Showing posts with label Esai. Show all posts
Showing posts with label Esai. Show all posts

Saturday, July 19, 2025

Pengalaman Mengikuti Musyawarah Wilayah dan Rapat Presidium Pemilihan Ketua Pengurus Wilayah Forum TBM Kaltim

 


Pagi ini aku terbangun dengan tergesa-gesa karena ada banyak jadwal yang harus aku lakukan hari ini. Bersyukurnya anak perempuanku yang duduk di kelas 4 SD sudah bisa mandiri. Ia selalu mengurus keperluan sekolahnya sendiri dan berangkat ke sekolah sendiri. Yang masih sulit mandiri adalah sang adik karena memang masih duduk di bangku TK. 

Hari ini, putera kecilku tidak masuk sekolah alias libur. Tapi orang tuanya diwajibkan datang ke sekolah untuk mengikuti rapat. Seperti biasa, tahun ajaran baru selalu membutuhkan perjuangan ekstra karena banyak yang harus dibayar dan dipersiapkan. 

Undangan rapat pukul 08.00 WITA dan aku masih belum mandi. Saat ini aku merasa lebih santai dan tidak harus datang on-time karena "terlambat" sudah menjadi budaya. Aku yang sangat sibuk, tidak ingin membuang-buang waktu dengan menunggu lama. Aku sedikit terlambat, tapi acara belum dimulai, persis seperti perkiraanku.


Usai mengikuti rapat di sekolah, aku langsung pulang ke rumah dan membuka laptopku. Tidak aku lupa kalau ada jadwal zoom meeting Musyawarah Wilayah untuk semua pengurus TBM di Kalimantan Timur. Aku tidak bisa hadir langsung, jadi aku meminta izin untuk hadir secara online. Sebab, pukul 13.00 WITA masih ada kegiatan Party Book bersama komunitas-komunitas pemuda Muara Jawa dan Samboja.

Aku baru masuk zoom setelah ada konfirmasi di grup kepengurusan bahwa zoom meeting sudah dimulai. Memang telat dari jadwal dikarenakan banyak yang hadir secara offline.
Acara dibuka oleh Presidium Wilayah Kaltim dengan memaparkan arti pentingnya gerakan literasi di wilayah Kaltim dan bagaimana Forum TBM berperan menjadi wadah untuk saling berbagi dan saling menguatkan.


Musyawarah Wilayah ini dihadiri langsung oleh pengurus daerah Forum TBM dari berbagai kota dan kabupaten di Kutai Kartanegara. Beberapa pengurus daerah yang hadir secara langsung berasal dari Pengurus Daerah FTBM Samarinda, FTBM Balikpapan, FTBM Kukar, FTBM Kubar/Malinau, FTBM Kutim, FTBM PPU, FTBM Bontang, FTBM Paser, dan FTBM Berau.

Aku merasa senang sekali karena akhirnya Forum TBM di Wilayah Kalimantan Timur bisa bergerak secara serempak. Tentunya ini akan sangat berperan penting dalam gerakan literasi di daerah ini. Sudah cukup lama aku bergabung di Forum TBM dan baru kali ini merasakan pergerakan Forum TBM yang cukup aktif. Bahkan, Forum TBM Kaltim telah membentuk kepengurusan daerah di beberapa kota dan kabupaten.

Tidak ada hal yang sulit ketika Tuhan yang menggerakkan. Begitu juga dengan pergerakan literasi ini. Semuanya bergerak secara swadaya, menggunakan uang pribadi untuk bisa menjalankan program-program literasi, terutama dalam pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Jika bukan Tuhan yang menyentuh hati kita, tentunya kita tidak akan memiliki kepedulian kepada orang lain, terlebih orang-orang yang tidak kita kenal ke depannya.

Aku berharap, Forum TBM benar-benar bisa menjadi ruang berdiskusi, berjejaring, dan saling menguatkan. Karena terkadang kita ingin menyerah saat berjalan seorang diri. Di Forum TBM, kita sama-sama bergerak dan berjuang untuk saling menguatkan agar gerakan kita tetap konsisten dan hati kita tetap istiqomah berada di jalan ini.



Kutai Kartanegara, 19 Juli 2025

Sunday, July 6, 2025

15 Kostum Habsy dan Tiga Amanah Besar dari Tuhan






Ada hari-hari di mana aku merasa seperti sedang berdiri di tengah lintasan, dihujani tanggung jawab dari segala arah. Dan aku bukan sedang bercanda. 

Bayangkan, harus menyelesaikan 15 buah kostum Habsy Putera dari Argosari yang penuh detail rumit, renda silver, kerapian jahitan yang tak bisa ditawar, serta deadline yang tak bisa ditunda. 
Di saat yang bersamaan aku menjadi panitia Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) Ke-46 Kecamatan Samboja, petugas pendataan penduduk OIKN bersama BPS Kukar, dan juga tengah menjalani Diklat Relawan Literasi Nasional (Relima) 2025 dari Perpusnas RI.

Aku merasa, hari-hariku tidak lagi bisa dibagi menjadi pagi, siang, dan malam. Yang ada hanya "berapa banyak lagi yang harus diselesaikan sebelum esok menuntut lebih banyak". 

Pagi hingga malam hari  aku sibuk di ruang jahitku. Aku harus menyelesaikan jahitanku tepat waktu. Karena kostum akan segera digunakan, sementara masih banyak detail-detail yang belum terselesaikan. 
Seseorang bilang, "jangan ambil orderan terlalu banyak. Nanti nggak ada waktu istirahat". Tapi aku sudah terbiasa dengan kesibukan sejak dulu. Terlalu bersantai tidak enak. Terlebih aku juga butuh uang untuk membiayai hidup kedua anakku, nenek, dan kedua orang tuaku. Otomatis, aku harus bekerja lebih keras dari orang lain agar bisa memenuhi kebutuhan seluruh keluargaku. 

Beruntungnya, aku tidak menjadi panitia inti dalam acara MTQ Ke-46 yang digekar di desaku. Aku memang sudah mengkonfirmasi dari awal kalau aku hanya bisa bantu-bantu saja. Mengingat pekerjaan dan kegiatanku cukup banyak. 
Setelah lomba kaligrafi dilaksanakan tanggal 01 Juli lalu (kebetulan aku adalah koordinator panita lomba musabaqoh), aku punya waktu yang cukup luang untuk menyelesaikan jahitan-jahitanku. 
Tanggal 02 Juli 2025 seharusnya aku masih gotong-royong membersihkan Arena 5 (SDN 038) yang digunakan untuk lomba kaligrafi. Sebab, perlombaan berlangsung sejak pagi hingga pukul 18.00 WITA. Kami sudah sangat lelah sehingga bersepakat untuk membereskan di hari berikutnya. 
Sayangnya, aku tidak bisa gotong-royong sejak pagi. Aku arahkan timku untuk bergotong-royong sore saja karena aku ada jadwalzoom pagi bersama Perpusnas RI terkait Sosialisasi Relima 2025.
Beruntungnya, ada tim perlengkapan yang gercep alias meng-handle semuanya. Semua sudah dibereskan oleh tim perlengkapan. Jadi, kami panitia musabaqoh hanya bertugas menyapu dan mengepel lantai. Semua meja dan kursi telah kembali ke tempat semula. 

Tanggal 03 Juli, seragam habsy belum selesai juga. Aku kembali bertemu dengan masalah besar. Listrik di wilayah Kecamatan Samboja padam sejak pukul 08.00 s.d 17.30 WITA. Alhasil, aku tidak bisa menjahit seharian karena semua mesin harus terhubung ke listrik. Sementara, pukul 08.30 WIB ada jadwal pembukaan kegiatan Pusdiklat Relima 2025. 
Setiap kali mati listrik, signal di desaku ikut mati total. Sehingga tidak bisa melakukan apa-apa dan kembali menjadi manusia primitif. Jadi, aku harus pergi ke kelurahan lain untuk mendapatkan sinyal. 
Tepat di jam 09.00 WITA, aku berjalan menuju keluraha  Sei Seluang. Ternyata, di sana juga tidak ada signal. Karena aku tidak bisa melakukan tarik tunai, sementara sudah tidak punya uang sama sekali. 
Keberuntungan kembali berpihak padaku. Saat semua orang kehilangan signal, aku masih mendapatkan sedikit signal yang bisa aku hotspot ke pemilik ATM Link agar aku bisa mendapatkan uang tunai. 
Kendala tarik tunai terselesaikan dengan baik. Aku langsung menuju ke warung bakso "Moro Tuman". Warung bakso paling dekat dan suasananya nyaman karena bisa duduk lesehan. Ini bisa membuat otak yang tegang terasa lebih rileks. Aku berhasil mengikuti zoom, meski banyak kendala karena jaringan selalu hilang dan beberapa kali keluar-masuk ruang zoom. Beruntungnya, di dalam grup WA "Relima 2025" banyak yang peduli dan berbagi informasi penting pada kami yang mengalami kendala teknis saat zoom meeting. 
Siang harinya aku sudah kembali ke rumah. Tapi tidak bisa melakukan apa-apa karena listrik padam. Barulah malam harinya aku mulai menjahit. Baru dapat beberapa jahitan, tiba-tiba mesin obrasku ngadat alias tidak bisa digunakan. 
"Ya Allah, cobaan apa lagi ini?"
Alhasil, aku harus servis mesin obrasku terlebih dahulu. Beruntungnya ada teman yang membantu dan aku mulai menjahit kembali hingga pukul 00.15 WITA. 

Keesokan harinya, begitu mata ini terbuka, aku langsung duduk di depan mesin jahit hingga dini hari. Ketika orang-orang mulai memejamkan mata, aku duduk sendiri di ruang jahit. Lampu mesin menyorot wajahku yang mulai lelah, tapi tangan terus bekerja. Satu demi satu kostum anak Habsy kubentuk dari lembaran kain menjadi busana yang layak tampil di panggung kehormatan.

Argosari adalah tempat yang tak hanya mengirimkan pesanan, tapi juga harapan. Aku tahu, setiap kostum yang kupotong dan kurangkai adalah bagian dari cita-cita orangtua dan kebanggaan anak-anak muda yang akan membawakannya. Jadi tidak ada pilihan lain selain menuntaskan semuanya tepat waktu dengan hasil yang maksimal.

Sempat terlintas ingin menyerah. Sempat juga berpikir untuk menolak satu dua amanah demi menyelamatkan tenaga. Tapi begitulah hidup, ya? Terkadang kita tak bisa memilih mana yang lebih penting ketika semua terasa punya nilai yang sama.

Namun, di antara lelah itu, ada pelajaran besar yang tak mungkin kutukar dengan waktu istirahat:
Bahwa manusia punya kekuatan tersembunyi yang hanya muncul saat kita diuji berkali-kali.
Bahwa passion tidak selalu terasa ringan, kadang ia juga datang dalam bentuk kerja keras yang tak kenal henti.
Bahwa ketika hati kita tulus melayani, lelah akan menemukan caranya sendiri untuk menjadi berkah.

Di sela-sela kegiatan menjahit, aku juga mengikuti pelatihan Relima Perpusnas secara daring. Aku sering merenung. Aku berada di antara  179 relawan dari seluruh Indonesia yang punya semangat literasi yang sama. Meski tubuhku kelelahan, tapi aku tahu aku berada di jalur yang tepat, jalur yang penuh makna. Di situ aku mengingat lagi alasan mengapa aku memulai semua ini, karena aku ingin menjadi bagian dari perubahan. Lewat literasi, lewat budaya, lewat karya kecilku sebagai penjahit kampung yang juga seorang pegiat.

Ketika aku melihat anak-anak Habsy tampil gagah di panggung MTQ dengan kostum yang kujahit semalaman, ketika aku melihat data penduduk mulai tertata rapi demi pembangunan IKN, dan ketika namaku tercatat sebagai salah satu peserta yang lolos Relima 2025 ... aku tahu semua lelah itu ada gunanya. 
Aku tak sedang menyenangkan banyak orang. Aku sedang membentuk versi terbaik dari diriku sendiri.

Terima kasih, Argosari. Terima kasih MTQ. Terima kasih BPS Kukar. Dan terima kasih Perpusnas RI. Karena kalian, aku tahu bahwa aku bisa menjadi lebih dari yang aku bayangkan.

Dan kepada diriku sendiri aku ingin berpesan, "jangan pernah ragu untuk mengambil peran. Sekalipun peran itu terasa terlalu besar di awal. Karena mungkin, itu adalah cara semesta menunjukkan bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu bayangkan."



Kutai Kartanegara, 04 Juli 2025


Rin Muna
Wanita yang suka bercerita tapi tak punya pendengar

Tuesday, July 1, 2025

Introvert dan Anti-Sosial Seringkali Disalahpahami



Akhir-akhir ini aku sering mendengar kata "introvert" di kalangan anak-anak muda. Setiap kali bertemu dengan anak-anak muda yang enggan menyapa, mereka selalu bilang "aku introvert".

Sebenarnya, introvert itu apa? 

Pertanyaan ini menjadi sebuah pertanyaan yang melekat begitu lama di kepalaku. Aku terus mencari informasi. Membaca buku-buku tentang psikologi, filsafat, dan sosiologi. 

Sampai akhirnya, aku membuat tulisan ini setelah berpikir dan menganalisa selama beberapa tahun terakhir.

Introvert dan anti-sosial memiliki makna yang sangat tipis dan kerap kali disalahpahami karena keduanya terlihat "menyendiri", padahal maknanya jauh berbeda. 

Orang yang introvert memiliki ciri utama dan karakteristik yang unik. Mereka Lebih nyaman dan energik saat sendiri atau dalam kelompok kecil, bukan berarti tidak pandai komunikasi atau berbicara. Orang yang introvert lebih menyukai  waktu sendiri untuk mengisi ulang energi.Tidak suka keramaian, tapi bukan berarti benci orang lain. Punya kemampuan sosial yang baik, hanya saja lebih selektif dalam berinteraksi. Mereka lebih suka mendengarkan daripada bicara, mereka akan berbicara banyak hanya jika dibutuhkan. Bisa punya hubungan yang dalam dan bermakna dengan sedikit orang.

Orang introvert lebih suka memilih baca buku di rumah daripada pergi ke pesta, tapi tetap hangat dan akrab saat berbincang dengan teman dekat. 

Seringkali ada anggapan bahwa introvert itu pendiam dan canggung saat berkomunikasi. Tapi kenyataannya, banyak orang introvert justru sangat jago berkomunikasi, terutama dalam situasi yang sesuai dengan gaya mereka. 

Introvert cenderung menjadi pendengar yang baik. Mereka menyimak dengan cermat, memahami konteks, dan merespons dengan tepat. Ini membuat komunikasi mereka terasa tulus dan penuh makna, bukan sekadar basa-basi.

Orang introvert biasanya berpikir dulu sebelum bicara. Mereka tidak suka omong kosong, jadi ketika berbicara, biasanya isi pesannya lebih tajam dan tersusun. Dalam konteks komunikasi tertulis atau presentasi, ini menjadi keunggulan besar.

Introvert merasa tidak nyaman saat ngobrol rame-rame, mereka lebih suka berada dalam percakapan pribadi atau komunikasi dua arah, mereka bisa sangat terbuka dan ekspresif. Mereka unggul dalam membangun kedekatan emosional melalui komunikasi yang intim dan penuh empati.

Banyak introvert berbakat menulis, baik email, artikel, puisi, maupun caption medsos. Karena menulis memberi ruang untuk berpikir tanpa tekanan interaksi secara langsung. Makanya, banyak penulis hebat adalah introvert.

Introvert yang menyadari kekuatannya sering kali melatih kemampuan sosial mereka. Mereka bisa tampil percaya diri saat dibutuhkan, karena mereka mempersiapkan diri secara mental lebih matang. Saat tampil, mereka bisa terlihat seperti ekstrovert, padahal setelahnya butuh waktu menyendiri untuk recharge.

Introvert tidak suka bicara banyak hal sekaligus, tapi mereka hebat dalam menggali topik secara mendalam. Dalam komunikasi, ini membuat mereka tampak serius, terarah, dan penuh wawasan.

Jadi, jangan heran kalau ada introvert yang bisa menyampaikan pidato yang menggetarkan, atau punya podcast yang bikin banyak orang betah mendengarkan. Mereka bukan tidak bisa komunikasi, mereka hanya butuh ruang yang tepat untuk menampilkan versinya.

Kalau kamu bertemu orang yang pendiam, belum tentu dia anti-sosial, bisa jadi dia introvert yang ramah dan hanya butuh waktu untuk nyaman.

Dapat disimpulkan kalau introvert bukanlah orang yang tidak bisa menyapa orang lain. Mereka justru pandai dalam menempatkan diri. Mereka bahkan bisa mengajak komunikasi dan berbicara banyak hal karena memiliki wawasan yang luas. Wawasan yang luas didapat karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk membaca buku, mendengarkan, dan menggali hal-hal baru di sekitarnya.


Lalu, bagaimana dengan istilah anti-sosial?

Dalam ilmu psikologi, anti-sosial dikenal dengan istilah ASPD (Antisocial Personality Disorder). Ciri utama orang yang anti-sosial cenderung melawan norma sosial yang berlaku di masyarakat dan seringkali merugikan orang lain.

Orang yang anti-sosial memiliki karakteristik yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi bisa kita rasakan ketika sudah melakukan kontak langsung dengan orang tersebut. Orang yang anti-sosial biasanya tidak peduli perasaan atau hak orang lain. Karakter yang satu ini bisa aku benarkan karena aku sudah sering menemui kasus yang serupa. Sebagai contoh, staff personalia yang tidak memedulikan hak karyawan-karyawannya ketika melakukan kesalahan penginputan dan berkata, "aku nggak peduli yang lain. Yang penting gajiku keluar!"

Orang yang anti-sosial seringkali melanggar aturan dan hukum, baik hukum negara maupun hukum sosial. Mereka juga bisa sangat manipulatif, agresif, dan tidak punya empati kepada orang lain. Tidak merasa bersalah setelah menyakiti orang lain.

Anti-sosial bukanlah tipe kepribadian biasa, ini adalah bagian dari gangguan kepribadian dalam dunia psikologi/psikiatri.

Orang yang anti-sosial bisa dengan sengaja menipu, mencuri, atau menyakiti orang lain tanpa rasa penyesalan.

Saat ini, fenomena anti-sosial yang berlindung di balik label “introvert” memang nyata dan sering terjadi. Banyak orang menyebut dirinya introvert padahal sebenarnya mengalami masalah lain dalam bersosialisasi, seperti kecemasan sosial, trauma, atau bahkan gangguan kepribadian anti-sosial.

Orang yang anti-sosial cenderung menghindari bahkan membenci interaksi sosial secara ekstrem. Mereka juga tidak peduli atau tidak mampu menjalin hubungan sosial yang sehat. 

Beberapa orang yang anti-sosial menolak bersosialisasi karena  luka batin, rasa malu ekstrem, atau kecemasan sosial. Sebagian dari mereka juga menggunakan label "introvert" sebagai tameng agar tak perlu menjelaskan perasaan atau kondisi mereka yang lebih kompleks. Mereka bahkan lebih nyaman berada dalam zona keterasingan, lalu menyamakan itu dengan kepribadian introvert, padahal bisa jadi ada gejala psikologis yang tidak disadari.

Contoh nyata, seorang remaja yang tidak mau sekolah dan enggan bergaul menyebut dirinya introvert. Tapi setelah ditelusuri, ternyata dia mengalami bullying dan trauma, serta mengalami gangguan kecemasan sosial.


Mengaku introvert itu sah. Tapi jika sikap selalu menghindar dari manusia, marah saat diajak bicara, atau menolak semua bentuk interaksi, maka itu bukan sekadar introversi. Bisa jadi ada luka, trauma, atau gangguan psikologis yang perlu ditangani. Introvert sehat tetap bisa menjalin relasi, meski dengan caranya sendiri.








Thursday, June 26, 2025

Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian



Menutup Perjalanan, Membuka Pengabdian


Ibu Kota Negara Nusantara, 25 Juni 2025.
Sore yang syahdu di Tower 4 Gedung Kementerian Koordinator IKN Nusantara menjadi saksi dari berakhirnya sebuah perjalanan penting, yakni kegiatan Penutupan Pelatihan Petugas Pendataan Penduduk IKN. Acara ini bukan sekadar seremoni, melainkan momentum reflektif atas rangkaian hari-hari penuh pembelajaran, kerja sama, dan harapan untuk Ibu Kota Negara yang sedang bertumbuh.

Pelatihan ini telah menyatukan peserta dari berbagai penjuru Kalimantan Timur. Dari beragam latar belakang, usia, dan pengalaman. Kita semua berada dalam satu semangat, yakni menjadi bagian dari sejarah awal pembangunan Nusantara melalui kerja pendataan yang teliti dan manusiawi.

Acara penutupan yang dilaksanakan pukul 16.00 hingga 17.00 WIB hari ini terasa seperti akhir dari sebuah babak, namun juga awal dari tanggung jawab yang lebih besar.

Acara dibuka dengan sambutan hangat dan inspiratif dari Yusniar Juliana, SST, MIDEC, selaku Kepala BPS Provinsi Kalimantan Timur. Dalam pemaparannya, beliau menekankan bahwa pendataan bukan sekadar pekerjaan administratif, tetapi bagian dari pembangunan peradaban, sebuah pondasi kebijakan besar di masa depan. 

Ini adalah pertama kalinya dilakukan pendataan penduduk IKN. Sehingga para petugas pendataan penduduk ini adalah para pengukir sejarah masa depan dalam proses pembangunan Ibu Kota Nusantara. 
Oleh karenanya, BPS mengharapkan, para petugas lapangan (PPL) dapat melakukan pencacahan data yang sebenar-benarnya agar kebijakan-kebijakan yang akan ditentukan oleh pemerintah dapat menyesuaikan kebutuhan hidup masyarakat. Jangan sampai pemerintah IKN salah mengambil langkah kebijakan karena data yang didapat dari masyarakat tidak akurat. 

Kemudian, pidato penutupan disampaikan  oleh Drs. H. Alimuddin, M.Si, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN. Dalam pidato beliau yang sarat makna, Alimuddin mengingatkan bahwa pembangunan IKN tidak semata tentang infrastruktur, tetapi juga tentang manusia yang akan hidup dan tumbuh di dalamnya. Pendataan penduduk menjadi titik awal yang sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan ini benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat .

Tak terasa, segenap proses pelatihan selama beberapa hari ke belakang kini sudah berada di ujungnya. Ada rasa haru yang diam-diam menyeruak. Foto-foto bersama, senyum hangat antar peserta, dan tawa kecil yang saling dibagi menjadi pengingat bahwa kami pernah belajar bersama di ruang-ruang menara tinggi ini yang belum digunakan secara resmi untuk berkantor. 

Sebagai seorang peserta, saya merasa bukan hanya dibekali ilmu teknis tentang pendataan, tetapi juga dikuatkan secara emosional dan ideologis. Ada hal yang harus selalu saya ingat, bahwa saya adalah bagian dari gerakan membangun masa depan. Pelatihan ini mengajarkan kami untuk peka terhadap dinamika sosial, teliti dalam bekerja, dan berani menghadapi tantangan di lapangan dengan tanggung jawab.

Penutupan ini bukan titik, tetapi koma. Setelah ini, kami akan kembali ke wilayah masing-masing membawa bekal, semangat, dan tanggung jawab. Karena sejatinya, membangun IKN bukan hanya tugas para perencana di gedung bertingkat ini, tapi juga kerja nyata para petugas pendataan yang akan menyusuri jalan-jalan kampung, mendatangi pintu-pintu rumah, dan mendengarkan kisah dari warga yang akan menjadi penghuni sejati kota masa depan yang juga dikenal dengan Kota Dunia.

Dan saya, dengan penuh kesadaran dan kebanggaan, siap menjalankan peran itu.


Rin Muna
Tower 4, Kemenko IKN
25 Juni 2025

Tuesday, June 24, 2025

Jebakan Ilusi Sosial : Ketika Hidup Tak Lagi Milik Kita

Jebakan Ilusi Sosial: Ketika Hidup Kita Tak Lagi Milik Kita Sendiri
Oleh Rin Muna






Kita terlahir telanjang dan bebas. Tapi tumbuh besar dengan beban dan tuntutan. Sejak kecil, kita diberi daftar panjang hal-hal yang "seharusnya" kita lakukan. Bersekolah di tempat yang bagus, dapat pekerjaan mapan, menikah di usia tertentu, punya anak, punya rumah, dan punya mobil. 
Tanpa sadar, kita mulai hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi orang lain. Kita dibayangi oleh penilaian masyarakat, keluarga, bahkan algoritma media sosial. 

Inilah yang disebut sebagai jebakan ilusi sosial. Sebuah kondisi di mana hidup kita tidak lagi otentik, melainkan menjadi cermin dari apa yang orang lain harapkan.


Filsuf Muslim Al-Ghazali pernah menulis dalam Ihya Ulumuddin, bahwa banyak manusia tertipu oleh dunia. Mereka mengira kemuliaan terletak pada harta, jabatan, dan pujian manusia. Padahal itu semua hanya fatamorgana. “Orang yang cinta dunia,” kata Al-Ghazali, “akan diperbudak olehnya.”

Apa yang disebut Al-Ghazali ini mirip dengan gagasan stoikisme dalam filsafat Yunani. Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi sekaligus filsuf stoik, mencatat dalam Meditations: “Sangat mudah untuk menjadi budak opini orang lain, dan lupa pada suara hatimu sendiri.” 

Di zaman sekarang, opini orang lain tak hanya berbisik lewat mulut, tapi berteriak lewat notifikasi, komentar, dan likes.

Ilusi sosial ini menjadi jebakan yang sulit dilepaskan karena kita mengira itu adalah kebenaran. Kita berpikir bahwa mengikuti standar sosial berarti hidup kita akan bahagia. Namun nyatanya, yang terjadi malah sebaliknya. Kita semakin gelisah, mudah iri, dan kehilangan arah. Sehingga kita kehilangan diri sendiri. 

Bayangkan seseorang yang berprofesi sebagai guru, tetapi diam-diam mencintai dunia seni lukis. Karena tekanan lingkungan, ia terus menunda-nunda impiannya. Ia terjebak dalam narasi "pekerjaan yang aman" dan takut dijuluki "seniman gagal". Maka ia hidup seperti orang lain, bukan seperti dirinya sendiri.

Filsafat stoik menekankan pada diri sebagai pusat kebaikan. Epictetus berkata: “Hal yang berada dalam kuasamu adalah pikiran, keinginan, dan tindakanmu. Semua hal di luar itu bukan milikmu.” Artinya, kita harus mengarahkan kembali pusat kontrol hidup pada diri, bukan pada standar luar yang berubah-ubah.

Islam pun mengajarkan prinsip serupa. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 disebutkan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” 
Maka, jika beban hidup terasa terlalu berat, boleh jadi itu bukan beban yang datang dari Tuhan, tapi dari ilusi sosial yang kita pelihara sendiri.
Akhirnya, kita terpenjara dalam ilusi sosial yang membuat kita kehilangan diri sendiri. Lalu, bagaimana caranya bisa keluar dari jebakan ini? 

Cobalah menjadi diri yang merdeka! 

Menjadi merdeka dari ilusi sosial bukan berarti menjadi egois. Justru ini adalah jalan menuju keikhlasan. Kita hidup bukan untuk menyenangkan semua orang, tapi untuk menunaikan amanah sebagai manusia seutuhnya. Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: “Jangan puas hanya dengan cerita tentang orang lain. Tulis kisahmu sendiri.”

Caranya bagaimana? Ada 4 hal yang bisa kita lakukan, seperti:

1. Mengenali nilai-nilai diri. Apa yang benar-benar penting bagimu? Bukan menurut orang lain, tapi menurut nuranimu.
2. Membatasi distraksi. Media sosial bukan realita. Kurangi konsumsi konten yang membuatmu membandingkan diri tanpa sadar.
3. Berteman dengan kesederhanaan. Stoikisme dan Islam sama-sama memuliakan hidup yang tidak berlebih-lebihan. Dalam kesederhanaan ada kejernihan.
4. Berani berkata tidak. Tidak pada standar yang tidak sesuai. Tidak pada jalan yang bukan milikmu. Ini adalah keberanian spiritual.

Kita berhak untuk memilih hidup yang otentik dan tidak perlu mewujudkan ekspektasi orang lain. 
Jebakan ilusi sosial tak selalu terlihat seperti perangkap. Ia sering menyamar sebagai cinta, perhatian, dan kebahagiaan semu. Tapi kita tahu, di dalam hati, ada suara kecil yang terus berbisik: "Ini bukan aku. Ini bukan jalan hidupku."
Maka dengarkanlah suara itu. Karena sebagaimana disebut oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadist, “Mintalah fatwa pada hatimu, meskipun orang-orang memberimu fatwa.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi). 

Kalau kamu merasa sedang menjalani hidup karena “kata orang”, mungkin saatnya berhenti sejenak. Bertanya ulang pada dirimu sendiri. Apakah hidup ini milikmu? Atau kamu cuma pemeran figuran dalam skenario orang lain?

Jangan tunggu sampai semuanya terasa kosong. Karena kebebasan sejati bukan soal keluar dari penjara, tapi keluar dari jebakan pikiran yang kita anggap kebenaran. Dan itu dimulai dari keberanian untuk menjadi dirimu sendiri.


Sumber Referensi:

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin

QS. Al-Baqarah: 286

HR. Ahmad & Ad-Darimi

Marcus Aurelius, Meditations

Epictetus, The Enchiridion

Rumi, The Essential Rumi, trans. Coleman Barks

William Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy

Ryan Holiday, The Daily Stoic



Wednesday, June 18, 2025

Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran



Ketika Buzzer Jadi Pena: Fenomena Penulis Digital yang Menaikkan Pamor Lewat Sorak Bayaran

Oleh: Rin Muna

Kita hidup di zaman di mana suara bisa dibeli dan popularitas bisa dipesan seperti fast food. Dunia penulisan pun tak luput dari arus besar ini. Di jagat novel digital—entah itu di platform seperti Fizzo, KBM App, Dreame, atau Wattpad—muncul satu fenomena baru yang membuat saya ingin angkat pena (atau tepatnya, keyboard): penulis yang menggunakan buzzer untuk mengangkat pamor karyanya.

Sebab, aku pernah menerima tawaran dari seorang admin untuk bergabung dengan buzzer penulis berinisial "E" yang juga aku kenal. Tapi aku menolaknya karena aku juga seorang penulis yang ingin mendapatkan komentar murni, tanpa embel-embel uang. 
Sudah seharusnya sastra itu membayar penulis, bukan pembaca. 

Sebelum kita menghakimi, mari kita duduk sejenak dan menyesap realitas.

 Menulis di Era Platform: Bukan Lagi Sekadar Tulisan

Dunia menulis kini sudah bukan hanya soal kualitas cerita, tapi juga soal siapa yang lebih terdengar. Semakin ramai komentar, like, dan share, maka semakin besar peluang karyamu direkomendasikan algoritma. Di sinilah buzzer masuk bermain—akun-akun (kadang palsu, kadang “teman”) yang disewa untuk membanjiri cerita dengan komentar positif, membela di forum, bahkan menyerang saingan diam-diam.

Buzzer dalam dunia politik sudah kita kenal: pembentuk opini, pengalihan isu, bahkan penyerang karakter. Tapi ketika para penulis digital mulai menyewa "pemain sorak" ini, kita harus bertanya: Apakah karya itu benar-benar disukai, atau hanya kelihatan seperti disukai?

Narasi vs Noise: Antara Karya dan Keriuhan

Menggunakan buzzer bisa jadi semacam “cetak instan” popularitas. Tapi seperti kata filsuf Jean Baudrillard, kita hidup dalam simulacra, di mana tanda dan simbol tidak lagi merujuk pada realitas, melainkan pada realitas yang diciptakan. Popularitas palsu adalah simulakrum dari karya besar.

Sosiolog Jürgen Habermas pernah bilang bahwa ruang publik seharusnya menjadi arena dialog rasional. Tapi dengan masuknya buzzer ke dunia literasi, ruang diskusi itu jadi penuh bisik-bisik pesanan.

Kalau dulu karya diukur dari pengaruhnya secara substansial, sekarang kita terlalu sering membandingkan angka: berapa views, berapa bintang, berapa komentar. Padahal, “resonansi” yang sesungguhnya tidak bisa dibeli. Ia tumbuh dari pembaca yang benar-benar merasa tersentuh, yang karyamu tinggal dalam kepalanya jauh setelah selesai dibaca.

Popularitas yang Bisa Dibeli, Tapi Tidak Selalu Bertahan

Banyak penulis digital merasa tertindih oleh sistem yang kompetitif. Untuk muncul di beranda pembaca, karya mereka harus bersaing dengan ratusan tulisan setiap hari. Lalu muncullah jalan pintas: menyewa jasa buzzer, menaikkan rating, bahkan memesan “review positif.”

Saya tidak menghakimi siapa pun. Semua penulis tentu ingin dibaca. Tapi sebagai seseorang yang percaya bahwa tulisan adalah suara hati yang diurai dalam bahasa, saya selalu bertanya: Apa yang kau kejar—pujian atau pengaruh?

Jangan sampai kita membangun popularitas dari keriuhan palsu. Karena ketika pembaca sadar bahwa cerita itu naik hanya karena dibantu "sorakan", maka rasa percaya itu runtuh. Seperti kata Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran bukan diukur dari banyaknya pengikut, tetapi dari kualitas kebenarannya.”

Ada Jalan Lain Selain Buzzer

Menulis adalah maraton, bukan sprint. Banyak penulis yang lambat naik, tapi punya pembaca setia karena tulisannya jujur. Mereka mungkin tak punya ribuan komentar dalam semalam, tapi punya satu pembaca yang rela menangis sepanjang malam karena satu bab.

Membangun komunitas organik, membuat diskusi terbuka, menanggapi komentar dengan tulus, dan menjalin koneksi emosional dengan pembaca adalah cara membangun reputasi jangka panjang.

Bahkan stoikisme mengajarkan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan: kualitas karya kita, etika kita, dan ketulusan kita dalam berkarya. Seperti yang dikatakan Epictetus, “Hanya ada satu jalan menuju kebahagiaan, yaitu berhenti khawatir pada hal-hal di luar kendalimu.

Sebagai penulis, kita punya dua pilihan: membangun istana dari batu bata kejujuran atau membangun menara dari kardus komentar palsu. Yang satu mungkin lambat, yang lain tampak megah. Tapi hanya satu yang akan tetap berdiri saat badai kritik datang.
Buzzer mungkin bisa mengguncang angka, tapi tidak bisa menyentuh hati.

Salam pena,
Rin Muna
(Penjahit kata dan perajut makna) 



Referensi:

Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.

Habermas, Jürgen. The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962.

Epictetus. Enchiridion.

Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah.

Diskusi Penulis di Forum Fizzo dan Komunitas KBM App (2024–2025).

Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu



Jangan Biarkan Orang Lain Mengontrol Keputusanmu! 
Belajar Merdeka dari Dalam Diri

Oleh Rin Muna



Kamu pernah nggak, merasa hidup ini kayak ditarik-tarik dari segala arah? 
Mau milih jurusan kuliah, dibilang, "jangan aneh-aneh, nanti susah cari kerja!". 
Mau keluar dari pekerjaan yang bikin stres, langsung disodorin nasihat, "sabar, semua kerjaan memang berat." 
Lama-lama, kita bukan lagi hidup atas dasar pilihan sadar, tapi lebih mirip boneka tali—yang bergerak sesuai keinginan orang lain.

Aku pernah berada di fase itu. Dan rasanya… ngambang. Seolah hidup ini bukan milikku. Tapi suatu ketika aku membaca kutipan dari Epictetus, filsuf Stoik dari Yunani, yang berkata, “Jangan biarkan kekuatan luar mengganggumu! Gangguan hanya muncul jika kamu mengizinkannya masuk.


Boom ...!
Kepala langsung kayak disiram air es. Itu titik balik—bahwa kebebasan sesungguhnya bermula dari kemerdekaan memilih, tanpa dikendalikan ekspektasi orang lain.


Stoikisme mengajarkan bahwa dalam hidup ini, ada dua hal: yang dalam kendali kita, dan yang di luar kendali kita. Keputusan pribadi, cara berpikir, dan reaksi terhadap peristiwa—itu wilayah kita. Tapi opini orang, harapan mereka, bahkan pujian dan kritik—semuanya di luar kendali kita.
Lucunya, justru banyak dari kita menyerahkan kendali itu ke tangan orang lain.

Dalam filsafat Islam, hal ini senada dengan ajaran ikhlas dan tawakkal. Dalam QS. Az-Zumar ayat 17-18, Allah menyebutkan tentang "orang-orang yang mau mendengar perkataan orang lain, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya." Artinya, kita boleh mendengar, tapi tetap harus memilah dan memutuskan sendiri.

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut agar mereka tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, bagi mereka kabar gembira. Maka sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
(QS Az-Zumar: 17-18)


Bahkan dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa terlalu bergantung pada penilaian manusia adalah bentuk hijab—penghalang—dalam perjalanan spiritual. Karena pada akhirnya, pertanggungjawabanmu bukan di hadapan manusia, tapi di hadapan Tuhan dan dirimu sendiri.


Lantas, Haruskah Kita Egois?

Tentu tidak. Mendengar masukan itu penting. Tapi bedakan antara nasihat yang mencerahkan, dan opini yang mencekik. Ada perbedaan antara "ini mungkin bisa membantumu" dengan "kamu harus begini, titik!"

Menjadi merdeka dalam memilih bukan berarti menutup diri dari saran. Tapi kita perlu memproses saran itu secara sadar, bukan otomatis mengiyakan karena takut ditolak atau dianggap durhaka.

Di sinilah peran akal dan hati nurani yang dalam Islam disebut sebagai qalbun salim—hati yang bersih dan cerdas, yang mampu membedakan mana jalan yang penuh cahaya, dan mana jalan yang hanya penuh sorakan tapi hampa makna.



Cobalah sesekali bertanya dalam hati:

Apakah aku benar-benar menginginkan ini?

Atau aku hanya takut mengecewakan orang lain?

Apakah keputusan ini membuatku damai?

Atau justru semakin asing dengan diriku sendiri?


Karena sejatinya, hidup bukan soal menyenangkan semua orang. Hidup adalah tentang menjadi pribadi yang utuh, yang bisa berkata “ya” karena yakin, dan “tidak” karena sadar.

Marcus Aurelius, Kaisar Romawi sekaligus filsuf Stoik menulis dalam Meditations: “Jika kamu terhenti karena opini orang lain, berarti kamu memberikan kekuasaan atas dirimu pada mereka.”

Dalam kasus  yang sama, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata: “Orang yang paling kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah dan tetap kokoh di saat ragu.”


Kalau kamu sedang berada di persimpangan pilihan, tarik napas. Dengarkan hati. Tanyakan pada akal sehat, bukan pada ketakutan. Jangan biarkan suara di luar sana lebih keras dari suara di dalam dirimu.

Kamu bukan robot yang diprogram oleh ekspektasi orang lain. Kamu adalah manusia yang diberi kehormatan oleh Tuhan untuk memilih dan bertanggung jawab atas hidupmu sendiri.

Karena pada akhirnya, keputusan yang kamu buat hari ini, adalah pondasi bagi dirimu yang akan datang.

Dan ingat, hidupmu bukan panggung sandiwara. Jangan biarkan orang lain menulis naskahnya untukmu.


Referensi Singkat:

Epictetus – Discourses and Enchiridion

Marcus Aurelius – Meditations

Imam Al-Ghazali – Ihya Ulumuddin

QS. Az-Zumar: 17-18

Kutipan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (Nahjul Balaghah)



Kalau kamu merasa tulisan ini menyentuh sesuatu dalam dirimu, bagikan ke temanmu. Siapa tahu, itu juga jadi titik balik untuk mereka.

Salam hangat,
Rin Muna
(Menulis agar tak kehilangan arah di dunia yang bising)


Seni dan Sastra Adalah Dua Saudara Yang Tak Bisa Dipisahkan



Sastra dan Seni: Dua Saudara yang Tak Bisa Dipisahkan

Oleh: Rin Muna

Saat kita menyelami dunia sastra, kita sedang menjelajahi dunia batin manusia dengan segala kompleksitasnya. Saat kita menyentuh seni, kita sedang mendekap bentuk-bentuk visual, gerak, bunyi, hingga ekspresi yang tak selalu bisa diucapkan kata.
Tapi, tahukah kamu bahwa sastra dan seni bukan dua dunia yang berbeda? Mereka ibarat saudara kandung yang lahir dari rahim yang sama: imajinasi, perasaan, dan pencarian makna.

Sebagai seorang penulis dan pengelola Rumah Literasi Kreatif, saya sering menemukan bahwa karya sastra tidak pernah benar-benar steril dari sentuhan seni lain. Saat saya menulis puisi, saya memikirkan ritme dan musikalitas kata seperti dalam musik. Saat saya menulis cerita anak, saya memvisualisasikan latar dan karakter seperti seorang pelukis membuat sketsa. Di sanalah saya yakin: sastra dan seni tidak dapat dipisahkan.


Sastra adalah Seni Berbahasa. Sastra, pada dasarnya, adalah cabang dari seni itu sendiri—tepatnya seni bahasa. Dalam Ensiklopedia Britannica, sastra didefinisikan sebagai “a body of written works that possess artistic or intellectual value”. Artinya, sastra bukan sekadar tulisan; ia adalah tulisan yang memiliki nilai seni dan pemikiran (Britannica, 2024).

Coba bayangkan novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata—tanpa gaya bahasa yang puitis, apakah kita bisa ikut terhanyut dalam semangat Ikal dan Arai? Tanpa metafora, imaji, dan irama, apakah puisi Chairil Anwar akan tetap abadi?

Seni adalah wadah berekspresi dan sastra adalah isinya. Seni rupa, musik, tari, teater—semuanya bisa menjadi medium untuk sastra. Dan sastra sendiri bisa menjadi dasar penciptaan seni. Keduanya saling menghidupi. Dalam pementasan monolog, misalnya, naskah sastra menjadi jiwa yang dihidupkan oleh seni peran. Dalam puisi visual, kata-kata tidak hanya dibaca tapi juga dilihat.

Menurut Roland Barthes dalam esainya The Death of the Author (1967), teks sastra membuka ruang bagi interpretasi bebas pembaca. Di sinilah seni masuk: pembaca bisa merespon teks dengan melukis, menggambar, atau bahkan membuat tarian dari puisi. Sastra tak hanya dibaca; ia bisa ditonton, didengar, dan dialami dengan seluruh pancaindra.


Seni dan sastra sama-sama menjadi objek penting yang membangun peradaban. 
Jika seni adalah cermin zaman, maka sastra adalah suaranya. Di Kalimantan, tempat saya menulis dan berkarya, saya melihat bagaimana hikayat dan pantun berfungsi bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai media pendidikan, pelestarian budaya, dan penguat identitas. Ketika seni Dayak ditarikan, dan cerita rakyat dibacakan dengan iringan musik tradisional, kita melihat keutuhan antara seni dan sastra yang nyaris sakral.

UNESCO dalam dokumen Culture 2030 Indicators menegaskan bahwa kebudayaan yang hidup—baik dalam bentuk seni maupun sastra—merupakan pondasi pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2020). Sastra dan seni bukan hanya ekspresi individu, tapi juga instrumen sosial.

Sastra dan seni ibarat dua sisi mata uang yang sama. Mereka tumbuh bersama, saling memberi nyawa, dan menghadirkan pengalaman manusia dalam bentuk yang paling indah. Jika kita ingin memahami dunia, atau bahkan menyembuhkan luka kolektif masyarakat, kita tidak bisa memilih salah satu. Keduanya harus dirayakan bersama.

Sebagai bagian dari komunitas sastra Pena Kreatif, saya percaya bahwa membesarkan sastra adalah juga membesarkan seni. Maka jangan heran jika dalam setiap buku saya, selalu ada ilustrasi, irama, bahkan nuansa panggung. Karena menulis, bagi saya, bukan sekadar merangkai kata—tapi mencipta dunia, dengan segala warna dan nadanya.


Sumber referensi:

1. Britannica. (2024). Literature. Retrieved from https://www.britannica.com
2. Barthes, R. (1967). The Death of the Author. In Image-Music-Text.
3. UNESCO. (2020). Culture 2030 Indicators. Paris: UNESCO.
4. Hirata, A. (2006). Sang Pemimpi. Jakarta: Bentang Pustaka.
5. Anwar, C. (1957). Aku. Jakarta: Balai Pustaka.


Ingin ikut mendiskusikan hubungan sastra dan seni lebih jauh? Yuk mampir ke blog saya: www.rinmuna.com. Di sana, kita bisa saling berbagi gagasan dan karya!



Tuesday, June 17, 2025

Sebuah Renungan : Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial


Sebuah Renungan
Ketika Anti-Bullying Malah Melemahkan Kontrol Sosial 




Halo, teman-teman.
Kita semua setuju, ya, kalau bullying itu nggak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun. Nggak lucu, nggak keren, dan jelas-jelas menyakitkan. Tapi, belakangan ini aku mulai resah dengan satu fenomena yang muncul diam-diam: gerakan anti-bullying yang terlalu ekstrem, sampai-sampai semua bentuk kritik dianggap kekerasan, dan kontrol sosial pun menjadi melemah.

Aku tahu ini topik sensitif. Tapi justru karena itu, kita perlu ngobrol.
Aku berharap bisa menemukan orang-orang yang masih memiliki welas asih dan kepedulian terhadap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat selama beberapa tahun terakhir.



Anti-Bullying: Dari Empati Menuju Kekebalan Sosial?

Dulu, kita kampanye anti-bullying dengan tujuan yang mulia: membela yang lemah. Tapi sekarang? Rasanya seperti semua orang berlomba-lomba jadi korban.

Anak ditegur karena malas? "Itu bullying!"
Teman dikritik karena bohong? "Jangan gaslighting!"
Guru memberi sanksi? "Toxic authority!"

Batas antara mendidik dan menghakimi jadi kabur. Kita kehilangan keberanian untuk mengatakan, "Kamu salah!" karena takut dituduh kasar.

Padahal, dalam kehidupan sosial yang sehat, teguran itu bagian dari kontrol sosial.
Kalau semua intervensi sosial dianggap bentuk penindasan, maka siapa lagi yang akan menjaga nilai?
Pada akhirnya, kita menjadi orang yang tidak peduli pada nilai-nilai sosial dan semua bentuk penyimpangan dianggap sebagai hal yang wajar (menormalisasi). 

Normalisasi pelanggaran sosial membuat orang-orang yang melakukan kesalahan tidak lagi ditegur. Dibiarkan saja dan membuat semakin menjamur ke mana-mana, bahkan menjadi sebuah trend.

Akhir-akhir ini kita mulai melihat banyak penyimpangan sosial di sekitar kita, seperti:

Anak-anak merokok di jalan, tapi kita takut menegur karena takut dibilang "sok suci".

Teman seenaknya membatalkan janji, tapi saat ditegur malah baper dan mem-posting di story, "Toxic people need to be left behind."
Pencurian kecil-kecilan dianggap wajar karena pelakunya mengalami "trauma masa lalu".

Banyak pelanggaran sosial yang dibiarkan karena kita terlalu takut menyakiti perasaan orang lain, hingga membuat penyimpangan sosial menjadi hal yang wajar, bahkan tindakan kriminalitas menjadi perbuatan yang dibenarkan.
Ironis, ya? Gerakan yang awalnya bertujuan melindungi justru membuat kita tak berani lagi menegakkan nilai di kehidupan ini.

Tidak adanya nilai-nilai sosial di masyarakat, sama dengan lunturnya hukum sosial. Hukum sosial yang luntur, membuat kriminalitas tumbuh dengan subur.

Aku pernah baca satu hasil riset sosiologi (iya, aku masih suka baca jurnal juga kok 😌), yang bilang:

"Ketika kontrol sosial informal melemah, maka hukum formal akan kewalahan. Dan akhirnya, pelanggaran menjadi budaya."

Kita bisa lihat sendiri kriminalitas remaja meningkat, kekerasan verbal di media sosial makin menggila, dan semua berlindung di balik klaim "aku sedang trauma". Bukan empati yang salah. Yang salah adalah jika empati dijadikan tameng untuk pembenaran.
 
Sebagai contoh, kita bisa menilik kasus anak yang membunuh ibu dan anak kandungnya sendiri di Cianjur, Jawa Barat. Berikut ini link video lengkapnya: Blak-blakan! Pelaku Mutilasi Beberkan Aksi Kejinya Habisi Ibu dan Anak | Fakta tvOne
Kabupaten Malang, juga punya cerita kriminal yang sama Anak Bunuh Ibu Kandung Karena Sering Dimarahi
Dan masih banyak kasus kriminalitas yang semakin merajalela dan dilakukan oleh remaja, bahkan ada anak di bawah umur yang sudah tersandung kasus kriminal berat. Seperti kasus anak yang membunuh ayah dan neneknya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Anak Bawah Umur Diduga Bunuh Ayah & Nenek di Lebak Bulus, Psikologi Tersangka Diperiksa padahal anak tersebut dikenal berprestasi dan kerap dibanggakan oleh orang tuanya.


Apakah Kita Kembali ke Zaman Tanpa Teguran?

Aku percaya kita butuh keseimbangan. Anti-bullying itu perlu, tapi harus ada ruang untuk kontrol sosial yang sehat. Teguran yang bijak, sanksi yang mendidik, dan keberanian untuk berkata jujur — walau tak nyaman.
Jangan sampai kita menciptakan generasi yang kebal kritik tapi rapuh dalam tantangan. Karena dunia ini keras, dan jika kita tak diajari tangguh sejak dini, maka luka yang lebih dalam bisa menunggu di luar sana.


Saatnya Introspeksi, Bukan Sensasi

Teman-teman, yuk kita bedakan mana bullying, mana didikan.
Mana kritik, mana kebencian.
Mana empati, mana manipulasi emosi.

Kalau kita terlalu sibuk merasa tersakiti atas setiap teguran, kita akan kehilangan kemampuan untuk bertumbuh. Dan jika semua hal dianggap penindasan, maka pada akhirnya tidak akan ada lagi nilai yang bisa ditegakkan.

Pelindung tidak boleh berubah menjadi pelindung keburukan. Sebab, tidak dibenarkan dengan alasan apa pun bahwa keburukan harus dilindungi, kecuali pelindungnya lebih buruk dari yang sedang dilindungi.
Mari tetap peka, tapi jangan buta.

With all love and care, 


Rin Muna

Friday, June 6, 2025

Belajar Ikhlas dari Sebilah Pisau Kurban

 


Belajar Ikhlas dari Sebilah Pisau Kurban

oleh Rin Muna


Idul Adha tahun 2025 jatuh pada hari Jumat, 6 Juni. Sebagai ketua RT, aku memulai hari itu lebih awal dari biasanya. Suara takbir menggema lembut dari masjid kecil di ujung gang, mengiringi kesibukan warga yang mulai berdatangan ke halaman tempat pemotongan hewan kurban. Aku berdiri di tengah keramaian itu—antara aroma rerumputan basah, embun pagi, dan suara lembut takbir yang menggugah hati.

Menjadi ketua RT berarti bukan hanya memimpin rapat atau membagikan surat edaran. Hari itu, aku belajar memimpin dalam arti yang paling sederhana: memastikan pisau yang meneteskan darah menjadi alat kebaikan, bukan sumber kesombongan.

Pemotongan hewan kurban dimulai setelah salat Id. Para lelaki bergotong-royong, sementara panitia perempuan menyiapkan kantong-kantong plastik, timbangan, dan daftar penerima. Karena hari raya kali ini bertepatan dengan hari Jumat, prosesi sedikit berbeda. Saat para lelaki berangkat menunaikan salat Jumat, panitia perempuan bertugas menjaga daging kurban agar tidak dijamah oleh anjing dan kucing liar.

Aku teringat sabda Rasulullah ï·º,

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, dan apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik.”
(HR. Muslim, no. 1955)

Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan latihan berbuat baik bahkan dalam tindakan yang keras. Panitia perempuan yang rela menjaga di bawah terik siang itu telah menjalankan “ihsan” dengan caranya sendiri—menjaga amanah agar rezeki umat tidak ternoda oleh kelalaian.

Usai salat Jumat, halaman kembali ramai. Tumpukan daging mulai ditimbang, dipotong, lalu dimasukkan ke dalam kantong-kantong putih. Wajah-wajah lelah tapi bahagia berseliweran di sekitarku. Ada yang mengelap keringat, ada yang diam-diam menahan air mata saat melihat warga miskin tersenyum menerima jatah kurban. Di antara bau amis daging dan debu tanah, aku merasakan sesuatu yang suci: rasa cukup.

Kata Al-Ghazali, “Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, tetapi hati yang tidak diperbudak oleh harta.”
Aku mengingatnya saat panitia membagikan bagian kulit sapi yang tersisa. Banyak yang enggan mengambil—barangkali karena repot mengolahnya. Aku mendapat cukup banyak, dan di sanalah ujian kecil itu datang.

Aku bisa saja membawa pulang semuanya. Tapi saat menatap kulkasku di benak, aku tahu: ruangnya terbatas, sebagaimana nafsu manusia yang seharusnya dibatasi. Aku mengambil secukupnya saja, mengingat firman Allah:

“Dan janganlah kamu memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. Luqman: 18)

Kedermawanan bukan diukur dari seberapa banyak yang kita beri, melainkan dari seberapa tulus kita menahan diri. Di situ aku merasa, kebahagiaan yang paling hakiki adalah ketika tangan sudah ingin menggenggam, tapi hati memilih untuk melepaskan.

Menjadi ketua RT di hari raya kurban bukan hanya tentang mengatur warga atau memastikan daging terbagi rata. Ini tentang mengatur diri sendiri agar tidak rakus, tidak sombong, dan tidak menuntut lebih dari yang seharusnya.
Kegiatan ini mengajarkanku bahwa kurban sejatinya adalah pembakaran ego — sebagaimana Nabi Ibrahim rela mengorbankan Ismail bukan karena kebencian, melainkan karena ketaatan.

Kata filsuf muslim Ibnu ‘Arabi, “Pengorbanan adalah jalan untuk mengenali Tuhan melalui cinta.” Maka, ketika pisau itu meneteskan darah, sesungguhnya ia juga meneteskan kasih sayang. Saat daging dibagikan, bukan hanya perut yang kenyang, tetapi jiwa-jiwa yang merasa terhubung oleh nilai yang sama: berbagi tanpa pamrih.

Sore itu, ketika semua kantong daging sudah berpindah tangan, dan tanah mulai kering dari darah kurban, aku duduk di teras belakang rumah. Tanganku masih beraroma kulit sapi, dan di dadaku terasa damai yang sulit dijelaskan.
Aku teringat sabda Nabi ï·º:

“Tidak ada amalan anak Adam pada hari Nahr (Idul Adha) yang lebih dicintai Allah selain menumpahkan darah (hewan kurban).”
(HR. Tirmidzi, no. 1493)

Dan barangkali, menumpahkan darah itu bukan hanya dalam arti fisik. Tapi juga simbol bahwa manusia harus rela menyembelih keinginan dirinya sendiri—keserakahan, ego, dan ambisi—agar hati menjadi lapang menerima rahmat-Nya.

Hari itu aku belajar bahwa menjadi manusia seutuhnya bukan tentang seberapa banyak kita miliki, tapi seberapa banyak kita mampu lepaskan. Dan dari sebilah pisau kurban yang sederhana, aku menemukan pelajaran yang lebih dalam dari sekadar ritual tahunan: bahwa setiap darah yang menetes adalah doa, setiap daging yang terbagi adalah cinta, dan setiap hati yang ikhlas adalah kurban yang sejati.




Thursday, May 22, 2025

SUKSES BUTUH TEKANAN

 


Pernahkah kamu berada di satu titik di mana kamu merasa hidup ini sangat berat dan tertekan?

Terkadang, kita merasakan tekanan yang sangat besar dalam kehidupan ini, terutama dalam dunia pekerjaan.

Pernah di satu waktu, aku merasakan tekanan yang berat dalam dunia kerja, juga dalam lingkungan sosial.

Selama bertahun-tahun aku menjalani banyak tekanan, tapi aku masih bisa terus berjalan hingga detik ini.

Ternyata, kita tidak bisa menghindari tekanan hidup, semua orang yang masih hidup akan merasakannya. Entah itu tekanan pekerjaan, tekanan dalam finansial maupun tekanan sosial.

Tidak bisa dipungkiri jika kita sebagai manusia kerap mengeluhkan tekanan hidup yang kita terima. Bahkan kita menyalahkan takdir yang Tuhan berikan kepada kita. 

Tapi semakin banyak mengeluh, tekanan itu terasa semakin besar. Padahal sebenarnya tekanan itu tetap sama. Yang membuatnya menjadi ringan atau berat adalah diri kita sendiri dan bagaimana cara kita menerimanya. 

Dalam menyikapi tekanan hidup yang besar, aku juga sering mengeluh, sering menyalahkan keadaan, sering merasa orang-orang di sekelilingku sangat jahat dan membuat hidupku semakin menderita. 


Di satu waktu, aku duduk di depan mesin jahitku karena aku memiliki hobi menjahit. Ada hal besar yang tidak aku sadari, padahal aku sudah menghadapinya bertahun-tahun. 

Ketika membuat pakaian, kita menginginkan semuanya berjalan dengan baik dan hasilnya rapi. Ada satu hal yang perlu kita ketahui ketika kita menjahit pakaian. Supaya mesin jahit dapat bekerja dengan baik dan rapi, maka pakaian yang akan dijahit harud ditekan dengan sepatu mesin jahit. Jika tidak ditekan, tidak akan berjalan dengan baik dan tidak akan bisa menghasilkan sebuah pakaian. 

Begitu banyak tekanan hidup yang aku jalani, membuatku tersadar ketika aku melihat sepatu mesin jahitku sendiri. Kenapa aku bilang ini bisa membuatku tersadar? Karena saat ini aku masih berjalan meski mendapatkan tekanan dari berbagai arah. 

Sungguh, hidupku kini bisa dianalogikan seperti cara kerja mesin jahit. Harus ditekan dahulu baru berjalan dan mendapatkan hasil yang baik. 

Aku yang sudah nyaman dengan kehidupanku sebagai seorang penulis, terkadang tidak ingin melakukan hal lain lagi selain hanya menulis buku. Tapi kemudian, keadaan memaksaku untuk melakukan lebih banyak hal. Termasuk bagaimana bertanggung jawab pada apa yang telah aku ciptakan dari keisengan-keisenganku selama ini. 

Keisengan yang kubuat melahirkan sebuah tanggung jawab besar yang terkadang membuatku muak. Ingin kutinggalkan, tetapi beban moral menjadi sangat berat untuk kupertanggungjawabkan. 

Pada akhirnya, aku harus terus berjalan meski perlahan dan berada dalam kondisi tertekan. Ada kalanya aku merasa dunia ini sangat kejam, terutama bagi mulut-mulut yang tidak menyukai keberadaanku. Rasanya ditekan dan disingkirkan dengan berbagai cara, tidak akan pernah aku lupakan. 

Tekanan yang dahulunya adalah beban hidup, kini jadi semangat hidup. Aku mulai menyukai sebuah tekanan yang membuatku terus bergerak. Hingga di satu titik, aku menganggap aku sukses menyelesaikan goals yang aku ciptakan sendiri. Meski bagi orang lain itu hal biasa, bagiku sangat istimewa karena bisa menjalaninya bersama tekanan yang aku terima. 

Aku sangat bersyukur dengan apa yang aku miliki saat ini. Karena aku tidak pernah memilikinya di masa lampau. Rumah yang nyaman dan kehidupan yang mapan meski jauh dari kemewahan. 

Aku tidak akan bisa berada di titik ini jika aku tidak berani berjalan di bawah tekanan. Tekanan yang aku terima dari banyak orang, ternyata menjadi cambuk untuk mempercepat langkahku. Sebab, jika aku tidak merasa disakiti, dikecewakan dan dikhianati, maka aku tidak akan berada di titik ini. 

Sungguh, tekanan hidup benar-benar bermanfaat bagiku. Tanpa adanya tekanan, aku tidak akan berjalan ke arah yang lebih baik. Berkat tekanan yang aku terima, aku bisa upgrading skil. Berkat tekanan sosial (dikucilkan) dari lingkungan terdekat, aku jadi bisa melangkah ke tempat yang lebih jauh. 

Hari ini aku sudah berada di titik bersyukur ketika ada orang yang mencaci-maki atau bercerita buruk tentangku. Karena itu adalah jalan rezeki yang sedang dibangunkan orang lain untukku. Dan aku sangat menikmatinya, meski bagi orang lain adalah beban. 

Kalau dibilang sukses, aku masih jauh dari kata sukses. Aku hanya sudah lebih baik dari segelintir orang dan aku bersyukur memiliki apa yang saat ini aku miliki. 

Tidak ada kesuksesan yang bisa diraih tanpa tekanan. Orang-orang yang tidak mampu berada di bawah tekanan, biasanya akan berjalan mengambang atau stagnan di situ-situ saja. Sebab, tidak ada keinginan untuk menyelesaikan tantangan hidup yang lebih besar lagi. 

Hingga saat ini aku masih belum percaya jika semua yang kumiliki saat ini karena aku terus-menerus mendapatkan tekanan. Tekananku jauh lebih besar dari orang lain, itulah sebabnya reward yang aku dapatkan juga lebih besar dari yang lain. (Jika kamu tahu jalan hidupku yang sesungguhnya, mungkin kamu akan menitikan air mata di setiap babnya)

Tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan selain terus berjalan meski banyak tekanan yang harus kita terima. Hidup dengan banyak tekanan memang sakit, tapi lebih sakit lagi jika kita hidup tertekan dan tidak berjalan sama sekali. 

Jika saat ini kamu sedang berada dalam tekanan hidup yang berat dan menemukan tulisan ini, percayalah jika Allah sedang merencanakan sesuatu yang indah untukmu. Jadi, jangan menyerah! 

Nikmati tekanan itu dengan ikhlas dan panenlah kemudahan hidup di kemudian hari. Ingat, rencana Tuhan selalu lebih indah dari rencana manusia. Tuhan yang akan memberikan reward untuk setiap gerakan tulusmu... 



Much Love, 



Rin Muna






Saturday, April 5, 2025

Tulisan Tangan Sesepuh Desa, Mengabadikan Cerita Lampau Untuk Masa Depan


Ketika kamu dipercaya untuk menjalankan sebuah kewajiban, maka kamu harus bertanggung jawab penuh atas segalanya. 

Itulah kalimat yang tepat untuk gambar di atas agar aku bisa menjadi orang yang bertanggung jawab. 

Bantuan Pemerintah Rp 50 juta untuk komunitas literasi yang ada di seluruh Indonesia bukanlah diberikan cuma-cuma tanpa pertanggungjawaban. Bantuan itu ditujukan untuk membuat komunitas bisa terus bergerak di tengah keterbatasan. 
Komunitas adalah sekelompok masyarakat yang bergerak secara mandiri tanpa mengandalkan biaya dari pemerintah. Kehadiran komunitas-komunitas ini tentunya sangat membantu pemerintah dalam menjalankan program berkelanjutan. Oleh karenanya, sudah sepatutnya pemerintah memberikan apresiasi kepada komunitas-komunitas yang aktif bergerak di dunia literasi secara mandiri.

Rumah Literasi Kreatif menjadi salah satu penerima banpem yang harus menjalankan program pemerintah sesuai dengan juknis yang telah ada. Salah satu program yang harus kami jalankan ialah membuat "Workshop Nulis Bareng" tentang kearifan lokal. 
Tentunya ini menjadi tantangan besar bagi kami. Rumah Literasi Kreatif yang telah berdiri selama 6 tahun masih belum mampu menjadi pilar yang kuat dalam meningkatkan kemampuan literasi masyarakat. Masih banyak masyarakat yang tidak suka dengan membaca, apalagi menulis. Jadi, untuk mendapatkan penulis-penulis buku, tentunya tidak mudah bagiku. 

Sebenarnya ada banyak penulis-penulis senior di Samboja, tapi mereka tidak mungkin bergabung dengan komunitasku yang masih pemula. Standarnya sudah berbeda. Aku juga tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengajak mereka terlibat dalam proyek penulisan ini.

Akhirnya, aku menyasar penulis-penulis pemula yang belum pernah menulis buku sama sekali, tetapi mereka memiliki keinginan untuk menulis buku. Yang mendaftar dalam event kepenulisan kali ini ialah anak-anak sekolah dan beberapa pendidik yang belum pernah menulis buku, ada juga pendidik yang telah menerbitkan buku yang bersedia menjadi kontributor dalam penulisan buku ini.

Dikejar target untuk melaporkan hasil kegiatan, tentunya membuatku sangat kesulitan untuk memilih antara kualitas tulisan dan percepatan penerbitan buku.
Tenggat waktu penyelesaian buku sejak workshop dimulai, hanya diberikan waktu 1 minggu saja. Ini cukup membuatku sakit kepala memikirkannya karena aku masih harus memeriksa naskah yang masuk. 
Dari seluruh naskah yang masuk, 90% naskah masih sangat berantakan. Kaidah kepenulisannya belum ada. Bahkan, tanda baca pun tidak diterapkan dengan baik. Aku hampir gila merevisi setiap tanda baca naskah yang masuk. Aku tidak merevisi konteks di dalamnya. Hanya memberikan tanda baca yang tepat seperti penggunaan titik, koma, tanda tanya, tanda petik, dan tanda seru.

Yang lebih mencengangkan lagi, aku menerima naskah narasi dalam bentuk tulisan tangan.
"Oh, My God! Ini harus aku ketikkan?" batinku.
Aku masih harus merevisi banyak tanda baca di naskah lain, kemudian mendapatkan naskah dalam bentuk tulisan tangan. Tentunya, ini akan semakin mempersulit kinerjaku.
Tapi aku tidak punya pilihan lain. Beliau yang memberikan tulisan tangan memang sudah sangat sepuh. Sudah masuk usia pensiun, tetapi masih semangat untuk menulis. Akhirnya, aku tulis ulang tulisan tangannya agar bisa masuk ke dalam buku yang akan kami terbitkan bersama.
Awalnya aku minta tolong pada puteriku yang baru duduk di kelas 3 SD untuk mengetikkan naskah ini. Sebab, di tengah tanggung jawabku menyelesaikan naskah buku, aku juga memiliki tanggung jawab sebagai seorang ibu. Aktivitas rumah tangga saja sudah sangat menyita waktuku. Sehingga, aku selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan lain selain kerjaan ibu rumah tangga.

Yang ingin aku ceritakan di sini bukanlah tentang kesulitanku. Ini hanya intermezo supaya kamu tahu bahwa  yang aku jalani tak semudah yang kamu pikirkan, tapi aku tetap semangat menyelesaikannya sampai tuntas.
Aku ingin mengabadikan momen di mana aku bisa mendapatkan tulisan tangan seorang sesepuh desa. Tulisan tangan yang tinta-tintanya digoreskan dari hati dan pikirannya. Pikirannya masih menyimpan memori masa lalu dengan jelas. Ia tuliskan di secarik kertas untuk mengingatkan kepada generasi muda bahwa ada cerita terdahulu yang harus mereka ketahui, agar mereka mencintai apa yang sekarang mereka miliki.
Tanpa tulisan kecil dari beliau, kita tidak akan pernah tahu bagaimana asal-usul berdirinya 2 sekolah dasar yang berdekatan di dalam satu desa. Ini sangat mengagumkan dan memberikan banyak arti bagi warga Desa Beringin Agung.
Berkat kepedulian dan perjuangan sesepuh-sesepuh terdahulu, kini kita bisa menikmati mudahnya menjangkau kehidupan.
Maka, ingatlah mereka dan abadikan mereka dalam sebuah tulisan.




5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat



5 Tanda Kamu Sedang Berurusan Dengan Orang Jahat

oleh Rin Muna



Kita hidup di zaman di mana pelaku kejahatan tidak selalu bertopeng. Kadang mereka pakai hoodie, pegang kopi kekinian, senyum sambil bilang “self love itu penting”—tapi diam-diam mengiris hati orang lain dengan cara paling halus.

Tapi apa sebenarnya "jahat" itu?

Dalam filsafat Stoik, kejahatan bukan semata tindakan brutal, tapi ketidaksesuaian dengan logos, hukum rasional alam semesta. Orang jahat, menurut Seneca, adalah mereka yang tahu benar, tapi sengaja memilih yang salah karena untung pribadi.

Dalam Islam, kejahatan disebut zulm—meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, menyakiti makhluk tanpa hak, melanggar batas yang ditetapkan Allah.

Kejahatan bisa berbentuk ucapan, sikap, bahkan “energi” yang menguras jiwamu diam-diam. Jadi, yuk kita bedah 5 tandanya—berdasarkan filsafat dan kasus nyata yang pernah terjadi.


1. Mereka Menormalisasi Ketidakadilan

“Kejahatan terbesar adalah ketika orang-orang baik diam.” – Marcus Aurelius

Orang jahat biasanya tidak akan langsung membentak atau memukul. Tapi mereka memutarbalikkan realitas, membuat ketidakadilan tampak “wajar”.
Kamu dicurangi? Mereka bilang kamu terlalu sensitif.
Kamu dimanipulasi? Mereka bilang itu cuma “cara berkomunikasi”.


Psikolog sosial Philip Zimbardo, dalam bukunya The Lucifer Effect (2007), menunjukkan bagaimana sistem yang permisif membuat kejahatan jadi kelihatan “lumrah”—seperti yang terjadi dalam eksperimen penjara Stanford.

 Dalam Islam, QS Al-Baqarah:11 menyindir:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan!”

 

2. Mereka Menggunakan Topeng Kebaikan untuk Mendominasi

Jahat tidak selalu berarti galak. Kadang justru datang dalam bentuk perhatian palsu, kebaikan yang beracun.

Stoik Epictetus berkata:

“Jangan tertipu oleh kata-kata manis. Lihatlah bagaimana seseorang bertindak di saat mereka tidak mendapatkan keuntungan.”

Kasus Munafik Relasi dalam psikologi modern—seseorang memberi bantuan atau kasih sayang tapi diam-diam mengontrol dan mengikat orang lain secara emosional (lihat: konsep emotional hostage oleh Dr. Harriet Lerner).

Dalam Islam, ini disebut sebagai riya’, yaitu berbuat baik untuk citra, bukan untuk Allah. Orang seperti ini bisa menebar kebaikan ke publik sambil menyayat orang di balik layar.


3. Mereka Mengadu Domba untuk Kekuasaan

Salah satu ciri kejahatan yang paling merusak adalah memecah orang agar mereka bisa mengatur dari balik layar. Dalam filsafat Stoik, ini disebut sebagai ketidakbijaksanaan yang egois—menggunakan konflik untuk menaikkan ego sendiri.

Banyak kasus perundungan dalam organisasi pendidikan dan kerja, yang dimulai dari satu orang membisikkan narasi miring, lalu menikmati kekacauan yang terjadi. Psikolog organisasi Dr. Robert Sutton menyebut tipe ini sebagai “The Certified Asshole”—pembuat drama profesional.

Dalam Islam, QS Al-Hujurat:12 sudah mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka dan ghibah, karena itulah celah utama setan menyalakan fitnah.

yâ ayyuhalladzîna âmanujtanibû katsîram minadh-dhanni inna ba‘dladh-dhanni itsmuw wa lâ tajassasû wa lâ yaghtab ba‘dlukum ba‘dlâ, a yuḫibbu aḫadukum ay ya'kula laḫma akhîhi maitan fa karihtumûh, wattaqullâh, innallâha tawwâbur raḫîm.Artinya:Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.




4. Mereka Menyembunyikan Diri di Balik "Tujuan Mulia"

“Jika kamu ingin melihat wajah asli seseorang, lihat bagaimana ia memperlakukan orang yang tidak bisa memberi apa pun padanya.” – Seneca

Orang jahat sering menyembunyikan niat mereka di balik embel-embel perjuangan: demi agama, demi cinta, demi keluarga. Tapi dalam tindakan nyata, mereka menindas, menyakiti, dan merendahkan.


Dalam studi Gaslighting oleh Dr. Robin Stern (Yale), banyak pelaku kekerasan psikologis menggunakan narasi “Aku melakukan ini untuk kebaikanmu”—padahal tujuannya adalah mengikis identitas dan harga diri korban.

Dalam Islam, QS Al-Baqarah:204-205 menggambarkan orang yang lisannya manis, tapi tindakannya merusak:



5. Mereka Mengambil Tanpa Memberi, dan Menguras Tanpa Peduli

Orang jahat tidak peduli keseimbangan. Dalam hubungan apa pun—kerja, cinta, pertemanan—mereka akan menguras waktumu, energimu, dan akal sehatmu, lalu pergi ketika kamu hancur.

Stoik menyebut orang ini sebagai "musuh rasionalitas", karena mereka hidup hanya demi pleasure, tanpa akuntabilitas. Islam menyebut mereka sebagai orang zalim yang melampaui batas dan tidak bersyukur.

Fenomena Narcissistic Abuse yang dilaporkan oleh Psychology Today menyatakan bahwa banyak korban butuh bertahun-tahun untuk sadar, karena pelaku membuat mereka merasa “berhutang” padahal selama ini cuma jadi sumber eksploitasi.


Tidak Semua Orang yang Kamu Suka Itu Baik

Kita diajarkan untuk berbaik sangka, benar. Tapi kita juga diperintahkan untuk tidak bodoh dalam berinteraksi.

“Allah tidak menyukai kezaliman. Dan Allah menyuruh untuk berlaku adil dan memberi kepada kerabat.” (QS An-Nahl: 90)

“Tugas kita bukan menilai niat orang, tapi mengenali perilaku mereka dengan jernih.” – Marcus Aurelius

Bila kamu sedang berurusan dengan seseorang dan muncul tanda-tanda ini: manipulatif, penuh drama, membuatmu meragukan dirimu sendiri, dan enggan bertanggung jawab—janganlah ragu  untuk berjarak.

Jarak bukan kebencian. Jarak adalah pertahanan batin. Dan mencintai dirimu bukan egois—itu fardu.




Ditulis di sela laporan hak cipta dan memblokir orang yang bilang “aku sayang kamu” tapi ngebajak karyamu juga.



Rin Muna
Penulis yang mulai belajar bahwa cinta tidak pernah membuatmu kehilangan dirimu sendiri.


Sumber Referensi:

  • Seneca, Letters from a Stoic

  • Philip Zimbardo, The Lucifer Effect (2007)

  • Robin Stern, The Gaslight Effect (2007)

  • Dr. Harriet Lerner, The Dance of Anger (1985)

  • Tafsir Ibn Katsir: QS Al-Hujurat, QS Al-Baqarah

  • Psychology Today – articles on emotional abuse and narcissistic behavior

  • 5 Tanda Kamu Sedang Berurusan dengan Orang Jahat | Filsafat Stoikisme

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas