Tuesday, March 5, 2019

Puisi | Hujan Musim Kemarau

Free-Photos
Di antara miliaran debu yang beterbangan
Kau tiba-tiba hadir mengukir sebuah kenangan
Di antara dedaunan yang mengering
Kau tiba-tiba hadir membawa kesejukan

Dari tanah gersang kering kerontang
Kau datang membasahi setiap retakan tanah gersang
Merasuk sampai damai dalam kehangatan

Setetes demi setetes kau jatuh ke bumi
Membasahi langkah kaki yang hampir mati
Menyejukkan jiwa yang hampir lelah menanti
Menanti air yang menghidupkan kembali pohon-pohon yang mati
Menyuburkan kembali tanah-tanah tandus di tengah hari
Melukis keindahan warna di antara terik matahari

Hujan ...
Tiba-tiba kau datang di tengah kemarau
Saat aku hampir putus asa mencari sumber kehidupan

Dan kamu ... hati dan jiwa yang selalu di sisi
Kunanti lembutnya jemari menyejukkan hati
Kini sudah hujan
Jangan kau hiasi kisah kita dengan amarah
Jangan kau hiasi kisah kita dengan panas mentari membara
Tetaplah di sini bersama hujan di tengah kemarau
Agar kamu tahu, kisah kita menentramkan hati
Agar kamu tahu, kisah kita menyejukkan jiwa
Maka jangan pernah berpikir pergi 
saat aku tak mampu memberimu setetes cinta di musim kemarau
Sebab kita hanya butuh waktu
Untuk membasahi kisah kita yang menggersang
Aku tak kan biarkan hatimu terbakar
Sebab hujan pasti datang
Dan kita tetap bersama
Sampai musim kemarau dan hujan yang akan datang




Rin Muna
Kutai Kartanegara, 05 Maret 2019

AKU SENIOR (Senang Istri Orang)

Kimpton_House

Lagi-lagi aku ada di salah satu rumah temanku cuma untuk ngumpul bareng. Sebenarnya, ini rumah temannya temanku. Awalnya aku tidak mengenal si pemilik rumah. Namun, karena temanku sering mengajak aku ke kedainya. Akhirnya aku bisa mengenal dan akrab dengan si pemilik rumah.

Mas Andri, si pemilik kedai tempat kami ngumpul sebenarnya masih sebaya denganku. Hmm ... walau ku akui usiaku 2 tahun lebih muda darinya. Hampir setiap malam aku dan teman-temanku berkumpul di kedai Mas Andri. Kedainya berada tepat di sebelah rumahnya.

Awalnya ... semua terasa biasa saja. Kami ngumpul dan bermain game online secara bersama-sama. Kebetulan di kedai Mas Andri ada fasilitas wifi gratis. Jadi, kami bisa numpang bermain bersama sambil ngopi. Tak ada hal yang aneh ketika kami berkumpul bermain Mobile Legend atau PUBG.

Sesekali kami bermain gitar sambil bermain bersama. Untuk melepas penat sejenak di sela-sela bermain game. Aku sama saja seperti yang lain, menikmati sebuah kebersamaan dalam sebuah ikatan pertemanan. Tidak ada yang berbeda, hanya saja tiba-tiba hatiku berubah.

Hari itu, tiba-tiba aku merasakan hal yang berbeda ketika melihat Starla, istri dari Mas Andri. Aku merasa aku sudah gila. Aku mulai menyukai sosok wanita yang awalnya terlihat biasa saja. Bagaimana bisa perasaanku menjadi berbeda. Apa iya aku menyukai seorang wanita yang sudah bersuami dan punya anak? Sementara aku sendiri belum pernah menikah.

Starla adalah wanita yang istimewa di mataku. Tidak, tidak hanya di mataku, tapi juga di mata masyarakat sekitar. Dia wanita yang humble, ramah, baik dan menginspirasi. Bagaimana tidak? Hampir semua yang dilakukan Starla selalu menjadi pusat perhatian warga sekitar. Misalnya ... ketika ia membawa nama baik Kelurahan tempat tinggalku. Tidak hanya sekali, tapi sudah berkali-kali. Ada banyak piala dan penghargaan yang berjejar rapi di ruang tamunya. Aku rasa hampir semua orang mengetahuinya. Dia wanita yang inspiratif, cerdas, dengan penampilan apa adanya. Tidak pernah menunjukkan kehebatannya di depan orang lain. Bahkan ia selalu bisa menghibur dengan celoteh-celotehan lucunya. Bagiku dia sosok wanita yang sempurna. Betapa beruntungnya Mas Andri bisa mendapatkan Starla.  Wanita impian hampir semua pria. Wait! Tidak hanya itu, dia juga termasuk wanita yang selalu menjaga auratnya.

Aku sudah mengenal banyak wanita. Namun, tidak ada wanita yang seperti Starla. Entah kenapa Tuhan menciptakan stock wanita seperti Starla itu sangat langka. Apa karena aku bukan laki-laki yang baik, hingga aku belum juga dipertemukan oleh wanita yang baik di usiaku yang menginjak 27 tahun.

Aku pernah pacaran dengan Selvi, anak Pak Lurah yang terkenal cantik dan keren. Tapi ... bagiku dia terlalu manja. Aku paling tidak suka dengan sifatnya yang suka merengek. Aku putuskan untuk meninggalkannya. Jelas aku ingin wanita mandiri seperti Starla. Dia wanita yang jarang mengeluh. Bahkan aku menyaksikan sendiri dia dengan senang hati dan bahagia ketika harus berpanas-panasan mengangkut batu bata. Duh, andai aku jadi Mas Andri, tidak akan aku biarkan perempuanku bekerja sekeras itu walau untuk membangun rumah sendiri.

Hmm ... lagi-lagi pikiranku tertuju pada Starla tiap kali ingin menceritakan wanita lain. Ada apa sebenarnya dengan perasaanku, ini sangat aneh!

Aku pernah pacaran dengan Nayla, anak Pak Haji di kampungku. Dia baik, agama baik dan agamis. Harusnya aku senang memiliki wanita seperti itu. Tapi ... aku kurang nyaman dengan wanita yang agamanya lebih baik dariku. Telingaku rasanya panas setiap kali mendengar ceramah-ceramahnya. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Akhirnya aku memilih pergi meninggalkannya.

Elsa juga salah satu wanita yang pernah jadi pacarku. Anaknya baik, ceria dan mandiri. Hanya saja, dia punya sisi negatif yang bisa dibilang membuatku senang dan juga tidak. Senangnya, dia wanita yang mudah diajak tidur bareng. Karena sebelum menjadi pacarku, dia juga sudah pernah tidur dengan beberapa temanku. Wanita seperti dia hanya cocok dijadikan teman tidur, bukan untuk menjadi seorang istri.

Maria adalah wanita yang juga pernah menjadi pacarku. Anaknya jelas cantik, supel tapi materialistis. Hmm ... wanita matre memang wajar. Tapi kalau sampai menguras dompet, sepertinya aku harus berpikir dua kali menjadikannya pasangan hidup. Bisa-bisa aku bangkrut dalam sekejap.

Entah berapa wanita yang sudah dekat denganku. Tapi tak satu pun yang bisa menarik hatiku untuk menjalin hubungan lebih serius dengan ikatan pernikahan.

Berbeda ketika aku melihat Starla. Ada rasa ingin membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia setiap kali sosoknya ada di depanku. Aku selalu berusaha mengalihkan pandangan dan perhatianku pada ponsel pintar yang aku genggam. Namun, hatiku tetap saja tidak bisa berkata bohong. Dia terlalu mengagumkan untuk aku lewatkan.

Setiap kali aku mencoba mencari sisi jelek dari Starla, saat itu juga aku justru semakin kagum dengan wanita yang satu ini. Aku ingin mencari sisi jelek dari tubuhnya agar bisa kubenci, namun aku gagal. Aku cari sifat jelek yang ada dalam dirinya, dan aku juga gagal. Dia wanita yang baik, teman yang baik, sahabat yang baik, istri yang baik, ibu yang baik, tetangga yang baik dan warga yang baik. Setidaknya itulah yang aku temukan dalam pencarianku mencari keburukan Starla.

Aku sendiri tidak paham kenapa hatiku harus terpincut pada Starla. Aku benar-benar seorang Senior alias Senang Istri Orang. Starla jelas sah sebagai istri dari Mas Andri. Mereka keluarga yang terlihat harmonis dan bahagia. Ah, haruskah aku hadir untuk menghancurkan kebahagiaan seindah itu?

Semakin aku tepis rasa suka itu, justru semakin kuat bersarang di hatiku. Aku hampir tersiksa karena ini. Bagaimana kalau teman sepermainan mengetahui perasaanku kali ini? Haruskah aku menjadi bahan tertawaan? Jelas mereka akan bilang kalau aku ini gila!

"Riz, kok ngelamun? Entar kesambet loh." Aku gelagapan ketika wanita itu menyapaku sembari menyuguhkan secangkir kopi yang aku pesan.
"Eh ... oh ... eh ... Starla. Mas Andry mana?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Lagi ke rumah Pak RT sebentar. Ada keperluan katanya." Mbak Starla memberikan minuman pada teman-temanku yang lainnya.
Tiba-tiba si kecil muncul dan bergelayut manja di kaki Starla. Dengan sabar dia mengangkat tubuh mungil anaknya dan menggendongnya sambil mengajaknya menyanyikan lagu anak-anak.

Ah, Dia memang pandai membahagiakan anaknya. Andai saja aku punya istri sebaik dia, pastilah hidupku bahagia sekali.
Starla hanya keluar ke kedai untuk mengantarkan pesanan minuman. Kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu rumahnya. Aku terus memandangi pintu itu, berharap dia dan putera kecilnya muncul dan menemani kami bercerita seperti biasanya. Tapi sepertinya dia memilih di dalam rumah karena Mas Andry memang tidak ada di kedai. Biasanya dia mengajak kami bercanda renyah bersama Mas Andry. Mas Andry juga laki-laki yang tidak cemburuan, dia terlihat ikut tertawa mendengar candaan Starla di antara kami. Starla memang pantas mendapat pendamping sebaik Mas Andry. Kalau aku yang di sana, aku pasti sudah marah dibakar rasa cemburu.

"Rizal...!!!" Telingaku rasanya mau pecah ketika Aron dengan sengaja memanggil namaku tepat di kuping sebelah kanan.
"Apa sih?"
"Ngelamun mulu! Ayo, main!" ajak Aron dan yang lainnya.
Aku menganggukkan kepala dan kembali fokus bermain game bersama mereka. Aku tidak mungkin bercerita tentang Starla kepada mereka. Kami hanya bercerita seputar pekerjaan dan bisnis. Tidak ada hal lain yang kami ceritakan. Yah, sesekali cerita soal wanita jadi selingan juga sih.

Keesokan harinya aku berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Di sisi jalan terparkir sebuah motor dengan seorang wanita berdiri di sisinya.
"Starla? Kamu ngapain di sini?" tanyaku saat menghampiri.
"Motorku mogok." Starla menatapku dengan wajah iba. Duh, wajahmu bikin duniaku mau runtuh. Apa tidak bisa memberiku senyum? Senyummu itu indah..
"Bengkel masih agak jauh dari sini. Mau kubawakan ke bengkel motornya? Kamu pakai motor aku!"
"Nggak ngerepotin? Kamu kan mau berangkat kerja?"
"Nggak masalah. Kerjaanku santai kok."
"Ya udah kalau gitu. Makasih banyak ya!"
"Belum juga aku nolongin, udah makasih aja," celetukku.
Starla tergelak. Akhirnya kami saling bertukar motor, dia memakai motorku sedangkan aku memilih mendorong Starla sampai ke bengkel.
"Sudah lama mogoknya? Kayaknya kamu sudah keringatan? Abis dorong motor?" tanyaku sok tahu.
"Iya. Mogoknya di balik gunung sana. Aku mau ke bengkel lumayan jauh. Jadi harus aku dorong dengan susah payah."
"Kenapa nggak telpon suami atau teman, minta bantuan?" tanyaku.
"Nggak ada pulsa, hehehe."
"Ya ampun ... hari gini masih nggak punya pulsa."
"Yah, aku kan nggak kerja. Mana ada biaya buat belu pulsa, hihihi..."
"Emang suami ndak ngasih?" tanyaku penasaran.
Starla menggelengkan kepala. "Dia nggak pernah ngasih uang selain uang jajan anaknya."
Aku mengerutkan kening mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Starla. Ini kenyataan yang mengejutkan bagiku. Apa benar Mas Andry tidak pernah memberikannya uang?

"Apa maksudnya Mas Andry selama ini tidak menafkahi kamu?" tanyaku lagi.
Starla menggelengkan kepalanya. "Semua kebutuhanku selalu dia penuhi," jawabnya sambil tersenyum.
"Oh ... Alhamdulillah kalau begitu." Aku menarik napas lega karena kekhawatiranku tidak terjadi. Aku tidak bisa membiarkan wanita sebaik dia tidak mendapatkan kebahagiaannya. Kalau sampai beneran Mas Andry tidak membuat hidup Starla bahagia, akulah orang pertama yang akan merebut Starla dari tangannya.
"Makasih ya pinjaman motornya. Nanti aku susulkan ke bengkel. Aku jemput adikku pulang sekolah dulu," pamit Starla membuyarkan lamunanku. Duh, aku habis mikirin apa sih barusan? Bisa-bisanya niat jahat itu bersarang di otakku.
Starla segera melajukan motorku menuju sekolah adiknya, sementara aku mendorongkan motor Starla sampai ke bengkel terdekat.
Aku mengipas-ngipas tubuhku sesampainya di bengkel. Keringat deras bercucuran dari sela-sela rambutku. Sepertinya aku kehausan dan bengkel ini tidak menjual minuman satu pun. Aku memilih diam dan menahan rada haus ketimbang harus mencari warung yang jaraknya lumayan jauh.
Hampir 30 menit aku berada di bengkel, Starla dan adiknya menyusul ke bengkel untuk mengembalikan motorku.
"Riz, makasih banyak ya bantuannya!" Starla tersenyum sembari menyerahkan kunci motor milikku.
"Iya, sama-sama." Aku meraih kunci tersebut dan berbicara dengan petugas bengkel kalau Starla adalah pemilik motor yang aku bawa.
"Anisa mau pulang sama Kakak?" Aku memberikan tawaran pada Anisa, adik Starla.
Anisa menggelengkan kepalanya.
"Gak papa Nisa pulang duluan bareng Mas Rizal. Mbak nunggu motornya selesaj dulu."
Anisa akhirnya menganggukkan kepala setelah melewati rayuan maut.
Akhirnya aku mengantar Anisa pulang terpebih dahulu.
"Anisa kelas berapa sekarang?" tanyaku basa-basi.
"Kelas 5 SD."
"Oh ... tinggalnya bareng Mbak Starla dan Mas Andry ya?"
"Iya."
"Mas Andry baik banget ya?" tanyaku kepo.
"Gak juga. Dia sering marahin Mbak Starla," jawab Anisa.
"What!? Seriusan? Marahin kenapa?"
"Nggak tau, Kak."
"Mereka sering berantem?" tanyaku lagi.
Anisa menganggukkan kepala. Aku mengantarkannya sampai rumah dan langsung berangkat ke tempat kerja.

Hmm... di luar terlihat sangat bahagia dan harmonis. Tapi tidak begitu si dalamnya.
Starla memang pandai sekali menyembunyikan  masalahnya. Sampai-sampai aku tidak tahu kalau sebenarnya hidupnya bermasalah dan tidak.bahagia.
Kalau begini terus, bisa-bisa aku beneran merebut Starla dari tangan Mas Andry. Ah, tapi aku tidak akan setega itu. Starla terlihat sangat bahagia dan mencintai Mas Andry. 
Aku menyukai wanita yang salah. Aku jatuh hati pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain. Berhari-hari hati dan pikiranku disiksa oleh perasaan yang aku sendiri tidak mengerti. Sepertinya aku memang sudah gila. Bagaimana bisa aku senang sama istri orang sedangkan masih banyak wanita single dan baik di dunia ini.
Aku berusaha menepis jauh perasaanku. Semoga perasaan kagum ini hanya sementara karena aku belum juga menemukan wanita yang lebih baik dari Starla. Akan ada hari yang menggantikan perasaanku pada Starla atau justru semakin membuatku gila.

Bisakah aku tidak peduli dengan omongan orang? Bisakah aku tidak peduli cibiran orang ketika mereka tahu aku menjadi Senior alias senang istri orang? 
Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana aku tersiksa dengan perasaan ini. Kalau boleh memilih, aku akan jatuh cinta pada wanita lain yang belum menjadi milik orang. Kenapa Tuhan menambatkan hatiku pada wanita yang jelas-jelas sudah menjadi istri orang? Ini benar-benar gila, aku sudah hampir gila karena perasaan ini.

Aku selalu berusaha menghindari pertemuan dengan Starla. Entah kenapa, Tuhan sepertinya menakdirkan kami untuk sering bertemu. Aku mencoba mencari pacar lain supaya aku bisa move on dari Starla. Tapi, tetap saja pikiranku tertuju pada wanita istimewa itu sekalipun aku sedang jalan bersama wanita lain.

Maaf ... jika suatu hari nanti aku merebut Starla dari tangan suaminya, atau aku memilih hidup sendiri seumur hidupku sampai aku temukan wanita sebaik Starla.





Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 5 Maret 2019



 ______________________


Dilarang keras menyalin,mengutip, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com



Saturday, March 2, 2019

Sedekah #2

Edward Eyer

Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com

***

Hari ini, jam 3 siang aku pulang kerja seperti biasa. Dari rumah ke kantor jaraknya memang cukup dekat, hanya 3 kilometer. Aku mengendarai sepeda motorku seperti biasa.
Sesampainya di rumah, ada dua keponakanku yang kebetulan sedang bermain di rumah.
"Rin, ada Yanti sama Ahmad." Nenekku tiba-tiba muncul saat aku mau memasuki kamar.
"Iya ... sebentar." Aku sudah mengetahui mereka sedang bermain di teras rumah. Mereka hanya tertawa saja ketika aku menyapa. Sepertinya mereka sungkan denganku karena kami memang jarang bertemu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja atau di luar rumah.
Usai berganti pakaian, aku menghampiri dua keponakanku dan bermain bersama mereka. Tidak seperti biasanya mereka main ke rumah seperti ini. Bisa dihitung dalam setahun mereka main ke rumahku.
"Rin, kalau masih punya uang, kasih Yanti sama Ahmad ya!" pinta Nenek saat aku mengambil air minum di dapur.
Aku terdiam beberapa saat. Aku tahu banget berapa isi uang di dompetku. Hanya satu lembar uang hijau bertuliskan dua puluh ribu rupiah. Uang itu adalah uang terakhir dari gajiku bulan lalu. Rencananya mau aku pakai untuk membeli bensin besok sebelum berangkat ke tempat kerja. Aku benar-benar bingung, kalau uang itu aku berikan pada dua keponakanku, besok aku tidak bisa berangkat kerja karena tidak punya bensin. Kalau uang itu aku pakai buat beli bensin, kasihan dua keponakan yang jarang sekali main ke rumahku ini. Aku menghela napas perlahan sembari meminum segelas air agar bisa berpikir lebih jernih dan sehat.
"Mereka jarang main ke sini. Nggak kayak Sila sama Sinta, mereka sering main dan sering kamu kasih uang." Lagi-lagi Nenek membisikan kalimat itu di telingaku.
Aku menghela napas dan mengatakan, "Iya."

Bismillah ...
Insya Allah rezeki ada aja, kok.

Akhirnya aku masuk ke dalam kamar dan mengambil selembar uang dua puluh ribu rupiah yang menjadi penghuni terakhir dompetku. "Ya Allah ... aku ikhlas. Semoga saja mereka senang menerimanya," batinku dalam hati.
Aku bergegas menghampiri Yanti dan Ahmad yang sedang asyik bermain boneka di ruang tengah.
"Yan, ini buat kalian. Dibagi berdua ya!" Aku menyodorkan selembar uang kertas berwarna hijau ke arah Yanti."
"Nggak usah, Bi." Yanti berusaha menolaknya. Dia memang salah satu keponakanku yang terlihat sangat dewasa dan memiliki jiwa keprihatinan lebih. Sulit sekali jika di suruh makan di rumah. Mungkin saja kedua orang tuanya melarang kalau dia sering makan di rumah bibinya. Sehingga, jarang sekali ia mau makan di rumahku. Berbeda sekali dengan Sila dan Sinta. Mereka sudah terbiasa ke rumahku. Tidur dan makan di rumah, tak ada rasa sungkan atau malu sehingga aku juga sering memberi mereka uang jajan. Dua anak dari dua kakakku ini memang sangat terlihat perbedaannya. Yanti dan Ahmad adalah anak dari kakak pertamaku, sedangkan Sila dan Sinta adalah anak dari kakak keduaku. Aku sendiri anak yang nomor empat dan belum berumah tangga.

"Nggak papa, ini buat kalian. Kalian jarang main ke rumah Bibi. Bibi cuma bisa kasih uang jaajan sekali-sekali aja." Aku masih mengulurkan uang tersebut sampai akhirnya Yanti meraihnya sembari mengucapkan terima kasih.

Setengah jam kemudian, mereka pulang ke rumahnya karena hari sudah sore dan kebetulan Yanti harus pergi sekolah sore. Usai mereka pulang, aku merebahkan diri ke atas kasur. Memilih untuk tidur karena tubuhku lumayan lelah.

Belum sampai memejamkan mata, ponsel yang masih aku letakkan di dalam tas berdering. Aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Halo ... Assalamu'alaikum ...!" Sapaku ketika mengangkat panggilan telepon.
"Wa'alaukumussalam ... kamu di mana, Rin?" Bu Said langsung melempar pertanyaan tanpa basa-basi.
"Di rumah, Bu. Kenapa?" tanyaku.
"Abis Maghrib bisa ke sini, kah? Ada proposal yang harus diketik," jelas Bu Said.
"Abis Maghrib ya, Bu? Insya Allah bisa, Bu."
"Ya udah. Ibu tunggu ya!"
"Iya."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Panggilan kami pun berakhir.

Alhamdulillah ... ada kerjaan tambahan. Setidaknya bisa dapat uang bensin untuk berangkat kerja besok pagi. Usai pulang kerja, aku terkadang menjadi pekerja freelance dengan menjual jasa ketik. Kebetulan Bu Said punya usaha konter pulsa dan ATK yang kebetulan juga menerima jasa pengetikkan. Jadi, setiap kali ada orang yang membutuhkan jasa ketikan, Bu Said akan memanggilku untuk membantunya. Upahnya sendiri bervariatif tergantung pada pekerjaan yang diberikan untukku.

Usai sholat Magrib, aku berangkat menuju rumah Bu Said. Di sana Bu Said dan suaminya sudah menunggu kedatanganku.
"Tolong ketikkan proposal ini ya!" Pak Said menyodorkan lembaran kertas yang masih berupa tulisan tangan.
"Oke." Aku langsung bersiap di depan layar komputer dan mulai mengetik setiap huruf yang tertera di kertas itu.
Pak Said sibuk melayani pelanggan yang berkunjung, memfotokopi atau menjual barang yang ada di tempat tersebut. Sementara Bu Said sibuk di dapur membuat kudapan. Sesekali kami bercanda dan tertawa. Pak Said adalah salah satu mantan atasan di tempatku bekerja. Aku sudah lumayan akrab dengannya. Banyak hal yang seringkali kami bahas bersama.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WITA. Pekerjaan pun sudah selesai aku kerjakan. Tinggal print out dan aku bisa pulang ke rumah.
Aku berdiri sembari meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk cukup lama.
"Pak, saya pulang ya!" pamitku pada Pak Said.
"Sudah kelar?" tanyanya sambil memainkan ponselnya.
"Sudah, Pak. Saya pulang ya, sudah malam juga ini." Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu jam dua belas malam.
"Berani, kah?" tanya Pak Said yang masih duduk di meja kerjanya.
"Insya Allah berani, Pak." Aku berusaha meyakinkan diriku kalau aku berani pulang seorang diri. Maklum saja, waktu sudah malam dan aku harus melewati jalanan sepi sepanjang 800 meter tanpa rumah satu pun.
"Ya sudah, hati-hati ya! Ini buat kamu." Pak Said menyodorkan empat lembar uang lima puluh ribuan.
"Banyak banget, Pak?" Aku tertegun menatap uang tersebut dan belum berani menerimanya. Bisa jadi dia hanya bercanda memberikan uang sebanyak itu.
"Iya, Alhamdulillah yang minta buatkan proposalnya ngasih honor lumayan." Pak Said tersenyum sambil menganggukkan kepala agar aku menerima uang darinya.
"Alhamdulillah ...." Aku meraih uang tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. "Terima kasih ya, Pak. Semoga makin banyak rejekinya! Jangan lupa panggil aku lagi kalau butuh jasa ngetik, hihihi." Aku tertawa geli saat mempromosikan diriku sendiri.
"Iya. Makasih ya sudah dibantuin," ucap Bu Said saat aku sudah berada di atas motor untuk pulang.
"Iya, sama-sama, Bu."Aku bergegas menstarter motorku, mengingat waktu sudah larut malam dan aku harus pulang ke rumah secepatnya.

Aku bersyukur, Allah tidak pernah salah memberikan rizkinya. Terkadang kita masih tidak percaya dengan kuasa Allah sebab tangan-Nya tak mampu kita lihat. Namun, banyak hal di sekitar kita yang semuanya telah diatur oleh Allah. Apa yang kita perbuat, itulah yang akan kita hasilkan. Padahal, aku hanya memberikan uang jajan dua puluh ribu rupiah pada keponakanku. Allah menggantinya dengan uang dua ratus ribu rupiah di saat yang tidak terduga. Benar, Allah akan mengganti sedekah kita menjadi sepuluh kali lipat sesuai dengan firman-Nya. Dan Allah menguji bagaimana keikhlasan hati kita ketika berada dalam titik sulit, kemudian Allah balas sesuai dengan apa yang kita perbuat ketika kita berada dalam kesulitan. Sebab Allah menciptakan kesulitan bukan untuk menjadikan kita ingkar, tapi untuk menjadikan kita manusia yang senantiasa bersyukur dan beribadah kepada Allah.

Dengan bersedekah, tidak akan mengurangi rezeki kita sedikitpun. Sedekah justru membuka pintu-pintu rezeki kita. Kalau dalam ilmu Matematika, satu dikurangi satu sama dengan nol. Di dalam ilmu Sedekah, satu dikurangi satu sama dengan dua. Banyak-banyaklah kita bersedekah semata-mata karena Allah.



Rin Muna
Samboja, 03 Februari 2019

Review Buku | SETIA | Yasir Husain


Review Buku
SETIA (Selagi Engkau Taat dan Ingat Allah)
Reviewer : Rin Muna




Judul Buku      : SETIA, Selagi Engkau Taat dan Ingat Allah
Penulis                 : Yasir Husain
Penerbit                : PT. Elex Media Komputindo
ISBN                    : 978-602-04-7978-1
Jml. Halaman       : xiii + 290
Harga                    : Rp –

Sinopsis :
Untuk sebuah kesetiaan, berjuanglah. Untuk sebuah kesetiaan, berkorbanlah. Untuk sebuah kesetiaan, jangan pernah menyerah. Sebab kesetiaan hanya milik orang-orang yang gigih berjuang, rela berkorban dan pantang menyerah.

Kesetiaan terbaik adalah setia kepada Allah, setia dalam rida-Nya. Setia menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Itulah kesetiaan sejati, kesetiaan bernama takwa.
Peliharalah keretiaan sejati itu. Setia kepada Sang Pencipta kehidupan untuk selalu berada di jalan-Nya. Jangan pernah bergeser sedikit pun. Sebab hanya dengan cara itu, engkau bisa setia pada cinta dan kehidupan.

Kelebihan Buku:
Buku religi yang asyik dibaca dengan gaya bahasa kekinian dan tidak membosankan. Pesan yang terdapat dalam buku tersampaikan dengan baik. Penulis mengajak berinteraksi dengan pembaca sehingga terasa sedang mengobrol dua arah secara langsung dengan penulis buku ini. Terdapat amalan-amalan doa yang diberikan penulis, sehingga kita bisa belajar agama dengan baik dan santai melalui buku ini. Di bagian akhir juga terdapat quote-quote dari penulis yang begitu indah.

Kekurangan Buku:
Buku ini sudah sangat baik, hanya saja beberapa hadist yang tidak disebutkan nomor hadistnya dan atau bacaan ayatnya.

Pesan  Menarik dalam Buku:
“Sebaik-baik cinta adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab dari sanalah semua kesetiaan sejati berawal. Sebaik kesetiaan adalah setia di jalan-Nya. Sebab hanya dengan itu, kita bisa setia pada cinta dan kehidupan. Sebaik-baik kehidupan adalah hidup dalam cinta karena-Nya, setia dalam takwa, dan istikamah hingga akhir.” — Yasir Husain.
“Seperti air yang selalu mencari celah untuk membasahi setiap yang kering, maka jadilah manusia yang selalu mencari kesempatan untuk menebar kebaikan. Sekecil apa pun itu, manfaatkanlah. Sebab kita tak pernah tahu amalan yang mana nantinya akan menyelamatkan kita di akhirat.”
“Kejarlah setiap janji kebaikan yang ditawarkan oleh Allah semaksimal mungkin. Seterjal apa pun jalannya, berusahalah melaluinya, sebab janji Allah pasti terjadi.”
“Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah sebab Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Walau begitu, jangan pernah menganggap dosa sebagai ajang coba-coba. Sebab, tak seorang pun yang tahu tentang berapa lama usianya di dunia ini.”




Review ini aku buat untuk sahabat-sahabatku di Komunitas Kacaku

Sedekah #1

SEDEKAH #1
Karya Rin Muna
Free-Photos
Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com
Balikpapan, 2005

Ini tahun kedua aku memasuki sekolah menengah pertama. Ada perasaan lega ketika aku mendapat predikat ranking 1 setiap semesternya. Setiap kali penerimaan raport dan mendapat ranking 1, Bapak selalu membelikan aku bakso. Sedangkan anak-anak lain yang tidak mendapat peringkat di kelasnya tidak ditraktir makan bakso, boleh ikut makan asalkan bayar sendiri. 

Oh iya ... aku tinggal di sebuah Panti Asuhan karena kedua orang tuaku tidak sanggup menyekolahkanku hingga sekolah menengah. Kedua orang tuaku sudah tua dan hanya menjadi buruh tani. Aku sendiri yang memilih tinggal di Panti Asuhan agar tetap bersekolah dan tidak membebani kedua orang tuaku. Aku juga masih punya dua orang adik yang duduk di sekolah dasar dan butuh biaya untuk sekolah.

"Rin, temenin aku ke BC, yuk!" ajak Ika di hari Minggu pagi. Ika adalah salah satu teman sekolah yang juga tetangga yang tinggal di sebelah panti.
"Mau ngapain?" tanyaku.
"Mau jalan-jalan sama main game." Ika cengengesan. Dia memang senang sekali bermain di Play Zone. Dia bisa menghabiskan uang lima puluh atau seratus ribu dalam sekali main. Bagiku, itu uang yang cukup besar karena aku cuma punya uang jajan seratus ribu untuk enam bulan. Sedangkan Ika, bisa menghabiskannya dalam waktu sehari. Memang enak menjadi orang kaya, apa yang diinginkan selalu terpenuhi. Jauh berbeda denganku yang harus lebih sabar ketika ingin membeli sesuatu.

"Izin dulu sama Oom!" pintaku. Setiap kali ingin bepergian, kami harus mendapat izin dari pengurus panti. Kami bahkan tidak diperbolehkan keluar dari area panti walau pergi ke warung sekalipun tanpa izin.

"Iya. Aku izinin, tapi kamu temenin aku ya!" pinta Ika, ia berlalu pergi ke rumah pengurus sedangkan aku langsung masuk ke kamar dan melipat pakaianku yang masih berhambur di atas ranjang.

"Dibolehin sama Oom, Rin. Katanya dia juga sekalian mau turun." Ika tiba-tiba saja mengintip dari balik jendela kamar yang kacanya terbuka. Alhamdulillah ... kebetulan aku ada sedikit tabungan untuk membeli tas dan sepatu yang sudah rusak.

"Naik motor Oom kah?" tanyaku sembari membukakan pintu kamar untuk Ika.

"Naik angkot aja. Katanya Oom sama Tante juga mau naik angkot, kok."

"Ya udah, aku siap-siap dulu ya."

"Iya, cepet ya!" Ika berlalu pergi meninggalkan panti, pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap.

Tak berapa lama, aku sudah siap. Aku tak punya banyak pakaian. Hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam dan kaos berwarna hijau muda. Kerudung yang aku pakai juga kerudung yang biasa aku gunakan untuk sekolah. Hanya kerudung sekolahku saja yang pantas untuk dipakai jalan-jalan. Untukku, ini sudah sangat bagus. Aku langsung keluar dari kamar dan naik ke pintu gerbang yang berada lebih tinggi dari bangunan utama panti asuhan ini. Tempat ini memang berada di atas bukit, sehingga posisi pintu gerbang berada di paling atas, langsung bersisian dengan jalan.

"Udah siap?" Oom langsung menegurku, "mana Ika ini?" Ia melirik arloji di tangan kirinya.

"Kita jemput ke rumahnya aja, Oom. Kan sekalian lewatin rumahnya." Aku memberi saran agar kami tak terlalu lama menunggu Ika. Lagipula, rumah Ika juga akan kami lewati saat kami akan keluar dari gang ini.

"Ya sudah. Tunggu tantemu dulu!" pinta Oom. 

Beberapa menit kemudian, Tante keluar dari rumahnya. Kami berjalan beriringan menuju rumah Ika sebelum akhirnya kami menaiki angkot menuju Klandasan. Angkot kami berhenti di seberang bangunan Balikpapan Center. 

Kami harus menyeberang melalui JPO alias Jembatan Penyeberangan Orang untuk bisa ke BC dengan aman dan nyaman.

Di dekat jembatan itu, aku melihat seorang nenek tua sedang berjualan rujak di atas tikar. Mungkin ada sekitar 20 bungkus rujak yang masih belum terjual. Aku teringat pada nenekku yang selama ini sudah merawatku. Kenapa nenek itu harus berjualan, panas-panasan seperti ini? Apakah dia tidak punya anak dan cucu?

Karena merasa iba, akhirnya aku mendekati si Nenek.
"Mau ke mana?" Ika menarik tanganku ketika mau menaiki tangga JPO.
"Aku mau beli rujak. Bentar ya!" Aku bergegas menghampiri nenek yang sedang berjualan di tepi jalan.
"Nek, rujaknya berapa harganya?" tanyaku.
"Lima ribu, Nak," jawab nenek itu sembari memandangku dengan harapan aku akan membeli rujaknya. Mungkin saja, banyak yang bertanya tapi tidak membeli. Itulah sebabnya si nenek berharap kalau dagangannya bisa terjual.
"Saya beli seratus ribu, ya!" pintaku sambil merogoh uang seratus ribu yang aku selipkan di saku  samping celanaku.
"Alhamdulillah ...." Nenek itu langsung membungkus menggunakan kompek hitam yang lumayan besar. Tubuhku yang masih kecil agak kerepotan membawanya.
"Buat apa beli rujak sebanyak itu?" tanya Ika ketika aku menghampirinya.
"Buat dimakan, dong!" jawabku enteng.
"Emang habis segitu banyaknya?"
"Habis. Mau?" Aku menyodorkan satu mika rujak ke arah Ika. Ia meraihnya dan kami pun menaiki tangga JPO.
"Oom sama Tante mana?" tanyaku celingukan.
"Udah duluan."
"Ooh ...." Aku melanjutkan perjalanan. Di atas JPO kami bertemu dengan beberapa anak yang biasa ngamen di lampu merah. Tepat di bawah JPO ada simpang tiga lampu merah. Kemungkinan anak-anak ini ngamen di lampu merah.
"Dek," panggilku pada salah seorang anak berambut pirang karena terkena panas matahari, bukan karena memakai pewarna rambut. Wajahnya terlihat lelah sambil membawa sebuah alat musik kecil dari kayu dan kaleng-kaleng kecil.
"Apa, kak?" Anak kecil itu menghentikan langkahnya.
"Mau rujak?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau, kak." Ia menganggukkan kepalanya.
"Teman-teman kamu ada?" tanyaku lagi.
"Ada, Kak."
"Ya udah, ini buat kamu. Bagi sama teman-teman yang lain ya!" Aku menyerahkan kompek hitam berisi rujak yang aku beli di bawah tadi. 
"Serius, Kak? Makasih ya!" Anak itu meraih kompek yang aku berikan dan bergegas menghampiri teman-temannya untuk membagikan makanannya. Aku tersenyum bahagia melihat wajah anak itu, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih bergantian sampai aku memasuki bangunan BC.
"Kamu beli rujak sebanyak itu cuma untuk dibagi-bagi?" tanya Ika.
Aku menganggukkan kepalanya.
"Banyak duit kamu, ya!" celetuk Ika.
"Nggak harus nunggu banyak duit untuk membantu orang lain kan?"
"Iya, sih. Tapi ... kamu aja kan butuh. Buat apa dikasih-kasihkan orang lain." Ike terlihat kesal dengan sikapku.
"Nggak papa. Aku ikhlas, kok. Nanti Allah yang ganti," bisikku sambil tertawa.
"Aamiin."

Kami melangkahkan kaki menuju bangunan Mall BC. Ika langsung asyik bermain di Play Zone. Sementara aku hanya melihat dan menemaninya saja karena aku memang tidak punya uang untuk membeli koin. 
"Mau coba main? Aku kasih koinnya." Ika menatapku sambil tertawa bahagia.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku bukan kamu, Ka. Aku harus bisa mengatur uangku untuk hal-hal yang penting," batinku.

Usai bermain, kami pun berjalan menuju pasar Klandasan yang tak jauh dari bangunan BC. Untungnya Oom dan Tante tahu kalau kami bermain di Play Zone. Dengan mudahnya mereka bisa menemukan kami. Sebab, di angkot tadi, Oom sudah mewanti-wanti agar kami tidak pergi ke tempat lain selain Play Zone agar mudah ditemukan. Setelahnya, kami menuju Pasar Klandasan untuk membeli sesuatu. Oom akan membeli kain untuk jahitannya, sedangkan aku juga sudah mengungkapkan keinginanku untuk membeli tas dan sepatu. Aku sudah menabung selama beberapa bulan untuk bisa membeli tas dan sepatu yang baru.
"Rin, jadi mau beli sepatu?" tanya Oom ketika kami sampai di Pasar Klandasan.
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Uangku nggak cukup, Oom. Besok aja," jawabku.
"Ya sudah. Oom cari kain dulu." Kami pun mengikuti langkah kaki Oom menuju toko kain.
"Kamu, sih. Pake acara beliin rujak sebanyak itu. Uangmu jadi nggak cukup kan buat beli sepatu." Ika berbisik ke telingaku.
"Nggak papa. Kayaknya sepatu aku masih tahan, kok. Nanti aku lem aja lagi." Aku tersenyum ke arahnya.

Setelah cukup lelah berputar-putar di pasar, kami akhirnya pulang lagi ke Panti Asuhan. Aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Usai mandi, aku berbaring di ranjangku yang paling atas. Aku memang mendapat jatah di ranjang bagian atas, karena ranjang bagian bawah selalu ditempati oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA.

Otakku mulai berpikir, bagaimana caranya aku mendapatkan uang lagi untuk membeli tas dan sepatu. Tasku jelas sudah robek di sana-sini, sepatu yang aku kenakan juga sudah bolong-bolong bagian bawahnya, habis terkikis oleh aspal jalanan karena setiap hari aku berjalan kaki menuju ke sekolah. Jarak panti dan sekolah lumayan jauh, hampir 1 kilometer. Itulah sebabnya kenapa penggunaan sepatu menjadi lebih boros dari yang semestinya. Aku juga hanya bisa membeli sepatu murahan seharga enam puluh ribu rupiah, Bagiku, sepatu harga segitu sudah mahal. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki uang lebih.

"Rin, ada tamu." Mbak Wina membangunkanku. Aku langsung bangkit dan turun dari ranjangku. Kami bersiap-siap menyambut tamu yang datang. Seperti biasanya, tamu di sini adalah donatur yang sekedar berkunjung atau memberikan sumbangan pada anak-anak panti.

Kami semua berkumpul di aula. Seperti biasa, aku selalu duduk di paling depan karena tubuhku yang masih kecil. Ada pembawa acara, pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan terjemahnya, juga sambutan-sambutan dari pihak panti dan donatur. Semuanya sudah biasa kami lakukan bahkan ketika donatur datang secara mendadak. Semua sudah bersiap dengan tugasnya masing-masing. Tak perlu lagi diperintah untuk mengisi acara. Kami sudah terbiasa dengan acara dadakan karena hampir setiap malam, usai shalat isya' kami selalu belajar mengisi acara. Setiap hari selalu ada giliran untuk kami. Giliran belajar ceramah, belajar mengaji, belajar MC dan sambutan. Semua jadwal itu sudah ditentukan oleh Ketua Santri yang akan diganti setiap satu tahun sekali. Hmm ... sepertinya, jadi Ketua Santri itu keren. Karena bisa mengatur anak-anak lain untuk tertib dalam berkegiatan.

Aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri sampai tidak menyadari kalau acara penyambutan tamu sudah selesai. Beberapa orang yang menjadi bagian rombongan tamu terlihat sibuk menurunkan bingkisan dari dalam mobil yang terparkir di halaman panti. Kemudian mereka menyerahkan bingkisan itu satu per satu kepada seluruh anak di panti asuhan.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Ibu." Aku mencium tangan donatur yang memberikan bingkisan untukku. Bingkisan itu dibungkus menggunakan plastik transparan. Sehingga bisa terlihat dari luar apa saja yang ada di dalamnya. Satu buah tas sekolah, sepasang sepatu, satu buah mukena, sajadah dan alat tulis. Bingkisan yang diberikan sudah diatur nomor sepatunya sesuai dengan berapa anak yang memiliki nomor sepatu sama. Sebelumnya, tamu ini pasti sudah berkomunikasi terlebih dahulu dengan pengurus panti. Sehingga donasi yang mereka berikan sesuai dengan kebutuhan kami.
"Belajar yang rajin, jangan lupa sholat ya!" Ibu Donatur itu mengelus kepalaku dengan lembut sambil tersenyum bangga. Aku rasa dia bahagia karena bisa mambantu orang lain, sama seperti saat aku membantu nenek rujak yang berada di dekat JPO itu. Sederhana bukan? Sedekah itu membuat hidup kita bahagia. Bukan hanya yang bersedekah, tapi yang disedekahi juga ikut bahagia.

Terima kasih, Ya Allah ... Engkau Maha Pemberi Rizki, Engkau yang mengatur segala yang ada di muka bumi. Agamaku memang belum baik, akhlakku juga belum baik. Tapi aku percaya ... kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sedekah yang kita keluarkan juga langsung diganti oleh Allah sesuai firman-Nya dalam Al-Qur'an. Aku ... cuma anak bau kencur yang belum paham soal akidah agama. Tapi aku percaya, Allah ada dan selalu mengawasi setiap perbuatan yang kita lakukan.

Ikhlas memberi karena Allah, maka Allah akan lipat gandakan rejeki kita. Jangan memberi karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, kalau niatnya sudah begitu, artinya kita tidak Lillahi Ta'ala dalam memberikan suatu kebahagiaan untuk orang lain.

Ya Allah ... jika suatu hari Engkau beri aku rejeki lebih. Jangan biarkan aku menjadi manusia yang kufur atas nikmat-nikmatMu Ya Allah. Jadikanlah aku manusia yang pandai bersyukur dan senantiasa mencintaiMu dalam keadaan apa pun.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 3 Februari 2019

Chapter 6 Novel Torajakarta

Storial Co


“Lo kenapa?” Ardan menatap wajah Ule yang terlihat tak bersemangat ketika mereka sedang berada dalam perjalanan pulang menuju kota Jakarta.
“Gue males balik.” Ule membuang pandangannya ke arah jendela pesawat, dari situ ia bisa melihat bagaimana rasanya meninggalkan Tana Toraja. Bentuk rumah Tongkonan yang khas itu mulai mengecil dan menggetarkan dadanya. Ada rasa getir ketika harus melangkahkan kaki pergi dari tempat itu. Ia sendiri tidak yakin kalau ia akan kembali ke tempat itu.
“Kenapa? Karena cewek itu?”
Ule menggelengkan kepalanya. “Karena janji gue sama bokap dan nyokap gue. Lo kan tahu kalau gue bener-bener nggak mau ngurus perusahaan itu. Gue belum siap jadi gila!”
Ardan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ule. “Le, lo harusnya bersyukur terlahir jadi anak orang kaya. Lo nggak harus ngerasain hidup susah. Tinggal nerusin aja warisan perusahaan bokap lo.”
“Lo nggak bakal ngerti gimana rasanya. Gue bakal jadi robot di sana. Gue tahu kalo gue bakal kehilangan waktu gue buat kerjaan. Kita nggak mungkin bisa jalan bareng kayak gini lagi. Perusahaan itu bakal banyak menyita masa-masa muda gue yang harusnya hepi-hepi.”
“Le, gue yakin lo bisa kok.” Ardan menggenggam perlahan bahu Ule, berharap ia bisa menyalurkan energi dan rasa percaya diri untuk sahabatnya itu.
“Kalo Cuma ngatur management perusahaan aja sih nggak begitu berat. Lo kan tahu gue juga kuliah jurusan managemen. Yang jadi masalah buat gue adalah sumber daya manusianya. Lo tahu berapa ribu orang yang bergantung hidup sama perusahaan bokap gue? Banyak, Dan!” jelas Ule panjang lebar.
Ardan menghela napas panjang. “Oke, Le. Gue ngerti gimana posisi lo. Tapi, kalo misalnya lo nggak mulai semuanya dari sekarang. Mau kapan lagi? Perusahaan bokap lo butuh penerus, dan itu Cuma lo satu-satunya. Lo mau ribuan karyawan perusahaan bokap lo kehilangan pekerjaan karena lo nggak bisa nerusin perusahaan bokap lo itu?”
“Lo apaan sih, Dan!? Jangan nakut-nakutin gue, deh! Gue bukan anak kecil.” Ule menatap tajam ke arah Ardan.
Ardan menahan tawa melihat tingkah sahabatnya yang masih labil dan sering plin plan. Bagi Ardan, Ule adalah orang yang mudah untuk dipengaruhi olehnya. Ardan seringkali menakut-nakuti Ule. Terlebih soal pengorbanan kedua orang tuanya dalam mendirikan sebuah perusahaan hingga menjadi besar.
“Atau ... lo mau pesawat ini putar balik ke Toraja dan lo menetap di sana. Biar perusahaan lo, gue yang urus?” Ardan nyengir menawarkan solusi yang membuat Ule makin bad mood.
“Ide lo nggak ada yang bagus!” umpat Ule, wajahnya makin kesal dan Ardan tidak henti-hentinya meledek sepanjang ia ada di dalam pesawat. Rasanya, ia ingin secepatnya sampai di Jakarta atau memilih melompat dari pesawat.

***

Dua Bulan Kemudian ...

Hari pertama Ule memasuki kantor perusahaan milik ayahnya, disambut dengan karyawan yang berjejar rapi sampai ia masuk ke dalam ruangannya.
“Le, kamu harusnya bersikap manis sama staff-staff kamu!” protes Papa Ule ketika mereka memasuki ruangan.
“Udah, Pa ....” Ule merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang kerja ayahnya.
“Udah apa? Muka kamu itu masam, nggak ada senyum-senyumnya sedikit pun. Mereka ini yang akan bantu kamu ngurus perusahaan. Harusnya kamu bisa bersikap baik sama karyawan supaya karyawan itu senang kerja sama kita ...,” cerocos Papa Ule panjang lebar.
Ule tidak mendengarkan sedikit pun kata-kata yang keluar dari mulut papanya. Ia malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Sibuk memperhatikan foto-foto Resi yang kini berdiam di galeri ponselnya. Ia juga membuka instagram milik Resi yang menampilkan foto-foto Resi dalam berbagai kegiatan. Tanpa sadar ia tersenyum senang sambil mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp.
“Res, lagi apa?” tanya Ule dalam pesan Whatsappnya. Karena tak cepat mendapatkan balasan, akhirnya Ule memandangi foto profil Resi, sesekali ia zoom out dan zoom in sambil terus tersenyum.
“Le, kamu dengerin Papa, nggak?” sentak Papa Ule dengan suara yang lebih keras.
“Dengerin, Pa,” kilah Ule tanpa menoleh ke arah papanya.
“Kalo dengerin, Papa ngomong apa barusan?”
“Papa nyuruh aku supaya ramah sama karyawan. Nggak sombong, nggak arogan dan selalu tersenyum setiap ketemu karyawan. Karena mereka bagian dari kita dan kita harus memperlakukan mereka layaknya keluarga,” jelas Ule yang sudah hafal setiap ucapan papanya soal perusahaan.
“Dan satu lagi, tetap bersikap tegas dan bijaksana. Kita buat tempat kerja ini enak tapi tidak seenaknya. Kamu ngerti kan gimana caranya kamu bersikap dengan rekan kerja dan temen main?”
“Iya, Pa.” Ule tak kunjung mengalihkan pandangannya dari ponsel. Membuat Papa akhirnya menarik ponsel yang ada di tangannya.
“Pa ... kok, diambil?” protes Ule sembari menatap tajam ke arah papanya.
“Gara-gara ini kamu nggak konsen sama kerjaan!”
“Pa ... jangan bawa-bawa privacy aku dong!” Ule menarik ponselnya dari tangan Papa.
Papa memandang Ule tajam. “Kamu ... lagi jatuh cinta?”
Ule menggelengkan kepalanya. “Ruangan aku yang mana, Pa?” elak Ule agar terhindar dari pertanyaan-pertanyaan lain.
“Itu.” Papa menunjuk sebuah pintu kaca yang ada di seberang meja kerjanya.
Ule terkejut melihat ruangan kerja yang disiapkan berada di dalam ruang kerja Papa. “Ini serius?”
Papa menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
“Pa, apa setiap aku masuk ruangan harus lewatin meja kerja Papa dulu? Gimana kalau mau ketemu klien aku, Pa?”
“Ini ruang kerja kita. Kamu bisa ketemu klien di ruangan kamu atau di ruangan Papa. Papa rasa ruangan ini cukup luas untuk menampung 10 klien sekaligus.” Papa memandang sekeliling ruangan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pa ... kalau kayak gini, aku nggak punya privacy!”
Papa mengangkat kedua alisnya. “Kamu sudah punya rumah dengan kamar yang nyaman. Ini ruangan untuk kerja, bukan untuk kepentingan pribadi.”
Ule mendengus kesal, mengepal tangannya dan berlalu memasuki pintu kaca yang ditunjuk oleh ayahnya. Ia merasa tak begitu buruk ketika sudah memasuki ruang kerjanya. Ruangannya cukup luas dan papanya tidak sepenuhnya bisa memperhatikan setiap sudut ruangan dari balik pintu kaca itu. Hanya meja kerjanya yang terlihat berhadapan dengan meja kerja papanya. Dari sana Ule bisa memperhatikan papanya bekerja, begitu juga sebaliknya.
Ule berjalan perlahan mengamati seluruh ruang kerjanya. Matanya kemudian tertuju pada benda kecil yang berada di pojok atas ruangannya. “Shit! Ruangan ini dikasih CCTV!?” umpatnya.
Ia langsung menjatuhkan dirinya ke atas kursi kerjanya. Membuka laptop yang sudah disiapkan di sana. Beberapa kali ia membuka aplikasi dan menutupnya kembali. Ia bahkan belum tahu apa yang harus ia kerjakan di hari pertamanya masuk kerja. Dengan pengawasan CCTV, ia tidak bisa banyak tingkah.
Ting ...!
Ule meraih ponselnya, ia menemukan pesan Whatsapp yang dikirim oleh Resi.
“Aku lagi di Bandara.” Pesan singkat yang dikirim Ule baru saja mendapat balasan dari Resi.
Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol  Video Call untuk melihat Resi.
“Hai ...!” Resi terlihat melambaikan tangan di kamera.
“Kamu di Bandara mana?” tanya Ule penasaran melihat background yang ada di belakang Resi.
“Coba tebak! Kira-kira aku ada di mana nih?” Resi mengangkat ponselnya tinggi-tinggi sehingga Ule bisa melihat dengan jelas kalau Resi berada di sebuah tempat yang sudah familiar baginya.
“Jakarta!?” Ule tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
Resi menganggukkan kepalanya.
“Ngapain ke Jakarta? Liburan?”
Resi menganggukkan kepalanya. “Sekalian daftar kuliah.” Ia tersenyum di kamera.
“Mau daftar kuliah di mana?”
“Di—,” Tiba-tiba Resi menoleh ke arah lain. “Eh, jemputan aku sudah datang. Udah dulu ya! Bye ....” Resi melambaikan tangan dan menutup panggilan video yang sedang berlangsung. Sementara Ule masih gelagapan karena sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan.

***

Ule terlihat uring-uringan di kamarnya. Sudah beberapa kali ia bolak-balik seperti setrikaan. Ardan yang asyik di depan laptop lama-lama memperhatikan sahabatnya yang sedang risau seperti ayam yang ingin bertelur.
“Kenapa sih?” Ardan akhirnya bertanya. Ule masih saja mondar-mandir sembari memutar-mutar ponselnya.
Ule duduk di sisi Ardan. “Menurut lo, Resi itu gimana ya?”
Ardan menaikkan kedua alisnya. “Lo masih ingat sama dia terus?”
“Gak tau, Dan. Gue nggak bisa lupain dia. Malah gue pengen banget bisa ketemu dia lagi.”
“Loh? Gue kira lo jadian sama Selva.”
“Nggak. Dia aja yang kecentilan deketin gue mulu.”
“Dia cantik, deket, kasih perhatian sama lo setiap hari. Kenapa lo nggak suka sama dia?”
Ule mengedikkan bahunya. “Resi sekarang di Jakarta.”
“Serius? Lo tahu dari mana?”
“Tiga bulan lalu, gue sempet video call sama dia. Dia lagi di Bandara sini. Dia bilang mau kuliah di Jakarta. Tapi ... gue belum sempet tau dia tinggal di mana dan kuliah di mana. Keburu dimatiin telepon gue.”
Ardan tergelak. “Telpon aja lagi! Gitu aja kok repot?”
“Udah. Tapi dia nggak ada angkat sama sekali. WA pun nggak dibaca, apalagi di balas,” keluh Ule kesal.
“Mungkin aja dia sibuk.”
“Gue cek, kadang dia online. Tapi pas gue WA nggak dibalas.”
“Serius?”
“Iya.”
“Gue telpon Morin dulu, ya!” Ardan meraih ponselnya.
“Kenapa dia yang ditelpon?”
“Le, cinta udah beneran bikin lo bego ya! Morin ini sahabatnya Resi, dia pasti tahu apa yang terjadi sama Resi.”
“Oh ... ya, ya.” Ule menatap kosong ke arah Ardan.
“Nggak diangkat.” Ardan meletakkan kembali ponselnya di atas sofa.
“Telpon lagi!” pinta Ule.
“Iya. Entar aja. Kalau dia udah nggak sibuk, pasti telpon balik.”
“Kok, lo tau dia bakal telpon balik?”
“Biasanya begitu.”
“Lo sering komunikasi sama Morin.”
“Iya.”
“Lo suka sama dia?”
“Dia lumayan cantik dan gue cowok normal, cuma LGBT yang nggak suka sama dia.”
“Bukan gitu maksud gue. Apa lo juga punya rasa kangen sama dia?”
Ardan menggelengkan kepalanya. “Biasa aja.”
Ule terdiam, ia menyandarkan punggungnya di sofa sembari menatap langit-langit kamarnya.
“Lomba foto gimana? Udah berapa peserta yang daftar?” Ule melirik Ardan di sampingnya.
“Oh ... iya. Gue juga belum ngecek.” Ardan kembali mengamati laptopnya. Ia mengecek aplikasi peserta pendaftaran melalui situs online yang sudah mereka siapkan bersama panitia.
“Cek, dah!”
“Lo nggak mau ngecek juga? Siapa tahu ada peserta yang nyangkut di hati,” ledek Ardan.
“Ogah! Lo aja.”
Ardan tersenyum sembari memandangi foto-foto wanita cantik yang mengikuti ajang lomba foto yang diselenggarakan oleh Ule dan komunitas fotografinya. Ia terdiam ketika melihat profil dan foto peserta pendaftar terakhir. Wajah cantik natural itu familiar di matanya, mengenakan mini dress warna pink muda dengan motif etnik daerah di bagian bawahnya.
“Le ...!” Ardan menarik-narik lengan Ule tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Apaan sih!?” sahut Ule kesal karena sudah beberapa kali mengirim pesan WA ke Resi dan belum dibaca juga. Ia merasa semakin kesal dengan cewek yang satu ini. Tidak biasanya dia mengalami perasaan aneh seperti ini. Hampir tiga bulan dia chat nggak pernah dibalas. Tapi, Ule sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya untuk terus mengirim pesan/
“Lihat deh!” Ardan menyodorkan laptop ke wajah Ule.
Ule terbelalak melihat foto yang terpampang di layar laptopnya. “Dia ikutan lomba?” Ule memandang Ardan yang membalasnya dengan senyuman.
“Alamatnya ada nggak?” Ule langsung menarik laptop di tangan Ardan dan mengecek profil peserta yang tertera di situs online tersebut. Ia langsung mencatat alamat di ponselnya kemudian memberikan laptopnya kembali pada Ardan.
Ule berjalan menuju lemari dan meraih jaketnya.
“Mau ke mana?”
“Gue mau ke rumah Resi.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Lo nggak lihat ini jam berapa? Dia pasti udah tidur.” Ardan menunjuk jam dinding dengan dagunya.
Ule memandang jam dinding di kamarnya. “Aargh ...!” Ule menendang kursi yang ada di dekatnya. Kemudian berjalan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya. Ia terus mengumpat kesal karena waktu tak memberinya kesempatan bertemu dengan seseorang yang ia rindukan.
“Masih ada waktu besok. Lo bisa ke sana besok. Gue tau Resi bukan tipe cewek yang bakal nerima tamu tengah malam gini.”
Ule mengusap wajahnya. Ia berharap pagi segera tiba agar ia bisa secepatnya menemui Resi di rumahnya.

Keesokan harinya Ule kembali menelan rasa kecewa karena Resi tak ada di rumahnya. Menurut penuturan tetangga, Resi sudah berangkat kuliah. Namun, tidak tahu kuliah di mana. Hal ini membuat Ule semakin kesal dan uring-uringan. Ia ingin menunggu sampai Resi pulang, namun telepon dari papanya membuat ia harus pergi dan kembali ke kantor.



Tentang Novel Torajakarta

Storial Co.
E-Novel Torajakarta

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6

Baca bab lengkapnya silakan klik link di atas!



Torajakarta adalah salah satu novel karya kolaborasi antara Rin Muna (Kaltim) dan Pejuang Mimpi (Makassar) yang menceritakan tentang kearifan lokal penduduk di Kabupaten Toraja. Keunikan rumah budayanya, tradisi warisan nenek moyang yang menjadikan Toraja menjadi salah satu daerah yang memiliki ciri khas dan istimewa dari daerah lain. Warisan budaya ini kemudian dikemas dalam cerita yang lebih modern sesuai dengan zamannya. Kita boleh mengikuti arus zaman secanggih apa pun, namun kita tidak boleh meninggalkan atau menanggalkan warisan budaya dari nenek moyang.

Torajakarta menceritakan kehidupan seorang gadis Toraja yang memilih pindah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya. Merasakan kerasnya kehidupan di Ibukota yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupannya di Kabupaten TanaToraja.Dituntut untuk menjadi anak muda yang modern dan kekinian tanpa menanggalkan tradisi dari daerah asalnya.

Siapa yang menyangka jika Resi yang selama ini hidup tenang dan bahagia di kampung halamannya tiba-tiba harus menjalani kehidupan yang rumit. Ia yang menjadi yatim piatu sejak kecil dan hanya hidup bersama nenek yang selalu memanjakan dan memenuhi semua keinginan Resi. Sampai ketika neneknya meninggal, mau tak mau semua kehidupannya harus berubah. Pertemuannya tanpa sengaja dengan seorang pria yang berasal dari ibukota, berhasil membuatnya menjadi seorang wanita yang istimewa sekaligus harus menjalani kisah cinta yang rumit karena perbedaan keyakinan di antara cinta yang sudah ia ikat janjinya di Negeri Atas Awan Lolai.

Dan Kamu



Lihat ...!
Aku di sini
Masih di sini
Menanti ...
Kamu yang pernah di sini
Kini pergi...
Kini hanya dalam mimpi

Lihat...!
Aku masih berdiri
Memeluk hati yang berduri
Melukai sebab kurindui

Aku belum pergi
Dan kamu belum juga kembali
Membiarkan hati ini menanti
Sedang kamu sudah berpindah ke lain hati

Dan kamu ...
Lukai aku bukan dengan kata
Lukai aku bukan dengan mata
Lukai aku bukan dengan rasa

Dan kamu ...
Lukai aku dengan 1 kisah cinta



Rin Muna, Samboja 01-03-2019

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas