Saturday, March 2, 2019

Review Buku | SETIA | Yasir Husain


Review Buku
SETIA (Selagi Engkau Taat dan Ingat Allah)
Reviewer : Rin Muna




Judul Buku      : SETIA, Selagi Engkau Taat dan Ingat Allah
Penulis                 : Yasir Husain
Penerbit                : PT. Elex Media Komputindo
ISBN                    : 978-602-04-7978-1
Jml. Halaman       : xiii + 290
Harga                    : Rp –

Sinopsis :
Untuk sebuah kesetiaan, berjuanglah. Untuk sebuah kesetiaan, berkorbanlah. Untuk sebuah kesetiaan, jangan pernah menyerah. Sebab kesetiaan hanya milik orang-orang yang gigih berjuang, rela berkorban dan pantang menyerah.

Kesetiaan terbaik adalah setia kepada Allah, setia dalam rida-Nya. Setia menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Itulah kesetiaan sejati, kesetiaan bernama takwa.
Peliharalah keretiaan sejati itu. Setia kepada Sang Pencipta kehidupan untuk selalu berada di jalan-Nya. Jangan pernah bergeser sedikit pun. Sebab hanya dengan cara itu, engkau bisa setia pada cinta dan kehidupan.

Kelebihan Buku:
Buku religi yang asyik dibaca dengan gaya bahasa kekinian dan tidak membosankan. Pesan yang terdapat dalam buku tersampaikan dengan baik. Penulis mengajak berinteraksi dengan pembaca sehingga terasa sedang mengobrol dua arah secara langsung dengan penulis buku ini. Terdapat amalan-amalan doa yang diberikan penulis, sehingga kita bisa belajar agama dengan baik dan santai melalui buku ini. Di bagian akhir juga terdapat quote-quote dari penulis yang begitu indah.

Kekurangan Buku:
Buku ini sudah sangat baik, hanya saja beberapa hadist yang tidak disebutkan nomor hadistnya dan atau bacaan ayatnya.

Pesan  Menarik dalam Buku:
“Sebaik-baik cinta adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab dari sanalah semua kesetiaan sejati berawal. Sebaik kesetiaan adalah setia di jalan-Nya. Sebab hanya dengan itu, kita bisa setia pada cinta dan kehidupan. Sebaik-baik kehidupan adalah hidup dalam cinta karena-Nya, setia dalam takwa, dan istikamah hingga akhir.” — Yasir Husain.
“Seperti air yang selalu mencari celah untuk membasahi setiap yang kering, maka jadilah manusia yang selalu mencari kesempatan untuk menebar kebaikan. Sekecil apa pun itu, manfaatkanlah. Sebab kita tak pernah tahu amalan yang mana nantinya akan menyelamatkan kita di akhirat.”
“Kejarlah setiap janji kebaikan yang ditawarkan oleh Allah semaksimal mungkin. Seterjal apa pun jalannya, berusahalah melaluinya, sebab janji Allah pasti terjadi.”
“Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah sebab Allah Maha Pengampun dan Maha Menerima tobat. Walau begitu, jangan pernah menganggap dosa sebagai ajang coba-coba. Sebab, tak seorang pun yang tahu tentang berapa lama usianya di dunia ini.”




Review ini aku buat untuk sahabat-sahabatku di Komunitas Kacaku

Sedekah #1

SEDEKAH #1
Karya Rin Muna
Free-Photos
Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com
Balikpapan, 2005

Ini tahun kedua aku memasuki sekolah menengah pertama. Ada perasaan lega ketika aku mendapat predikat ranking 1 setiap semesternya. Setiap kali penerimaan raport dan mendapat ranking 1, Bapak selalu membelikan aku bakso. Sedangkan anak-anak lain yang tidak mendapat peringkat di kelasnya tidak ditraktir makan bakso, boleh ikut makan asalkan bayar sendiri. 

Oh iya ... aku tinggal di sebuah Panti Asuhan karena kedua orang tuaku tidak sanggup menyekolahkanku hingga sekolah menengah. Kedua orang tuaku sudah tua dan hanya menjadi buruh tani. Aku sendiri yang memilih tinggal di Panti Asuhan agar tetap bersekolah dan tidak membebani kedua orang tuaku. Aku juga masih punya dua orang adik yang duduk di sekolah dasar dan butuh biaya untuk sekolah.

"Rin, temenin aku ke BC, yuk!" ajak Ika di hari Minggu pagi. Ika adalah salah satu teman sekolah yang juga tetangga yang tinggal di sebelah panti.
"Mau ngapain?" tanyaku.
"Mau jalan-jalan sama main game." Ika cengengesan. Dia memang senang sekali bermain di Play Zone. Dia bisa menghabiskan uang lima puluh atau seratus ribu dalam sekali main. Bagiku, itu uang yang cukup besar karena aku cuma punya uang jajan seratus ribu untuk enam bulan. Sedangkan Ika, bisa menghabiskannya dalam waktu sehari. Memang enak menjadi orang kaya, apa yang diinginkan selalu terpenuhi. Jauh berbeda denganku yang harus lebih sabar ketika ingin membeli sesuatu.

"Izin dulu sama Oom!" pintaku. Setiap kali ingin bepergian, kami harus mendapat izin dari pengurus panti. Kami bahkan tidak diperbolehkan keluar dari area panti walau pergi ke warung sekalipun tanpa izin.

"Iya. Aku izinin, tapi kamu temenin aku ya!" pinta Ika, ia berlalu pergi ke rumah pengurus sedangkan aku langsung masuk ke kamar dan melipat pakaianku yang masih berhambur di atas ranjang.

"Dibolehin sama Oom, Rin. Katanya dia juga sekalian mau turun." Ika tiba-tiba saja mengintip dari balik jendela kamar yang kacanya terbuka. Alhamdulillah ... kebetulan aku ada sedikit tabungan untuk membeli tas dan sepatu yang sudah rusak.

"Naik motor Oom kah?" tanyaku sembari membukakan pintu kamar untuk Ika.

"Naik angkot aja. Katanya Oom sama Tante juga mau naik angkot, kok."

"Ya udah, aku siap-siap dulu ya."

"Iya, cepet ya!" Ika berlalu pergi meninggalkan panti, pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap.

Tak berapa lama, aku sudah siap. Aku tak punya banyak pakaian. Hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam dan kaos berwarna hijau muda. Kerudung yang aku pakai juga kerudung yang biasa aku gunakan untuk sekolah. Hanya kerudung sekolahku saja yang pantas untuk dipakai jalan-jalan. Untukku, ini sudah sangat bagus. Aku langsung keluar dari kamar dan naik ke pintu gerbang yang berada lebih tinggi dari bangunan utama panti asuhan ini. Tempat ini memang berada di atas bukit, sehingga posisi pintu gerbang berada di paling atas, langsung bersisian dengan jalan.

"Udah siap?" Oom langsung menegurku, "mana Ika ini?" Ia melirik arloji di tangan kirinya.

"Kita jemput ke rumahnya aja, Oom. Kan sekalian lewatin rumahnya." Aku memberi saran agar kami tak terlalu lama menunggu Ika. Lagipula, rumah Ika juga akan kami lewati saat kami akan keluar dari gang ini.

"Ya sudah. Tunggu tantemu dulu!" pinta Oom. 

Beberapa menit kemudian, Tante keluar dari rumahnya. Kami berjalan beriringan menuju rumah Ika sebelum akhirnya kami menaiki angkot menuju Klandasan. Angkot kami berhenti di seberang bangunan Balikpapan Center. 

Kami harus menyeberang melalui JPO alias Jembatan Penyeberangan Orang untuk bisa ke BC dengan aman dan nyaman.

Di dekat jembatan itu, aku melihat seorang nenek tua sedang berjualan rujak di atas tikar. Mungkin ada sekitar 20 bungkus rujak yang masih belum terjual. Aku teringat pada nenekku yang selama ini sudah merawatku. Kenapa nenek itu harus berjualan, panas-panasan seperti ini? Apakah dia tidak punya anak dan cucu?

Karena merasa iba, akhirnya aku mendekati si Nenek.
"Mau ke mana?" Ika menarik tanganku ketika mau menaiki tangga JPO.
"Aku mau beli rujak. Bentar ya!" Aku bergegas menghampiri nenek yang sedang berjualan di tepi jalan.
"Nek, rujaknya berapa harganya?" tanyaku.
"Lima ribu, Nak," jawab nenek itu sembari memandangku dengan harapan aku akan membeli rujaknya. Mungkin saja, banyak yang bertanya tapi tidak membeli. Itulah sebabnya si nenek berharap kalau dagangannya bisa terjual.
"Saya beli seratus ribu, ya!" pintaku sambil merogoh uang seratus ribu yang aku selipkan di saku  samping celanaku.
"Alhamdulillah ...." Nenek itu langsung membungkus menggunakan kompek hitam yang lumayan besar. Tubuhku yang masih kecil agak kerepotan membawanya.
"Buat apa beli rujak sebanyak itu?" tanya Ika ketika aku menghampirinya.
"Buat dimakan, dong!" jawabku enteng.
"Emang habis segitu banyaknya?"
"Habis. Mau?" Aku menyodorkan satu mika rujak ke arah Ika. Ia meraihnya dan kami pun menaiki tangga JPO.
"Oom sama Tante mana?" tanyaku celingukan.
"Udah duluan."
"Ooh ...." Aku melanjutkan perjalanan. Di atas JPO kami bertemu dengan beberapa anak yang biasa ngamen di lampu merah. Tepat di bawah JPO ada simpang tiga lampu merah. Kemungkinan anak-anak ini ngamen di lampu merah.
"Dek," panggilku pada salah seorang anak berambut pirang karena terkena panas matahari, bukan karena memakai pewarna rambut. Wajahnya terlihat lelah sambil membawa sebuah alat musik kecil dari kayu dan kaleng-kaleng kecil.
"Apa, kak?" Anak kecil itu menghentikan langkahnya.
"Mau rujak?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau, kak." Ia menganggukkan kepalanya.
"Teman-teman kamu ada?" tanyaku lagi.
"Ada, Kak."
"Ya udah, ini buat kamu. Bagi sama teman-teman yang lain ya!" Aku menyerahkan kompek hitam berisi rujak yang aku beli di bawah tadi. 
"Serius, Kak? Makasih ya!" Anak itu meraih kompek yang aku berikan dan bergegas menghampiri teman-temannya untuk membagikan makanannya. Aku tersenyum bahagia melihat wajah anak itu, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih bergantian sampai aku memasuki bangunan BC.
"Kamu beli rujak sebanyak itu cuma untuk dibagi-bagi?" tanya Ika.
Aku menganggukkan kepalanya.
"Banyak duit kamu, ya!" celetuk Ika.
"Nggak harus nunggu banyak duit untuk membantu orang lain kan?"
"Iya, sih. Tapi ... kamu aja kan butuh. Buat apa dikasih-kasihkan orang lain." Ike terlihat kesal dengan sikapku.
"Nggak papa. Aku ikhlas, kok. Nanti Allah yang ganti," bisikku sambil tertawa.
"Aamiin."

Kami melangkahkan kaki menuju bangunan Mall BC. Ika langsung asyik bermain di Play Zone. Sementara aku hanya melihat dan menemaninya saja karena aku memang tidak punya uang untuk membeli koin. 
"Mau coba main? Aku kasih koinnya." Ika menatapku sambil tertawa bahagia.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku bukan kamu, Ka. Aku harus bisa mengatur uangku untuk hal-hal yang penting," batinku.

Usai bermain, kami pun berjalan menuju pasar Klandasan yang tak jauh dari bangunan BC. Untungnya Oom dan Tante tahu kalau kami bermain di Play Zone. Dengan mudahnya mereka bisa menemukan kami. Sebab, di angkot tadi, Oom sudah mewanti-wanti agar kami tidak pergi ke tempat lain selain Play Zone agar mudah ditemukan. Setelahnya, kami menuju Pasar Klandasan untuk membeli sesuatu. Oom akan membeli kain untuk jahitannya, sedangkan aku juga sudah mengungkapkan keinginanku untuk membeli tas dan sepatu. Aku sudah menabung selama beberapa bulan untuk bisa membeli tas dan sepatu yang baru.
"Rin, jadi mau beli sepatu?" tanya Oom ketika kami sampai di Pasar Klandasan.
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Uangku nggak cukup, Oom. Besok aja," jawabku.
"Ya sudah. Oom cari kain dulu." Kami pun mengikuti langkah kaki Oom menuju toko kain.
"Kamu, sih. Pake acara beliin rujak sebanyak itu. Uangmu jadi nggak cukup kan buat beli sepatu." Ika berbisik ke telingaku.
"Nggak papa. Kayaknya sepatu aku masih tahan, kok. Nanti aku lem aja lagi." Aku tersenyum ke arahnya.

Setelah cukup lelah berputar-putar di pasar, kami akhirnya pulang lagi ke Panti Asuhan. Aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Usai mandi, aku berbaring di ranjangku yang paling atas. Aku memang mendapat jatah di ranjang bagian atas, karena ranjang bagian bawah selalu ditempati oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA.

Otakku mulai berpikir, bagaimana caranya aku mendapatkan uang lagi untuk membeli tas dan sepatu. Tasku jelas sudah robek di sana-sini, sepatu yang aku kenakan juga sudah bolong-bolong bagian bawahnya, habis terkikis oleh aspal jalanan karena setiap hari aku berjalan kaki menuju ke sekolah. Jarak panti dan sekolah lumayan jauh, hampir 1 kilometer. Itulah sebabnya kenapa penggunaan sepatu menjadi lebih boros dari yang semestinya. Aku juga hanya bisa membeli sepatu murahan seharga enam puluh ribu rupiah, Bagiku, sepatu harga segitu sudah mahal. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki uang lebih.

"Rin, ada tamu." Mbak Wina membangunkanku. Aku langsung bangkit dan turun dari ranjangku. Kami bersiap-siap menyambut tamu yang datang. Seperti biasanya, tamu di sini adalah donatur yang sekedar berkunjung atau memberikan sumbangan pada anak-anak panti.

Kami semua berkumpul di aula. Seperti biasa, aku selalu duduk di paling depan karena tubuhku yang masih kecil. Ada pembawa acara, pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan terjemahnya, juga sambutan-sambutan dari pihak panti dan donatur. Semuanya sudah biasa kami lakukan bahkan ketika donatur datang secara mendadak. Semua sudah bersiap dengan tugasnya masing-masing. Tak perlu lagi diperintah untuk mengisi acara. Kami sudah terbiasa dengan acara dadakan karena hampir setiap malam, usai shalat isya' kami selalu belajar mengisi acara. Setiap hari selalu ada giliran untuk kami. Giliran belajar ceramah, belajar mengaji, belajar MC dan sambutan. Semua jadwal itu sudah ditentukan oleh Ketua Santri yang akan diganti setiap satu tahun sekali. Hmm ... sepertinya, jadi Ketua Santri itu keren. Karena bisa mengatur anak-anak lain untuk tertib dalam berkegiatan.

Aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri sampai tidak menyadari kalau acara penyambutan tamu sudah selesai. Beberapa orang yang menjadi bagian rombongan tamu terlihat sibuk menurunkan bingkisan dari dalam mobil yang terparkir di halaman panti. Kemudian mereka menyerahkan bingkisan itu satu per satu kepada seluruh anak di panti asuhan.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Ibu." Aku mencium tangan donatur yang memberikan bingkisan untukku. Bingkisan itu dibungkus menggunakan plastik transparan. Sehingga bisa terlihat dari luar apa saja yang ada di dalamnya. Satu buah tas sekolah, sepasang sepatu, satu buah mukena, sajadah dan alat tulis. Bingkisan yang diberikan sudah diatur nomor sepatunya sesuai dengan berapa anak yang memiliki nomor sepatu sama. Sebelumnya, tamu ini pasti sudah berkomunikasi terlebih dahulu dengan pengurus panti. Sehingga donasi yang mereka berikan sesuai dengan kebutuhan kami.
"Belajar yang rajin, jangan lupa sholat ya!" Ibu Donatur itu mengelus kepalaku dengan lembut sambil tersenyum bangga. Aku rasa dia bahagia karena bisa mambantu orang lain, sama seperti saat aku membantu nenek rujak yang berada di dekat JPO itu. Sederhana bukan? Sedekah itu membuat hidup kita bahagia. Bukan hanya yang bersedekah, tapi yang disedekahi juga ikut bahagia.

Terima kasih, Ya Allah ... Engkau Maha Pemberi Rizki, Engkau yang mengatur segala yang ada di muka bumi. Agamaku memang belum baik, akhlakku juga belum baik. Tapi aku percaya ... kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sedekah yang kita keluarkan juga langsung diganti oleh Allah sesuai firman-Nya dalam Al-Qur'an. Aku ... cuma anak bau kencur yang belum paham soal akidah agama. Tapi aku percaya, Allah ada dan selalu mengawasi setiap perbuatan yang kita lakukan.

Ikhlas memberi karena Allah, maka Allah akan lipat gandakan rejeki kita. Jangan memberi karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, kalau niatnya sudah begitu, artinya kita tidak Lillahi Ta'ala dalam memberikan suatu kebahagiaan untuk orang lain.

Ya Allah ... jika suatu hari Engkau beri aku rejeki lebih. Jangan biarkan aku menjadi manusia yang kufur atas nikmat-nikmatMu Ya Allah. Jadikanlah aku manusia yang pandai bersyukur dan senantiasa mencintaiMu dalam keadaan apa pun.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 3 Februari 2019

Chapter 6 Novel Torajakarta

Storial Co


“Lo kenapa?” Ardan menatap wajah Ule yang terlihat tak bersemangat ketika mereka sedang berada dalam perjalanan pulang menuju kota Jakarta.
“Gue males balik.” Ule membuang pandangannya ke arah jendela pesawat, dari situ ia bisa melihat bagaimana rasanya meninggalkan Tana Toraja. Bentuk rumah Tongkonan yang khas itu mulai mengecil dan menggetarkan dadanya. Ada rasa getir ketika harus melangkahkan kaki pergi dari tempat itu. Ia sendiri tidak yakin kalau ia akan kembali ke tempat itu.
“Kenapa? Karena cewek itu?”
Ule menggelengkan kepalanya. “Karena janji gue sama bokap dan nyokap gue. Lo kan tahu kalau gue bener-bener nggak mau ngurus perusahaan itu. Gue belum siap jadi gila!”
Ardan tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Ule. “Le, lo harusnya bersyukur terlahir jadi anak orang kaya. Lo nggak harus ngerasain hidup susah. Tinggal nerusin aja warisan perusahaan bokap lo.”
“Lo nggak bakal ngerti gimana rasanya. Gue bakal jadi robot di sana. Gue tahu kalo gue bakal kehilangan waktu gue buat kerjaan. Kita nggak mungkin bisa jalan bareng kayak gini lagi. Perusahaan itu bakal banyak menyita masa-masa muda gue yang harusnya hepi-hepi.”
“Le, gue yakin lo bisa kok.” Ardan menggenggam perlahan bahu Ule, berharap ia bisa menyalurkan energi dan rasa percaya diri untuk sahabatnya itu.
“Kalo Cuma ngatur management perusahaan aja sih nggak begitu berat. Lo kan tahu gue juga kuliah jurusan managemen. Yang jadi masalah buat gue adalah sumber daya manusianya. Lo tahu berapa ribu orang yang bergantung hidup sama perusahaan bokap gue? Banyak, Dan!” jelas Ule panjang lebar.
Ardan menghela napas panjang. “Oke, Le. Gue ngerti gimana posisi lo. Tapi, kalo misalnya lo nggak mulai semuanya dari sekarang. Mau kapan lagi? Perusahaan bokap lo butuh penerus, dan itu Cuma lo satu-satunya. Lo mau ribuan karyawan perusahaan bokap lo kehilangan pekerjaan karena lo nggak bisa nerusin perusahaan bokap lo itu?”
“Lo apaan sih, Dan!? Jangan nakut-nakutin gue, deh! Gue bukan anak kecil.” Ule menatap tajam ke arah Ardan.
Ardan menahan tawa melihat tingkah sahabatnya yang masih labil dan sering plin plan. Bagi Ardan, Ule adalah orang yang mudah untuk dipengaruhi olehnya. Ardan seringkali menakut-nakuti Ule. Terlebih soal pengorbanan kedua orang tuanya dalam mendirikan sebuah perusahaan hingga menjadi besar.
“Atau ... lo mau pesawat ini putar balik ke Toraja dan lo menetap di sana. Biar perusahaan lo, gue yang urus?” Ardan nyengir menawarkan solusi yang membuat Ule makin bad mood.
“Ide lo nggak ada yang bagus!” umpat Ule, wajahnya makin kesal dan Ardan tidak henti-hentinya meledek sepanjang ia ada di dalam pesawat. Rasanya, ia ingin secepatnya sampai di Jakarta atau memilih melompat dari pesawat.

***

Dua Bulan Kemudian ...

Hari pertama Ule memasuki kantor perusahaan milik ayahnya, disambut dengan karyawan yang berjejar rapi sampai ia masuk ke dalam ruangannya.
“Le, kamu harusnya bersikap manis sama staff-staff kamu!” protes Papa Ule ketika mereka memasuki ruangan.
“Udah, Pa ....” Ule merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruang kerja ayahnya.
“Udah apa? Muka kamu itu masam, nggak ada senyum-senyumnya sedikit pun. Mereka ini yang akan bantu kamu ngurus perusahaan. Harusnya kamu bisa bersikap baik sama karyawan supaya karyawan itu senang kerja sama kita ...,” cerocos Papa Ule panjang lebar.
Ule tidak mendengarkan sedikit pun kata-kata yang keluar dari mulut papanya. Ia malah sibuk sendiri dengan ponselnya. Sibuk memperhatikan foto-foto Resi yang kini berdiam di galeri ponselnya. Ia juga membuka instagram milik Resi yang menampilkan foto-foto Resi dalam berbagai kegiatan. Tanpa sadar ia tersenyum senang sambil mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp.
“Res, lagi apa?” tanya Ule dalam pesan Whatsappnya. Karena tak cepat mendapatkan balasan, akhirnya Ule memandangi foto profil Resi, sesekali ia zoom out dan zoom in sambil terus tersenyum.
“Le, kamu dengerin Papa, nggak?” sentak Papa Ule dengan suara yang lebih keras.
“Dengerin, Pa,” kilah Ule tanpa menoleh ke arah papanya.
“Kalo dengerin, Papa ngomong apa barusan?”
“Papa nyuruh aku supaya ramah sama karyawan. Nggak sombong, nggak arogan dan selalu tersenyum setiap ketemu karyawan. Karena mereka bagian dari kita dan kita harus memperlakukan mereka layaknya keluarga,” jelas Ule yang sudah hafal setiap ucapan papanya soal perusahaan.
“Dan satu lagi, tetap bersikap tegas dan bijaksana. Kita buat tempat kerja ini enak tapi tidak seenaknya. Kamu ngerti kan gimana caranya kamu bersikap dengan rekan kerja dan temen main?”
“Iya, Pa.” Ule tak kunjung mengalihkan pandangannya dari ponsel. Membuat Papa akhirnya menarik ponsel yang ada di tangannya.
“Pa ... kok, diambil?” protes Ule sembari menatap tajam ke arah papanya.
“Gara-gara ini kamu nggak konsen sama kerjaan!”
“Pa ... jangan bawa-bawa privacy aku dong!” Ule menarik ponselnya dari tangan Papa.
Papa memandang Ule tajam. “Kamu ... lagi jatuh cinta?”
Ule menggelengkan kepalanya. “Ruangan aku yang mana, Pa?” elak Ule agar terhindar dari pertanyaan-pertanyaan lain.
“Itu.” Papa menunjuk sebuah pintu kaca yang ada di seberang meja kerjanya.
Ule terkejut melihat ruangan kerja yang disiapkan berada di dalam ruang kerja Papa. “Ini serius?”
Papa menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
“Pa, apa setiap aku masuk ruangan harus lewatin meja kerja Papa dulu? Gimana kalau mau ketemu klien aku, Pa?”
“Ini ruang kerja kita. Kamu bisa ketemu klien di ruangan kamu atau di ruangan Papa. Papa rasa ruangan ini cukup luas untuk menampung 10 klien sekaligus.” Papa memandang sekeliling ruangan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pa ... kalau kayak gini, aku nggak punya privacy!”
Papa mengangkat kedua alisnya. “Kamu sudah punya rumah dengan kamar yang nyaman. Ini ruangan untuk kerja, bukan untuk kepentingan pribadi.”
Ule mendengus kesal, mengepal tangannya dan berlalu memasuki pintu kaca yang ditunjuk oleh ayahnya. Ia merasa tak begitu buruk ketika sudah memasuki ruang kerjanya. Ruangannya cukup luas dan papanya tidak sepenuhnya bisa memperhatikan setiap sudut ruangan dari balik pintu kaca itu. Hanya meja kerjanya yang terlihat berhadapan dengan meja kerja papanya. Dari sana Ule bisa memperhatikan papanya bekerja, begitu juga sebaliknya.
Ule berjalan perlahan mengamati seluruh ruang kerjanya. Matanya kemudian tertuju pada benda kecil yang berada di pojok atas ruangannya. “Shit! Ruangan ini dikasih CCTV!?” umpatnya.
Ia langsung menjatuhkan dirinya ke atas kursi kerjanya. Membuka laptop yang sudah disiapkan di sana. Beberapa kali ia membuka aplikasi dan menutupnya kembali. Ia bahkan belum tahu apa yang harus ia kerjakan di hari pertamanya masuk kerja. Dengan pengawasan CCTV, ia tidak bisa banyak tingkah.
Ting ...!
Ule meraih ponselnya, ia menemukan pesan Whatsapp yang dikirim oleh Resi.
“Aku lagi di Bandara.” Pesan singkat yang dikirim Ule baru saja mendapat balasan dari Resi.
Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol  Video Call untuk melihat Resi.
“Hai ...!” Resi terlihat melambaikan tangan di kamera.
“Kamu di Bandara mana?” tanya Ule penasaran melihat background yang ada di belakang Resi.
“Coba tebak! Kira-kira aku ada di mana nih?” Resi mengangkat ponselnya tinggi-tinggi sehingga Ule bisa melihat dengan jelas kalau Resi berada di sebuah tempat yang sudah familiar baginya.
“Jakarta!?” Ule tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
Resi menganggukkan kepalanya.
“Ngapain ke Jakarta? Liburan?”
Resi menganggukkan kepalanya. “Sekalian daftar kuliah.” Ia tersenyum di kamera.
“Mau daftar kuliah di mana?”
“Di—,” Tiba-tiba Resi menoleh ke arah lain. “Eh, jemputan aku sudah datang. Udah dulu ya! Bye ....” Resi melambaikan tangan dan menutup panggilan video yang sedang berlangsung. Sementara Ule masih gelagapan karena sebenarnya masih banyak yang ingin ia tanyakan.

***

Ule terlihat uring-uringan di kamarnya. Sudah beberapa kali ia bolak-balik seperti setrikaan. Ardan yang asyik di depan laptop lama-lama memperhatikan sahabatnya yang sedang risau seperti ayam yang ingin bertelur.
“Kenapa sih?” Ardan akhirnya bertanya. Ule masih saja mondar-mandir sembari memutar-mutar ponselnya.
Ule duduk di sisi Ardan. “Menurut lo, Resi itu gimana ya?”
Ardan menaikkan kedua alisnya. “Lo masih ingat sama dia terus?”
“Gak tau, Dan. Gue nggak bisa lupain dia. Malah gue pengen banget bisa ketemu dia lagi.”
“Loh? Gue kira lo jadian sama Selva.”
“Nggak. Dia aja yang kecentilan deketin gue mulu.”
“Dia cantik, deket, kasih perhatian sama lo setiap hari. Kenapa lo nggak suka sama dia?”
Ule mengedikkan bahunya. “Resi sekarang di Jakarta.”
“Serius? Lo tahu dari mana?”
“Tiga bulan lalu, gue sempet video call sama dia. Dia lagi di Bandara sini. Dia bilang mau kuliah di Jakarta. Tapi ... gue belum sempet tau dia tinggal di mana dan kuliah di mana. Keburu dimatiin telepon gue.”
Ardan tergelak. “Telpon aja lagi! Gitu aja kok repot?”
“Udah. Tapi dia nggak ada angkat sama sekali. WA pun nggak dibaca, apalagi di balas,” keluh Ule kesal.
“Mungkin aja dia sibuk.”
“Gue cek, kadang dia online. Tapi pas gue WA nggak dibalas.”
“Serius?”
“Iya.”
“Gue telpon Morin dulu, ya!” Ardan meraih ponselnya.
“Kenapa dia yang ditelpon?”
“Le, cinta udah beneran bikin lo bego ya! Morin ini sahabatnya Resi, dia pasti tahu apa yang terjadi sama Resi.”
“Oh ... ya, ya.” Ule menatap kosong ke arah Ardan.
“Nggak diangkat.” Ardan meletakkan kembali ponselnya di atas sofa.
“Telpon lagi!” pinta Ule.
“Iya. Entar aja. Kalau dia udah nggak sibuk, pasti telpon balik.”
“Kok, lo tau dia bakal telpon balik?”
“Biasanya begitu.”
“Lo sering komunikasi sama Morin.”
“Iya.”
“Lo suka sama dia?”
“Dia lumayan cantik dan gue cowok normal, cuma LGBT yang nggak suka sama dia.”
“Bukan gitu maksud gue. Apa lo juga punya rasa kangen sama dia?”
Ardan menggelengkan kepalanya. “Biasa aja.”
Ule terdiam, ia menyandarkan punggungnya di sofa sembari menatap langit-langit kamarnya.
“Lomba foto gimana? Udah berapa peserta yang daftar?” Ule melirik Ardan di sampingnya.
“Oh ... iya. Gue juga belum ngecek.” Ardan kembali mengamati laptopnya. Ia mengecek aplikasi peserta pendaftaran melalui situs online yang sudah mereka siapkan bersama panitia.
“Cek, dah!”
“Lo nggak mau ngecek juga? Siapa tahu ada peserta yang nyangkut di hati,” ledek Ardan.
“Ogah! Lo aja.”
Ardan tersenyum sembari memandangi foto-foto wanita cantik yang mengikuti ajang lomba foto yang diselenggarakan oleh Ule dan komunitas fotografinya. Ia terdiam ketika melihat profil dan foto peserta pendaftar terakhir. Wajah cantik natural itu familiar di matanya, mengenakan mini dress warna pink muda dengan motif etnik daerah di bagian bawahnya.
“Le ...!” Ardan menarik-narik lengan Ule tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Apaan sih!?” sahut Ule kesal karena sudah beberapa kali mengirim pesan WA ke Resi dan belum dibaca juga. Ia merasa semakin kesal dengan cewek yang satu ini. Tidak biasanya dia mengalami perasaan aneh seperti ini. Hampir tiga bulan dia chat nggak pernah dibalas. Tapi, Ule sama sekali tidak bisa mengendalikan dirinya untuk terus mengirim pesan/
“Lihat deh!” Ardan menyodorkan laptop ke wajah Ule.
Ule terbelalak melihat foto yang terpampang di layar laptopnya. “Dia ikutan lomba?” Ule memandang Ardan yang membalasnya dengan senyuman.
“Alamatnya ada nggak?” Ule langsung menarik laptop di tangan Ardan dan mengecek profil peserta yang tertera di situs online tersebut. Ia langsung mencatat alamat di ponselnya kemudian memberikan laptopnya kembali pada Ardan.
Ule berjalan menuju lemari dan meraih jaketnya.
“Mau ke mana?”
“Gue mau ke rumah Resi.”
“Sekarang?”
“Iya.”
“Lo nggak lihat ini jam berapa? Dia pasti udah tidur.” Ardan menunjuk jam dinding dengan dagunya.
Ule memandang jam dinding di kamarnya. “Aargh ...!” Ule menendang kursi yang ada di dekatnya. Kemudian berjalan menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya. Ia terus mengumpat kesal karena waktu tak memberinya kesempatan bertemu dengan seseorang yang ia rindukan.
“Masih ada waktu besok. Lo bisa ke sana besok. Gue tau Resi bukan tipe cewek yang bakal nerima tamu tengah malam gini.”
Ule mengusap wajahnya. Ia berharap pagi segera tiba agar ia bisa secepatnya menemui Resi di rumahnya.

Keesokan harinya Ule kembali menelan rasa kecewa karena Resi tak ada di rumahnya. Menurut penuturan tetangga, Resi sudah berangkat kuliah. Namun, tidak tahu kuliah di mana. Hal ini membuat Ule semakin kesal dan uring-uringan. Ia ingin menunggu sampai Resi pulang, namun telepon dari papanya membuat ia harus pergi dan kembali ke kantor.



Tentang Novel Torajakarta

Storial Co.
E-Novel Torajakarta

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6

Baca bab lengkapnya silakan klik link di atas!



Torajakarta adalah salah satu novel karya kolaborasi antara Rin Muna (Kaltim) dan Pejuang Mimpi (Makassar) yang menceritakan tentang kearifan lokal penduduk di Kabupaten Toraja. Keunikan rumah budayanya, tradisi warisan nenek moyang yang menjadikan Toraja menjadi salah satu daerah yang memiliki ciri khas dan istimewa dari daerah lain. Warisan budaya ini kemudian dikemas dalam cerita yang lebih modern sesuai dengan zamannya. Kita boleh mengikuti arus zaman secanggih apa pun, namun kita tidak boleh meninggalkan atau menanggalkan warisan budaya dari nenek moyang.

Torajakarta menceritakan kehidupan seorang gadis Toraja yang memilih pindah ke Jakarta untuk mengejar mimpinya. Merasakan kerasnya kehidupan di Ibukota yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupannya di Kabupaten TanaToraja.Dituntut untuk menjadi anak muda yang modern dan kekinian tanpa menanggalkan tradisi dari daerah asalnya.

Siapa yang menyangka jika Resi yang selama ini hidup tenang dan bahagia di kampung halamannya tiba-tiba harus menjalani kehidupan yang rumit. Ia yang menjadi yatim piatu sejak kecil dan hanya hidup bersama nenek yang selalu memanjakan dan memenuhi semua keinginan Resi. Sampai ketika neneknya meninggal, mau tak mau semua kehidupannya harus berubah. Pertemuannya tanpa sengaja dengan seorang pria yang berasal dari ibukota, berhasil membuatnya menjadi seorang wanita yang istimewa sekaligus harus menjalani kisah cinta yang rumit karena perbedaan keyakinan di antara cinta yang sudah ia ikat janjinya di Negeri Atas Awan Lolai.

Dan Kamu



Lihat ...!
Aku di sini
Masih di sini
Menanti ...
Kamu yang pernah di sini
Kini pergi...
Kini hanya dalam mimpi

Lihat...!
Aku masih berdiri
Memeluk hati yang berduri
Melukai sebab kurindui

Aku belum pergi
Dan kamu belum juga kembali
Membiarkan hati ini menanti
Sedang kamu sudah berpindah ke lain hati

Dan kamu ...
Lukai aku bukan dengan kata
Lukai aku bukan dengan mata
Lukai aku bukan dengan rasa

Dan kamu ...
Lukai aku dengan 1 kisah cinta



Rin Muna, Samboja 01-03-2019

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas