Wednesday, December 26, 2018

Juna's Don Juan

pixabay.com



Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan. Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna. Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna. Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab, semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang. Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki. Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya. Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang. Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?” Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah. Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat habiskan tehmu dan cepat pulang!”

***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.” Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga, mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!” Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja. Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah. Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan tingkah Juna hari ini.


Hantu di Langit Kamarku


Hantu di Langit Kamarku
pixabay.com


Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap langit-langit kamar. Mataku masih sembab.
Sesekali bayangan semu bergelayut di langit-langit kamarku.
Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, kadang ia merintih.
Senyum dan tawa itu, sungguh menyayat hati. Terlebih lagi senyum itu bukan lagi milikku.
Sesekali ia menangis, memohon maaf atas kesalahannya.

Aku menatapnya, sesekali bayangan itu hilang lalu muncul kembali.
Dia pernah mengajakku bercanda. Kami tertawa, menari bersama.
Dia pernah mengajakku bermimpi, membangun istana indah di negeri sendiri.

Namun, tiba-tiba dia hanya menjadi bayangan yang terus menghantuiku.
Bergelayut manja di pelupuk mata dan langit kamarku.
Sungguh, aku ingin menghancurkannya. Menghilangkan dia dari hari-hariku...
Dia terlalu semu untuk aku sentuh.

Andai waktu bisa kuputar kembali, aku memilih untuk tidak pernah mengenalnya.
Dia itu seperti hantu yang datang tiba-tiba mengetuk pintu hatiku, hanya untuk menyayat dinding-dinding hati ini. Kemudian pergi begitu saja tanpa kata.
Bagiku, kini dia hanyalah hantu.
Yang selalu bergelayut di langit-langit kamarku.
Tanpa tahu bagaimana mengusirnya.
Dia selalu mengganggu tidurku, selalu mengusik hatiku.
Sebab aku masih cinta.
Dan kini ia mencintai dia...

Mantan, kamu adalah hantu paling menakutkan dalam hidupku.
Masih lebih baik aku bercengkerama dengan kuntilanak yang selalu tertawa.
Atau bersahabat dengan tuyul yang bisa mencarikan aku banyak uang.
Kamu itu seperti genderuwo, lebih menyeramkan dari itu...

Aku mohon, pergilah bayang-bayang masa laluku...!
Terlalu perih...
Terlalu sakit untuk menatapmu.
Menatap cerita kita yang indah kemudian pecah berkeping-keping.
Melukai hati yang hanya bisa merintih...
Tak mampu membuatmu kembali. Hanya bisa menangis melihatmu bahagia bersama si dia.

Antara Surabaya-Balikpapan

Sumber Ilustrasi : Kumparan.com


“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku, namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu, sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya. Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai. Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.



Tuesday, December 25, 2018

Friday, December 21, 2018

Contoh Laundry Design~ BinatuMini Laundry

Dokumen Pribadi
Hari ini aku cukup sibuk. Pagi-pagi sekali aku sudah harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan di rumah. Jam empat pagi sudah mulai memasak dan membereskan rumah sedikit demi sedikit. Pukul 07.00 pagi, tukang sudah datang untuk melanjutkan proses renovasi Taman Bacaan Bunga Kertas yang aku berdirikan secara mandiri pada bulan Februari 2018. Alhamdulillah, mendapat sambutan baik di masyarakat dan mendapat bantuan dari perusahaan tambang batu bara yang ada di sekitar wilayah Samboja yakni PT. Singlurus Pratama.
Sembari menunggu beberapa anak yang datang untuk mengecat rak buku yang sudah dibuat beberapa hari lalu, aku membuat bunga yang merupakan pesanan dari salah satu tetanggaku.
Usai salat jumat, aku langsung bergegas menuju Km.31 untuk mengantarkan bunga pesanan dari salah seorang guru yang akan ia berikan pada seseorang yang spesial di hari ibu.
Sepulang mengantarkan bunga, aku sempatkan terlebih dahulu untuk mampir ke salah satu toko bangunan yang berada di daerah kuala. Aku membeli cat warna biru yang akan digunakan untuk mengecat taman baca.
Setelah pulang ke rumah, keponakanku sudah menjemput karena sebelumnya kami sudah janjian untuk masak bareng.
Hingga menjelang isya' aku baru pulang dari rumah keponakanku. Sangat melelahkan kegiatan hari ini.
Aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur.
Tepat pukul 08.00 seseorang tiba-tiba mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku yang isinya minta tolong dibuatkan flyer dan spanduk untuk usaha yang sedang ia rintis.
Aku sudah bilang kalau tidak bisa aku kerjakan sekarang karena banyak yang harus kukerjakan. Namun, pada akhirnya aku melangkahkan kakiku menuju ruangan tempatku biasa mengerjakan hobiku.
Aku membuka laptop dan akhirnya mengklik aplikasi CorelDraw untuk membuat design gambar usaha Laundry milik salah satu tetanggaku.
Taraaa... akhirnya jadi juga design untuk spanduk. Kebetulan pemiliknya adalah Tumini dan dia bilang mau ada namanya di spanduknya. Akhirnya, di kepalaku tiba-tiba saja muncul sebuah kalimat "Binatu Mini" yang berasal dari kata "Bina Tumini". Dua kata ini memiliki 3 makna sekaligus.
Yang pertama, Binatu Mini : artinya adalah usaha binatu kecil-kecilan milik Mbak Tumini.
Kedua, Bina Tumini : artinya usaha ini adalah usahaa binaan  mbak Tumini.
Ketiga, nama Tumini ada di dalamnya yang merupakan pemilik dari usaha laundry tersebut.
Keren juga ya?

Hmm,,, gimana menurutmu? Keren nggak si? Karena tiap orang punya penilaian yang berbeda-beda sesuai dengan standar kemampuan masing-masing. Bagiku, ini sudah cukup bagus. Walau aku yakin pasti masih ada yang bilang kalau my design is very bad. Buatku, tetaplah memuaskan dan membanggakan karena aku bisa bikin walau hanya sederhana.
Gambar di atas adalah hasil designku yang disupport dengan karya-karya ilustrasi dari pixabay.com.

Semoga hal ini dapat menambah semangatku untuk terus belajar berkarya dan karya-karyaku bisa diterima di masyarakat walau hanya hal-hal yang sangat sederhana.


~Rin Muna~
East Borneo, 21 November 2018

9 to 1 - 27 a.g.e

Dokumen Pribadi


Jika angka tertinggi adalah 1, maka aku sekarang ada di angka 9. Bagiku, angka 9 adalah proses menuju 1. Tuhan adalah satu-satunya tempatku berlabuh kelak. Setiap manusia punya proses kehidupan. Tidak bisa serta-merta mmenjadi hebat begitu saja. Ada proses yang harus dilalui.
Hari ini, 9 November 2018. Tepat di tanggal dan bulan yang sama aku hadir menatap dunia. Menjadi bocah polos yang bahkan tidak tahu bagaimana aku harus menjalani hidup. Hidup serba kekurangan menjadikan aku anak yang kuat. Tetap ceria walau seringkali diterpa kesedihan, ketakutan dan rasa malu.
Ada rasa syukur yang tak henti aku panjatkan. Dalam setiap doa, aku tak pernah meminta kebahagiaan untuk diriku sendiri. Ada orang-orang yang aku perjuangkan. Ada orang-orang yang ingin aku bahagiakan. Walau aku tahu, aku belum bisa berbuat banyak.
Ada dua orang tua yang usianya sudah senja. Aku menemani dan merawat mereka sejak usia sekolah dasar. Mereka adalah nenek dan kakekku. Aku tidak punya banyak uang untuk membahagiakan mereka atau membalas apa yang sudah mereka berikan. Aku hanya berdoa setiap hari agar mereka selalu diberikan kesehatan. Tidak diberikan rasa sakit yang amat menyiksa. Aku ingin semua rasa sakit itu diberikan padaku saja. Jangan pada tubuh renta yang bahkan setiap hari masih setia menyuguhkan secangkir teh atau kopi untuk keluarga. Hingga hari ini, mereka masih sehat dan kuucap syukur untuk apa yang telah aku lalui bersama mereka selama 27 tahun ini.
Ada Ibu yang begitu tegar menghadapi kerasnya kehidupan. Wanita yang begitu kuat berjuang demi kebahagiaan anak-anaknya. Tak pernah aku dengar keluhnya selama 27 tahun aku hidup bersamanya. Tak pernah aku dengar rasa sakitnya selama 27 tahun aku ada di sisinya. Bagiku, Ibu adalah wanita istimewa yang mengajariku apa arti sebuah perjuangan, pengorbanan, kasih sayang dan keikhlasan.  Seorang wanita yang hidup tanpa seorang kakak atau adik. Hanya anak satu-satunya yang harus merawat kedua orang tuanya yang kini sudah renta. Maka aku ambil alih tugas ibu sebagai baktiku padanya. Walau aku tahu tak seberapa. Aku pilih merawat kakek dan nenek bersamaku. Mencintainya selayaknya mereka mencintaiku sewaktu kecil. Apapun yang mereka inginkan, aku selalu berusaha memenuhi. Mudah atau susah, aku tak pernah mau mengeluh. Agar mereka tak perlu tahu kesulitan yang aku rasakkan. Bagiku, bahagialah yang seharusnya aku tunjukkan.
Ada ayah yang begitu bijak mengajariku menyikapi hidup. Yang tak henti memberi nasihat. Yang selalu berucap lembut menegur salahku. Laki-laki yang pertama kali aku kenal dalam hidupku. Yang terkadang menyebalkan tapi aku tetap cinta. Sulit mengungkapkan perasaanku untuk sosok ayah yang begitu kuat, bijaksana, dan selalu menyayangi.
Ada dua orang adik yang aku perjuangkan pendidikannya. Sampai mereka mandiri. Tak minta kiriman uang jajan. Bahkan kini mereka memberi. Air mata ini tak henti menetes kala kuingat bagaimana memperjuangkan mereka. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya gadis belia waktu itu. Yang juga ingin hidup normal seperti yang lain. Tapi aku juga punya tanggung jawab besar pada dua adikku. Aku tidak ingin melihat kedua orang tuaku berjuang sendiri. Maka, dengan tangan mungil aku rangkul mereka untuk bisa merasakan duduk di bangku sekolah. Setidaknya, bisa sama dengan yang lain. Aku bersyukur dianugerahi dua orang adik yang cerdas. Yang hati mereka pun begitu peduli pada keluarga. Jarang sekali mereka meminta uang walau tak punya, mereka menunggu diberi. Dan bersyukur punya dua orang adik yang baik. Yang bisa dengan bijak menyikapi baik buruknya kehidupan. Si cowok dengan kedewasaannya memilih untuk tidak pernah merokok, terlebih hal lainnya. Si cewek dengan kedewasaannya memilih untuk menutup diri dari pergaulan bebas, dari godaan rayuan lelaki dengan menyibukkan diri. Allah beri kami anugerah. Dan semua lelahku mulai surut walau aku tahu saat ini ada perjuangan baru yang harus aku lakukan.
Ada wajah mungil putri kecil yang selalu membuatku semangat menjalani kesulitan sesulit apa pun. Ada senyum kecil yang selalu membuatku yakin bahwa aku berdiri di sini bukan untuk mencari kebahagiaanku, tapi kebahagiaan dia yang harus aku cari. Sebab bahagiaku adalah melihatnya bahagia.
Ada dua tangan yang selalu memelukku ke mana pun aku pergi. Di tangannya ridho itu ada membimbingku. Dua tangan yang selalu setia merengkuhku kala aku merasakan sakit. Dua tangan yang siap mendorong semangatku kala aku ingin menyerah. Dua tangan yang siap melakukan apa pun demi bisa melihatku bahagia. Bagaimana bisa aku tunjukkan rasa lelah pada penyemangat jiwa? Sedangkan senyum itulah yang sungguh ia inginkan. Maka aku akan selalu tersenyum untukmu walau sakit. Sebab tanganmu ada untuk menghapus air mata. Terima kasih sudah setia menemani setiap langkah kaki yang lemah ini.

Terima kasih untuk semuanya. Untuk keluarga, saudara dan teman-teman yang tak mampu kusebutkan satu per satu. Yang telah memberikan aku banyak pelajaran hidup. Yang telah mengajarkan aku untuk bersikap dewasa. Mengajarkan aku banyak hal yang tidak bisa aku temui di rumah atau sekolah. Semua tempat bagiku istimewa. Semua orang bagiku istimewa. Tempatku belajar banyak hal.
Terima kasih untuk waktu yang berharga.
Terima kasih untuk 27 tahun dunia menerima semua salah dan dosaku.
Semoga kita semua selalu berada dalam ruang kebaikan dan surga adalah tempat kita berkumpul kelak.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi

~Rin Muna~
East Borneo, 09 November 2018

Datang dan Saksikan Persembahan Anak Negeri! [Melestarikan Budaya Jawa di Pulau Kalimantan]


Samboja. Minggu, 23 Desember 2018. Turonggo Lestari Budoyo yang merupakan sebuah paguyuban pimpinan Bapak Praptiyanto kembali menggelar pertunjukkan untuk menghibur masyarakat sekitar Desa Beringin Agung Samboja.
Paguyuban Seni Kuda Lumping ini berdiri pada tahun 2017 dan melakukan pertunjukkan pertama kali pada awal tahun 2018. 23 Desember 2018 merupakan penampilan yang keempat kalinya setelah melalui beberapa perjuangan yang tak sedikit.
Paguyuban ini berdiri atas kerjasama dan gotong royong warga Desa Beringin Agung. Semangat anak-anak muda Temanggung untuk melestarikan kebudayaannya membuat Paguyuban ini terus berkembang. Yang awalnya hanya menampilkan tari-tarian tradisional seperti Tari Sintren (Anak-anak, Remaja dan Dewasa), Tari Warok, Tari Kuda Lumping Temanggung, Tari Cendrawasih, Tari Pendet Bali dan Leak Bali. Kini mulai berkembang dengan menampilkan tarian lain yakni Tari Sontoloyo Wonosobo yang membuat Paguyuban Kuda Lumping ini semakin kaya akan tarian budayanya.
Diharapkan paguyuban ini dapat memberikan sumbangsih dalam pelestarian kebudayaan daerah dan menjadi salah satu objek pariwisata di daerah Samboja, Kalimantan Timut.
Paguyuban Seni Kuda Lumping ini telah berhasil mengkolaborasikan beberapa tarian di dalamnya.
Diharapkan kedepannya dapat terus berkolaborasi dengan tari-tarian lain baik yang berasal dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dll sebagai wujud terciptanya ragam budaya di Indonesia dan keramahan budaya yang mampu bersinergi dalam melestarika budaya Indonesia.
Saksikan penampilan spektakuler dari Turonggo Lestari Budoyo yang hanya disiarkan secara langsung di Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.



Samboja, 21 Desember 2018

Monday, December 3, 2018

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas