Thursday, November 2, 2017

Cerpen "Surya Kemerdekaan"


www.pixabay.com
www.pixabay.com/StockSnap




CERPEN 
SURYA KEMERDEKAAN
Karya : Rin Muna

Surya berlari kecil menuju rumahnya, dia sudah berteriak-teriak memanggil Mamaknya sebelum masuk ke dalam rumah.
“Mak, kata Bapak kepala sekolah. Dua minggu lagi Tujuh belas agustus, Surya akan jadi pasukan pengibar bendera di kantor kecamatan.” Teriak Surya penuh semangat.
“Oh ya?”
Mamak Widuri tersenyum bangga sambil mengelus rambut Surya. Walau dalam hatinya masih digelayuti perasaan yang tak menentu. Dia teringat akan mendiang suaminya yang selalu menanamkan jiwa patriotisme kepada Surya. Mengajarkan kepada Surya bagaimana mencintai tanah airnya. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau bangga sekali anaknya bisa menjadi seorang pengibar bendera pusaka yang selalu ia agung-agungkan itu. 
Menjadi seorang pengibar bendera di kota kecamatan bukan perkara mudah bagi Mak Widuri. Mengingat perjalanan ke sana sangat jauh dan sulit, harus melewati tiga desa yang jalannya masih tanah. Kalau hujan, sudah pasti ojek tidak dapat menembus sulitnya medan yang berlumpur. Andai saja suaminya masih hidup, mungkin tidak seberat ini dia memikirkannya. Belum lagi memikirkan bekal yang harus dibawa anaknya, tidak mungkin ia membiarkan Surya pergi jauh tanpa membawa uang sepeserpun. 
Dengan penghasilan Mak Widuri yang tak menentu. Jangankan untuk ongkos ke kota, untuk membeli beras saja masih senin kamis. Ia lebih sering mengkonsumsi singkong rebus yang ia tanam sendiri di pekarangan rumahnya.
“Tapi Mamak ragu kamu bisa ikut Nak.” Tutur Mak Widuri lirih.
“Kenapa Mak?”
“Kamu tidak punya seragam Paskibraka.” Jawab Mak Widuri lesu. Melihat seragam merah putih milik surya saja wajah Mak Widuri sudah merasa iba. Seragam surya tak lagi putih bersih, banyak hiasan benang benang jahitan. Andai saja punya uang, seharusnya seragam Surya diganti dengan seragam baru.
Surya terduduk lemas memandangi lantai rumah yang masih beralas tanah. “Andai saja Bapak masih hidup. Pasti Surya dibelikan seragam paskibraka sama Bapak ya Mak.” Celetuk Surya.
Mak Widuri merengkuh tubuh Surya sambil menahan air matanya jatuh. Ia tak tega melihat impian putra kecilnya itu kandas begitu saja. “Kamu tidak perlu bersedih, Mamak akan tetap berusaha membelikan kamu seragam. Yang penting kamu benar-benar giat berlatih, supaya saat upacara nanti kamu tidak salah-salah. Jangan bikin malu Mamak dan sekolah kamu!” kata Mak Widuri mencoba memperbaiki suasana.
“Iya Mak, nanti Surya juga akan bantu Mamak cari uang,” tutur Surya.
“Tidak usah Nak! Lebih baik kamu banyak berlatih saja, daripada waktumu terbuang sia-sia. Kamu juga harus banyak beristirahat, supaya saat upacara nanti fisik kamu tetap sehat dan kuat. Jangan sampai saat puncak upacara kamu justru kelelahan dan pingsan,” tutur Mak Widuri.
Surya manggut-manggut saja menuruti perintah Mamaknya. Dengan penuh semangat Surya berlatih paskibraka setiap pulang sekolah. Tak peduli terik matahari menyengat kulitnya atau gerimis hujan yang membasahi tubuhnya, Ia sangat senang bisa menjadi pasukan pengibar bendera pusaka saat upacara di kota kecamatan nanti. 
Pak Jarwo sebagai kepala sekolah juga sangat bangga dengan semangat Surya. Andai saja semua murid-muridnya seperti Surya, tidak hanya pandai tapi juga memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan berlatih apapun. Bahkan mempelajari hal yang sederhana saja, semangat Surya tetap menggebu-gebu.
Mak Widuri juga terus berjuang sekuat tenaga agar dapat membelikan seragam paskibraka untuk Surya. Mak Widuri hanya seorang buruh tani, ia tidak mendapatkan hasil apapun bila tak ada petani yang menyuruhnya membantu mengolah sawah. Sudah beberapa hari tidak ada yang memburuhkan keringatnya. 
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Mak Widuri berjualan tapai singkong keliling. Hasilnya memang tidak seberapa, tapi mampu membuatnya bertahan hidup. Mak Widuri berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk menawarkan tapai singkong buatannya sendiri. Lelah sudah tak dirasanya lagi. Bahkan Mak Widuri sampai menjajakan tapainya ke kampung sebelah. Sudah jelas jaraknya tidak dekat, sehingga Mak Widuri baru sampai di rumah selepas sholat isya’. Seringkali ia pulang dan mendapati Surya sudah tertidur pulas karena lelah berlatih seharian. 
Surya anak yang pandai dan rajin membantu orangtuanya sejak kecil. Sepulang berlatih paskibra, ia membereskan rumahnya. Mengambil air ke sungai untuk kebutuhan memasak tanpa harus diperintah oleh Mamaknya. Seringkali ia sudah menyiapkan singkong rebus dan kopi hangat untuk Mamaknya. Walau terkadang sudah dingin saat Mamaknya sudah sampai rumah. Karena lelah menunggu Mamaknya pulang, ia sering ketiduran di dipan. 
Sebenarnya Mak Widuri tak pernah memerintahkan dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Surya sendirilah yang merasa kasihan melihat Mamaknya berjuang seorang diri agar bisa membelikan seragam untuknya. Mak Widuri segera mandi ke sumur walau hari sudah petang. Setelahnya ia bergegas makan singkong rebus dan kopi yang sudah disiapkan Surya di meja dapur. Mak Widuri mengeluarkan kantong kecil dari keranjang dagangannya. Hanya dengan penerangan dari ublik saja, Mak Widuri menghitung hasil jualan hari ini. 
“Alhamdulillah… Hasilnya lumayan, semoga besok bisa lebih lagi dan aku bisa membelikannya seragam baru,” tuturnya sambil menghela nafas lega. 
Tanpa berlama-lama lagi Mak Widuri langsung bergegas ke dapur, mengambil beberapa ranting kayu bakar untuk memasak singkong yang akan dibuat tapai. Setiap sebelum tidur ia terlebih dahulu sibuk menyiapkan semuanya. Ditinggalnya tidur sejenak dan melanjutkannya kembali seusai sholat subuh. Sebelum menjajakan tapainya dari rumah ke rumah, Mak Widuri terlebih dahulu mengambil singkong dari kebun dan membersihkannya. Sehingga saat pulang jualan, hanya tinggal mengukus dan mengolahnya.
Beberapa hari kemudian, uang yang terkumpul dirasa cukup untuk membeli seragam paskibraka. Mak Widuri mengajak Surya ke pasar untuk membeli seragam paskibraka. Jarak dari rumah ke pasar sekitar 4 kilometer dan mereka harus menempuhnya dengan berjalan kaki. Karena mereka tak punya cukup uang untuk naik ojek. 
Sesampainya di pasar, Surya dan Mak Widuri berkeliling kios satu persatu menanyakan seragam paskibraka. Tapi tak ada satupun yang menjualnya di pasar. Katanya harus ke kota kecamatan untuk membeli seragam tersebut. Atau dengan memesan pada tukang jahit, tapi tidak bisa juga langsung jadi dalam waktu dekat. 
Karena di kampung itu hanya ada satu orang tukang jahit yang alat jahitnya pun sudah sering ngadat termakan usia. Wajah Surya sudah terlihat sangat sedih. Ia meneteskan air mata sambil berjalan pulang. Ia takut tak bisa ikut upacara nanti hanya karena dia tak punya seragam.
“Bagaimana ini Nak?” tanya Mak Widuri kebingungan.
“Kalau ke kota kan lama Mak. Masih sangat jauh dari sini. Kalau berjalan kaki 3 hari baru bisa sampai di sana. Berarti Surya tidak akan bisa ikut upacara nanti.” Jawab Surya sambil menangis.
“Sudahlah, tidak usah bersedih seperti itu. Besok saja kita ke kota kecamatan. Mamak cari uang ongkos dulu untuk ke sana, kita bisa ikut menumpang menuju ke sana, jadi kita tidak perlu berjalan kaki.” Tutur Mak Widuri.
“Bener Mak?” tanya Surya mengusap air matanya.
Mak Widuri mengangguk dan dengan berat hati mereka kembali ke rumah dengan tangan kosong. Tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan,hanya mendapat lelah berjalan kaki berkilo-kilo meter.
“Mak… dari mana saja? Saya tadi pagi ke sini tidak ada orang.” sapa Pak Jarwo ketika Mak Widuri dan Surya baru sampai di halaman rumah.
“Kami dari pasar Pak. Ada keperluan apa ya Pak? Mari masuk dulu!” Kata Mak Widuri mempersilahkan.
 “Tidak usah lah Mak. Saya juga masih banyak keperluan yang lain. Saya hanya ingin memberikan ini.” Tutur Pak Jarwo sambil menyerahkan 1 kantong kresek hitam kepada Mak Widuri. Surya hanya memandang dengan rasa penasaran.
“Apa ini Pak?” tanya Mak Widuri.
“Ini seragam paskibraka untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
Mak Widuri dan Surya saling bertatapan dan tersenyum girang. “Ini benar untuk Surya Pak?” tanya Mak Widuri masih tak percaya.
“Iya benar. Itu untuk Surya. Kan Surya mau jadi pengibar bendera di kota kecamatan, jadi saya belikan ini untuk Surya.” Jawab Pak Jarwo.
“Alhamdulillah…!” teriak Mak Widuri dan Surya bersamaan.
“Kami baru saja dari pasar untuk mencari seragam paskibraka Pak, tapi kami tidak mendapatkannya. Kata orang-orang harus ke kota kecamatan. Di sana tidak ada yang menjual seragam paskibraka, kalau mau pesan di tukang jahit sudah tidak sempat lagi Pak.” Tutur Mak Widuri.
“Astagfirullah…!” kata Pak Jarwo sambil menepuk jidatnya.
“Ada apa Pak?” tanya Mak Widuri bingung.
“Saya lupa kasih informasi ke Surya dan Mak Widuri, kalau seragam paskibraka sudah disiapkan oleh pihak sekolah. Jadi, Mak Widuri tidak perlu repot membelikan seragam baru untuk Surya. Mak juga tak perlu khawatir, selama lima hari di sana akan ada uang saku untuk Surya.” Tutur Pak Jarwo kemudian.
“Alhamdulillah…” kata Mak Widuri lega. “Apa Pak? Lima hari!?” Mak Widuri sedikit tersentak ketika menyadari ucapan Pak Jarwo.
“Iya, karena Surya juga harus ikut berlatih dahulu dengan tim paskibraka dari sekolah lain di sana.” Jawab Pak Jarwo.
“Surya tidak bilang begitu. Katanya hanya upacara saja.”
“Maafin Surya Mak. Kalau surya bilang sama Mamak lebih dulu, pasti Mamak tidak akan mengijinkan Surya pergi ke sana.” Tutur Surya lirih.
“Kata siapa Mamak tidak izinkan? Pasti Mamak beri izin. Menjadi paskibraka bukan hanya impian kamu, tapi juga impian almarhum ayah kamu.” Sentak Mak Widuri.
Pak Jarwo dan Surya saling memandang dengan senyum sumringah.
“Kalau begitu, besok pagi Surya sudah harus siap-siap! Kita akan berangkat besok.” Tutur Pak Jarwo.
“Apa? Besok Pak!? Cepat sekali.” tutur Mak Widuri terkejut.
“Iya Benar. Persiapkan diri ya Surya!” pinta Pak Jarwo.
“Siap Pak!” jawab Surya dengan sikap hormat dan suara lantangnya.
Pak Jarwo membalas hormat Surya dan segera berpamitan.
Keesokan harinya, Surya sudah siap untuk berangkat pagi-pagi sekali. Semua perlengkapan sudah ia masukkan ke dalam tas sejak semalam. Bahkan semalaman Surya tidak dapat tidur nyenyak karena membayangkan ingin ke kota kecamatan. Mobil Jeep yang dikendarai oleh wakepsek sudah terparkir di depan rumah Mak Widuri tepat saat jam tujuh pagi. Pihak sekolah sudah siap mengantarkan Surya menuju ke kota kecamatan.
“Kamu baik-baik di sana. Tidak boleh nakal, tidak boleh berkelahi dengan teman di sana. Latihan yang giat supaya jadi pasukan yang gagah.” Tutur Mak Widuri. “Ini untuk bekal kamu di sana, gunakan dengan baik dan jangan boros!” pinta Mak Widuri sambil menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju Surya.
Surya mengangguk, mencium tangan dan kedua pipi Mamaknya. Kemudian bergegas menaiki mobil Jeep yang dikendarai oleh Pak Wakepsek. Ada Pak Jarwo juga yang sudah duduk manis di samping Wakepsek. Surya melambaikan tangan kepada Mak Widuri. Begitu pula dengan Mak Widuri, terus melambaikan tangan sampai mobil yang dinaiki Surya tak terlihat lagi. Tanpa disadari Mak Widuri meneteskan air mata melepas keberangkatan Surya ke kota kecamatan. Ingin sekali ia ikut ke sana dan melihat langsung putranya menjadi seorang pengibar bendera pusaka.
Sesampainya di kota kecamatan, Surya langsung berbaur dan berkenalan dengan peserta paskibraka dari sekolah lain. Mereka semua berlatih dengan baik dan penuh semangat. Anak-anak seperti mereka memang semangatnya masih tinggi. Surya terpilih menjadi penarik bendera dan Ia memanfaatkan waktu latihan dengan baik.
Tibalah saatnya upacara bendera yang tepat pada tanggal 17 Agustus. Surya memandangi tubuhnya di cermin yang sudah terbalut rapi dengan seragam paskibraka.
Upacara berjalan dengan penuh khidmat. 
        Surya menitikan air matanya ketika sangsaka merah putih tepat berada di ujung tiang bendera. Ini adalah hari kemerdekaan baginya, hari kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Impian Surya sederhana, hanya ingin mengibarkan merah putih. Tanpa harus memikirkan bagaimana ia berjuang untuk bertahan hidup bersama Mamaknya. 
        Seperti pesan almarhum ayahnya, merah putih harus terus berkibar. Sekalipun keringat dan darah jadi penghiasnya. Surya tahu, ayahnya akan lihat apa yang sekarang dia lakukan. Surya melihat bayangan Sang Ayah yang sedang hormat dan tersenyum bangga padanya ketika ia menatap Sangsaka Merah Putih yang sudah ada di ujung tiang bendera. Baginya, ayahnya tetap hidup dalam hatinya, dalam jiwa dan pikirannya. Kemerdekaan Surya adalah ketika ia bisa menghantarkan Sangsaka merah putih ke tempat tertinggi.



Cerpen ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam antologi cerpen berjudul "Syair Tujuh Belas Agustus"


_______________________________________________________
----------------------------------------------------------------------------------
🅒 Copyright.
Karya dilindungi undang-undang. 
Dilarang copy paste atau menyebarluaskan cerita ini tanpa mencantumkan nama penulisnya.



Cerpen "Ikhtiar Cinta"

pixabay.com/sasint




CERPEN “IKHTIAR CINTA”
 Karya : Rin Muna

Sudah 6 bulan ini perasaan hatiku tak karuan. Entah apa yang ada di dalam hatiku sehingga selalu bergetar ketika aku melihat Lisa, bahkan memandangnya dari kejauhan. Dia satu-satunya wanita yang tak pernah bergeming saat yang lain asyik bersorak memberi semangat ketika sedang bermain basket di lapangan sekolah ataupun saat aku menunjukkan aksiku bernyanyi di atas panggung. 
Dia adalah satu-satunya wanita yang aku kagumi keindahan dan kesederhanaannya. Tubuhnya yang tinggi semampai, kulitnya yang putih dan wajahnya yang cantik alami, semakin cantik dalam balutan hijab. Sangat sederhana dibanding perempuan-perempuan lain di sekolah ini, tapi dia terlihat istimewa. 
Saat semua cewek sekolah sibuk berteriak histeris memanggil namaku dalam pertandingan basket, dia hanya lewat tanpa menoleh sedikitpun, bahkan sepertinya dia tidak tertarik dengan keramaian. Sejak ia muncul dari ujung koridor utara hingga hilang di koridor selatan, ia sama sekali tak menoleh sedikitpun. Justu aku yang tidak fokus saat latihan atau pertandingan jika dia melintas di sisi lapangan. 
Beberapa teman selalu menepuk bahuku, mungkin mereka tersadar dengan lamunan atau pandanganku yang tak ingin lepas dari gerak-gerik Lisa. Sudah lama sekali aku memperhatikannya, dia gadis yang sangat berbeda. Pakaiannya santun, tidak seperti anak-anak lain yang terlihat heboh dan berlebihan.
 Setiap jam istirahat makan siang, aku selalu mendapatinya berjalan menuju musholla, melaksanakan sholat dzuhur dan kemudian menghampiri teman sekelasnya di kantin untuk makan siang. 
Terkadang ia terlihat duduk manis di antara rak-rak buku perpustakaan. Aku ingin sekali bisa menyapanya, berkenalan dengannya, dan bisa mendengar suaranya dari dekat. Tapi aku tidak punya keberanian untuk itu, jangankan untuk menyapa, mendekatinya saja aku tak punya kekuatan.
Seperti biasa, aku selalu ada di kursi kantin paling pojok agar aku bisa bebas memandang Lisa dari kejauhan. Beberapa temanku sudah mengetahui perubahan yang terjadi padaku dan kali ini mereka ada di meja bersamaku. 
Aku tak bisa menyembunyikan apa yang terjadi dalam hatiku, bahkan aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Lisa. Walau kami asyik bercanda bersama, tapi sesekali mataku tertuju pada Lisa yang sedang asyik makan bakso. 
Terkadang Lisa terlihat lucu, bibirnya merah merona alami karena kepedasan dan dia terlihat semakin cantik. Alisnya yang rapi bak semut beriring, alami tanpa harus menggunakan pensil alis. Matanya bulat indah dengan bulu mata yang lentik dan tebal alami, seperti gadis di anime Jepang. Dia terlihat sempurna, bahkan mungkin satu sekolah akan memuji kecantikannya.
“Ardi...!” teriak Bayu tepat di telingaku.
“Woii,,, sakit kupingku, kayak Jakarta-Bandung aja pake teriak-teriak segala.” Spontan aku terkejut dengan kelakuan Bayu.
“Kamu kenapa dari tadi kita ajak ngomong gak dengerin?” tanya Bayu kemudian.
“Eh...oh...eh.... denger kok aku.” Jawabku gugup.
“Apa kalau dengar?” tanya Reno.
Aku berpikir dan keki, karena sebenarnya aku tidak mendengarkan apa yang mereka ceritakan. Aku sibuk mengagumi Lisa dari kejauhan.
“Sepertinya dia sedang jatuh cinta pada gadis manis berhijab pink rawis itu.” Celetuk Andra sok puitis.
Aku hanya diam dan tersipu malu, entah apa yang ingin kukatakan. Berbohongpun aku tak bisa, karena aku yakin mereka sudah memperhatikan apa yang selama ini kuperhatikan.
“Kenapa gak kamu samperin aja, Di?” tanya Bayu.
“Gak berani,” jawabku singkat sambil memainkan sedotan di dalam gelas minumku.
“Hahahaha...” Tiba-tiba tawa keras Bayu, Reno dan Andra membuat gaduh suasana kantin dan semua mata memandang ke arah kami.
“Ssst... jangan keras-keras ketawanya!” pintaku sambil melihat ke arah Lisa. Dan untuk pertama kalinya Lisa juga menengok ke arah kami. Dia teapt memandangku dan kedua mata kami bertemu. Hanya dalam hitungan detik saja dia kembali mengalihkan pandangannya, beranjak dari tempat duduk dan pergi meninggalkan kantin.
“Nah,,, pergi kan dia. Kalian sih ribut!” sentakku sebal.
Sementara Bayu masih terus tertawa kaku sambil memegangi perutnya. “Hahaha... akhirnya ketahuan juga kalau kamu beneran lagi perhatiin dia.” Ucap Bayu sambil menahan tawanya. “Sejak kapan seorang Ardi, seorang kapten basket, ketua osis yang don juan takut buat deketin cewek.” Celetuknya kemudian.
Aku langsung bergegas pergi meninggalkan kantin tanpa sepatah kata yang ku ucapkan pada teman-temanku. Bahkan aku tak peduli mereka masih bergumam dan menertawakanku. Mereka tidak mengerti bagaimana perasaaan hatiku, mungkin inilah perasaan yang sebenarnya. Alamiah dan datang begitu saja tanpa aku memintanya.
“Ardi....! Di panggil Kepsek ke ruangannya.” Sapa salah satu teman sekelas dan seketika membuyarkan lamunanku.
Tanpa banyak bertanya aku langsung bergegas menuju ruang Kepala Sekolah. Aku tahu Kepala Sekolah memanggilku hanya untuk hal-hal penting saja. Sebagai Ketua Osis yang masih aktif, aku punya tanggung jawab terhadap semua kegiatan murid di sekolah ini. Aku duduk di kursi tepat di hadapan meja kepala sekolah. Kemudian, dia mulai mengajakku berbincang-bincang basa-basi sebelum ke pokok permasalahan utama yang akan dia utarakan.
“Begini, sekolah kita diminta untuk mengirimkan putra-putri berprestasi diajang kompetisi siswa teladan antar sekolah dan antar provinsi. Saya ingin mengirim kamu dan salah satu adik kelasmu yang sangat berprestasi di sekolah ini sebagai kandidat untuk mewakili sekolah kita. Kamu bersedia?” tanya Pak Kepala Sekolah kemudian.
“Saya siap-siap saja Pak, kira-kira apa saja yang harus saya persiapkan untuk mengikuti kompetisi itu?” tanyaku penasaran.
“Sebentar, kita tunggu dulu dia datang ke sini. Nanti akan saya jelaskan detilnya saat dia sudah di sini. Agar saya tidak perlu menjelaskan ulang. Kalian harus bekerjasama dengan baik, karena di sini bukan kompetisi individual. “ ujar Pak Kepala Sekolah.
Tak lama kemudian terdengar pintu kepala sekolah yang diketuk. Kepala sekolah mempersilahkan masuk dan aku sangat terkejut ketika melihat siapa yang datang.
“Akhirnya datang juga, kenapa lama sekali Lisa?” tanya Kepala Sekolah.
“Maaf Pak, tadi saya masih sholat dzuhur terlebih dahulu.” jawabnya dengan suara yang lembut.
“Oh... oke.” kata Pak Kepala Sekolah sambil memperbaiki posisi kacamatanya. “Silahkan duduk!” perintahnya pada Lisa.
Lisa duduk tepat di kursi sebelahku. Untuk pertama kalinya aku berada dekat dengan dia, wanita yang selama ini begitu ku kagumi. Perasaanku semakin tak karuan, tubuhku keringat dingin dan aku merasa gugup. 
Bapak Kepala Sekolah menjelaskan panjang lebar tentang kompetisi yang akan kami hadapi berdua. Sejak saat itu, aku dan Lisa lebih sering bertemu untuk belajar bersama. Bukan hanya teori yang kami pelajari, tapi juga ada beberapa praktikum yang akan jadi kompetisi. 
Aku bahkan tidak pernah menyangka kalau aku bisa sedekat ini dengan Lisa. Dia gadis yang ceria, cerdas dan bijaksana. Tak jarang kami berdebat mempertahankan pendapat masing-masing. Saling bercanda dan tertawa bersama. Dan kami bisa lebih sering menikmati makan siang bersama. 
Aku juga mulai belajar untuk dapat beribadah dan menjadi imam di musholla sekolah. Banyak teman-teman yang heran dengan perubahanku, tapi aku tidak malu karena aku berubah menjadi lebih baik. Seperti apa yang pernah diucapkan Lisa padaku “Jangan pernah malu bila kita melakukan hal yang baik!”.
Sampai kompetisi berakhir dan kami berhasil menjadi juara kebanggan sekolah. Aku masih belum punya keberanian untuk menyatakan perasaanku. Hingga aku naik ke kelas 3 dan dinyatakan lulus. 
Aku masih memendam perasaanku, sampai ucapan salah satu teman menyadarkanku apa arti kejujuran hati. Diterima atau tidak, setidaknya aku bisa tahu bagaimana perasaan Lisa padaku. Di penghujung acara perpisahan sekolah, aku mencoba menyatakan perasaanku pada Lisa. Aku menghampirinya dengan perasaan gugup, tubuh yang keringat dingin.
“Lisa...!” sapaku ketika sudah berada di sisinya.
“Ya Kak.” Jawabnya dengan nada lembut.
“Kakak mau bilang sesuatu sebelum Kakak pergi dari sekolah ini. Ini adalah hari terakhir Kakak ada di sekolah ini. Kakak akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan kita tidak akan bisa bertemu setiap hari lagi.” Ucapku lirih.
“Iya, aku tahu kok Kak. Semoga saja di kampus nanti Kakak tetap jadi mahasiswa yang berprestasi. Dan jangan lupakan sholat ya!” tutur Lisa sambil memandang ke arah panggung pensi.
“Aku cinta kamu, Lisa,” celetukku tiba-tiba.
Lisa terdiam tak berkata sedikitpun, tidak juga menoleh ke arahku. Jantungku semakin tak karuan ketika aku tahu bahwa dia tak punya perasaan apa-apa. Bahkan setelah beberapa detik, dia tidak merespon ucapanku. 
Lima detik, sepuluh detik, lima belas detik, tiga puluh detik dan dia masih diam. 
Aku berharap dia menjawab perasaanku, tapi dia tidak bergeming dan seolah-olah tak menganggap aku ada di sisinya. 
Aku membalikkan tubuhku dan pergi meninggalkan Lisa penuh kekecewaan. Lisa memang tak seperti gadis lain, dia lebih sibuk dengan buku-bukunya. 
Dia tak mau disibukkan dengan perasaan cinta, baginya itu hanya akan mengganggu kegiatan belajarnya. Aku berjalan menghampiri teman-temanku yang sedang asyik membicarakan universitas yang akan mereka masuki setelah lulus SMA. 
Tiga puluh menit kemudian aku berpamitan kembali ke kelas untuk mengambil tas dan pulang ke rumah. Ini terkahir kalinya aku pandangi kelasku beberapa menit, banyak hal yang akan kurindukan dari kelas dan sekolah ini, terutama Lisa.
“Ah, aku harus segera melupakannya. Dia tak menyukaiku sama sekali, apalagi berharap membalas cintaku”. Batinku sambil menuju ke meja mengambil tas yang aku sandarkan di kursi tempat dudukku. Aku terkejut mendapati ada amplop merah jambu yang ada di mejaku bertuliskan ‘Untuk Kak Ardi’, aku segera membuka dan membacanya.
“Maaf bila aku belum bisa membalas perasaan cintamu. Bahkan aku sendiri belum tahu apa itu cinta, aku sendiri belum yakin apakah aku mencintaimu atau tidak. Bila tiba waktunya, kita akan dipertemukan kembali." 
"Tuhan menciptakan dua hati yang berbeda untuk saling mencintai, perasaan itu datang tanpa aku memintanya. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku masih punya banyak hal yang harus kuperbaiki, aku belum jadi wanitamu yang baik, belum pantas hadir dalam kehidupanmu." 
"Aku tahu kamu sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik, bahkan saat aku tidak pernah memintanya. Maka, jadilah yang terbaik untukku. Tuhan pasti akan mempersatukan bila hati kita berjanji untuk tidak menghianati. Aku akan menunggu kamu mengucapkannya lagi ketika kita sudah sama-sama dewasa dan siap berikrar di hadapan Tuhan. Aku hargai ikhtiar cintamu dan aku akan menunggumu menikahiku.” –Lisa-.

            Aku melompat kegirangan membaca sepucuk surat itu. Setidaknya aku tahu bagaimana perasaan Lisa padaku. Aku akan terus berusaha mempertahankan perasaan cintaku. Bahkan sampai saat ini, saat aku sudah mendapat gelar S1, perasaanku terhadap Lisa tak pernah berubah. Masih terus mencintainya walau kami berjauhan. Sampai akhirnya waktu itu tiba.




-Selesai-

Cerita ini telah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku Antologi Cerpen berjudul "Puppy Love"

______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.


Cerpen "Gundu Si Gundul"

CERPEN “ GUNDU SI GUNDUL”
Karya : Rin Muna




Langkah kaki kecil si Gundul menyeringai di antara rerumputan. Tangannya sibuk menggenggam sebuah kantong kecil berisi gundu. Tak berapa lama ia sampai di pekarangan rumah salah seorang temannya. Beberapa anak sudah asyik bermain. Ada yang sedang sibuk main lompat tali, ada beberapa anak perempuan yang sibuk main boneka.
“Itu Si gundul datang!” teriak Arya dan semua anak menoleh ke arah Gundul.
Si Gundul hanya cengengesan sambil mengelus-elus kepalanya yang gundul. Si Gundul sebenarnya bernama Wahyu, namun semua teman dan keluarganya memanggil Gundul karena kepalanya selalu dicukur gundul alias botak.
“Ayo kita main gundu hari ini!” ajak si Gundul.
“Ayo!” jawab Arya, Dika dan Seno berbarengan.
“Aku mau main lompat tali aja deh, gundu aku udah abis.” Sela Jefri yang lebih memilih bermain lompat tali bersama tiga teman yang lain.
“Aku mau ikut main gundu!” teriak Sela yang tadinya asyik bermain boneka.
“Gak usah! Kamu kan perempuan, main boneka aja sana!” sahut Arya.
“Gak papa Ar, kan dia mau ikutan.” Sela Gundul. “Emangnya kamu punya gundu kah Sela?” tanya Gundul pada Sela.
“Aku punya kok.” Jawab Sela sambil menunjukkan beberapa butir gundunya.
“Ya udah, ayo main!” ajak Gundul.
Kemudian mereka semua asyik bermain gundu. Beberapa anak ada yang bermain lompat tali dan ada yang bermain boneka. Si Gundul adalah anak yang selalu menang saat bermain Gundu. Bukan hanya permainan gundu, tapi permainan lain juga bisa dia mainkan dengan baik. 
Saat bermain gundu, dia hanya membawa sedikit saja kelereng, tapi pulangnya dia akan membawa banyak gundu dari kemenangan yang ia dapatkan. Terkadang juga dia kalah dan tidak membawa pulang gundu satupun. 
Dalam permainan gundu ini, siapa yang kalah harus menyerahkan gundu yang ia pasang kepada yang menang sebagai hadiah kemenangan. Oleh karenanya Si Gundul selalu membawa beberapa gundu di kantongnya dan mengajak anak-anak lain bermain gundu, kalau dia menang jumlah gundu yang dia punya akan semakin banyak.
“Yah, punyaku abis”.celetuk Sela ketika gundunya abis. Ia terlihat sedih karena tidak bisa ikut bermain lagi.
“Ya udah pake gundu aku dulu nih.” Kata Gundul sambil memberikan 6 buah gundu kepada Sela.
Sela tersenyum dan langsung menerimanya. “Terima kasih ya Gundul!”
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WITA. Si Gundul segera mengajak teman-temannya untuk berhenti bermain.
“Kita udahan dulu ya mainnya, lanjutin besok lagi kalau udah pulang sekolah. Sudah jam setengah empat nih, kita ngaji dulu ke Masjid yuk!” ajak Si Gundul.
Semua teman-temannya mengangguk dan bergegas pulang. Mereka segera mandi dan bersiap belajar mengaji di TPA Masjid. Sebelum berangkat mengaji biasanya mereka saling menjemput temannya ke rumah dan berangkat bersama-sama menuju masjid. Dan yang paling terakhir dijemput adalah Arya, karena letak rumahnya yang paling dekat dengan masjid.
“Arya.... Arya...!” panggil anak-anak beramai-ramai.
Ibu Arya langsung keluar menyapa teman-teman Arya. “Arya sedang tidur anak-anak.”
“Kok tidur Bu? Dia tidak ngaji?” tanya si Gundul.
“Tadi kan abis main, dia kecapean, katanya gak mau ngaji.” Jawab Ibu Arya.
“Yaaah.....”, celetuk anak-anak lain dengan nada kecewa.
Mereka berangkat ke Masjid tanpa Arya. Arya adalah anak yang paling nakal dan paling malas untuk mengaji di Masjid, sehingga selalu saja ada alasannya untuk tidak mengaji. Saat teman-teman yang lain sudah Iqro’ 5, dia masih belajar Iqro’ 2. 
Berbeda dengan Si Gundul yang selalu bersemangat untuk belajar mengaji. Di usianya yang masih 9 tahun dan duduk di bangku kelas 3 SD, dia sendirilah yang sudah bisa lancar membaca Al-Qur’an. Dia juga berprestasi di sekolah. Rajin belajar juga rajin bermain. 
Setiap hari sepulang sekolah dia selalu mencari teman untuk bermain. Terkadang orangtuanya heran dengan nilai Gundul yang bagus, karena mereka jarang sekali melihat Gundul belajar di rumah. Sesekali orangtuanya bertanya “Ndul, Kenapa tidak belajar?”. Tapi Gundul hanya menjawab dengan santai “Gundul kan sudah belajar di sekolah.”
Memang terkadang orangtua tidak tahu apakah di sekolah si anak banyak belajar atau bermain. Tapi, Si Gundul selalu memperhatikan pelajaran yang diberikan guru dengan baik. Mencatat dibukunya tanpa harus di suruh. Dia belajar di rumah selesai sholat magrib apabila ada tugas dari guru. Bila tidak ada tugas, dia hanya menonton tv atau main ke rumah temannya.
“Mau ke mana?” tanya Ibu Gundul yang mendapati Si Gundul sedang memakai sandal dan bersiap mau keluar dari rumah.
“Mau main ke rumah....”
“Gak usah main terus, sudah malam mau main apa di luar?” sahut Ibunya sebelum Gundul selesai menjawab. “Main di rumah aja!” pinta Ibunya.
“Tapi, gak ada temannya main.” Celetuk Si Gundul.
“Kan ada Ibu, main sama Ibu atau sama Ayah.” Sahut Ibunya.
“Main sama Ayah, ayah punya permainan baru.” teriak ayahnya sambil keluar dari balik pintu kamar.
“Mainan apa yah?” tanya Si Gundul sambil bergegas masuk kembali ke dalam rumah.
“Ini!” kata ayahnya sambil menunjukkan sebuah buku tebal.
“Ah, malas belajar terus. Aku mau main Gundu aja!” pinta Si Gundul.
“Itu bukan belajar Nak, itu mainan bagus kok. Coba liat deh sini!” ajak Ibunya sambil menunjukkan isi dari buku itu. Ibunya sangat berharap Si Gundul dapat belajar melupakan gundunya, karena bermain gundu tidak memberikan pengaruh baik terhadap perkembangan kecerdasan otaknya. Mungkin ada sedikit pengaruh melatih kecepatan dan ketepatan otaknya, tapi kalau setiap hari hanya bermain gundu saja, kecerdasannya tidak akan berkembang.
“Nih, liat deh ini gambar apa?” tanya Ayahnya sambil menunjukkan gambar sketsa gundu hitam putih dengan 5 kolom di bawahnya.
“Gundu.” Jawab Si Gundul ceria.
“Yee... pinter!” sahut Ibunya sambil bertepuk menyemangati.
“Nah, jawabannya ditulis di dalam kotak ini deh!” pinta Ayahnya. “Kalau udah bener jawabannya terus diwarnai gambarnya ya, yang bagus warnanya.” Kata ayahnya sambil menyiapkan pensil warna.
Si Gundul kemudian menuruti petunjuk dari ayahnya. Lembar selanjutnya juga begitu dengan gambar yang berbeda-beda. Sebuah permainan menebak dan mewarnai, mengajak Si Gundul untuk berpikir kreatif. Beberapa saat kemudian mereka asyik terlarut dalam permainan itu. Si Ibu tersenyum melihat kedua jagoannya asyik bermain, kemudian ia bergegas menuju dapur untuk menyiapkan minum dan cemilan agar mereka lebih senang lagi.
Hari berikutnya Si Gundul mulai melupakan permainan gundunya. Dia malah asyik membuka lembar demi lembar buku yang dibelikan ayahnya. Menebak gambar dan mewarnainya. Dia malah minta dibelikan lagi buku yang baru. Setiap malam dia selalu mengisi tebakan dan mewarnai buku itu. Walaupun setiap pulang sekolah dia tetap masih bermain dengan teman-temannya. Tapi setidaknya dia sudah tidak keluar bermain saat malam hari. 
Anak-anak seusianya memang sedang senang bermain, tidak bisa di forsir untuk terlalu banyak belajar, tidak bisa juga dibiarkan untuk terlalu banyak bermain. Lebih baik diberikan permainan edukatif agar anak-anak senang bermain sambil belajar. Sehingga belajar bukan jadi hal menakutkan untuk anak-anak seusia Gundul. 
Belajar jadi menyenangkan, waktunya bermain juga tetap dapat pelajaran dari permainan tersebut dan melatih kecerdasan otaknya agar dapat berkembang dengan baik sesuai dengan usianya. Tidak bertingkah dewasa sebelum waktunya dan tidak bersikap kekanak-kanakkan saat sudah dewasa. Anak-anak harus dibiasakan bersikap sesuai dengan usianya karena semua ada waktunya.

            Hampir setiap hari orangtua Si Gundul selalu membiasakan anaknya untuk disiplin. Waktunya sekolah ya sekolah, sepulang sekolah diberikan waktu untuk bermain dengan teman-temannya agar ia dapat bersosialisasi dengan baik. Sore hari diberikan pelajaran agama dan mengaji agar ia menjadi anak yang bermoral dan berakhlak baik. Malam hari dia harus tidur tepat waktu agar hari selanjutnya tetap bisa semangat untuk sekolah, bermain dan belajar.



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan nama penulis.

Cerpen "Getar Dada di Ladang Lada"

CERPEN “GETAR DADA DI LADANG LADA”
Karya: Rin Muna


“Anggi….!” Seru seseorang dari dalam rumah.
“Ada apa Pak?” sahut Anggi sambil menggorek-gorek lada di penjemuran.
“Kamu yang antar Lada ke Samarinda besok ya!” pinta Pak Murto yang baru keluar dari pintu rumah.
“Kenapa Anggi Pak?”
“Besok Bapak ada pertemuan dengan para petani-petani yang lain.” Jawab Pak Murto sambil menyulut sebatang rokok dan duduk santai di kursi teras rumahnya.
“Oke deh Pak. Kok tumben banget ada pertemuan segala Pak? Emangnya ada apa?” Tanya Anggi sambil melangkah mendekati ayahnya.
“Bapak juga nggak tau, katanya sih dari Dinas Perkebunan atau Pertanian gitu. Bapak kurang paham juga.”
“Oh… gitu. Ya udah besok biar Anggi yang antar langsung mericanya ke sana.”
“Tapi, Anggi itu kan perempuan Pak, apa gak sebaiknya menyuruh orang lain saja?” sahut Ibu Darmi, mamanya Anggi yang baru keluar sambil membawa nampan berisi kopi hangat dan pisang goreng.
“Ya nanti bapak suruh Jamal temanin dia lah.”
“Nah, kalau begitu Ibu nda khawatir Pak.”
“Apa sih Bu yang dikhawatirkan? Anggi kan sudah besar.” Sahut Pak Murto.
“Iya Bu, lagipula Anggi malas kalo jalan bawa si Jamal. Dia itu ribet kayak perempuan.” Celetuk Anggi.
            Dan mereka asyik bercanda pagi itu. Tak lama kemudian Anggi menuju ke salah satu pondok dengan sepeda ontelnya. Di ladang lada milik ayahnya ada beberapa bangunan pondok yang dipergunakan untuk istirahat beberapa pekerja. Setelah menyandarkan sepedanya, Anggi berjalan kaki menuju sungai perendaman. Di Sungai itu sudah di atur slot slot perendaman untuk memisahkan lada yang hari panennya berbeda. Kemudian ia berjalan ke area lain yang sedang dilakukan peremajaan tanaman lada.
“Pak, ini bibitnya sudah disiapkan semua?” Tanya Anggi kepada salah seorang pekerja.
“Sudah Mba, semuanya sudah siap tanam. Ini masih proses pembuatan lubang tanamnya.” Jawab Pak Anto, salah satu pekerja di ladang itu.
“Wah,,, keren memang Bapak ya, sudah berapa persen yang selesai pembuatan lubang tanamnya pak?” Tanya Anggi kemudian.
“Sudah tujuh puluh persen Mba.”
“Siip deh. Oh… ya, Bapak lihat Jamal nggak?” Tanya Anggi sambil celingukan.
“Tadi ada saya lihat di lahan yang lagi panen.” Jawab Pak Anto.
Anggi segera menghampiri Jamal yang sedang memetik lada.
“Mal, besok kamu disuruh Bapak nemenin aku ke Samarinda.” Celetuk Anggi yang sudah berdiri di belakang tubuh Jamal.
“Wah,,, beneran!? Asyiik… Ke Samarinda lagi. Ntar skalian kita mampir ke Mall ya. Kita Belanja baju, trus kita makan di tempat makan yang enak-enak.”
Anggi langsung memutar bola matanya melihat tingkah Jamal yang emang ribet dan banyak maunya. “Ya deh, tapi jangan beli yang mahal-mahal ya!” tegas Anggi.
Keesokan harinya Anggi dan Jamal langsung melaju menuju kota Samarinda. Setelah selesai melakukan transaksi dengan pihak pabrik, Anggi langsung menuju mall untuk menuruti keinginan Jamal.
“Cewek-cewek di sini cantik-cantik ya Nggi, lumayan lah buat cuci mata. Mana tau bias dapat jodoh orang sini juga.” Celetuk Jamal.
“Nggak usah ketinggian deh. Kita ini cuma orang kampung, mana ada orang kota yang mau sama orang kayak kita. Punya selera jangan ketinggian lah.” Sahut Anggi.
“Takdir gak ada yang tau kan? Siapa tau aja ntar jodoh kita lebih baik. Kayak di sinetron gitu, orang kampung dapet jodoh orang kota yang kaya raya…..” Oceh Jamal panjang lebar.
“Itu sinetron Jamal!” ucap Anggi sebal.
Hampir seharian penuh mereka berkeliling kota Samarinda, sehingga mereka sampai di rumah usai sholat isya’.
“Sudah pulang?” Tanya Pak Murto.
“Iya, Jamal bener-bener bikin aku capek banget. Banyak maunya!” gerutu Anggi sambil berlalu masuk ke kamar tanpa menghiraukan suara panggilan Ibunya.
“Gimana ini Pak?” tanya Ibu Darmi sambil menatap Pak Murto yang juga bingung.
Aaaaaaaarrrrgggghhhhh!!!
Tiba-tiba teriakan Anggi meledak saat masuk ke kamarnya.
“Kamu siapa? Kok tidur di kamar aku seenaknya!” teriak Anggi sambil memukuli laki-laki itu dengan bantal gulingnya. “Pergi! Pergi!” pinta Anggi sambil mendorongnya keluar dari kamarnya.
“Kamu ini apa-apaan sih Nggi!” sentak Ibu Darmi.
“Bu, ini Ibu yang apa-apaan? Main masuk-masukin laki-laki ke kamar aku.” Sahut Anggi sebal. “Aku ini capek baru pulang, mau istirahat dan tiba-tiba di kasur aku ada orang asing yang baring-baring seenaknya. Dan….” ocehan Anggi terputus.
“Dengar Bapak dulu Nak!” kata Pak Murto memutus ocehan Anggi. “Ini Mas Fadli dari Dinas Perkebunan Kota Samarinda. Dia mau nginap di sini beberapa hari untuk melakukan pembinaan petani dan melihat langsung kegiatan perkebunan kita.”
“Kenapa harus di sini? Di kamar aku?” tanya Anggi.
“Tadi Bapak mau bicara sama kamu, tapi kamu buru-buru masuk kamar. Sementara kamu tidur di kamar Masmu saja dulu, kan dia juga lagi nggak di rumah.” Jawab Ibu Darmi.
“Nggak mau Bu, Kamar Mas Seno itu berserakan.”
“Kan bisa kamu bereskan dulu.”
“Nggak ah, aku capek mau istirahat. Mending dia aja yang suruh tidur di kamar Mas Seno, kan dia juga cuma numpang di sini.”
“Anggi…!” sahut Ibu Darmi sambil melotot melihat kelakuan Anggi yang kurang sopan terhadap tamu.
“Bu, lagipula pakaian aku kan di kamar, nanti kalau aku mandi trus mau ganti pakaian kan ribet bu kalo ada dia di kamarku.” Tutur Anggi yang menyadari maksud dari tatapan Ibunya.
“Bener juga kata anak Ibu, saya tidur di kamar lain saja.” Sahut Fadli.
“Nah,,, dia aja bilang gitu kan? Ya udah aku mau istirahat.” Tutur Anggi sambil berlalu.
Keesokan harinya Anggi mendapat perintah dari bapaknya untuk mendampingi Fadli dalam melakukan pembinaan ke petani-petani desa. Hampir semua masyarakat desa berladang lada, namun hanya keluarga Pak Murto yang memiliki lahan yang luasnya lebih dari 10 hektar dengan beberapa orang pekerja. Semua operasional kebun diurus langsung oleh Anggi. Sejak Anggi masih sekolah hingga sekarang, dia sangat rajin bekerja di ladang lada. Setiap hari selalu ia lalui dengan semangat, bahkan disaat tersulit sekalipun. Tidak heran bila Fadli terkesan dengan sifat dan sikap Anggi. Berkat bantuan Anggi, semua pekerjaan yang ia kerjakan beberapa hari ini menjadi lancar. Wajah ceria Anggi mampu membungkam emosi petani saat mereka mencoba mendebat apa yang disarankan oleh Fadli. Tak ada yang salah dengan apa yang disampaikan oleh Fadli, dia hanya sedikit gugup karena tidak biasa berbicara di depan para petani langsung. Banyak yang harus ia dengar dari mulut petani, keluhan mereka tentang harga jual, keluhan mereka tentang mahalnya pupuk dan masih banyak lagi.
Seminggu berlalu, banyak hal yang Fadli pelajari tentang kehidupan di desa dan kehidupan para petani. Berat langkahnya meninggalkan desa yang memberinya berjuta pengalaman tak terlupakan. Terutama, pada gadis manis yang selama ini mendampinginya.
“Fadli pamit pulang ya Pak.” Tutur Fadli lirih pada Pak Murto.
“Iya Nak, hati-hati di jalan. Jangan sungkan berkunjung kembali kemari bila ada waktu luang.” Sahut Pak Murto.
Fadli hanya menggangguk sambil melirik Anggi yang tidak bicara sepatah katapun. Ada hal yang ingin ia utarakan, tapi bibirnya membeku. Perlahan ia jinjing tasnya dan melangkah pergi memasuki mobilnya. Lambaian tangan terakhir Anggi dan keluarganya mengiringi kepergiannya, sampai pada akhirnya mobil sedan berwarna silver itu tak terlihat lagi dari rumah Anggi.
“Huft… akhirnya tugas aku selesai juga damping dia. Saatnya sekarang aku istirahat.” Celetuk Anggi sambil berlalu masuk ke kamarnya.
Anggi menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil memandang langit-langit kamarnya. Matanya membelalak ketika ia merasakan ada sesuatu yang aneh menusuk punggungnya. Ia merasa seperti meniduri duri yang sebelumnya tidak ia lihat. Anggi bangkit dan melihat setangkai mawar di atas kasurnya. ‘Iseng banget sih naruh mawar di sini? Kerjaan siapa pula ini? Nggak tau ya kalo ini bahaya, sakit banget punggung aku ketusuk durinya’, batin Anggi sambil melangkah ke jendela untuk membuang bunga itu. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat gulungan kertas menempel di tangkai mawar itu. ‘Ini surat’ batin Anggi bingung. Dan yang lebih membingungkan lagi adalah siapa pengirim surat itu. Bagi Anggi ini adalah keisengan belaka. ‘Jangan-jangan si Jamal nih ngerjain’, batinnya. Di bukanya perlahan surat itu dan mulai membacanya.
Ada banyak hal yang ingin aku utarakan tapi tak tahu harus mulai darimana. Banyak hal yang ingin aku bicarakan tapi bibirku beku tak berdaya setiap kutatap mata indahmu. Aku kagumimu selayaknya wanita, wanita yang tak pernah kutemui sebelumnya di setiap langkah hari-hariku. Wanita yang ajari aku banyak hal tentang perbedaan, tentang keceriaan, tentang kepedulian, dan tentang cinta. Cinta yang hanya bisa aku rasakan dalam dadaku. Setiap ada di sisimu aku merasakan dadaku bergetar tak menentu, detak jantungku berdetak tak teratur. Andai waktu bisa aku hentikan, aku masih ingin terus ada di sampingmu walau kita berada dalam ruang yang sepi. Tanpa ada kata terucap dari bibirmu pun aku merasa hatiku sedang ada dalam jutaan teriak kegaduhan. Aku tahu saat ini kamu tidak memiliki rasa yang sama denganku. Tapi, suatu hari nanti aku akan kembali dan kamu akan rasakan getaran cintaku. Aku janji kembali saat kamu sudah siap membuka hatimu…. Fadli.
Anggi termenung dalam beberapa menit. Hatinya masih tak percaya pada apa yang ia baca, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Membalas suratnya ke mana? Sampai akhirnya ia mengeluarkan handphone dari sakunya.
“Aku bukan tak mau membuka hatiku, hanya saja aku tak pernah tahu cinta itu apa.” Jemari tangan Anggi menari di atas keypad handphonenya dan mengirimkan pesan pada Fadli setelah berpikir cukup lama.
“Aku akan kembali dan tunjukkan padamu cinta itu apa.” Balas Fadli melalui pesan sms.
            Anggi tersenyum bahagia sambil memeluk handphone setelah membaca sms dari Fadli.


Sudah diterbitkan oleh FAM Publishing dalam buku antologi cerpen berjudul "Padamu Aku Bercerita"



______________________________
🅒 Copyright.
Karya ini dilindungi undang-undang.
Dilarang menyalin atau menyebarluaskan tanpa mencantumkan link atau nama penulis.


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas