Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Showing posts with label Kenapa Bercerai?. Show all posts
Showing posts with label Kenapa Bercerai?. Show all posts

Monday, March 10, 2025

Kenapa Kita Ditinggal Di Hutan?


“Mak, kenapa kita ditinggal di hutan? Sedangkan bapak di kota?”
Lagi-lagi, pertanyaan itu muncul dari bibir mungil milik puteriku, Livia.
Beberapa jam lalu, kami baru saja kembali dari minimarket. Livia yang masih berusia 6 tahun, mengajak untuk jajan ke minimarket yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumah. Sebenarnya, ada banyak toko di desaku, tapi Livia minta ke luar karena aku tahu yang sebenarnya dia inginkan adalah jalan-jalan.
Saat perjalanan pulang, tiba-tiba Livia mengajukan pertanyaan itu. Aku cuma tersenyum dan menjawab “Bapak kerja, Nak. Makanya dia di kota”.
Di tahun itu, Livia masih sangat menginginkan kedekatan dengan ayahnya. Ia masih sering mempertanyakan keberadaan sang ayah. Dia tidak mengetahui jika aku dan ayahnya sudah bercerai. Kami tidak bisa lagi tinggal bersama.
Aku sudah sering bilang pada mantan suami kalau soal anak, kita urus sama-sama. Yah, meski pada akhirnya aku harus mengurus semuanya sendiri. Karena dia tidak peduli sama sekali pada anak-anaknya.
Aku harus banting tulang setiap hari. Memikirkan bagaimana caranya bisa menghidupi dua anakku yang masih kecil-kecil. Livia masih duduk di bangku TK, sementara adiknya baru berusia 1,5 tahun.
Rasanya sangat berat, apalagi aku tinggal di wilayah pelosok yang tidak banyak lapangan kerja. Aku masih dilema memilih antara mengurus anak dan pergi bekerja. Karena aku sangat menyayangi kedua anakku dan akulah yang tidak bisa hidup tanpa mereka.
“Bapak jahat sama kita!” ucap Livia lagi. “Masa kita ditinggal di hutan, sedangkan bapak enak di kota.”
“Bapak itu nggak jahat. Bapak sayang sama Mbak Pii sama adek, kok. Sekalipun nanti bapak jadi jahat dan nggak mau sayang sama kalian, Mbak Pii dan adek harus tetap sayang sama bapak, ya!” ucapku dengan lembut sembari mengelus pipi mungil Livia.
Livia mengangguk tanda mengerti. Tapi tak dapat kubaca bagaimana isi hatinya. Manik matanya menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang bisa aku pahami karena ia harus kehilangan sosok ayah dalam hidupnya, padahal sosok itu masih ada di dunia ini.
“Ya udah, unboxing dulu jajannya, ya! Tadi Mbak Pii beli apa aja?” pintaku sembari menatap ke arah kantong belanja yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Livia mengangguk. Ia dengan semangat membuka kantong belanja tersebut. Mengeluarkan barang satu per satu. Ada beberapa jajanan yang ia pilih untuk ia berikan pada adik tercintanya. Setiap kali ia pergi keluar untuk jajan, ia tidak pernah lupa membelikan susu kotak kesukaan sang adik yang baru berusia satu setengah tahun.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Aku mendapati ibuku sedang tertidur pulas di kamar bersama Arga. Tapi, Arga sudah bangun lebih dahulu. Ia duduk di atas kasur sambil memainkan mainannya. Ia langsung turun dari tempat tidur dan berlari ke arahku begitu ia menyadari keberadaanku.
“Mama ...!” seru Arga. Ia langsung memeluk kedua kakiku dengan hangat.
Aku tersenyum. Aku segera menggendong Arga, kemudian kuciumi kedua pipinya dengan gemas. Aku kembali menutup pintu kamar perlahan agar ibuku tidak terganggu tidur lelapnya. Dia pasti sudah sangat lelah menjaga Arga lebih dari setengah hari. Terlebih, putera kecilku ini termasuk anak yang hyperaktif. Menemaninya bermain selama dua jam saja sudah sangat terasa lelahnya.
“Itu, Mbak Pii belikan jajan buat adek,” ucapku sambil melangkah menghampiri Livia yang masih asyik menyusun barang-barang belanjaannya di lantai.
Livia langsung tersenyum. Ia segera bangkit dan mengajak adiknya untuk bermain. Tak lupa, ia memberikan satu buah kotak susu cokelat berukuran kecil.
“Jagain adek, ya! Mama mau masak dulu.”
Livia mengangguk tanda mengerti. Aku pun segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak ada menu istimewa malam ini, sama seperti biasanya. Hanya ada seikat kacang panjang pemberian tetangga. Tetangga kerap mengirimkan sayur-mayur ke rumah untuk nenekku. Selain merawat dua anak, aku juga merawat nenekku yang sudah renta. Meski terkadang menyebalkan karena tingkahnya seperti anak kecil, aku tetap menyayanginya sepenuh hati.
Aku menghela napas sambil menatap dua butir telur yang ada di dapur. Tidak ada makanan lain lagi selain telur ini. Aku juga sudah tidak punya uang untuk belanja dapur. Setiap kali anakku meminta sesuatu, aku selalu mendahulukan keinginannya. Tak apa aku menahan kebutuhanku dulu. Karena aku tidak tega melihat anak-anakku bersedih karena tidak bisa beli jajan seperti yang lain.
Pagi tadi, uangku hanya tersisa lima puluh ribu rupiah. Livia merengek minta jajan ke minimarket. Akhirnya, aku pilih menghaniskan uang untuk menyenangkan anakku. Aku hanya berdoa, semoga Allah cepat kembalikan dan aku bisa mendapatkan uang lagi untuk biaya hidup keesokan harinya, entah dari mana saja.
Menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, rasanya sangat berat. Terutama ketika dihadapkan oleh dua pilihan, bekerja atau mengurus rumah. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kedua anakku dan nenekku terlalu lama. Tapi, aku juga tidak bisa berdiam diri di dalam rumah tanpa uang. Bagaimana aku bisa menghidupi mereka semua?
“Ya Allah ... kenapa takdirku begitu berat? Jika memang sudah ini jalannya, maka kuatkanlah aku, ya Allah. Aku tidak minta bebanku diringankan, tapi aku minta Engkau selalu memberikan kekuatan di setiap tahapan ujian kehidupan ini,” batinku sambil menitikan air mata.
Kuraih dua butir telur ayam yang tersisa di dapur hari ini. Tidak ada lagi stok makanan untuk besok. Hari sudah mulai gelap dan aku tidak tahu harus pergi ke mana mencari uang agar anak-anakku tetap bisa makan esok hari.
“Oh, God! Help us!”

Saturday, February 8, 2025

Kenapa Mamak Bapak Bercerai?

 


"Ma, kenapa Mamak dan Bapak bercerai?"

“Mak, kenapa Mamak Bapak bercerai?” Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul dari bibir putri kecilku saat dia mengetahui aku dan ayahnya bercerai. Aku tidak menyangka jika di usianya yang baru 6 tahun dia bisa melontarkan pertanyaan seperti itu.
“Mbak Pii tahu dari mana kalau Mamak dan Bapak bercerai?” tanyaku balik. Sebab, aku tidak pernah mengungkapkan perihal perceraianku pada puteriku. Dia masih terlalu dini untuk menanggung semua beban mental dari perpecahan rumah tanggaku.
Livia terdiam. Tapi dapat kutangkap jika raut wajahnya sangat terluka dan kecewa. Sebagai seorang anak, tentunya dia ingin dekat dengan ibu bapaknya.
Aku berusaha mengajaknya bermain saja agar pikirannya teralihkan pada hal lain.
Beberapa waktu kemudian, aku menyadari jika aku telah melakukan sebuah kesalahan. Aku melihat sebuah dokumen terbuka di atas meja kerjaku.
“Oh, mungkin ini yang membuat Livia tiba-tiba mempertanyakan soal perceraianku dan bapaknya,” batinku sembari menatap dokumen bertuliskan ‘AKTA CERAI’ yang berada di atas meja. Seingatku, dokumen ini sudah aku simpan dengan baik bersana dokumen-dokumen lain. Apakah aku sempat mengeluarkannya? Atau aku lupa?
Hmm ... apa pun itu, aku sudah tidak sanggup untuk mengingatnya lagi. Aku terlalu sibuk memikirkan cara untuk bertahan hidup dan menghidupi kedua anakku.
“Mak, Kenapa Mamak dan Bapak bercerai?” Kalimat itu terlontar kembali dari bibir puteriku saat dia sedang makan. Sementara aku menyuapi adiknya lagi yang baru berusia 1,5 tahun.
Aku terdiam sejenak sambil mengambil napas perlahan. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semua yang terjadi pada puteri kecilku.
“Suatu saat nanti, Mbak Pii akan mengerti kalau mamak dan bapak sudah nggak bisa hidup sama-sama lagi. Mbak Pii sama adek nggak usah takut! Mamak bakal bahagiain kalian, kok. Bapak juga akan tetap sayang sama kalian dari jauh. Mbak Pii dan adek juga harus tetap sayang sama Bapak, ya!” jawabku sambil tersenyum manis.
“Tapi Mbak Pii pengen sama Bapak, sama Mama juga!” rengek Livia dengan mata berkaca-kaca.
Sungguh, bulir-bulir air mata Livia seperti sebuah paku yang sedang menusuk-nusuk sanubariku. Tapi aku sudah mengambil keputusan dan mempertimbangkannya sangat matang dalam waktu yang cukup lama. Aku tidak akan pernah kembali ke masa lalu yang menyakitiku dan membuatku sangat tersiksa. Aku memilih untuk berjuang sendiri meski aku tidak sedang sendiri.
“Kalau pengen sama Bapak, nanti Mamak suruh Bapak jemput Mbak Pii, ya!” ucapku sambil tersenyum manis.
“Tapi sama Mamak, sama Adek juga!”
“Nggak bisa, Sayang. Mamak kan harus cari uang. Adek juga masih ASI. Nggak boleh jauh-jauh dari Mamak,” ucapku.
Mata Livia kembali berkaca-kaca. Hampir setiap hari ia meminta ayahnya kembali ke rumah ini, rumah yang aku bangun sendiri dengan darah dan air mata untuk keluarga kecilku. Sedang suamiku saat itu, hanya menjadi penonton atas perjuangan yang aku lakukan seorang diri.
“Nak, kamu jangan sedih terus, ya! Suatu saat kalian berdua akan mengerti kenapa Mamak dan Bapak harus berpisah. Kami berpisah karena kami sayang sama kalian dan masa depan kalian. Yang penting, Mbak Pii dan adek bisa jadi anak yang pinter nantinya. Nanti, Mbak Pii akan tahu dengan sendirnya,” ucapku pada Livia, puteri kecilku yang kerap aku panggil Mbak Pii supaya adiknya terbiasa mendengar sapaan itu.
Tak butuh waktu lama. Tak sampai satu tahun, Livia akhirnya mengerti kenapa aku dan bapaknya harus berpisah. Beberapa kali Livia menginap di rumah orang tua bapaknya saat liburan sekolah. Bahkan, dia sempat merengek minta lanjut sekolah SD di kota Balikpapan.
Tapi pada akhirnya, rumah paling nyaman bagi anak-anak adalah ibunya. Livia akhirnya melanjutkan sekolahnya di desa, meski semua fasilitas masih apa adanya. Yang penting, bisa sekolah dulu.
Usai resmi masuk sekolah dasar, kemampuan berpikir puteriku cukup tajam dan kritis. Ia kemudian bisa memahami bagaimana sifat dan sikap sang ayah yang sebenarnya. Hingga sampai di titik dia tidak mau lagi berkunjung ke rumah bapaknya, meski kami sering ke kota Balikpapan.
Puteriku tak lagi mempertanyakan kenapa Mamak dan bapaknya bercerai. Ia mulai mengerti bahwa hal terbaik dalam keluarga kecil kita adalah berjuang tanpa seorang ayah yang toxic.
Kenapa kami harus bercerai?
Tentunya karena ingin memberikan yang terbaik bagi kesehatan jiwa dan rumah tangga kami. Aku telah memutuskan untuk membesarkan kedua anakku tanpa seorang ayah. Maka, aku yang akan bekerja keras menghidupi dan membahagiakan mereka hingga mereka tidak pernah mempertanyakan sosok ayah dalam perjalanan hidup mereka..






Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas