Menu BacaanMu
- Perfect Hero (309)
- Puisi (121)
- My Experience (118)
- Rumah Literasi Kreatif (85)
- Novel MLB (80)
- Cerpen (70)
- Then Love (57)
- Belajar Menulis (52)
- Esai (46)
- Artikel (42)
- Puisi Akrostik (40)
- Review Novel (21)
- Review Drama (18)
- Relima Perpusnas RI (16)
- Ekonomi & Bisnis (9)
- Novel The Cakra (8)
- Wisata (8)
- Aku dan Taman Bacaku (6)
- Review Aplikasi (6)
- Kumpulan Novel (5)
- Novel ILY Ustadz (4)
- Pendamping Nakal (3)
- Biografi Penulis (2)
- Opini (2)
- Daily (1)
- Donasi (1)
- Dongeng (1)
- Komunitas (1)
- Materi Cerdas Cermat (1)
Saturday, July 19, 2025
Sunday, July 6, 2025
15 Kostum Habsy dan Tiga Amanah Besar dari Tuhan
Tuesday, July 1, 2025
Introvert dan Anti-Sosial Seringkali Disalahpahami
Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata "introvert" di kalangan anak-anak muda. Setiap kali bertemu dengan anak-anak muda yang enggan menyapa, mereka selalu bilang "aku introvert".
Sebenarnya, introvert itu apa?
Pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan yang melekat begitu lama di kepalaku. Aku terus mencari informasi. Membaca buku-buku tentang psikologi, filsafat, dan sosiologi.
Sampai akhirnya, aku membuat tulisan ini setelah berpikir dan menganalisa selama beberapa tahun terakhir.
Introvert dan anti-sosial memiliki makna yang sangat tipis dan kerap kali disalahpahami karena keduanya terlihat "menyendiri", padahal maknanya jauh berbeda.
Orang yang introvert memiliki ciri utama dan karakteristik yang unik. Mereka Lebih nyaman dan energik saat sendiri atau dalam kelompok kecil, bukan berarti tidak pandai komunikasi atau berbicara. Orang yang introvert lebih menyukai waktu sendiri untuk mengisi ulang energi.Tidak suka keramaian, tapi bukan berarti benci orang lain. Punya kemampuan sosial yang baik, hanya saja lebih selektif dalam berinteraksi. Mereka lebih suka mendengarkan daripada bicara, mereka akan berbicara banyak hanya jika dibutuhkan. Bisa punya hubungan yang dalam dan bermakna dengan sedikit orang.
Orang introvert lebih suka memilih baca buku di rumah daripada pergi ke pesta, tapi tetap hangat dan akrab saat berbincang dengan teman dekat.
Seringkali ada anggapan bahwa introvert itu pendiam dan canggung saat berkomunikasi. Tapi kenyataannya, banyak orang introvert justru sangat jago berkomunikasi, terutama dalam situasi yang sesuai dengan gaya mereka.
Introvert cenderung menjadi pendengar yang baik. Mereka menyimak dengan cermat, memahami konteks, dan merespons dengan tepat. Ini membuat komunikasi mereka terasa tulus dan penuh makna, bukan sekadar basa-basi.
Orang introvert biasanya berpikir dulu sebelum bicara. Mereka tidak suka omong kosong, jadi ketika berbicara, biasanya isi pesannya lebih tajam dan tersusun. Dalam konteks komunikasi tertulis atau presentasi, ini menjadi keunggulan besar.
Introvert merasa tidak nyaman saat ngobrol rame-rame, mereka lebih suka berada dalam percakapan pribadi atau komunikasi dua arah, mereka bisa sangat terbuka dan ekspresif. Mereka unggul dalam membangun kedekatan emosional melalui komunikasi yang intim dan penuh empati.
Banyak introvert berbakat menulis, baik email, artikel, puisi, maupun caption medsos. Karena menulis memberi ruang untuk berpikir tanpa tekanan interaksi secara langsung. Makanya, banyak penulis hebat adalah introvert.
Introvert yang menyadari kekuatannya sering kali melatih kemampuan sosial mereka. Mereka bisa tampil percaya diri saat dibutuhkan, karena mereka mempersiapkan diri secara mental lebih matang. Saat tampil, mereka bisa terlihat seperti ekstrovert, padahal setelahnya butuh waktu menyendiri untuk recharge.
Introvert tidak suka bicara banyak hal sekaligus, tapi mereka hebat dalam menggali topik secara mendalam. Dalam komunikasi, ini membuat mereka tampak serius, terarah, dan penuh wawasan.
Jadi, jangan heran kalau ada introvert yang bisa menyampaikan pidato yang menggetarkan, atau punya podcast yang bikin banyak orang betah mendengarkan. Mereka bukan tidak bisa komunikasi, mereka hanya butuh ruang yang tepat untuk menampilkan versinya.
Kalau kamu bertemu orang yang pendiam, belum tentu dia anti-sosial, bisa jadi dia introvert yang ramah dan hanya butuh waktu untuk nyaman.
Dapat disimpulkan kalau introvert bukanlah orang yang tidak bisa menyapa orang lain. Mereka justru pandai dalam menempatkan diri. Mereka bahkan bisa mengajak komunikasi dan berbicara banyak hal karena memiliki wawasan yang luas. Wawasan yang luas didapat karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membaca buku, mendengarkan, dan menggali hal-hal baru di sekitarnya.
Lalu, bagaimana dengan istilah anti-sosial?
Dalam ilmu psikologi, anti-sosial dikenal dengan istilah ASPD (Antisocial Personality Disorder). Ciri utama orang yang anti-sosial cenderung melawan norma sosial yang berlaku di masyarakat dan seringkali merugikan orang lain.
Orang yang anti-sosial memiliki karakteristik yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi bisa kita rasakan ketika sudah melakukan kontak langsung dengan orang tersebut. Orang yang anti-sosial biasanya tidak peduli perasaan atau hak orang lain. Karakter yang satu ini bisa aku benarkan karena aku sudah sering menemui kasus yang serupa. Sebagai contoh, staff personalia yang tidak memedulikan hak karyawan-karyawannya ketika melakukan kesalahan penginputan dan berkata, "aku nggak peduli yang lain. Yang penting gajiku keluar!"
Orang yang anti-sosial seringkali melanggar aturan dan hukum, baik hukum negara maupun hukum sosial. Mereka juga bisa sangat manipulatif, agresif, dan tidak punya empati kepada orang lain. Tidak merasa bersalah setelah menyakiti orang lain.
Anti-sosial bukanlah tipe kepribadian biasa, ini adalah bagian dari gangguan kepribadian dalam dunia psikologi/psikiatri.
Orang yang anti-sosial bisa dengan sengaja menipu, mencuri, atau menyakiti orang lain tanpa rasa penyesalan.
Saat ini, fenomena anti-sosial yang berlindung di balik label “introvert” memang nyata dan sering terjadi. Banyak orang menyebut dirinya introvert padahal sebenarnya mengalami masalah lain dalam bersosialisasi, seperti kecemasan sosial, trauma, atau bahkan gangguan kepribadian anti-sosial.
Orang yang anti-sosial cenderung menghindari bahkan membenci interaksi sosial secara ekstrem. Mereka juga tidak peduli atau tidak mampu menjalin hubungan sosial yang sehat.
Beberapa orang yang anti-sosial menolak bersosialisasi karena luka batin, rasa malu ekstrem, atau kecemasan sosial. Sebagian dari mereka juga menggunakan label "introvert" sebagai tameng agar tak perlu menjelaskan perasaan atau kondisi mereka yang lebih kompleks. Mereka bahkan lebih nyaman berada dalam zona keterasingan, lalu menyamakan itu dengan kepribadian introvert, padahal bisa jadi ada gejala psikologis yang tidak disadari.
Contoh nyata, seorang remaja yang tidak mau sekolah dan enggan bergaul menyebut dirinya introvert. Tapi setelah ditelusuri, ternyata dia mengalami bullying dan trauma, serta mengalami gangguan kecemasan sosial.
Mengaku introvert itu sah. Tapi jika sikap selalu menghindar dari manusia, marah saat diajak bicara, atau menolak semua bentuk interaksi, maka itu bukan sekadar introversi. Bisa jadi ada luka, trauma, atau gangguan psikologis yang perlu ditangani. Introvert sehat tetap bisa menjalin relasi, meski dengan caranya sendiri.
Thursday, June 26, 2025
Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian
Tuesday, June 24, 2025
Jebakan Ilusi Sosial : Ketika Hidup Tak Lagi Milik Kita
Wednesday, June 18, 2025
Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran
Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu
Seni dan Sastra Adalah Dua Saudara Yang Tak Bisa Dipisahkan
Tuesday, June 17, 2025
Sebuah Renungan : Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial
Friday, June 6, 2025
Belajar Ikhlas dari Sebilah Pisau Kurban
Belajar Ikhlas dari Sebilah Pisau Kurban
oleh Rin Muna
Idul Adha tahun 2025 jatuh pada hari Jumat, 6 Juni. Sebagai ketua RT, aku memulai hari itu lebih awal dari biasanya. Suara takbir menggema lembut dari masjid kecil di ujung gang, mengiringi kesibukan warga yang mulai berdatangan ke halaman tempat pemotongan hewan kurban. Aku berdiri di tengah keramaian itu—antara aroma rerumputan basah, embun pagi, dan suara lembut takbir yang menggugah hati.
Menjadi ketua RT berarti bukan hanya memimpin rapat atau membagikan surat edaran. Hari itu, aku belajar memimpin dalam arti yang paling sederhana: memastikan pisau yang meneteskan darah menjadi alat kebaikan, bukan sumber kesombongan.
Pemotongan hewan kurban dimulai setelah salat Id. Para lelaki bergotong-royong, sementara panitia perempuan menyiapkan kantong-kantong plastik, timbangan, dan daftar penerima. Karena hari raya kali ini bertepatan dengan hari Jumat, prosesi sedikit berbeda. Saat para lelaki berangkat menunaikan salat Jumat, panitia perempuan bertugas menjaga daging kurban agar tidak dijamah oleh anjing dan kucing liar.
Aku teringat sabda Rasulullah ï·º,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik.”
(HR. Muslim, no. 1955)
Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan latihan berbuat baik bahkan dalam tindakan yang keras. Panitia perempuan yang rela menjaga di bawah terik siang itu telah menjalankan “ihsan” dengan caranya sendiri—menjaga amanah agar rezeki umat tidak ternoda oleh kelalaian.
Usai salat Jumat, halaman kembali ramai. Tumpukan daging mulai ditimbang, dipotong, lalu dimasukkan ke dalam kantong-kantong putih. Wajah-wajah lelah tapi bahagia berseliweran di sekitarku. Ada yang mengelap keringat, ada yang diam-diam menahan air mata saat melihat warga miskin tersenyum menerima jatah kurban. Di antara bau amis daging dan debu tanah, aku merasakan sesuatu yang suci: rasa cukup.
Kata Al-Ghazali, “Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, tetapi hati yang tidak diperbudak oleh harta.”
Aku mengingatnya saat panitia membagikan bagian kulit sapi yang tersisa. Banyak yang enggan mengambil—barangkali karena repot mengolahnya. Aku mendapat cukup banyak, dan di sanalah ujian kecil itu datang.
Aku bisa saja membawa pulang semuanya. Tapi saat menatap kulkasku di benak, aku tahu: ruangnya terbatas, sebagaimana nafsu manusia yang seharusnya dibatasi. Aku mengambil secukupnya saja, mengingat firman Allah:
“Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. Luqman: 18)
Kedermawanan bukan diukur dari seberapa banyak yang kita beri, melainkan dari seberapa tulus kita menahan diri. Di situ aku merasa, kebahagiaan yang paling hakiki adalah ketika tangan sudah ingin menggenggam, tapi hati memilih untuk melepaskan.
Menjadi ketua RT di hari raya kurban bukan hanya tentang mengatur warga atau memastikan daging terbagi rata. Ini tentang mengatur diri sendiri agar tidak rakus, tidak sombong, dan tidak menuntut lebih dari yang seharusnya.
Kegiatan ini mengajarkanku bahwa kurban sejatinya adalah pembakaran ego — sebagaimana Nabi Ibrahim rela mengorbankan Ismail bukan karena kebencian, melainkan karena ketaatan.
Kata filsuf muslim Ibnu ‘Arabi, “Pengorbanan adalah jalan untuk mengenali Tuhan melalui cinta.” Maka, ketika pisau itu meneteskan darah, sesungguhnya ia juga meneteskan kasih sayang. Saat daging dibagikan, bukan hanya perut yang kenyang, tetapi jiwa-jiwa yang merasa terhubung oleh nilai yang sama: berbagi tanpa pamrih.
Sore itu, ketika semua kantong daging sudah berpindah tangan, dan tanah mulai kering dari darah kurban, aku duduk di teras belakang rumah. Tanganku masih beraroma kulit sapi, dan di dadaku terasa damai yang sulit dijelaskan.
Aku teringat sabda Nabi ï·º:
“Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah selain menumpahkan darah (hewan kurban).”
(HR. Tirmidzi, no. 1493)
Dan barangkali, menumpahkan darah itu bukan hanya dalam arti fisik. Tapi juga simbol bahwa manusia harus rela menyembelih keinginan dirinya sendiri—keserakahan, ego, dan ambisi—agar hati menjadi lapang menerima rahmat-Nya.
Hari itu aku belajar bahwa menjadi manusia seutuhnya bukan tentang seberapa banyak kita miliki, tapi seberapa banyak kita mampu lepaskan. Dan dari sebilah pisau kurban yang sederhana, aku menemukan pelajaran yang lebih dalam dari sekadar ritual tahunan: bahwa setiap darah yang menetes adalah doa, setiap daging yang terbagi adalah cinta, dan setiap hati yang ikhlas adalah kurban yang sejati.
Thursday, May 22, 2025
SUKSES BUTUH TEKANAN
Pernahkah kamu berada di satu titik di mana kamu merasa hidup ini sangat berat dan tertekan?
Terkadang, kita merasakan tekanan yang sangat besar dalam kehidupan ini, terutama dalam dunia pekerjaan.
Pernah di satu waktu, aku merasakan tekanan yang berat dalam dunia kerja, juga dalam lingkungan sosial.
Selama bertahun-tahun aku menjalani banyak tekanan, tapi aku masih bisa terus berjalan hingga detik ini.
Ternyata, kita tidak bisa menghindari tekanan hidup, semua orang yang masih hidup akan merasakannya. Entah itu tekanan pekerjaan, tekanan dalam finansial maupun tekanan sosial.
Tidak bisa dipungkiri jika kita sebagai manusia kerap mengeluhkan tekanan hidup yang kita terima. Bahkan kita menyalahkan takdir yang Tuhan berikan kepada kita.
Tapi semakin banyak mengeluh, tekanan itu terasa semakin besar. Padahal sebenarnya tekanan itu tetap sama. Yang membuatnya menjadi ringan atau berat adalah diri kita sendiri dan bagaimana cara kita menerimanya.
Dalam menyikapi tekanan hidup yang besar, aku juga sering mengeluh, sering menyalahkan keadaan, sering merasa orang-orang di sekelilingku sangat jahat dan membuat hidupku semakin menderita.
Di satu waktu, aku duduk di depan mesin jahitku karena aku memiliki hobi menjahit. Ada hal besar yang tidak aku sadari, padahal aku sudah menghadapinya bertahun-tahun.
Ketika membuat pakaian, kita menginginkan semuanya berjalan dengan baik dan hasilnya rapi. Ada satu hal yang perlu kita ketahui ketika kita menjahit pakaian. Supaya mesin jahit dapat bekerja dengan baik dan rapi, maka pakaian yang akan dijahit harud ditekan dengan sepatu mesin jahit. Jika tidak ditekan, tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan bisa menghasilkan sebuah pakaian.
Begitu banyak tekanan hidup yang aku jalani, membuatku tersadar ketika aku melihat sepatu mesin jahitku sendiri. Kenapa aku bilang ini bisa membuatku tersadar? Karena saat ini aku masih berjalan meski mendapatkan tekanan dari berbagai arah.
Sungguh, hidupku kini bisa dianalogikan seperti cara kerja mesin jahit. Harus ditekan dahulu baru berjalan dan mendapatkan hasil yang baik.
Aku yang sudah nyaman dengan kehidupanku sebagai seorang penulis, terkadang tidak ingin melakukan hal lain lagi selain hanya menulis buku. Tapi kemudian, keadaan memaksaku untuk melakukan lebih banyak hal. Termasuk bagaimana bertanggung jawab pada apa yang telah aku ciptakan dari keisengan-keisenganku selama ini.
Keisengan yang kubuat melahirkan sebuah tanggung jawab besar yang terkadang membuatku muak. Ingin kutinggalkan, tetapi beban moral menjadi sangat berat untuk kupertanggungjawabkan.
Pada akhirnya, aku harus terus berjalan meski perlahan dan berada dalam kondisi tertekan. Ada kalanya aku merasa dunia ini sangat kejam, terutama bagi mulut-mulut yang tidak menyukai keberadaanku. Rasanya ditekan dan disingkirkan dengan berbagai cara, tidak akan pernah aku lupakan.
Tekanan yang dahulunya adalah beban hidup, kini jadi semangat hidup. Aku mulai menyukai sebuah tekanan yang membuatku terus bergerak. Hingga di satu titik, aku menganggap aku sukses menyelesaikan goals yang aku ciptakan sendiri. Meski bagi orang lain itu hal biasa, bagiku sangat istimewa karena bisa menjalaninya bersama tekanan yang aku terima.
Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku miliki saat ini. Karena aku tidak pernah memilikinya di masa lampau. Rumah yang nyaman dan kehidupan yang mapan meski jauh dari kemewahan.
Aku tidak akan bisa berada di titik ini jika aku tidak berani berjalan di bawah tekanan. Tekanan yang aku terima dari banyak orang, ternyata menjadi cambuk untuk mempercepat langkahku. Sebab, jika aku tidak merasa disakiti, dikecewakan dan dikhianati, maka aku tidak akan berada di titik ini.
Sungguh, tekanan hidup benar-benar bermanfaat bagiku. Tanpa adanya tekanan, aku tidak akan berjalan ke arah yang lebih baik. Berkat tekanan yang aku terima, aku bisa upgrading skil. Berkat tekanan sosial (dikucilkan) dari lingkungan terdekat, aku jadi bisa melangkah ke tempat yang lebih jauh.
Hari ini aku sudah berada di titik bersyukur ketika ada orang yang mencaci-maki atau bercerita buruk tentangku. Karena itu adalah jalan rezeki yang sedang dibangunkan orang lain untukku. Dan aku sangat menikmatinya, meski bagi orang lain adalah beban.
Kalau dibilang sukses, aku masih jauh dari kata sukses. Aku hanya sudah lebih baik dari segelintir orang dan aku bersyukur memiliki apa yang saat ini aku miliki.
Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih tanpa tekanan. Orang-orang yang tidak mampu berada di bawah tekanan, biasanya akan berjalan mengambang atau stagnan di situ-situ saja. Sebab, tidak ada keinginan untuk menyelesaikan tantangan hidup yang lebih besar lagi.
Hingga saat ini aku masih belum percaya jika semua yang kumiliki saat ini karena aku terus-menerus mendapatkan tekanan. Tekananku jauh lebih besar dari orang lain, itulah sebabnya reward yang aku dapatkan juga lebih besar dari yang lain. (Jika kamu tahu jalan hidupku yang sesungguhnya, mungkin kamu akan menitikan air mata di setiap babnya)
Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain terus berjalan meski banyak tekanan yang harus kita terima. Hidup dengan banyak tekanan memang sakit, tapi lebih sakit lagi jika kita hidup tertekan dan tidak berjalan sama sekali.
Jika saat ini kamu sedang berada dalam tekanan hidup yang berat dan menemukan tulisan ini, percayalah jika Allah sedang merencanakan sesuatu yang indah untukmu. Jadi, jangan menyerah!
Nikmati tekanan itu dengan ikhlas dan panenlah kemudahan hidup di kemudian hari. Ingat, rencana Tuhan selalu lebih indah dari rencana manusia. Tuhan yang akan memberikan reward untuk setiap gerakan tulusmu...
Much Love,
Rin Muna
Saturday, April 5, 2025
Tulisan Tangan Sesepuh Desa, Mengabadikan Cerita Lampau Untuk Masa Depan
5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat
5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat
oleh Rin Muna
Kita hidup di zaman di mana pelaku kejahatan tidak selalu bertopeng. Kadang mereka pakai hoodie, pegang kopi kekinian, senyum sambil bilang “self love itu penting”—tapi diam-diam mengiris hati orang lain dengan cara paling halus.
Tapi apa sebenarnya "jahat" itu?
Dalam filsafat Stoik, kejahatan bukan semata tindakan brutal, tapi ketidaksesuaian dengan logos, hukum rasional alam semesta. Orang jahat, menurut Seneca, adalah mereka yang tahu benar, tapi sengaja memilih yang salah karena untung pribadi.
Dalam Islam, kejahatan disebut zulm—meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, menyakiti makhluk tanpa hak, melanggar batas yang ditetapkan Allah.
Kejahatan bisa berbentuk ucapan, sikap, bahkan “energi” yang menguras jiwamu diam-diam. Jadi, yuk kita bedah 5 tandanya—berdasarkan filsafat dan kasus nyata yang pernah terjadi.
1. Mereka Menormalisasi Ketidakadilan
“Kejahatan terbesar adalah ketika orang-orang baik diam.” – Marcus Aurelius
Dalam Islam, QS Al-Baqarah:11 menyindir:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan!”
2. Mereka Menggunakan Topeng Kebaikan untuk Mendominasi
Jahat tidak selalu berarti galak. Kadang justru datang dalam bentuk perhatian palsu, kebaikan yang beracun.
Stoik Epictetus berkata:
“Jangan tertipu oleh kata-kata manis. Lihatlah bagaimana seseorang bertindak di saat mereka tidak mendapatkan keuntungan.”
Kasus Munafik Relasi dalam psikologi modern—seseorang memberi bantuan atau kasih sayang tapi diam-diam mengontrol dan mengikat orang lain secara emosional (lihat: konsep emotional hostage oleh Dr. Harriet Lerner).
Dalam Islam, ini disebut sebagai riya’, yaitu berbuat baik untuk citra, bukan untuk Allah. Orang seperti ini bisa menebar kebaikan ke publik sambil menyayat orang di balik layar.
3. Mereka Mengadu Domba untuk Kekuasaan
Salah satu ciri kejahatan yang paling merusak adalah memecah orang agar mereka bisa mengatur dari balik layar. Dalam filsafat Stoik, ini disebut sebagai ketidakbijaksanaan yang egois—menggunakan konflik untuk menaikkan ego sendiri.
Banyak kasus perundungan dalam organisasi pendidikan dan kerja, yang dimulai dari satu orang membisikkan narasi miring, lalu menikmati kekacauan yang terjadi. Psikolog organisasi Dr. Robert Sutton menyebut tipe ini sebagai “The Certified Asshole”—pembuat drama profesional.
Dalam Islam, QS Al-Hujurat:12 sudah mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka dan ghibah, karena itulah celah utama setan menyalakan fitnah.
4. Mereka Menyembunyikan Diri di Balik "Tujuan Mulia"
“Jika kamu ingin melihat wajah asli seseorang, lihat bagaimana ia memperlakukan orang yang tidak bisa memberi apa pun padanya.” – Seneca
Orang jahat sering menyembunyikan niat mereka di balik embel-embel perjuangan: demi agama, demi cinta, demi keluarga. Tapi dalam tindakan nyata, mereka menindas, menyakiti, dan merendahkan.
Dalam Islam, QS Al-Baqarah:204-205 menggambarkan orang yang lisannya manis, tapi tindakannya merusak:
5. Mereka Mengambil Tanpa Memberi, dan Menguras Tanpa Peduli
Orang jahat tidak peduli keseimbangan. Dalam hubungan apa pun—kerja, cinta, pertemanan—mereka akan menguras waktumu, energimu, dan akal sehatmu, lalu pergi ketika kamu hancur.
Tidak Semua Orang yang Kamu Suka Itu Baik
Kita diajarkan untuk berbaik sangka, benar. Tapi kita juga diperintahkan untuk tidak bodoh dalam berinteraksi.
“Allah tidak menyukai kezaliman. Dan Allah menyuruh untuk berlaku adil dan memberi kepada kerabat.” (QS An-Nahl: 90)
“Tugas kita bukan menilai niat orang, tapi mengenali perilaku mereka dengan jernih.” – Marcus Aurelius
Bila kamu sedang berurusan dengan seseorang dan muncul tanda-tanda ini: manipulatif, penuh drama, membuatmu meragukan dirimu sendiri, dan enggan bertanggung jawab—janganlah ragu untuk berjarak.
Sumber Referensi:
-
Seneca, Letters from a Stoic
-
Philip Zimbardo, The Lucifer Effect (2007)
-
Robin Stern, The Gaslight Effect (2007)
-
Dr. Harriet Lerner, The Dance of Anger (1985)
-
Tafsir Ibn Katsir: QS Al-Hujurat, QS Al-Baqarah
-
Psychology Today – articles on emotional abuse and narcissistic behavior
5 Tanda Kamu Sedang Berurusan dengan Orang Jahat | Filsafat Stoikisme



.png)


.png)

.jpg)



