sektor Samboja, Staff Desa, Seluruh Ketua RT dan Tokoh Masyarakat.


FGD Inisiasi Kampung Literasi Beringin Agung


Sabtu, 19 Oktober 2019 menjadi hari bersejarah dalam hidupku. Karena, pada hari itu Yayasan Teman Kita dan Pertamina Hulu Sanga-Sanga bekerjasama untuk membentuk Kampung Literasi di Desa Beringin Agung.
Syarat berdirinya sebuah kampung literasi adalah adanya taman baca atau pojok baca yang sudah berjalan. Kebetulan, taman baca saya berdiri pada bulan Februari 2018 lalu. Baru sekitar satu setengah tahun dan mendapat sambutan baik dari masyarakan Desa Beringin Agung.
Malam itu, kami mangadakan urun rembug Kampung Literasi untuk membahas beberapa perencanaan pendirian Kampung Literasi. Karena, dari enam pola literasi dasar, hanya ada dua literasi yang akan difokuskan di Kampung Literasi Desa Beringin Agung.
Sesuai dengan kearifan lokal Desa Beringin Agung yang mayoritas adalah petani, pekebun dan peternak. Maka, kami sepakat untuk memilih Literasi Sains dan Literasi Finansial untuk difokuskan di Kampung Literasi agar tidak lari dari kedua konsep tersebut.
Literasi sains dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang teknologi pertanian, teknologi pangan dan sebagainya agar masyarakat Desa Beringin Agung bisa meningkatkan kesejahteraan dari sektor pertanian dan peternakan.
Literasi Finansial sendiri akan langsung bersinergi dengan petani dan peternak. Belajar tentang bagaimana mengelola bahan pangan dan menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomi di masyarakat.

Tentunya, semua ini akan berhasil ketika seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dalam membangun dan menciptakan Kampung Literasi di Samboja.
Saya sangat terbuka kepada seluruh masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan Kampung Literasi. Dapat berperan aktif, memberikan saran dan kritik untuk kemajuan kegiatan di Desa Beringin Agung.
Saya juga mengharapkan dukungan masyarakat, tak hanya sebagai dukungan dalam bentuk lisan atau tulisan tapi juga bisa mendukung dan berpartisipasi secara nyata dalam kegiatan-kegiatan pengembangan Sumber Daya Manusia di Kampung Literasi Desa Beringin Agung.
Selain Focus Group Discussion, Pertamina Hulu Sanga-Sanga juga memberikan bantuan berupa buku, printer dan permainan edukasi untuk Taman Bacaan Bunga Kertas. Semoga bisa bermanfaat untuk anak-anak di Taman Baca ke depannya.




Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Beringin Agung dan pihak-pihak yang telah banyak membantu Taman Bacaan Bunga Kertas untuk terus berkembang dan memberikan manfaat untuk masyarakat sekitar.


Sekian dan terima kasih ...

Salam manis selalu,


Rin Muna
Founder Taman Bacaan Bunga Kertas


Baca juga : 
Yayasan Teman Kita ft Pertamina Hulu Sanga-Sanga 

Tuesday, October 8, 2019

Menyerah ...



Kamu ada ...
Tapi kamu tak pernah tahu berapa banyak penderitaan yang aku rasa.
Kamu tak pernah tahu berapa dalam luka yang kupunya.
Kamu tak pernah tahu berapa luasnya air mata yang aku tampung

Kamu tak pernah sembuhkan luka
Kamu tak pernah keluarkanku dari derita
Kamu tahu aku luka
Kamu beri aku luka
Kamu tambah aku luka
Kamu seolah lupa
Bahwa lukaku terus kau lukai

Lalu tuk apa kau berdiri di sisi?
Jika janji mengajak bahagia kau ingkari?
Lalu tuk apa kau ada di hati?
Jika kau sembuhkan luka dengan melukai?

Kamu saksikan air mataku berderai dalam tiap-tiap malamku ...
Kamu saksikan kakiku berjalan merangkak penuh luka-luka ...
Kamu saksikan tanganku berdarah menggapai cita kita.

Tapi kamu tetap diam membisu
Mendorongku ke lubang penderitaan yang lebih dalam...
Hingga akhirnya aku memilih
MENYERAH ...




Ditulis oleh Rin Muna
Dalam lautan air mata ...

8 Oktober 2019


Monday, September 23, 2019

Court of Love



Ini ketiga kalinya aku menjalani sidang di ruang Kepala Sekolah karena kasus yang sama, berkelahi dengan Gatara. Entah kenapa, semenjak kejadian di kantin tahun lalu dia sangat membenciku. Padahal aku tidak sengaja menumpahkan sambal ke tubuhnya, saat itu kakiku tersandung, terjatuh tepat di depannya.
Semua sekolah sudah tahu bagaimana setiap hari Gatara terhadapku. Dia selalu tertawa terbahak-bahak setiap kali aku kesusahan dan marah-marah. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam otaknya? Sepertinya saraf otaknya sudah geser, atau bahkan keluar dari tempurung kepalanya sendiri. Dia tidak pernah puas mengerjaiku setiap hari.
Dikerjai seperti itu sudah menjadi hal biasa. Ada hal yang lebih tak biasa sampai aku dan Gatara harus menjalani sidang di ruang Kepala Sekolah.
Kasus pertama, Gatara berhasil membuatku masuk ruang ICU karena dia meneteskan larutan tetrahydrozline HCL (obat tetes mata) ke dalam botol air mineral yang sering aku letakkan di meja belajarku.
Kasus kedua, Gatara berhasil membuatku kembali di rawat karena dia sengaja meletakkan paku payung saat aku melintas, paku itu menusuk telapak kakiku hingga kedalaman 2,5 cm.
Kasus yang ketiga ini, Gatara berhasil membuatku jatuh dari tangga sekolah, tepat disaksikan oleh Kepala Sekolah yang kebetulan sedang melintas.Gatara dengan sengaja mendorongku dengan bahunya, kejadian itu juga terekam CCTV sekolah.
“Gatara! Apa yang kamu lakukan pada Riris sudah keterlaluan!” ucap Kepala Sekolah geram, kami berkumpul di ruangannya.
“Maafkan anak kami Pak, anak kami suka iseng,” kata Papa Gatara.
“Ini bukan lagi keisengan Pak, tapi sudah masuk dalam tindakan kriminal. Dia sudah tiga kali mencoba menghilangkan nyawa Riris!” kata Kepala Sekolah.
“Pak, saya nggak bermaksud untuk membunuh. Saya mau ngerjain dia doang Pak!” kata Gatara panik karena ketakutan. Dia takut juga kalau kasus ini dibawa ke polisi.
Gatara menggeleng.
Aku hanya menyimak dengan baik saat Gatara dihakimi oleh Kepala Sekolah, Guru dan kedua orangtuanya.
Kedua orangtuaku tidak hadir karena mereka sudah meninggal sejak satu tahun yang lalu. Aku hanya tinggal bersama nenek dan kedua adikku. Aku sudah menjelaskan kepada pihak sekolah bahwa nenekku tidak bisa hadir karena usianya yang sudah renta.
Bu Ratih menjelaskan secara detil beberapa kejadian yang menimpaku dan juga menjelaskan latar belakang keluargaku.
Sidang ketiga itu masih tak membuat Gatara jera. Saat aku berjalan sendiri di tepi jalan, dengan sengaja motor Gatara menyerempet tubuhku hingga aku terjerembab ke selokan. Dia tertawa sangat bahagia melihatku terjatuh, hingga ia tak menyadari kalau motor yang ia naiki kehilangan kendali.
“Braaaaakk....!!!” tabrakan itu terjadi tepat di depan mataku. Aku terkesiap, tubuhku gemetar. Sangat cepat dan membuat jantungku berhenti beberapa saat.
Aku langsung berlari menghampiri Gatara yang sudah berlumuran darah, motor yang ia kemudikan menyebrang ke jalur berlawanan, saat itu juga ada mobil melintas. Tubuh Gatara terpental jauh keluar dari badan jalan.
Aku berteriak histeris meminta pertolongan sambil berusaha mengangkat tubuh Gatara yang sangat berat. Secepatnya aku membawa Gatara ke Rumah Sakit dengan bantuan warga sekitar. Untunglah orang yang menabraknya juga mau bertanggung jawab walau yang salah adalah Gatara.
Sesampainya di rumah sakit, Gatara langsung ditangani oleh dokter dan harus menjalani serangkaian operasi karena tangan dan punggungnya mengalami patah tulang. Aku mencoba menghubungi teman-teman dekat Gatara agar memberi kabar kepada kedua orangtuanya.
Sepuluh hari aku menemani Gatara di rumah sakit bergantian dengan pembantunya yang sesekali datang untuk mengantarkan pakaian ganti. Selama itu juga Gatara banyak berubah sikap terhadapku, tak lagi sewot dan marah-marah setiap kali melihatku. Aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri. Sejahat apapun Gatara terhadapku, aku tidak pernah berpikir untuk membalasnya atau membencinya.
Sepuluh hari itu belum berakhir, aku masih harus menemani dan merawat Gatara di rumahnya, kondisi punggung dan tangannya yang belum bisa kembali normal, ia harus menjalani rawat jalan.
“Ris, kenapa kamu mau ngerawat aku?” tanya Gata.
Aku tidak mengerti kenapa dia baru bertanya setelah satu bulan aku menemani dan merawatnya?
Apa dia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaanku? Bagaimana aku harus membesarkan hatiku merawat orang yang selama ini membenciku dan selalu mencelakaiku? Aku tidak mengerti apa yang selama ini membuat Gatara begitu membenciku? “Maafkan aku Ris, tidak seharusnya aku begitu membencimu hanya karena kejadian di kantin setahun lalu. Aku selalu melukaimu tapi kamu tidak pernah menangis, kenapa sekarang kamu justru menangis saat aku tidak bisa menjaili dan melukaimu lagi?” tanya Gatara.
Aku tidak sadar kalau air mataku keluar begitu deras hanya karena satu pertanyaan dari Gatara. “Jika dengan merawatmu bisa membuatmu berhenti membenciku, aku ikhlas melakukannya seumur hidupku.” Aku mengusap air mataku.
“Aku yang seharusnya minta maaf Ris. Aku yang melukaimu, aku yang selalu menyulitkan hidupmu. Seharusnya kamu biarkan saja aku mati, kamu biarkan saja aku sendirian. Aku tidak pantas mendapatkan kebaikan hatimu Ris. Aku... aku... aku sudah...” Gatara terisak.
“Bukankah aku sudah memaafkannya sejak dulu? Jika tidak, kamu pasti sudah ada di penjara sekarang.”
“Lalu apa yang membuatmu menangis? Kenapa kamu justru menangis saat aku tidak melukaimu?” tanya Gatara.
“Karena ada yang hal lebih menyakitkan. Hatiku sangat sakit saat kamu begitu membenciku tanpa ku tahu apa sebabnya,” ucapku lirih.
Gatara bergeming.
“Andai bisa kuulang semuanya, aku sangat ingin satu tahun yang lalu adalah saat hatiku mencintaimu, bukan membencimu.”
Deg....!
Saat itu aku merasa jantungku berhenti berdetak. Aku tidak tahu kalau Gatara bisa berbicara selembut dan seindah ini? Apakah saraf otaknya benar-benar sudah baik karena kecelakaan itu?
“Oh ya, seminggu lagi pengumuman kelulusan sekolah ya? Aku sudah tidak sabar menunggunya. Kedua orangtuaku menginginkan aku melanjutkan pendidikan ke New York. Menurutmu bagaimana Ris?” tanya Gatara.
“Eh... Bagus! Bukankah semua orang menginginkan hal seperti itu?” kataku sebal. “Tenang saja, aku tidak akan pergi jika tidak bersamamu,” kata Gatara sambil tersenyum seperti bisa membaca pikiranku.
Aku tertawa dan sejak hari itu hidupku jauh lebih baik. Setidaknya tidak ada lagi orang yang akan menyerempetku hingga terjatuh saat aku berjalan sendirian, karena orang itu sekarang selalu melangkah bersamaku dan menggenggam tanganku untuk tidak pernah terjatuh.



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Friday, September 20, 2019

Rahasia Sang Perindu



Adifa menatap tubuhnya di depan cermin besar yang berdiri kokoh di dinding kamarnya. Senyumnya mengembang menatap wajahnya yang sempurna dengan polesan make up natural. Tubuhnya yang tinggi dan kulit putih bersih. Tubuh indahnya dibalut pakaian muslim yang memadukan warna cream dan hitam.
      Drrt.... Drrt... Drrt...
      Getaran ponsel di atas meja rias membuyarkan lamunannya.
      "Hallo... " Suara lelaki di seberang telpon terdengar merdu di telinga Adifa.
      "Iya Mas. Aku sudah siap." Adifa bergegas meraih tas dan keluar dari kamarnya.
      "Iya. Mas tunggu di depan." Komunikasi via telepon itu terhenti. Adifa memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Berjalan ke halaman rumah, tempat Mas Ardi memarkirkan mobilnya.
      Seketika mobil itu melaju menuju sebuah Masjid. Kedua kakak beradik itu akan menghadiri acara Tabligh Akbar yang di selenggarakan di salah satu Masjid kota itu.
      Adifa melangkahkan kakinya menuju shaf para wanita berkumpul. Sedangkan Ardi berada di shaf laki-laki.
      Dua jam berselang, mereka keluar dari Masjid. Adifa merasa hatinya lebih tenang, lebih damai dan indah dengan siraman rohani yang sering ia dengarkan bersama kakaknya.
      "Dif, ini ada titipan untukmu." Ardi mengulurkan sebuah amplop dari sakunya.
      "Dari siapa, Mas?" tanya Adifa penasaran.
      "Dari Maulana."
      "Wah... Kak Maulana baik ya Mas? Udah kasih THR duluan. Mas Ardi aja belum kasih THR buat aku." Adifa menatap amplop itu, membolak-balik, menerawang isinya lewat cahaya yang masuk di jendela mobil.
      "Ngapain diterawang segala. Langsung dibuka aja!" celetuk Ardi sambil mengendalikan setir mobilnya.
      Adifa tersenyum. "Benar juga kata Mas Ardi," batinnya sembari membuka amplop yang diberikan Maulana.
      Adifa membelalakkan matanya, karena amplop itu bukan berisi uang. Melainkan sebuah surat yang tidak tahu apa isinya. Cepat-cepat ia memasukkan amplop itu ke dalam tasnya sebelum kakaknya melihat.
      "Kenapa dimasukkan?" tanya Ardi penasaran.
      "Nggak papa. Nanti aku buka di rumah aja Mas." Adifa membuang pandangannya ke arah jendela. Menikmati pemandangan tepi jalan untuk mengalihkan pembicaraan dengan kakaknya.
      Sesampainya di rumah, Adifa langsung masuk kamar. Mengunci pintu kamar rapat-rapat. Perlahan ia mengeluarkan surat dari dalam tasnya. "Kenapa Kak Maulana berkirim surat? Bukankah bisa menelepon atau datang langsung ke rumah untuk berbicara?" batin Adifa. Adifa begitu mengagumi sosok pria seperti Maulana. Lelaki tampan yang baik hati, soleh dan santun. Namun, Adifa selalu merasa Maulana tak menyukainya, Maulana selalu menghindar tiap kali bertemu dengannya. Sebab Maulana begitu menjaga pandangannya terhadap perempuan.

      Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
        Adifa... bersama dengan surat ini, aku ingin menyampaikan perihal penting untukmu.
      Aku sudah melakukan perjalanan selama puluhan hari untuk mencari ridho Illahi.
      Aku sudah melakukan perjalanan selama puluhan hari untuk sekedar tahu isi hatimu.
      Aku bertanya pada semua yang telah bersamamu sepanjang hidupmu, Abah, Umma dan Masmu.
      Aku sudah mantap bahwa kamu adalah wanita terbaik dari pilihan yang baik.

      Telah lama aku buang khayalanku agar tak merindukanmu, namun aku gagal.
      Aku hanya lelaki biasa yang Tuhan ciptakan dengan hati untuk mengagumimu.
      Aku tak ingin terus-menerus merahasiakan rasa rinduku.
      Aku ingin mengungkapkan semua rasa dihadapan Allah.
      Jika berkenan, ijinkan aku meminangmu dengan ijab kabul.

      Tak perlu membalas surat ini. Cukup beritahukan kepada Ardi jika kamu menerimanya.
        Aku akan membawa serta keluargaku menemui Abah dan Umma.
        Wassalamu'alaikum warohmatullahi Wabarokatuh.


      Adifa berlari keluar kamar sembari berteriak memanggil nama kakaknya.
      "Ada apa sih teriak-teriak?" tanya Ardi.
      "Mas, amplop dari Kak Maulana itu bukan THR. Tapi lebih mahal dari THR." Adifa sangat seumringah mengungkapkannya.
      "Oh ya? Apa dong?" tanya Ardi.
      "Baca!" pinta Adifa sambil menyodorkan surat dari Maulana.
      Ardi tersenyum setelah membaca surat dari Maulana. "Alhamdulillah... Akhirnya cinta adikku terbalaskan."
      "Apaan sih Mas!?" Adifa tersipu, pipinya terlihat memerah.
      Ardi tersenyum menggoda. "Nanti akan Mas bicarakan dengan Umma dan Abah saat mereka pulang. Maulana itu pria yang baik. Sebentar lagi dia akan jadi ustadz muda yang ganteng dan pastinya digandrungi banyak perempuan."
      "Lalu?"
      "Lalu kamu akan patah hati jika tidak segera menerima pinangannya. Dia pasti akan bertemu dengan wanita yang lebih baik yang mampu merebut hatinya," sergah Ardi.
      "Aku mau kok Mas," tutur Adifa penuh semangat.
      "Bagus. Akhirya Sang Perindu itu tak lagi merahasiakan dirinya," ucap Ardi sambil berlalu pergi.
      "Maksudnya, Mas?" tanya Adifa penasaran.
      "Sudah lama Maulana menyimpan rasa cintanya untukmu. Hanya saja karena belum muhrim, ia tak ingin dekat denganmu. Saat aku bilang jika kamu begitu mengagumi dia, dia langsung membuat keputusan yang sangat indah." Ardi mengerdipkan salah satu matanya.
      Adifa tersenyum bahagia. Ia tak menyangka jika rahasia hati antara dia dan Maulana bisa terungkap. Sepandai apapun manusia menutupi rahasia hatinya, Allah akan tahu. Dan beginilah cara Allah menyatukan dua insan yang saling mencintai karena Allah.

Rasi Bintang Risa




 Iwan adalah salah satu aktivis pecinta alam. Kali ini, Iwan dan teman-temannya memilih menginap di daerah batu dinding demi bisa menikmati indahnya sunrise dari ketinggian.
      Tenda-tenda kemah telah mereka persiapkan di kaki bukit batu dinding.
      "Wan... cari air dulu ya!" salah satu temannya menyodorkan dua buah jerigen lima liter. Mereka harus mencari air untuk memasak malam ini.
      "Bentar. Sama siapa?" Iwan sibuk menyiapkan kamera DSLR -nya, bersiap membidik setiap moment yang ada di depan matanya.
      "Sendiri. Yang lain belum kelar bikin tenda."
      "Ah, nggak mau kalau sendiri!" Iwan menolak tanpa basa-basi.
      "Nggak masak kita ini. Nggak ada air Wan!"
      "Ogah bawa-bawa air jerigen beratnya gitu. Suruh yang lain aja!" Iwan ngeloyor pergi meninggalkan teman-temannya yang sedang sibuk mempersiapkan tenda.
      Iwan melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, membidik setiap objek yang menarik perhatiannya.
      Waktu terus bergulir, sore berganti malam.
      "Wan... mau minum?" Risa menyodorkan segelas kopi hangat.
      "Makasih." Iwan meraih gelas yang diberikan Risa tanpa menoleh sedikitpun.
      "Belum ngantuk?" tanya Iwan.
      Risa menggeleng. "Terlalu berharga saat ini untuk di lewati. Semakin malam, tempat ini semakin indah." Risa berdiri di tepi batu dinding. Dengan ketinggian kurang lebih 500 meter, ia bisa melihat dengan jelas taburan bintang-bintang yang menghiasi angkasa. Sungguh pemandangan yang langka. Yang tak pernah ia saksikan di perkotaan.
      Risa menarik napas panjang. Memejamkan matanya, merasakan desir angin yang menggelayut manja menyentuh rambutnya.
      "Suka bintang?" Iwan tiba-tiba sudah berdiri di sisinya.
      "Iya. Aku suka banget sama bintang. Terutama rasi bintang scorpio."
      "Kamu tahu mana rasi bintang scorpio itu?" Iwan mengangkat satu alisnya menatap wajah Risa.
      "Tahu. Itu!" Risa menunjuk kumpulan bintang yang membentuk rasi bintang scorpio.
      "Alasan kamu suka rasi scorpio apa?" tanya Iwan.
      "Ya, karena aku lahir di bulan november dan zodiak aku scorpio."
      "Oh ya? Kalau rasi bintang Aries yang mana?"
      "Hmm..." Risa menatap langit dengan seksama. Matanya memburu rasi bintang aries. "Nah... itu dia! Sangat simple."
      Iwan mengangguk-anggukan kepalanya.
      "Bintangmu Aries?" tanya Risa.
      Iwan mengangguk.
      "Hmm... memang sangat cocok denganmu."
      Mereka bergeming selama beberapa menit. Membiarkan angin yang menyapa dan mengajak mereka bercanda. Tak ada kata satupun yang keluar dari mulutnya.
      Risa asyik menikmati jutaan bintang yang bertaburan di atas kepalanya. Ia merasa sedang menari dengan jutaan bintang-bintang. Melayang bersama kebahagiaan. Ia ingin malam ini tak berakhir. Tak peduli dengan Iwan yang diam-diam membidiknya dengan kamera. Ia lebih memilih menikmati waktu bersama bintang-bintang. Melupakan sejenak rasa cinta yang ia pendam. Iwan tak pernah menerima perhatian yang Risa berikan. Itu sudah cukup membuat hati Risa mantap melupakan Iwan. Melupakan semua perasaannya, melupakan semua harapan-harapan tentangnya.

* * *

        Tiga Tahun kemudian...
      Risa melangkahkan kakinya menyusuri gedung pameran photography. Satu per satu menikmati indahnya hasil jepretan kamera profesional para photographer.
      Matanya tertuju pada sebuah foto berukuran 200x200. Foto yang indah... seorang gadis berambut panjang di bawah taburan bintang-bintang. Ia terlalu familiar dengan gambar itu. Ya, itu potret diri Risa tiga tahun lalu di atas batu dinding.
      Risa membaca sebuah note yang tertera di bawah foto. Judul "Rasi Bintang Risa". Karya : "WanRis"
      Lama Risa berdiri mematung di depan potret dirinya sendiri. Bergeming. Bibirnya beku. Air mata menetes mengingat masa di mana ia begitu mencintai Iwan. Jauh di dalam lubuk hati, ia masih sangat mencintai Iwan. Satu-satunya pria yang mempu merebut perhatiannya. Gayanya yang dingin membuat Risa semakin ingin mendekatinya. Namun, Iwan terlalu dingin untuknya, hatinya terlalu beku. Risa tak berhasil mencairkan hati Iwan.
      Tapi, hari ini waktu berkata lain. Jika Iwan tak menganggapnya. Kenapa ada foto ini? Kenapa namanya berubah menjadi WanRis? Apakah itu singkatan Iwan dan Risa?
      "Ris... maafkan aku!" Suara Iwan mengejutkan Risa. Risa membalikkan tubuhnya, menatap tubuh Iwan yang telah jauh berubah. Rambutnya gondrong dengan kumis yang menghiasi wajahnya. Moment di atas batu dinding itu adalah saat perpisahan mereka. Sejak itu, mereka tak pernah bertemu selama tiga tahun.
      "Iwan..." Mata Risa berkaca-kaca menatap tubuh Iwan yang tegap. Ingin rasanya memeluk pria itu dan mengatakan kalau Ia mencintainya.
      "Aku terlalu naif untuk menunjukkan perasaanku sendiri."
      "Lupakan saja! Waktu tidak pernah bisa kembali lagi. Aku telah memutuskan melupakanmu. Aku telah memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Kini aku telah termiliki, kuharap kamu mengerti. Biarkan kisah kita jadi kenangan!" Risa meninggalkan Iwan yang mematung.
      Ada rasa sesal dalam hati Iwan. Andai saja ia bisa membalas perhatian Risa tiga tahun lalu. Mungkin saat ini hatinya tak selalu gelisah merindukan gadis cantik yang berhasil mengganggu hatinya.


Puisi Akrostik | Rahma Nur Syifa Solehah | Rembulan di Atas Rembulan


 
pixabay.com

Judul Puisi "Rembulan Di Atas Rembulan"


Rembulan bersinar terang
Aku menikmatinya di ruang kelam
Hatiku merekah terterkam cahayanya
Mataku memantulkan cahaya keindahan
Anganku terbang melayang jauh ke angkasa

Niatku untuk mengulum cahaya
Ukirkan keindahan seluas angkasa
Rangkai berjuta cahaya penuh warna

Saat aku termenung menyapa diriku sendiri
Yang hanya meninggalkan jejak-jejak kesendirian
Indahnya dunia tak seindah kesendirianku
Fitrahku mengagumi cahaya di atas cahaya
Asaku ku ukir indah bersamanya

Saat itu, kesendirian jadi penenang tidurku
Obat yang mujarab bagi kegelisahan
Lukisan cahaya rembulan di atas rembulan
Elok tak terkira
Hanya aku yang ada di sini
Aku ingin ada di antara kalian
Harapan yang tak putus tergantung di atas rembulan


ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 22 Juli 2018

Puisi Akrostik | Caca Rahmadi | Ceria Kita


 
pixabay.com

Judul Puisi “Ceria Kita”

Karya : Rin Muna

Cerita kita hadir bukan tanpa alasan
Antara kau dan aku sudah jadi suratan
Ceria kita hadir bukan tanpa balasan
Antara aku, kau dan mereka sudah jadi ingatan

Rasa cinta kan mengalahkan segala hina
Angkara yang kadang merasuk ke dalam jiwa
Hanya tawa ceria yang mampu meredam segala
Marah yang terkadang membawa petaka
Akankah cerita kita berakhir sengsara
Dan kamu hanya jadi bagian terlupa
Inginku ... selamanya kita bersama dan bahagia

Kalimantan Timur, 18 Oktober 2018

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas