Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Tuesday, March 12, 2019

Cerpen | Menanti Hadirmu

StockSnap

Tiba-tiba saja aku merasa hari ini waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Ada hal yang ingin aku lewatkan dengan cepat. Aku ingin hari ini cepat berakhir, supaya aku bisa lihat hari esokku seperti apa. Masih sama kah dengan hari ini?

Waktu terasa berjalan lambat, mungkin karena aku sedang menunggu sesuatu. Bukan sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Aku sedang menunggu seseorang hadir dalam hari-hariku. Orang yang pernah istimewa mengisi hari-hariku. Katanya, besok dia akan tiba di Bandara. Aku sudah tidak sabar menunggu esok akan datang. Dan karena rasa tidak sabarku lah yang membuat waktu seolah-olah berjalan lambat. Bahkan aku memaki jarum jam yang tak segera beranjak dari tempatnya.

"Lun, kamu nunggu siapa?" Mama membuyarkan lamunanku saat aku melamun di antara bingkai jendela rumahku.
"Nunggu Ariel, Ma."
"Dia mau datang?"
Aku menganggukkan kepala.
"Hari ini?"
Aku menggeleng.
"Terus kapan?"
"Besok."
"Oh. Kalau begitu, bantu Mama bikin kue, yuk!" ajak Mama.
Aku membalikkan tubuhku dan melihat Mama tersenyum ke arahku. Ia tak bergerak sedikit pun sampai aku benar-benar melangkahkan kakiku ke arahnya.

Mama senang sekali membuat kue. Hampir setiap hari ia membuat kue untuk adik-adikku. Terlebih lagi dia tahu kalau Ariel akan datang setelah 5 tahun ia menetap di Birmingham untuk melanjutkan studinya.
Kali ini aku lebih bersemangat membantu Mama membuat kue. Setidaknya, ada yang aku suguhkan ketika Ariel berkunjung ke rumah.
"Kamu tidak jemput dia di Bandara?" tanya Mama.
Aku menggelengkan kepala. "Sudah ada keluarganya yang menjemput."
Mama mengangguk-anggukkan kepala dan kami melanjutkan membuat kue kering hingga matang.

***

Keesokan harinya ...
Aku masih duduk di teras rumah sambil memandangi rintik hujan yang menghiasi pagi. Tanganku tak henti memutar-mutar ponsel. Duduk, berdiri, duduk, berdiri, mondar-mandir, duduk lagi. Aku bingung harus berbuat apa. Harusnya Ariel sudah datang ke rumah jam segini. Tapi, ponselnya belum juga bisa dihubungi.

Satu jam
Dua jam
Tiga jam

Aku masih mondar-mandir penuh kecemasan. Saat matahari mulai tenggelam, kecemasanku semakin tinggi. Membuat pikiranku semakin tak karuan. Harusnya Ariel sudah bisa menghubungiku. Kalau sesuai jadwal, pesawat yang ditumpangi Ariel sudah sampai pagi tadi. Tapi sampai sore hari, Ariel tak juga bisa dihubungi.

Perasaanku semakin kacau. Aku takut terjadi apa-apa dengan Ariel. Secepatnya aku berlari dan menyalakan televisi. Siapa tahu ada berita tentang ...??? Ah! Tidak seharusnya aku berpikir seperti ini. Rasa takut itu belum hilang. Kejadian sepuluh tahun silam yang merenggut nyawa pacarku, terus terbayang di pelupuk mata. Bagaimana kalau yang terjadi pada Azka juga terjadi pada Ariel?

Aku terus menggigiti jariku, tubuhku terasa mengigil tiba-tiba dan aku tidak mampu mengendalikannya.
"Luna ...!" Mama tiba-tiba memeluk erat tubuhku agar aku tenang. Ia mematikan televisi dan memapahku masuk ke dalam kamar. 
Aku berbaring di atas kasur, memandang wajah Mama yang terlihat cemas.
"Kamu nggak papa?" Mama mengusap anak rambutku perlahan.
Aku mengangguk perlahan. Aku memang belum benar-benar sembuh. Setiap kali melihat televisi, bayangan luka masa lalu itu kembali hadir dan membuatku tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Terkadang aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan.
"Ariel nggak datang, Ma."
"Mungkin dia masih sibuk dengan keluarganya. Besok kita ke rumahnya ya!" Mama meyakinkanku kali ini agar aku tetap tenang.

Keesokan harinya, Mama mengantarkan aku berkunjung ke rumah Ariel. Namun, tak ada satu orang pun yang bisa kutemui. Bahkan, menurut penuturan tetangga sekitar, rumah keluarga Ariel sudah dijual sejak 1 tahun yang lalu. Sebuah kenyataan yang aku sendiri tidak mengetahuinya. Yang aku tahu, keluarga Ariel adalah pengusaha. Aku memang tidak terlalu dekat dengan keluarganya. Aku hanya sesekali berkunjung jika memang Ariel mengajakku. Selebihnya, aku sama sekali tidak mengunjungi kedua orang tuanya. Bahkan aku tidak pernah menjali silaturahmi via telepon. Aku merasa belum pantas masuk ke keluarga Ariel. Sebab hubungan kami hanya sebatas pacar.

Riel, aku sudah menunggu kamu bertahun-tahun dan kenapa harus berakhir seperti ini?
Riel, aku sudah tidak tahu harus mencarimu ke mana lagi.
Jika memang semuanya ingin kamu akhiri, kenapa tidak bicara baik-baik?


Aku menyandarkan tubuhku di sofa sepulang dari rumah Ariel yang kini kosong. Sama seperti hatiku yang kini juga kosong.
Aku menatap langit-langit sembari berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menghubungi Ariel.
Aku merogoh ponsel yang aku selipkan di tasku. Mengusap setiap aplikasi yang ada di dalamnya. Aku membuka beberapa sosial media yang kemungkinan bisa menyambung komunikasiku dengan Ariel. Namun, tiba-tiba semuanya menghilang. Aku tidak bisa menemukan akun Ariel satu pun.
Aku di blokir tanpa alasan yang aku tidak mengerti.
Seminggu yang lalu, dia masih menelepon dan mengirim chat seperti biasa. Kami bercerita dengan mesra tanpa ada masalah. Kenapa tiba-tiba dia menghilang begitu saja?
Aku menghela napas kembali, mencoba menenangkan hati yang semakin tidak karuan.
Aku belum siap kehilangan lagi. Aku belum siap ... belum siap!

Seminggu berlalu ...
Aku belum juga mendapatkan kabar tentang Ariel. Bahkan sahabat-sahabat terdekatnya juga tidak ada yang bisa memberikan keterangan di mana Ariel berada.

Sebulan berlalu ...
Aku masih juga belum mendapat kabar tentang Ariel.
Aku mulai menyerah. Air mataku tak henti mengalir. Apa aku benar-benar akan kehilangan Ariel?
Seharusnya tidak berakhir seperti ini. Aku tidak ingin hubunganku kembali berakhir seperti hubunganku dengan Azka dahulu. Azka pergi tanpa pesan. Kecelakaan pesawat sepuluh tahun lalu telah merenggut nyawanya. Aku terluka ... sangat terpukul.
Dan kini aku harus menghadapi kenyataan kalau Ariel juga meninggalkan aku tanpa kata-kata. Tanpa aku tahu sebabnya. Dia pergi entah ke mana. Ke tempat yang tidak aku tahu sama sekali.

Aku akan tetap sabar menanti ... sampai kamu datang dan berkata, "Berhentilah menunggu!"


Ditulis oleh Rin Muna
12 Maret 2019

Monday, March 11, 2019

Indonesia Tanpa Pacaran Itu Keren!

Source: Facebook Indonesia Tanpa Pacaran

Hai temen-temen ...!
Selamat malam..!
Semoga hari kalian selalu menyenangkan ya!

Oh ya, hari ini aku dapet tantangan clue dari seorang blogger dan anak muda berbakat yang nggak bisa diragukan lagi deh prestasi dan karya-karyanya. Siapa ya? Hmm.. ini nih dia si Gigip Andreas, salah satu teman penulis yang namanya tersemat di template blog aku. Tema syantik yang ada di blog aku ini adalah buatannya dia. Selain cerdas dan bijak, dia juga baik hati. Buktinya dia bikinin aku template blog yang bagus banget.
Sebenarnya masih pengen dibikinin template buat taman baca aku. Tapi entar dibilang ngelunjak. Hahaha... It's ok. Enough! Lebih dari cukup dan aku berterima kasih banget karena blog aku sudah dibikin cantik kayak begini. Sayang banget kan kalau masih aku anggurin. Jadi, aku harus semangat nulis di blog ini biar si Gigip juga semangat menebar kebaikan ke mana-mana. Hehehe ...

Hari ini aku dapet clue : Indonesia Tanpa Pacaran.

Pas clue ini muncul, entah kenapa aku malah senyum-senyum dan cekikian sendiri. Karena apa? Aku sendiri pun nggak paham. Cuma ngebayangin gimana jadinya remaja-remaja Indonesia hidup tanpa pacaran. Pastinya pada nggak mau. Kalau sampai bisa Indonesia Tanpa Pacaran. Sudah pasti generasi-generasi muda Indonesia adalah generasi yang memiliki kualitas hidup yang tinggi. Secara, pacaran itu salah satu faktor yang bikin nilai ulangan jadi jeblok. Iya nggak sih? Ada yang pernah mengalaminya? Atau sekedar lihat teman-teman yang lagi jatuh cinta dan kadang ngelakuin hal-hal nggak masuk akal demi pacar.

Misalnya gini ... waktu kamu lagi fokus mau belajar Matematika buat ulangan minggu depan. Eh!? Tiba-tiba pacar kamu ngajak kamu jalan-jalan, makan, nonton dan ngabisin waktu buat ngerangkai kata-kata romantis supaya bisa dibilang anak kekinian. Eladalah ... padahal kamu harusnya lagi ngerangkai rumus Matematika buat masa depan kamu 10 tahun ke depan.

Kadang memang sulit dipahami, kenapa jatuh cinta itu kadang bikin kita buta. Kayaknya mata di kepala udah bener-bener pindah ke kaki sampai nggak bisa bedain mana kesenangan sesaat dan mana kesenangan untuk masa depan. Yang lebih parahnya lagi, banyak yang MBA alias Maried Baby Accident di masa-masa yang seharusnya kita lagi produktif-produktifnya berkarya.

Bisa jadi, yang ngasih clue ini juga salah satu tipe anak muda yang nggak demen pacaran. Bisa dilihat kok kalo dia produktif banget berkarya dan semuanya berkualitas. Pasti pikirannya nggak pernah terganggu sama yang namanya pacar atau cinta. Iya, nggak sih, Gip?

Pastinya sangat jauh berbeda dengan anak-anak muda yang udah demen pacaran. Kadang aku juga nggak paham. Ngabisin waktu banyak bahkan ngabisin duit banyak buat traktir si doi atau buat beliin hadiah-hadiah biar si doi makin cinta sama kamu. Tapi, hubungan pacaran itu nggak lama. Malah si doi ujung-ujungnya nikah sama yang lain. Kerasa banget kan kalo kita lagi jagain dan bahagiain jodohnya orang?

Saat anak-anak muda memilih untuk tidak berpacaran, maka ia sudah menjaga banyak hal dalam hidupnya.
Pertama, mereka jauh dari pergaulan bebas karena selalu menjaga dirinya untuk berada di tempat-tempat yang positif.
Kedua, mereka selalu berprestasi di sekolah maupun di masyarakat umum.
Ketiga, mereka selalu produktif berkarya sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.
Keempat, mereka selalu menginspirasi banyak orang untuk sukses di usia muda.
Kelima, mereka menjadi generasi cerdas yang tidak mudah terprovokasi.
Keenam, mereka selalu mencintai dan menghargai apa yang sudah mereka punya [keluarga, sahabat, impian dan dunia sekitarnya]
Ketujuh, kedelapan dan seterusnya silakan ditambahi sendiri. Hehehe...

Yang jelas, Indonesia Tanpa Pacaran akan menciptakan generasi-generasi muda yang berprestasi dan berdaya saing tinggi secara ekonomi mau pun intelektual. Karena, dengan begitu anak-anak generasi muda akan lebih fokus meningkatkan kualitas dirinya untuk bersaing secara nasional mau pun internasional.
Lebih baik meningkatkan kualitas diri terlebih dahulu supaya dikemudian hari juga mendapatkan jodoh yang berkualitas. So, nggak usah bingung, malu atau takut kalau sampai hari ini kamu masih menyandang status sebagai jomlo. Karena dengan jomlo kamu bisa terus berkarya tanpa batas, bisa terus berjalan bebas tanpa ada yang menarik-narik kamu ngajak jalan ke tempat lain yang bukan tujuan utama hidup kamu. Harusnya bangga menjadi seorang jomlo. Jomlo yang selalu produktif dan terus berkarya.

Indonesia Tanpa Pacaran itu keren!
Indonesia bisa lebih kreatif, innovatif, dan produktif dalam berkarya.

Buat yang masih jomlo, nggak usah pusing cuma karena nggak punya teman buat makan bakso di pinggir jalan waktu malam minggu. Kamu punya keluarga yang jelas menyayangimu lebih dari seorang pacar, kamu hanya butuh bersyukur sama apa yang udah kamu punya.

Terima kasih untuk clue yang amazing ini.
Dan aku nggak nyangka kalau clue ini justru keluar dari seorang anak muda berbakat yang seharusnya lagi demen-demennya pacaran. Ini malah pengen Indonesia Tanpa Pacaran.
Semoga saja clue ini bisa menjadi sebuah gerakan besar anak-anak muda Indonesia dalam meraih prestasi dan meningkatkan kualitas intelektualnya juga kualitas ekonominya. Seperti yang sudah dicetuskan oleh La Ode Munafar pada tahun 2015. Semoga seluruh generasi muda di Indonesia tidak lagi merasa hatinya panas hanya karena menyandang status jomlo.

Terima kasih.
Cukup sampai di sini dulu tulisan dari aku.
Minta tolong dikoreksi kalau memang ada yang salah.
Karena ini sudah malam, aku pamit tidur terlebih dahulu.
Aku sudah lumayan mengantuk sejak aku menulis kalimat awal dari tulisan ini. Tapi, aku harus bisa menyelesaikannya supaya aku bisa tetap produktif berkarya walau aku tak lagi muda.



Salam hangat,


Rin Muna
Samboja, 11 Maret 2019, 21:44 WITA

Saturday, March 9, 2019

Cerpen | Pacar Khayalan | DWPF

miladenleschi


Clue tantangan dari Christine Gloriani 09/03/2019 : Pacar Khayalan


Minggu-minggu pertama aku masuk middle school memang mengasyikan. Aku bertemu dengan teman-teman baru yang tidak aku temui di sekolahku sebelumnya. Aku kini beranjak remaja, mulai ada rasa keinginan untuk kongkow bareng teman-teman sebayaku. Semuanya terasa biasa saja. Bahkan aku mulai sibuk dengan tugas-tugas sekolah.
Di ujian semester pertama, aku hampir gila karena nilai Matematika dan Fisikaku yang buruk. Dengan terpaksa aku harus mengikuti ujian ulang ketika anak-anak yang lain sudah terbebas dan asyik nongkrong saat class meeting. Hmm ... sedangkan aku harus menelan pil pahit karena tidak bisa berkumpul bersama mereka. Terlebih aku harus menjalani dua kali ujian ulang mata pelajaran Fisika.
"Aaargh ...!" Aku mengacak rambutku dan menjatuhkan tubuhku di kursi taman. Aku kesal kenapa aku tak sepandai anak-anak lain soal pelajaran Matematika dan Fisika.
Tepat di belakang bangunan laboratorium biologi, ada sebuah lapangan dengan mini stage di salah satu sisinya. Dari tempat aku duduk, aku bisa melihat mini stage yang tidak tertutup bangunan laboratorium. Aku memerhatikan seorang cowok berambut pendek dengan gitar akustik di tangannya.
Hampir semua mata tertuju pada cowok berkulit putih yang sedang duduk di atas mini stage, termasuk aku yang masih punya mata normal. Cowok itu mulai memetik senar gitar satu persatu dan melantunkan sebuah lagu romantis yang tak asing di telingaku.
Aku berjalan mendekat ke tepi lapangan. Sudah ada belasan ... eh!? sepertinya lebih dari belasan cewek yang berdiri di depan stage sambil melambaikan tangan kanannya mengikuti irama gitar yang dimainkan cowok itu.
Aku menyunggingkan senyuman tanpa aku sadari, bahkan mataku tak lepas memandangnya. Terlebih lagi ketika cowok itu melihat ke arahku yang berdiri seorang diri di sudut bangunan laboratorium. Bangunan ini berdiri di atas tanah yang lebih tinggi 2 meter dari lapangan. Hingga aku bisa melihat jelas seisi lapangan dari sini.
"Sam, kamu lagi perhatiin dia ya?" Senggolah di bahu membuyarkan lamunanku.
"Eh!? Enggak. Apaan sih?" cibirku ke arah Fanny.
"Duet sama dia, gih! Suara kamu kan bagus. Kayaknya cocok sama suaranya dia." Fanny tersenyum sembari memainkan kedua alisnya.
Aku mengangkat kedua pundakku. "Nggak kenal."
"Seriusan nggak kenal? Dia kakak kelas yang sering dibicarain anak-anak, Kak Aldhi," ucap Fanny setengah berbisik.
"Seriusan? Ganteng," pujiku.
"Makanya, duet bareng dia. Yuk!" Fanny menarik lenganku.
Aku menggelengkan kepala sembari menahan lenganku agar tak terseret oleh tangan Fanny.
"Samantha ... kamu lagi pusing sama ulangan Fisika yang nggak lulus-lulus itu kan?"
"Nah, itu tau!"
"Iya. Makanya kamu coba nyanyi aja, siapa tahu kamu bisa lebih hepi dan rileks." Fanny menarik lenganku cukup keras hingga aku harus mengikuti langkahnya menuju mini stage yang ada di sisi lapangan tersebut.
Tanpa malu Fanny naik ke atas stage dan berbisik ke arah kak Aldhi. Entah apa yang dibicarakannya, aku hanya bisa memandangnya dari bawah stage, berbaur dengan cewek-cewek lain yang sedang menikmati penampilan kak Aldhi.
Huft, mereka beruntung sekali karena tidak harus mengikuti ujian ulang. Setiap hari bisa melihat kak Aldhi tampil menghibur jam kosong usai ulangan semester.
"Oke, kali ini ada sebuah lagu spesial yang akan saya bawakan. Karena ... kali ini saya akan berduet dengan seseorang yang memiliki suara istimewa. Namanya Samantha ... silakan naik ke atas panggung!" Suara Kak Aldhi terdengar jelas di depan microfon yang ia gunakan.
Aku bergeming. Dari mana dia tahu suaraku istimewa? Dengar aku nyanyi pun belum pernah. Gimana kalau ternyata suaraku fals banget? Ini pasti kerjaan Fanny yang suka melebih-lebihkan sesuatu.
Perlahan-lahan aku melangkahkan kaki naik ke atas panggung. Kak Aldhi menyambutku dengan senyuman yang manis banget. Dan aku dibuat nervous nggak karuan karena dia mengulurkan tangannya bak pangeran yang sedang mengajak seorang putri untuk berdansa bersamanya.
Pipiku menghangat dan aku tahu pasti pipiku merona merah karena tersipu malu dengan perlakuan Kak Aldhi yang begitu istimewa, membuat para cewek berteriak karena iri. Kak Aldhi bukan cuma ganteng, tapi juga romantis dan jago main musik, suaranya juga bagus. Sepertinya semua tentang dia selalu indah, it's perfect boy!

"Sam!" Panggilan itu menyadarkan lamunanku.
"Ngelamun?" Tiba-tiba saja Fanny sudah duduk di sampingku.
"Eh ... oh ...." Aku gelagapan karena tertangkap basah sedang melamun. Oh tidak! Lebih tepatnya aku sedang menghayal kalau aku sedang berduet dengan Kak Aldhi. Kakak kelas ganteng favoriteku.
"Masih remedial Fisika?" Fanny melirik buku Fisika yang sedang aku pegang.
Aku mengangguk.
"Kamu ngelamunin apa tadi? Sampai aku panggil berkali-kali nggak dengar."
"Remedial Fisika." Aku berbohong agar tidak membuat Fanny terus bertanya. Dia pasti akan menertawakanku kalau tahu aku sedang menghayal tentang Kak Aldhi. Aku sadar kalau aku sama sekali tidak serasi dengan Kak Aldhi. Dia juga sudah punya pacar. Kak Mella, cewek paling cantik di sekolah yang juga sekelas dengan Kak Aldhi. Hmm ... mereka terlihat sempurna. Aku tidak mungkin bisa menjadi pacar Kak Aldhi. Dia hanya bisa jadi pacar khayalanku saja. Sampai kapan pun, dia akan jadi khayalan terindah dalam hidupku.



Ditulis oleh Rin Muna untuk PenA Friends
Samboja, 9 Maret 2019




Cerita Dibalik Karantina Duta Baca Kaltim 2018 [Bersama Junius Andria]


Kamis, 23 Agustus 2018 menjadi awal pertama aku bertemu dan berkenalan dengan Junius Andrianus. Awalnya, aku pikir dia seorang laki-laki ketika melihat namanya sudah ada di atas meja peserta sementara orangnya belum datang.
Kedatangannya membuat aku terkesima dengan senyumannya yang manis dan juga sapaan ramahnya. Tak perlu waktu lama untuk bisa akrab dengannya. Hanya perlu waktu beberapa jam saja. Dia adalah seorang pustawakan di sebuah sekolah di Sangatta. Dia juga merupakan alumni Universitas Mulawarman.
Mbak Juni, kami memanggilnya begitu. Usianya terpaut 5 bulan lebih tua dariku, tapi dia belum menikah sementara aku sudah punya seorang putri berusia 3 tahun. Kami selalu mendengarkan cerita-ceritanya dalam berdiskusi. Aku suka saat dia bercerita. Wawasannya sangat luas. Dia juga sudah menerbitkan beberapa novel. Aku penasaran dengan novelnya yang berjudul “REPLAY” ketika dia menunjukkan Drama Theater yang diangkat dari novel karyanya. Oh My God...! Andai Sangatta itu dekat, aku pasti sudah ke sana cuma untuk baca novelnya. Sayang banget dia nggak bawa novel itu saat karantina.
“Eh, kamu sudah menikah ya?” tanya Juni tiba-tiba.
“Iya, udah punya anak aku,” jawabku sambil tertawa kecil. “Kenapa?”
“Ih, hebat loh. Sudah menikah tapi masih bisa ikut ajang seperti ini. Nggak banyak loh perempuan yang sudah menikah bisa seperti kamu,” tuturnya.
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Di mana sih dapetinnya?” tanya Mbak Juni menggoda.
“Dapetin apa?” tanyaku.
“Ya... suami yang seperti itu. Pasti laki-laki yang hebat. Bisa bikin kamu sampai sini, bisa support kamu punya Taman Baca juga...” cerocosnya di hadapan finalis yang lain saat kami sedang istirahat.
Aku hanya tersenyum. Tak ingin banyak berbicara tentang kehidupan pribadiku.
“Gimana dulu ceritanya bisa kenal?”
“Hmm...,”Aku memutar bola mata, tak ingin menceritakan apapun, sebab tak ada kisah menarik yang harus diceritakan. Lebih baik mendengarkan cerita-cerita dari Mbak Juni saja. Itu lebih menarik bagiku.
“Mbak Juni juga lebih hebat dari aku kok,” celetukku kemudian. Aku malah mengagumi dia terus menerus setiap kali mendengar dia bercerita.
Sedikit nyambung pembicaraan dengannya soal dunia literasi. Sebab dia seorang pustakawan dan aku memang harus banyak belajar dari dia supaya aku bisa membuat Taman Bacaku lebih terorganisir dengan baik.
Di hari kedua karantina, aku dan dia semakin akrab.
“Hei,,, kamu jadi nginap di mana nanti?” tanya Juni, dia tahu kalau jatah penginapanku sudah habis.
“Tadi Cindy nawarin, Anisa juga nawarin. Lihat aja nanti deh.”
“Kalau kamu tempat Nisa, besok berangkat ke Plaza Mulia bisa barengan. Soalnya kita searah.” Mbak Juni menatapku.
“Oh ya? Ya udah deh nanti aku bilang sama Anisa.”
“Anisa juga minta make up bareng. Soalnya dia nggak bisa make up katanya,” tutur Mbak Juni kemudian.
“Oke deh.”
Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di kosan Anisa. Gadis cantik dan baik hati yang juga asyik banget. Sama banget denganku yang suka membiarkan kamar berantakan. Artinya, aku nggak perlu sungkan untuk meletakkan barangku di mana saja yang aku mau. Hahaha...
Sebelum malam Grand Final, kami sudah sibuk menyiapkan segalanya. Anisa yang lupa belum menyertika Jasnya dan tiba-tiba listrik padam. Bikin panik nggak karuan. Berkali-kali mencoba memanaskan air dan menggosok jasnya dengan panci tapi tidak berhasil. Masih tetap kusut. Sementara  waktu terus berjalan.
“Udah, kita ke tempat Mbak Juni aja. Siapa tau sampe di sana listriknya udah nyala.” Aku memberikan saran mengingat kita harus datang tepat waktu.
Anisa langsung mengiyakan, tanpa pikir panjang kami bergegas menuju kosan Mbak Juni.
“Temannya Jo kah?” tanya Ibu Kos ketika kami sampai. Aku dan Anisa saling pandang. Tidak tahu siapa yang dimaksud dengan Jo.
Tiba-tiba adik Mbak Juni, kepalanya nongol dari balik pintu kamar kosan dan memanggil kami. Ternyata, Mbak Juni memang biasa dipanggil Jo.
Oke, akhirnya Kami make up di ruang tengah kosan Mbak Juni, karena mati listrik dan kamar gelap. Jadi, kami memilih untuk make up di luar saja. Anisa dimake-up oleh salah satu temannya, begitu juga Mbak Juni yang dapet jasa make up gratis dari salah satu kawannya. Aku? Aku make up sendiri saja seadanya, hiks... Tapi, aku dibantu pasang bulu mata sama teman Mbak Juni. Terima kasih untuk Mas RangerHijau sudah membantu kami tanpa pamrih.
Dari 24 Finalis, Mbak Juni berhasil masuk ke dalam 15 besar. Namun, nasibnya sama sepertiku, tidak lolos di 15 besar. Tak apa, kami akan tetap berjuang demi literasi. Toh, selama ini aku pun berjuang meningkatkan minat baca secara mandiri. Tidak ada bantuan dari pemerintah atau instansi manapun. Tetap berjalan hingga hari ini. Perjuangan sesungguhnya adalah setelah kompetisi. Seberapa besar kontribusi yang bisa kita berikan untuk meningkatkan minat baca di daerah Kalimantan Timur.

Terima kasih Mbak Juni, untuk cerita-ceritanya, diskusinya dan semuanya deh. Asyik bisa kenal wanita yang cantik, ceria dan humble banget. Mungkin benar kata Mbak Juni, “Buku membuat Si Tua awet muda, Si Muda berwibawa.” Soalnya sering baca buku yang bikin ngakak Mbak, biar awet muda ya?
Aku juga suka bikin tulisan lucu kalo lagi suntuk. Walau kadang garing. :D
Aku selalu spechless setiap kali berhadapan dengan gadis cantik dan cerdas ini. Bawaannya udah terpesona aja. Ah... dia memang paling seksi dengan kecerdasan dan wawasannya yang luas. Aku mah belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan wawasan dan karya-karya dia. Perlu banyak berguru dengannya terutama soal kepustakaan.

Next time, semoga kita ketemu lagi ya...!

Salam untuk kawan-kawan literasi di Sangatta...!

Thursday, March 7, 2019

Jin, Kita Hidup Berdampingan

Source : pixabay.com

Hampir setiap hari aku dibuat uring-uringan. Entah apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa ada hal aneh, tidak seperti biasanya.
Usai menjalankan sholat, punggungku selalu menghangat. Bukan hanya itu, kepalaku juga seringkali sakit. Apa aku terlalu banyak memikirkan hal-hal berat dalam hidupku? Beberapa kali aku mencoba bertemu dengan dokter. Kata dokter, tensiku rendah. Jadi, dia hanya memberiku obat penambah darah. Namun, sakit di kepalaku tak kunjung reda. Setiap obat habis, aku selalu kembali menemui dokter. Dia hanya memberiku antibiotik dan obat pereda nyeri saat tensiku normal.
Lama-kelamaan aku mulai malas berobat ke dokter, puskesmas atau rumah sakit. Obat-obatan yang aku konsumsi tidak membuat kondisi kesehatanku membaik. Aku rasa, tubuhku akan semakin rusak jika aku terlalu banyak mengonsumsi obat. Terlebih rasa sakitnya masih bisa aku tahan karena hanya sesekali terasa sakit yang tidak bisa aku tahan.
Kalau sudah kumat, rasanya aku ingin memecahkan kepalaku saja. Ini sudah aku alami sejak 12 tahun yang lalu. Hanya saja, dulu sakitnya tidak sesering sekarang.
Dua tahun belakangan ini Punggungku juga sering sakit, sakitnya terasa sampai ke ulu hati. Setiap kali periksa ke dokter, selalu dibilang aku kurang olahraga. Padahal, aku termasuk orang yang tidak bisa diam dan banyak kegiatan yang aku lakukan. Apakah aktivitasku yang padat masih butuh olahraga? Aku juga sering melakukan kegiatan mengepel lantai, nguras bak mandi atau apa saja yang bisa membuat aktivitasku mengeluarkan keringat. Masih saja dibilang kurang olahraga sama dokter. Aku coba mengikuti senam, tapi tetap saja rasa sakitku tak hilang juga.
Tak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain pasrah. Selama rasa sakitnya bisa ditahan, aku tidak akan mengeluhkan rasa sakitku pada keluarga atau pun teman dekatku.
Sabtu sore aku mengunjungi orang tua suamiku seperti biasa. Tidak ada hal yang aneh. Aku sudah menganggap mertuaku seperti orang tuaku sendiri. Dia juga menyayangiku seperti anaknya sendiri. Kebetulan, mertuaku memang memiliki usaha warung kelontong.
Ibu seringkali bercerita soal warungnya yang sering sepi akhir-akhir ini. Beberapa orang yang memiliki kelebihan penglihatan, bilang kalau ada yang tidak beres dengan warung ibu mertuaku. Beberapa kali beliau memang bercerita dan aku juga tidak mengerti harus berbuat apa. Hanya bisa memberi saran untuk berprasangka baik pada tetangga yang juga baru membuka usaha yang sama.
Ternyata, keluhan ibu mertuaku sampai juga ke telinga suamiku. Hari berikutnya aku diajak suamiku pergi bersilaturahmi ke rumah salah satu ustadz yang bisa melakukan ruqyah untuk membantu usaha ibu mertuaku.
Aku dibuat terkejut karena tujuan awalku ingin membersihkan rumah mertuaku yang dibilang orang diberi sihir atau guna-guna oleh orang lain, namun ustadz tersebut justru menganalisa penyakit yang ada di dalam tubuhku. Beliau bilang, sakit yang aku alami adalah penyakit non medis. Jika penyakit medis, tentunya beliau akan menyarankan aku mengunjungi dokter medis, bukan dokter non medis.
Selama beberapa jam kami banyak bercerita.
Aku memang sudah mengetahui beberapa hal sebelum bertemu dengan ustadz tersebut, hanya saja aku tidak ingin berprasangka buruk pada orang lain. Beliau bilang aku termasuk kuat karena bisa melawan rasa sakit itu selama ini.
Ada beberapa hal yang membuatku terkejut. Yang pertama, ada orang yang menyukaiku sejak aku masih remaja dan dia mengirim jin untuk memikatku. Yang kedua, ada rekan kerja yang juga mengirimkan jin untuk menyakitiku. Aku tidak heran karena bisa dibilang posisiku di kantor memang lumayan bagus dan sering kali cekcok dengan rekan kerja. Tapi, aku tidak mau suudzon pada siapa pun. Bagiku, mereka semua baik dan memberikan pengalaman kerja yang baik. Semua masalah yang terjadi mengajarkan aku untuk bijak dan dewasa dalam bersikap. Kalau mereka terlanjur benci denganku, bagiku tak masalah. Asal hatiku tidak pernah benar-benar membenci orang lain.

Yang ketiga, ada seseorang yang ingin memisahkan rumah tanggaku dengan bantuan jin. Aku tidak tahu siapa pelakunya dan aku tidak terlalu peduli. Yang keempat, ada seseorang yang sengaja menanamkan tanah kuburan dan tali pocong di rumahku agar usahaku sepi (sama persis seperti rumah mertuaku). Aku tahu siapa pelakunya, tapi aku sama sekali tidak punya keinginan untuk membalas. Aku justru ingin sekali bisa bersedekah dan membantu dia. Yang jelas, orang yang mengirimkan ilmu sihir ke rumahku dan ke rumah mertuaku adalah dua orang yang berbeda.
Aku percaya tidak percaya ini bisa terjadi. Tapi, aku harus percaya dan yakin kalau jin itu memang ada. Jin diciptakan untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Sehingga banyak pula jin yang bisa diajak bekerjasama untuk menyakiti orang lain. Padahal, jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Az-Zariyat ayat 56:
"Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku."
Kita tidak bisa memungkiri kalau kita juga hidup berdampingan bersama para jin. Kalau aku tidak percaya adanya jin dan alam ghaib, itu artinya aku tidak mempercayai adanya Allah SWT.
Karena aku termasuk orang yang tidak bisa melihat makhluk ghaib, hatiku masih saja sering tidak yakin ada makhluk ghaib di sekitarku. Atau bisa dibilang aku justru takut dengan mereka jika mereka menampakkan diri.
Haduh ... kalau mau bahas soal alam ghaib dan kehidupan jin, sepertinya aku tidak akan sanggup. Karena ilmu pengetahuanku soal agama pun tidak begitu baik. Aku tidak pernah punya keberanian membahas apa pun soal agama, apalagi jika pertanyaan atau pernyataanku justru menimbulkan perdebatan. Lebih baik aku berdiam diri saja, takut terpancing emosi, nanti dajjal akan mudah masuk ke dalam tubuhku.
Bagaimana tidak? Saat ini jin-jin itu sudah masuk ke dalam tubuhku dan menguasai pikiranku.
Sayangnya, ustadz tersebut hanya bisa mengobati sakit di kepala dan ulu hatiku terlebih dahulu. Beliau bilang, aku harus datang lagi secara bertahap agar dia bisa mengeluarkan seluruh jin dan sihir yang ada di dalam tubuhku.
Sampai hari ini, suamiku belum juga mengajak untuk kembali bersilaturahmi ke rumah ustadz tersebut. Aku hanya mencoba menjaga sholat dan dzikirku agar tidak terus menerus diganggu oleh jin yang dikirim seseorang ke rumahku.
Namun, aku bukanlah muslim yang taat. Semakin aku ingin sholat, semakin kuat pula aku menolak keinginan tersebut. Walau tiap malam aku selalu membaca surah Yaasiin, namun tidak membuat keadaanku menjadi lebih baik. Memang benar, sakit di kepala dan ulu hatiku tidak pernah kumat lagi. Hanya saja, kini punggungku selalu terasa panas. Rasanya seperti di panggang di depan tungku api. Atau lebih tepatnya seperti panasnya diolesi cabai. Rasanya pedas, panas dan ... tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.
Terlebih ketika aku sedang sholat. Aku merasa tidak nyaman dan tidak khusyuk menjalankannya. Karena pungggungku terasa sangat panas, tubuhku terus berkeringat, di dalam perutku seperti ada benda yang bergerak, jemari kaki dan tanganku keram. Sehingga sholatku seringkali tidak khusyuk.
Ya Allah ... sepertinya aku tidak mampu melawan jin yang ada di dalam tubuhku seorang diri. Aku memang membutuhkan orang lain sebagai perantara untuk bisa menyembuhkanku dari sakit yang aneh ini. Hanya Allah yang bisa menolongku, hanya Allah. Kalau ada ustadz, dialah orang istimewa yang menjadi perantaranya.
Ingin sekali aku bercerita pada teman atau keluarga tentang penyakit aneh yang aku alami. Tapi ... rasanya di zaman sekarang ini, terlalu aneh jika bercerita tentang hal ghaib atau sesuatu yang tak kasat mata. Aku pasti ditertawakan habis-habisan. Hari gini masih percaya sama dukun? Eits, wait! Yang percaya sama dukun itu bukan aku. Tapi orang lain yang berniat jahat sama aku. Karena tidak mampu bersaing secara sehat, dia pakai dukun yang bekerjasama dengan jin.
Kamu nggak akan pernah tahu rasanya saat kamu tidak mengalaminya sendiri. Sampai hari ini aku masih berharap ditemukan dengan orang yang bisa membantuku sembuh karena Allah. Jika Allah mengizinkan, aku ingin jin-jin jahat kiriman orang lain itu bisa pergi meninggalkanku. Atau, jika mereka memang tidak ingin pergi, jangan menyakitiku dan jangan tunduk pada perintah manusia, tunduklah pada perintah Allah SWT. Kita bisa hidup berdampingan tanpa harus menyakiti, sama-sama beribadah kepada Allah.
Semoga ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu berbuat kebaikan dan taat beribadah karena Allah, bukan karena hal duniawi semata.


Ditulis oleh Rin Muna untuk Penakata
East Borneo, 05 Maret 2019



Tuesday, March 5, 2019

AKU SENIOR (Senang Istri Orang)

Kimpton_House

Lagi-lagi aku ada di salah satu rumah temanku cuma untuk ngumpul bareng. Sebenarnya, ini rumah temannya temanku. Awalnya aku tidak mengenal si pemilik rumah. Namun, karena temanku sering mengajak aku ke kedainya. Akhirnya aku bisa mengenal dan akrab dengan si pemilik rumah.

Mas Andri, si pemilik kedai tempat kami ngumpul sebenarnya masih sebaya denganku. Hmm ... walau ku akui usiaku 2 tahun lebih muda darinya. Hampir setiap malam aku dan teman-temanku berkumpul di kedai Mas Andri. Kedainya berada tepat di sebelah rumahnya.

Awalnya ... semua terasa biasa saja. Kami ngumpul dan bermain game online secara bersama-sama. Kebetulan di kedai Mas Andri ada fasilitas wifi gratis. Jadi, kami bisa numpang bermain bersama sambil ngopi. Tak ada hal yang aneh ketika kami berkumpul bermain Mobile Legend atau PUBG.

Sesekali kami bermain gitar sambil bermain bersama. Untuk melepas penat sejenak di sela-sela bermain game. Aku sama saja seperti yang lain, menikmati sebuah kebersamaan dalam sebuah ikatan pertemanan. Tidak ada yang berbeda, hanya saja tiba-tiba hatiku berubah.

Hari itu, tiba-tiba aku merasakan hal yang berbeda ketika melihat Starla, istri dari Mas Andri. Aku merasa aku sudah gila. Aku mulai menyukai sosok wanita yang awalnya terlihat biasa saja. Bagaimana bisa perasaanku menjadi berbeda. Apa iya aku menyukai seorang wanita yang sudah bersuami dan punya anak? Sementara aku sendiri belum pernah menikah.

Starla adalah wanita yang istimewa di mataku. Tidak, tidak hanya di mataku, tapi juga di mata masyarakat sekitar. Dia wanita yang humble, ramah, baik dan menginspirasi. Bagaimana tidak? Hampir semua yang dilakukan Starla selalu menjadi pusat perhatian warga sekitar. Misalnya ... ketika ia membawa nama baik Kelurahan tempat tinggalku. Tidak hanya sekali, tapi sudah berkali-kali. Ada banyak piala dan penghargaan yang berjejar rapi di ruang tamunya. Aku rasa hampir semua orang mengetahuinya. Dia wanita yang inspiratif, cerdas, dengan penampilan apa adanya. Tidak pernah menunjukkan kehebatannya di depan orang lain. Bahkan ia selalu bisa menghibur dengan celoteh-celotehan lucunya. Bagiku dia sosok wanita yang sempurna. Betapa beruntungnya Mas Andri bisa mendapatkan Starla.  Wanita impian hampir semua pria. Wait! Tidak hanya itu, dia juga termasuk wanita yang selalu menjaga auratnya.

Aku sudah mengenal banyak wanita. Namun, tidak ada wanita yang seperti Starla. Entah kenapa Tuhan menciptakan stock wanita seperti Starla itu sangat langka. Apa karena aku bukan laki-laki yang baik, hingga aku belum juga dipertemukan oleh wanita yang baik di usiaku yang menginjak 27 tahun.

Aku pernah pacaran dengan Selvi, anak Pak Lurah yang terkenal cantik dan keren. Tapi ... bagiku dia terlalu manja. Aku paling tidak suka dengan sifatnya yang suka merengek. Aku putuskan untuk meninggalkannya. Jelas aku ingin wanita mandiri seperti Starla. Dia wanita yang jarang mengeluh. Bahkan aku menyaksikan sendiri dia dengan senang hati dan bahagia ketika harus berpanas-panasan mengangkut batu bata. Duh, andai aku jadi Mas Andri, tidak akan aku biarkan perempuanku bekerja sekeras itu walau untuk membangun rumah sendiri.

Hmm ... lagi-lagi pikiranku tertuju pada Starla tiap kali ingin menceritakan wanita lain. Ada apa sebenarnya dengan perasaanku, ini sangat aneh!

Aku pernah pacaran dengan Nayla, anak Pak Haji di kampungku. Dia baik, agama baik dan agamis. Harusnya aku senang memiliki wanita seperti itu. Tapi ... aku kurang nyaman dengan wanita yang agamanya lebih baik dariku. Telingaku rasanya panas setiap kali mendengar ceramah-ceramahnya. Ini tidak boleh, itu tidak boleh. Akhirnya aku memilih pergi meninggalkannya.

Elsa juga salah satu wanita yang pernah jadi pacarku. Anaknya baik, ceria dan mandiri. Hanya saja, dia punya sisi negatif yang bisa dibilang membuatku senang dan juga tidak. Senangnya, dia wanita yang mudah diajak tidur bareng. Karena sebelum menjadi pacarku, dia juga sudah pernah tidur dengan beberapa temanku. Wanita seperti dia hanya cocok dijadikan teman tidur, bukan untuk menjadi seorang istri.

Maria adalah wanita yang juga pernah menjadi pacarku. Anaknya jelas cantik, supel tapi materialistis. Hmm ... wanita matre memang wajar. Tapi kalau sampai menguras dompet, sepertinya aku harus berpikir dua kali menjadikannya pasangan hidup. Bisa-bisa aku bangkrut dalam sekejap.

Entah berapa wanita yang sudah dekat denganku. Tapi tak satu pun yang bisa menarik hatiku untuk menjalin hubungan lebih serius dengan ikatan pernikahan.

Berbeda ketika aku melihat Starla. Ada rasa ingin membangun sebuah keluarga kecil yang bahagia setiap kali sosoknya ada di depanku. Aku selalu berusaha mengalihkan pandangan dan perhatianku pada ponsel pintar yang aku genggam. Namun, hatiku tetap saja tidak bisa berkata bohong. Dia terlalu mengagumkan untuk aku lewatkan.

Setiap kali aku mencoba mencari sisi jelek dari Starla, saat itu juga aku justru semakin kagum dengan wanita yang satu ini. Aku ingin mencari sisi jelek dari tubuhnya agar bisa kubenci, namun aku gagal. Aku cari sifat jelek yang ada dalam dirinya, dan aku juga gagal. Dia wanita yang baik, teman yang baik, sahabat yang baik, istri yang baik, ibu yang baik, tetangga yang baik dan warga yang baik. Setidaknya itulah yang aku temukan dalam pencarianku mencari keburukan Starla.

Aku sendiri tidak paham kenapa hatiku harus terpincut pada Starla. Aku benar-benar seorang Senior alias Senang Istri Orang. Starla jelas sah sebagai istri dari Mas Andri. Mereka keluarga yang terlihat harmonis dan bahagia. Ah, haruskah aku hadir untuk menghancurkan kebahagiaan seindah itu?

Semakin aku tepis rasa suka itu, justru semakin kuat bersarang di hatiku. Aku hampir tersiksa karena ini. Bagaimana kalau teman sepermainan mengetahui perasaanku kali ini? Haruskah aku menjadi bahan tertawaan? Jelas mereka akan bilang kalau aku ini gila!

"Riz, kok ngelamun? Entar kesambet loh." Aku gelagapan ketika wanita itu menyapaku sembari menyuguhkan secangkir kopi yang aku pesan.
"Eh ... oh ... eh ... Starla. Mas Andry mana?" tanyaku mengalihkan perhatian.
"Lagi ke rumah Pak RT sebentar. Ada keperluan katanya." Mbak Starla memberikan minuman pada teman-temanku yang lainnya.
Tiba-tiba si kecil muncul dan bergelayut manja di kaki Starla. Dengan sabar dia mengangkat tubuh mungil anaknya dan menggendongnya sambil mengajaknya menyanyikan lagu anak-anak.

Ah, Dia memang pandai membahagiakan anaknya. Andai saja aku punya istri sebaik dia, pastilah hidupku bahagia sekali.
Starla hanya keluar ke kedai untuk mengantarkan pesanan minuman. Kemudian tubuhnya menghilang di balik pintu rumahnya. Aku terus memandangi pintu itu, berharap dia dan putera kecilnya muncul dan menemani kami bercerita seperti biasanya. Tapi sepertinya dia memilih di dalam rumah karena Mas Andry memang tidak ada di kedai. Biasanya dia mengajak kami bercanda renyah bersama Mas Andry. Mas Andry juga laki-laki yang tidak cemburuan, dia terlihat ikut tertawa mendengar candaan Starla di antara kami. Starla memang pantas mendapat pendamping sebaik Mas Andry. Kalau aku yang di sana, aku pasti sudah marah dibakar rasa cemburu.

"Rizal...!!!" Telingaku rasanya mau pecah ketika Aron dengan sengaja memanggil namaku tepat di kuping sebelah kanan.
"Apa sih?"
"Ngelamun mulu! Ayo, main!" ajak Aron dan yang lainnya.
Aku menganggukkan kepala dan kembali fokus bermain game bersama mereka. Aku tidak mungkin bercerita tentang Starla kepada mereka. Kami hanya bercerita seputar pekerjaan dan bisnis. Tidak ada hal lain yang kami ceritakan. Yah, sesekali cerita soal wanita jadi selingan juga sih.

Keesokan harinya aku berangkat ke tempat kerja seperti biasa. Di sisi jalan terparkir sebuah motor dengan seorang wanita berdiri di sisinya.
"Starla? Kamu ngapain di sini?" tanyaku saat menghampiri.
"Motorku mogok." Starla menatapku dengan wajah iba. Duh, wajahmu bikin duniaku mau runtuh. Apa tidak bisa memberiku senyum? Senyummu itu indah..
"Bengkel masih agak jauh dari sini. Mau kubawakan ke bengkel motornya? Kamu pakai motor aku!"
"Nggak ngerepotin? Kamu kan mau berangkat kerja?"
"Nggak masalah. Kerjaanku santai kok."
"Ya udah kalau gitu. Makasih banyak ya!"
"Belum juga aku nolongin, udah makasih aja," celetukku.
Starla tergelak. Akhirnya kami saling bertukar motor, dia memakai motorku sedangkan aku memilih mendorong Starla sampai ke bengkel.
"Sudah lama mogoknya? Kayaknya kamu sudah keringatan? Abis dorong motor?" tanyaku sok tahu.
"Iya. Mogoknya di balik gunung sana. Aku mau ke bengkel lumayan jauh. Jadi harus aku dorong dengan susah payah."
"Kenapa nggak telpon suami atau teman, minta bantuan?" tanyaku.
"Nggak ada pulsa, hehehe."
"Ya ampun ... hari gini masih nggak punya pulsa."
"Yah, aku kan nggak kerja. Mana ada biaya buat belu pulsa, hihihi..."
"Emang suami ndak ngasih?" tanyaku penasaran.
Starla menggelengkan kepala. "Dia nggak pernah ngasih uang selain uang jajan anaknya."
Aku mengerutkan kening mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Starla. Ini kenyataan yang mengejutkan bagiku. Apa benar Mas Andry tidak pernah memberikannya uang?

"Apa maksudnya Mas Andry selama ini tidak menafkahi kamu?" tanyaku lagi.
Starla menggelengkan kepalanya. "Semua kebutuhanku selalu dia penuhi," jawabnya sambil tersenyum.
"Oh ... Alhamdulillah kalau begitu." Aku menarik napas lega karena kekhawatiranku tidak terjadi. Aku tidak bisa membiarkan wanita sebaik dia tidak mendapatkan kebahagiaannya. Kalau sampai beneran Mas Andry tidak membuat hidup Starla bahagia, akulah orang pertama yang akan merebut Starla dari tangannya.
"Makasih ya pinjaman motornya. Nanti aku susulkan ke bengkel. Aku jemput adikku pulang sekolah dulu," pamit Starla membuyarkan lamunanku. Duh, aku habis mikirin apa sih barusan? Bisa-bisanya niat jahat itu bersarang di otakku.
Starla segera melajukan motorku menuju sekolah adiknya, sementara aku mendorongkan motor Starla sampai ke bengkel terdekat.
Aku mengipas-ngipas tubuhku sesampainya di bengkel. Keringat deras bercucuran dari sela-sela rambutku. Sepertinya aku kehausan dan bengkel ini tidak menjual minuman satu pun. Aku memilih diam dan menahan rada haus ketimbang harus mencari warung yang jaraknya lumayan jauh.
Hampir 30 menit aku berada di bengkel, Starla dan adiknya menyusul ke bengkel untuk mengembalikan motorku.
"Riz, makasih banyak ya bantuannya!" Starla tersenyum sembari menyerahkan kunci motor milikku.
"Iya, sama-sama." Aku meraih kunci tersebut dan berbicara dengan petugas bengkel kalau Starla adalah pemilik motor yang aku bawa.
"Anisa mau pulang sama Kakak?" Aku memberikan tawaran pada Anisa, adik Starla.
Anisa menggelengkan kepalanya.
"Gak papa Nisa pulang duluan bareng Mas Rizal. Mbak nunggu motornya selesaj dulu."
Anisa akhirnya menganggukkan kepala setelah melewati rayuan maut.
Akhirnya aku mengantar Anisa pulang terpebih dahulu.
"Anisa kelas berapa sekarang?" tanyaku basa-basi.
"Kelas 5 SD."
"Oh ... tinggalnya bareng Mbak Starla dan Mas Andry ya?"
"Iya."
"Mas Andry baik banget ya?" tanyaku kepo.
"Gak juga. Dia sering marahin Mbak Starla," jawab Anisa.
"What!? Seriusan? Marahin kenapa?"
"Nggak tau, Kak."
"Mereka sering berantem?" tanyaku lagi.
Anisa menganggukkan kepala. Aku mengantarkannya sampai rumah dan langsung berangkat ke tempat kerja.

Hmm... di luar terlihat sangat bahagia dan harmonis. Tapi tidak begitu si dalamnya.
Starla memang pandai sekali menyembunyikan  masalahnya. Sampai-sampai aku tidak tahu kalau sebenarnya hidupnya bermasalah dan tidak.bahagia.
Kalau begini terus, bisa-bisa aku beneran merebut Starla dari tangan Mas Andry. Ah, tapi aku tidak akan setega itu. Starla terlihat sangat bahagia dan mencintai Mas Andry. 
Aku menyukai wanita yang salah. Aku jatuh hati pada wanita yang sudah menjadi milik orang lain. Berhari-hari hati dan pikiranku disiksa oleh perasaan yang aku sendiri tidak mengerti. Sepertinya aku memang sudah gila. Bagaimana bisa aku senang sama istri orang sedangkan masih banyak wanita single dan baik di dunia ini.
Aku berusaha menepis jauh perasaanku. Semoga perasaan kagum ini hanya sementara karena aku belum juga menemukan wanita yang lebih baik dari Starla. Akan ada hari yang menggantikan perasaanku pada Starla atau justru semakin membuatku gila.

Bisakah aku tidak peduli dengan omongan orang? Bisakah aku tidak peduli cibiran orang ketika mereka tahu aku menjadi Senior alias senang istri orang? 
Mereka tidak akan pernah tahu bagaimana aku tersiksa dengan perasaan ini. Kalau boleh memilih, aku akan jatuh cinta pada wanita lain yang belum menjadi milik orang. Kenapa Tuhan menambatkan hatiku pada wanita yang jelas-jelas sudah menjadi istri orang? Ini benar-benar gila, aku sudah hampir gila karena perasaan ini.

Aku selalu berusaha menghindari pertemuan dengan Starla. Entah kenapa, Tuhan sepertinya menakdirkan kami untuk sering bertemu. Aku mencoba mencari pacar lain supaya aku bisa move on dari Starla. Tapi, tetap saja pikiranku tertuju pada wanita istimewa itu sekalipun aku sedang jalan bersama wanita lain.

Maaf ... jika suatu hari nanti aku merebut Starla dari tangan suaminya, atau aku memilih hidup sendiri seumur hidupku sampai aku temukan wanita sebaik Starla.





Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 5 Maret 2019



 ______________________


Dilarang keras menyalin,mengutip, memperbanyak dan menyebarluaskan konten ini tanpa mencantumkan link atau izin tertulis dari penulis.

©Copyright www.rinmuna.com



Saturday, March 2, 2019

Sedekah #2

Edward Eyer

Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com

***

Hari ini, jam 3 siang aku pulang kerja seperti biasa. Dari rumah ke kantor jaraknya memang cukup dekat, hanya 3 kilometer. Aku mengendarai sepeda motorku seperti biasa.
Sesampainya di rumah, ada dua keponakanku yang kebetulan sedang bermain di rumah.
"Rin, ada Yanti sama Ahmad." Nenekku tiba-tiba muncul saat aku mau memasuki kamar.
"Iya ... sebentar." Aku sudah mengetahui mereka sedang bermain di teras rumah. Mereka hanya tertawa saja ketika aku menyapa. Sepertinya mereka sungkan denganku karena kami memang jarang bertemu. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja atau di luar rumah.
Usai berganti pakaian, aku menghampiri dua keponakanku dan bermain bersama mereka. Tidak seperti biasanya mereka main ke rumah seperti ini. Bisa dihitung dalam setahun mereka main ke rumahku.
"Rin, kalau masih punya uang, kasih Yanti sama Ahmad ya!" pinta Nenek saat aku mengambil air minum di dapur.
Aku terdiam beberapa saat. Aku tahu banget berapa isi uang di dompetku. Hanya satu lembar uang hijau bertuliskan dua puluh ribu rupiah. Uang itu adalah uang terakhir dari gajiku bulan lalu. Rencananya mau aku pakai untuk membeli bensin besok sebelum berangkat ke tempat kerja. Aku benar-benar bingung, kalau uang itu aku berikan pada dua keponakanku, besok aku tidak bisa berangkat kerja karena tidak punya bensin. Kalau uang itu aku pakai buat beli bensin, kasihan dua keponakan yang jarang sekali main ke rumahku ini. Aku menghela napas perlahan sembari meminum segelas air agar bisa berpikir lebih jernih dan sehat.
"Mereka jarang main ke sini. Nggak kayak Sila sama Sinta, mereka sering main dan sering kamu kasih uang." Lagi-lagi Nenek membisikan kalimat itu di telingaku.
Aku menghela napas dan mengatakan, "Iya."

Bismillah ...
Insya Allah rezeki ada aja, kok.

Akhirnya aku masuk ke dalam kamar dan mengambil selembar uang dua puluh ribu rupiah yang menjadi penghuni terakhir dompetku. "Ya Allah ... aku ikhlas. Semoga saja mereka senang menerimanya," batinku dalam hati.
Aku bergegas menghampiri Yanti dan Ahmad yang sedang asyik bermain boneka di ruang tengah.
"Yan, ini buat kalian. Dibagi berdua ya!" Aku menyodorkan selembar uang kertas berwarna hijau ke arah Yanti."
"Nggak usah, Bi." Yanti berusaha menolaknya. Dia memang salah satu keponakanku yang terlihat sangat dewasa dan memiliki jiwa keprihatinan lebih. Sulit sekali jika di suruh makan di rumah. Mungkin saja kedua orang tuanya melarang kalau dia sering makan di rumah bibinya. Sehingga, jarang sekali ia mau makan di rumahku. Berbeda sekali dengan Sila dan Sinta. Mereka sudah terbiasa ke rumahku. Tidur dan makan di rumah, tak ada rasa sungkan atau malu sehingga aku juga sering memberi mereka uang jajan. Dua anak dari dua kakakku ini memang sangat terlihat perbedaannya. Yanti dan Ahmad adalah anak dari kakak pertamaku, sedangkan Sila dan Sinta adalah anak dari kakak keduaku. Aku sendiri anak yang nomor empat dan belum berumah tangga.

"Nggak papa, ini buat kalian. Kalian jarang main ke rumah Bibi. Bibi cuma bisa kasih uang jaajan sekali-sekali aja." Aku masih mengulurkan uang tersebut sampai akhirnya Yanti meraihnya sembari mengucapkan terima kasih.

Setengah jam kemudian, mereka pulang ke rumahnya karena hari sudah sore dan kebetulan Yanti harus pergi sekolah sore. Usai mereka pulang, aku merebahkan diri ke atas kasur. Memilih untuk tidur karena tubuhku lumayan lelah.

Belum sampai memejamkan mata, ponsel yang masih aku letakkan di dalam tas berdering. Aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Halo ... Assalamu'alaikum ...!" Sapaku ketika mengangkat panggilan telepon.
"Wa'alaukumussalam ... kamu di mana, Rin?" Bu Said langsung melempar pertanyaan tanpa basa-basi.
"Di rumah, Bu. Kenapa?" tanyaku.
"Abis Maghrib bisa ke sini, kah? Ada proposal yang harus diketik," jelas Bu Said.
"Abis Maghrib ya, Bu? Insya Allah bisa, Bu."
"Ya udah. Ibu tunggu ya!"
"Iya."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Panggilan kami pun berakhir.

Alhamdulillah ... ada kerjaan tambahan. Setidaknya bisa dapat uang bensin untuk berangkat kerja besok pagi. Usai pulang kerja, aku terkadang menjadi pekerja freelance dengan menjual jasa ketik. Kebetulan Bu Said punya usaha konter pulsa dan ATK yang kebetulan juga menerima jasa pengetikkan. Jadi, setiap kali ada orang yang membutuhkan jasa ketikan, Bu Said akan memanggilku untuk membantunya. Upahnya sendiri bervariatif tergantung pada pekerjaan yang diberikan untukku.

Usai sholat Magrib, aku berangkat menuju rumah Bu Said. Di sana Bu Said dan suaminya sudah menunggu kedatanganku.
"Tolong ketikkan proposal ini ya!" Pak Said menyodorkan lembaran kertas yang masih berupa tulisan tangan.
"Oke." Aku langsung bersiap di depan layar komputer dan mulai mengetik setiap huruf yang tertera di kertas itu.
Pak Said sibuk melayani pelanggan yang berkunjung, memfotokopi atau menjual barang yang ada di tempat tersebut. Sementara Bu Said sibuk di dapur membuat kudapan. Sesekali kami bercanda dan tertawa. Pak Said adalah salah satu mantan atasan di tempatku bekerja. Aku sudah lumayan akrab dengannya. Banyak hal yang seringkali kami bahas bersama.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 24.00 WITA. Pekerjaan pun sudah selesai aku kerjakan. Tinggal print out dan aku bisa pulang ke rumah.
Aku berdiri sembari meregangkan otot-ototku yang kaku karena duduk cukup lama.
"Pak, saya pulang ya!" pamitku pada Pak Said.
"Sudah kelar?" tanyanya sambil memainkan ponselnya.
"Sudah, Pak. Saya pulang ya, sudah malam juga ini." Aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu jam dua belas malam.
"Berani, kah?" tanya Pak Said yang masih duduk di meja kerjanya.
"Insya Allah berani, Pak." Aku berusaha meyakinkan diriku kalau aku berani pulang seorang diri. Maklum saja, waktu sudah malam dan aku harus melewati jalanan sepi sepanjang 800 meter tanpa rumah satu pun.
"Ya sudah, hati-hati ya! Ini buat kamu." Pak Said menyodorkan empat lembar uang lima puluh ribuan.
"Banyak banget, Pak?" Aku tertegun menatap uang tersebut dan belum berani menerimanya. Bisa jadi dia hanya bercanda memberikan uang sebanyak itu.
"Iya, Alhamdulillah yang minta buatkan proposalnya ngasih honor lumayan." Pak Said tersenyum sambil menganggukkan kepala agar aku menerima uang darinya.
"Alhamdulillah ...." Aku meraih uang tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. "Terima kasih ya, Pak. Semoga makin banyak rejekinya! Jangan lupa panggil aku lagi kalau butuh jasa ngetik, hihihi." Aku tertawa geli saat mempromosikan diriku sendiri.
"Iya. Makasih ya sudah dibantuin," ucap Bu Said saat aku sudah berada di atas motor untuk pulang.
"Iya, sama-sama, Bu."Aku bergegas menstarter motorku, mengingat waktu sudah larut malam dan aku harus pulang ke rumah secepatnya.

Aku bersyukur, Allah tidak pernah salah memberikan rizkinya. Terkadang kita masih tidak percaya dengan kuasa Allah sebab tangan-Nya tak mampu kita lihat. Namun, banyak hal di sekitar kita yang semuanya telah diatur oleh Allah. Apa yang kita perbuat, itulah yang akan kita hasilkan. Padahal, aku hanya memberikan uang jajan dua puluh ribu rupiah pada keponakanku. Allah menggantinya dengan uang dua ratus ribu rupiah di saat yang tidak terduga. Benar, Allah akan mengganti sedekah kita menjadi sepuluh kali lipat sesuai dengan firman-Nya. Dan Allah menguji bagaimana keikhlasan hati kita ketika berada dalam titik sulit, kemudian Allah balas sesuai dengan apa yang kita perbuat ketika kita berada dalam kesulitan. Sebab Allah menciptakan kesulitan bukan untuk menjadikan kita ingkar, tapi untuk menjadikan kita manusia yang senantiasa bersyukur dan beribadah kepada Allah.

Dengan bersedekah, tidak akan mengurangi rezeki kita sedikitpun. Sedekah justru membuka pintu-pintu rezeki kita. Kalau dalam ilmu Matematika, satu dikurangi satu sama dengan nol. Di dalam ilmu Sedekah, satu dikurangi satu sama dengan dua. Banyak-banyaklah kita bersedekah semata-mata karena Allah.



Rin Muna
Samboja, 03 Februari 2019

Sedekah #1

SEDEKAH #1
Karya Rin Muna
Free-Photos
Tulisan ini dibuat untuk Kompasiana.com
Balikpapan, 2005

Ini tahun kedua aku memasuki sekolah menengah pertama. Ada perasaan lega ketika aku mendapat predikat ranking 1 setiap semesternya. Setiap kali penerimaan raport dan mendapat ranking 1, Bapak selalu membelikan aku bakso. Sedangkan anak-anak lain yang tidak mendapat peringkat di kelasnya tidak ditraktir makan bakso, boleh ikut makan asalkan bayar sendiri. 

Oh iya ... aku tinggal di sebuah Panti Asuhan karena kedua orang tuaku tidak sanggup menyekolahkanku hingga sekolah menengah. Kedua orang tuaku sudah tua dan hanya menjadi buruh tani. Aku sendiri yang memilih tinggal di Panti Asuhan agar tetap bersekolah dan tidak membebani kedua orang tuaku. Aku juga masih punya dua orang adik yang duduk di sekolah dasar dan butuh biaya untuk sekolah.

"Rin, temenin aku ke BC, yuk!" ajak Ika di hari Minggu pagi. Ika adalah salah satu teman sekolah yang juga tetangga yang tinggal di sebelah panti.
"Mau ngapain?" tanyaku.
"Mau jalan-jalan sama main game." Ika cengengesan. Dia memang senang sekali bermain di Play Zone. Dia bisa menghabiskan uang lima puluh atau seratus ribu dalam sekali main. Bagiku, itu uang yang cukup besar karena aku cuma punya uang jajan seratus ribu untuk enam bulan. Sedangkan Ika, bisa menghabiskannya dalam waktu sehari. Memang enak menjadi orang kaya, apa yang diinginkan selalu terpenuhi. Jauh berbeda denganku yang harus lebih sabar ketika ingin membeli sesuatu.

"Izin dulu sama Oom!" pintaku. Setiap kali ingin bepergian, kami harus mendapat izin dari pengurus panti. Kami bahkan tidak diperbolehkan keluar dari area panti walau pergi ke warung sekalipun tanpa izin.

"Iya. Aku izinin, tapi kamu temenin aku ya!" pinta Ika, ia berlalu pergi ke rumah pengurus sedangkan aku langsung masuk ke kamar dan melipat pakaianku yang masih berhambur di atas ranjang.

"Dibolehin sama Oom, Rin. Katanya dia juga sekalian mau turun." Ika tiba-tiba saja mengintip dari balik jendela kamar yang kacanya terbuka. Alhamdulillah ... kebetulan aku ada sedikit tabungan untuk membeli tas dan sepatu yang sudah rusak.

"Naik motor Oom kah?" tanyaku sembari membukakan pintu kamar untuk Ika.

"Naik angkot aja. Katanya Oom sama Tante juga mau naik angkot, kok."

"Ya udah, aku siap-siap dulu ya."

"Iya, cepet ya!" Ika berlalu pergi meninggalkan panti, pulang ke rumahnya untuk bersiap-siap.

Tak berapa lama, aku sudah siap. Aku tak punya banyak pakaian. Hanya mengenakan celana panjang berwarna hitam dan kaos berwarna hijau muda. Kerudung yang aku pakai juga kerudung yang biasa aku gunakan untuk sekolah. Hanya kerudung sekolahku saja yang pantas untuk dipakai jalan-jalan. Untukku, ini sudah sangat bagus. Aku langsung keluar dari kamar dan naik ke pintu gerbang yang berada lebih tinggi dari bangunan utama panti asuhan ini. Tempat ini memang berada di atas bukit, sehingga posisi pintu gerbang berada di paling atas, langsung bersisian dengan jalan.

"Udah siap?" Oom langsung menegurku, "mana Ika ini?" Ia melirik arloji di tangan kirinya.

"Kita jemput ke rumahnya aja, Oom. Kan sekalian lewatin rumahnya." Aku memberi saran agar kami tak terlalu lama menunggu Ika. Lagipula, rumah Ika juga akan kami lewati saat kami akan keluar dari gang ini.

"Ya sudah. Tunggu tantemu dulu!" pinta Oom. 

Beberapa menit kemudian, Tante keluar dari rumahnya. Kami berjalan beriringan menuju rumah Ika sebelum akhirnya kami menaiki angkot menuju Klandasan. Angkot kami berhenti di seberang bangunan Balikpapan Center. 

Kami harus menyeberang melalui JPO alias Jembatan Penyeberangan Orang untuk bisa ke BC dengan aman dan nyaman.

Di dekat jembatan itu, aku melihat seorang nenek tua sedang berjualan rujak di atas tikar. Mungkin ada sekitar 20 bungkus rujak yang masih belum terjual. Aku teringat pada nenekku yang selama ini sudah merawatku. Kenapa nenek itu harus berjualan, panas-panasan seperti ini? Apakah dia tidak punya anak dan cucu?

Karena merasa iba, akhirnya aku mendekati si Nenek.
"Mau ke mana?" Ika menarik tanganku ketika mau menaiki tangga JPO.
"Aku mau beli rujak. Bentar ya!" Aku bergegas menghampiri nenek yang sedang berjualan di tepi jalan.
"Nek, rujaknya berapa harganya?" tanyaku.
"Lima ribu, Nak," jawab nenek itu sembari memandangku dengan harapan aku akan membeli rujaknya. Mungkin saja, banyak yang bertanya tapi tidak membeli. Itulah sebabnya si nenek berharap kalau dagangannya bisa terjual.
"Saya beli seratus ribu, ya!" pintaku sambil merogoh uang seratus ribu yang aku selipkan di saku  samping celanaku.
"Alhamdulillah ...." Nenek itu langsung membungkus menggunakan kompek hitam yang lumayan besar. Tubuhku yang masih kecil agak kerepotan membawanya.
"Buat apa beli rujak sebanyak itu?" tanya Ika ketika aku menghampirinya.
"Buat dimakan, dong!" jawabku enteng.
"Emang habis segitu banyaknya?"
"Habis. Mau?" Aku menyodorkan satu mika rujak ke arah Ika. Ia meraihnya dan kami pun menaiki tangga JPO.
"Oom sama Tante mana?" tanyaku celingukan.
"Udah duluan."
"Ooh ...." Aku melanjutkan perjalanan. Di atas JPO kami bertemu dengan beberapa anak yang biasa ngamen di lampu merah. Tepat di bawah JPO ada simpang tiga lampu merah. Kemungkinan anak-anak ini ngamen di lampu merah.
"Dek," panggilku pada salah seorang anak berambut pirang karena terkena panas matahari, bukan karena memakai pewarna rambut. Wajahnya terlihat lelah sambil membawa sebuah alat musik kecil dari kayu dan kaleng-kaleng kecil.
"Apa, kak?" Anak kecil itu menghentikan langkahnya.
"Mau rujak?" tanyaku sambil tersenyum.
"Mau, kak." Ia menganggukkan kepalanya.
"Teman-teman kamu ada?" tanyaku lagi.
"Ada, Kak."
"Ya udah, ini buat kamu. Bagi sama teman-teman yang lain ya!" Aku menyerahkan kompek hitam berisi rujak yang aku beli di bawah tadi. 
"Serius, Kak? Makasih ya!" Anak itu meraih kompek yang aku berikan dan bergegas menghampiri teman-temannya untuk membagikan makanannya. Aku tersenyum bahagia melihat wajah anak itu, mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih bergantian sampai aku memasuki bangunan BC.
"Kamu beli rujak sebanyak itu cuma untuk dibagi-bagi?" tanya Ika.
Aku menganggukkan kepalanya.
"Banyak duit kamu, ya!" celetuk Ika.
"Nggak harus nunggu banyak duit untuk membantu orang lain kan?"
"Iya, sih. Tapi ... kamu aja kan butuh. Buat apa dikasih-kasihkan orang lain." Ike terlihat kesal dengan sikapku.
"Nggak papa. Aku ikhlas, kok. Nanti Allah yang ganti," bisikku sambil tertawa.
"Aamiin."

Kami melangkahkan kaki menuju bangunan Mall BC. Ika langsung asyik bermain di Play Zone. Sementara aku hanya melihat dan menemaninya saja karena aku memang tidak punya uang untuk membeli koin. 
"Mau coba main? Aku kasih koinnya." Ika menatapku sambil tertawa bahagia.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Aku bukan kamu, Ka. Aku harus bisa mengatur uangku untuk hal-hal yang penting," batinku.

Usai bermain, kami pun berjalan menuju pasar Klandasan yang tak jauh dari bangunan BC. Untungnya Oom dan Tante tahu kalau kami bermain di Play Zone. Dengan mudahnya mereka bisa menemukan kami. Sebab, di angkot tadi, Oom sudah mewanti-wanti agar kami tidak pergi ke tempat lain selain Play Zone agar mudah ditemukan. Setelahnya, kami menuju Pasar Klandasan untuk membeli sesuatu. Oom akan membeli kain untuk jahitannya, sedangkan aku juga sudah mengungkapkan keinginanku untuk membeli tas dan sepatu. Aku sudah menabung selama beberapa bulan untuk bisa membeli tas dan sepatu yang baru.
"Rin, jadi mau beli sepatu?" tanya Oom ketika kami sampai di Pasar Klandasan.
Aku menggelengkan kepala.
"Kenapa?"
"Uangku nggak cukup, Oom. Besok aja," jawabku.
"Ya sudah. Oom cari kain dulu." Kami pun mengikuti langkah kaki Oom menuju toko kain.
"Kamu, sih. Pake acara beliin rujak sebanyak itu. Uangmu jadi nggak cukup kan buat beli sepatu." Ika berbisik ke telingaku.
"Nggak papa. Kayaknya sepatu aku masih tahan, kok. Nanti aku lem aja lagi." Aku tersenyum ke arahnya.

Setelah cukup lelah berputar-putar di pasar, kami akhirnya pulang lagi ke Panti Asuhan. Aku langsung mengambil handuk untuk mandi. Usai mandi, aku berbaring di ranjangku yang paling atas. Aku memang mendapat jatah di ranjang bagian atas, karena ranjang bagian bawah selalu ditempati oleh kakak kelas yang sudah duduk di bangku SMA.

Otakku mulai berpikir, bagaimana caranya aku mendapatkan uang lagi untuk membeli tas dan sepatu. Tasku jelas sudah robek di sana-sini, sepatu yang aku kenakan juga sudah bolong-bolong bagian bawahnya, habis terkikis oleh aspal jalanan karena setiap hari aku berjalan kaki menuju ke sekolah. Jarak panti dan sekolah lumayan jauh, hampir 1 kilometer. Itulah sebabnya kenapa penggunaan sepatu menjadi lebih boros dari yang semestinya. Aku juga hanya bisa membeli sepatu murahan seharga enam puluh ribu rupiah, Bagiku, sepatu harga segitu sudah mahal. Tapi tidak bagi mereka yang memiliki uang lebih.

"Rin, ada tamu." Mbak Wina membangunkanku. Aku langsung bangkit dan turun dari ranjangku. Kami bersiap-siap menyambut tamu yang datang. Seperti biasanya, tamu di sini adalah donatur yang sekedar berkunjung atau memberikan sumbangan pada anak-anak panti.

Kami semua berkumpul di aula. Seperti biasa, aku selalu duduk di paling depan karena tubuhku yang masih kecil. Ada pembawa acara, pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan terjemahnya, juga sambutan-sambutan dari pihak panti dan donatur. Semuanya sudah biasa kami lakukan bahkan ketika donatur datang secara mendadak. Semua sudah bersiap dengan tugasnya masing-masing. Tak perlu lagi diperintah untuk mengisi acara. Kami sudah terbiasa dengan acara dadakan karena hampir setiap malam, usai shalat isya' kami selalu belajar mengisi acara. Setiap hari selalu ada giliran untuk kami. Giliran belajar ceramah, belajar mengaji, belajar MC dan sambutan. Semua jadwal itu sudah ditentukan oleh Ketua Santri yang akan diganti setiap satu tahun sekali. Hmm ... sepertinya, jadi Ketua Santri itu keren. Karena bisa mengatur anak-anak lain untuk tertib dalam berkegiatan.

Aku terlalu asyik dengan pikiranku sendiri sampai tidak menyadari kalau acara penyambutan tamu sudah selesai. Beberapa orang yang menjadi bagian rombongan tamu terlihat sibuk menurunkan bingkisan dari dalam mobil yang terparkir di halaman panti. Kemudian mereka menyerahkan bingkisan itu satu per satu kepada seluruh anak di panti asuhan.

"Alhamdulillah ... terima kasih, Ibu." Aku mencium tangan donatur yang memberikan bingkisan untukku. Bingkisan itu dibungkus menggunakan plastik transparan. Sehingga bisa terlihat dari luar apa saja yang ada di dalamnya. Satu buah tas sekolah, sepasang sepatu, satu buah mukena, sajadah dan alat tulis. Bingkisan yang diberikan sudah diatur nomor sepatunya sesuai dengan berapa anak yang memiliki nomor sepatu sama. Sebelumnya, tamu ini pasti sudah berkomunikasi terlebih dahulu dengan pengurus panti. Sehingga donasi yang mereka berikan sesuai dengan kebutuhan kami.
"Belajar yang rajin, jangan lupa sholat ya!" Ibu Donatur itu mengelus kepalaku dengan lembut sambil tersenyum bangga. Aku rasa dia bahagia karena bisa mambantu orang lain, sama seperti saat aku membantu nenek rujak yang berada di dekat JPO itu. Sederhana bukan? Sedekah itu membuat hidup kita bahagia. Bukan hanya yang bersedekah, tapi yang disedekahi juga ikut bahagia.

Terima kasih, Ya Allah ... Engkau Maha Pemberi Rizki, Engkau yang mengatur segala yang ada di muka bumi. Agamaku memang belum baik, akhlakku juga belum baik. Tapi aku percaya ... kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Sedekah yang kita keluarkan juga langsung diganti oleh Allah sesuai firman-Nya dalam Al-Qur'an. Aku ... cuma anak bau kencur yang belum paham soal akidah agama. Tapi aku percaya, Allah ada dan selalu mengawasi setiap perbuatan yang kita lakukan.

Ikhlas memberi karena Allah, maka Allah akan lipat gandakan rejeki kita. Jangan memberi karena ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, kalau niatnya sudah begitu, artinya kita tidak Lillahi Ta'ala dalam memberikan suatu kebahagiaan untuk orang lain.

Ya Allah ... jika suatu hari Engkau beri aku rejeki lebih. Jangan biarkan aku menjadi manusia yang kufur atas nikmat-nikmatMu Ya Allah. Jadikanlah aku manusia yang pandai bersyukur dan senantiasa mencintaiMu dalam keadaan apa pun.



Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 3 Februari 2019

Thursday, February 28, 2019

Kenangan Bersama Annisa Nur Adnin - Finalis Duta Baca Kaltim 2018

Kalau lihat foto ini, aku jadi teringat akhir Agustus tahun 2018 lalu. Aku mengikuti sebuah ajang kompetisi "Duta Baca Daerah" yang membuatku berpikir ulang, kenapa aku bisa mengikuti ajang gila ini? Sementara aku bukan lagi anak remaja yang berprestasi. Aku hanya lulusan SMA dan harus bersaing dengan anak kuliahan. Jelas saja membuat nyaliku menciut. Aku sendiri tidak yakin kenapa aku bisa mengikuti ajang ini.

Yang aku ingat, hari itu Bunda Harmi (Perpus Kukar) menyuruhku untuk mengikuti seleksi Duta Baca Kaltim 201i karena aku memenuhi kriteria yang dituliskan, yakni memiliki sebuah perpustakaan dan prestasi di bidang literasi. Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan dan bertanya ke sana kemari, aku mengirimkan berkas-berkas yang diperlukan untuk kompetisi tersebut.

Setelah semuanya selesai dan dinyatakan aku lolos seleksi, maka aku pun berangkat menuju kota Samarinda untuk mengikuti masa karantina selama 3 hari. Panitia penyelenggara tidak menyiapkan penginapan dan konsumsi, sedih banget kan? Aku nggak tahu harus menginap di mana. Aku nggak punya banyam kenalan di Samarinda. Kemudian aku teringat tawaran Bapak Muhammad Samsun ( Wakil Ketua DPRD) untuk memberi kabar kalau aku masuk sebagai finalis. Beliau bersedia membantu semampunya. Karena kepepet, ya aku hubungi beliau dan bilang kalau aku nggal dikasih penginapan sama panitia penyelenggara. Semua peserta juga tidak ada yang diberi biaya transport, akomodasi dan penginapan. Sehingga harus mencari sendiri di mana kami akan tinggal selama masa karantina. Ada beberapa yang memang warga Samarinda atau ngekos di Samarinda. Sehingga, mereka lebih mudah untuk mengikuti kompetisi ini.

Aku diendorse sama Bapak Samsun yang kebetulan tetangga kampungku, diberikan menginap selama 2 malam di sebuah penginapan yang tepat berseberangan dengan Kantor Perpusda Kaltim. Yah, alhamdulillah ... setidaknya aku tidak tidur di mes ... mesjid. Karena aku tidak punha uang untuk menginap.

Karena jatah menginap hanya dua malam, maka malam ketiganya aku harus keluar dari penginapan tersebut dan mencari penginapan lainnya. Sore itu aku mengeluh dengan peserta lain. Aku berniat untuk pulang saja sore harinya dan kembali besok paginya ketika malam Grand Final dimulai.
Namun, beberapa teman finalis melarangku dan menawarkan untuk menginap di kosan mereka. Ada dua peserta yang menawarkan aku menginap bersama mereka. Yang pertama Cindy, si gadis cantik berhidung mancung itu. Yang kedua, Anisa Nur Adnin atau yang sering disapa Anin. Mereka sama-sama menawarkan agar aku menginap di kosan mereka saja.

Awalnya, aku memilih untuk ikut menginap di kosan Cindy. Tapi, karena ketika mau pulang, Cindy terlihat sibuk dengan finalis yang lainnya, aku memutuskan untum ikut ke kosan Anin saja. Aku bilang pada Cindy dan ia menyetujuinya.

Singkat cerita, akhirnya aku menginap di kosan Anin. Waktu pertama kali masuk ke kosan ini, aku disambut baik dengan pemilik kosan. Bahkan diminta untuk makan bersama di ruang makan mereka. Alhamdulillah ... setidaknya bisa menghemat uang makan sekali. Hehehe...

Selama dua malam aku menginap di kosan Anin, sesekali kami jalan-jalan ke luar mencari makanan atau barang-barang keperluan. Saat itu, aku mengenal Anin sebagai pribadi yang baik dan apa adanya. Asyik aja gitu jalan dan cerita-cerita sama dia.
Dia bilang, "Aku jalan sama Kak Rin, kayak jalan sama mamaku, deh."
Aku tersenyum dan bertanya, "kenapa emangnya?"
Dan dia bilang, aku seperti ibunya yang bayarin dan jajanin dia. Hihihi ... entah kenapa, asyik aja gitu. Aku tahu gimana kehidupan anak kos. Dia harus pandai mengatur uang bulananya. Jadi, setiap kali jalan, aku memang yang traktir dia.

Ada hal yang aku pikirkan tentang masa depan. Seandainya anakku suatu hari merasakan hidup sendiri di kosan dan jauh dari orang tua. Dia pasti merasakan hidup hemat. Bahkan untuk makan saja harus bisa irit. Itulah sebabnya, aku tidak pernah berpikir dua kali membantu orang lain selama aku masih bisa dan masih mampu.

Aku dan Anin yang baru mengenal, serasa sudah akrab dan mengenal lama. Itu karena pribadi Anin yang apa adanya, ramah dan nggak neko-neko. Ada hal yang sama antara aku dan Anin, yakni ... nggak begitu suka dengan ruangan yang terlalu rapi, hahaha ...

Bagiku, ruangan yang terlalu rapi itu membatasi setiap gerak-gerikku. Aku pastinya sungkan untuk melakukan pergerakan yang kira-kira akan membuat ruangan kotor atau berantakan. Tapi, ketika bersama Anin, aku bisa menjadi apa adanya aku. Tidak harus jaim dengannya walau dia jauh lebih muda dan lebih cantik dari aku. Aku sama sekali tidak minder ketika bersama dengannya.

Selain baik hati, ramah dan asyik, Anin juga salah satu mahasiswa Unmul yang berprestasi. Ia seringkali menjadi presenter di salah satu komunitas, juga terlibat dalam pers mahasiswa universitasnya.

Hai ... Adnin, semoga tulisan ini bisa mengabadikan cerita kita dan membuat kamu selalu ingat sama aku, begitu juga sebaliknya. Kalau kita pernah menghabiskan malam bersama dalam satu ruang yang sama.

Tuesday, February 26, 2019

[Cerpen] On Backstage #1

Beeki



“Minum?” Roby menyodorkan sebotol air mineral saat aku bersandar di pagar balkon gedung lantai 3. Usai menggelar pagelaran, aku memilih untuk menyendiri.
“Selamat ya! Pertunjukkannya sukses,” ucap Roby sembari menatap ke arah panggung yang mulai lengang.
Aku langsung menenggak setengah botol air mineral sebelum menanggapi ucapan Roby.
“Alhamdulillah ... aku lega semuanya berjalan dengan lancar. Aku deg-degan sepanjang acara.” Aku menghela napas. Melirik Roby yang berdiri di sebelahku.
“Capek ya? Kerja kerasmu nggak sia-sia kok, Rin.”
“Bukan aku, tapi kita semua.”
“Ya, aku tahu. Tapi kalau nggak ada kamu, entah apa jadinya acara kita hari ini.”
“Why? Aku nggak terlalu penting kali By, cuma main di belakang layar aja. Mereka yang hebat-hebat!” Aku tersenyum, ikut menatap panggung pertunjukkan yang baru saja usai.
“Penting, lah. Kalau nggak ada orang yang galak dan cerewet kayak kamu. Mungkin saja pertunjukkan kita kacau. Aku lihat sendiri kalau yang lain latihannya angin-anginan. Tunggu diteriaki dulu baru mereka mau serius. Belum lagi setiap masalah yang datang saat persiapan. Semuanya bisa kamu atasi karena sikapmu yang galak itu.” Roby terkekeh.
“Emang aku galak?” Aku menatap tajam ke arah Roby.
Roby menggelengkan kepalanya. “Enggak, sih. Kamu mah baik. Peduli dan tegas. Mereka aja yang suka bilang kamu galak dan aku juga terbawa, hehehe.”
“Perez!!” celetukku.
“Hahaha. Acara udah kelar, mukamu masih serius aja.”
Aku menatap ke arah Roby, mungkin benar wajahku masih sangat tegang.
“Kamu tahu kan, kalau sampai acara ini gagal, aku akan dicaci maki banyak orang.”
“Yes, I know. Tapi, sudah jelas kan acaramu sukses. Semua baik-baik saja.”
“Belum. Sampai benar-benar semuanya selesai. Besok masih harus beres-beres dan mengembalikan peralatan yang kita pinjam.”
Roby berdecak. “Sudahlah, yang besok, pikirkan besok saja!”
“Iya. Perasaanku belum tenang aja kalo belum kelar semuanya.”
“Kak Rin, dipanggil Pak Zoel.” Suara Shella mengagetkan kami.
Aku dan Roby saling pandang. Roby mengangkat kedua pundaknya. Dia sudah mengerti apa maksud dari ekspresi wajahku tanpa aku harus mengucapkan sesuatu.
Pak Zoel hanya akan memanggilku saat ada masalah. Dua bulan lalu beliau marah besar karena sebuah event besar berakhir dengan sangat memalukan. Terjadi miss antara pelaku seni dengan panitia. Aku merasa pertunjukkan kali ini sudah cukup memuaskan. Itu bagiku, tidak bagi Pak Zoel. Bisa saja dia merasa masih ada yang kurang.
Berat sekali kulangkahkan kaki menemui Pak Zoel di lantai bawah.
“Semangat ya, Rin. Kamu wanita hebat!” Roby menepuk pundakku, mengalirkan energi yang membuat hatiku lebih tegar menghadapi apa pun. Dia satu-satunya sahabat yang paling mengerti posisiku. Tidak pernah ikut menyalahkan saat pertunjukkan kacau.
Di balik layar memang seperti itu. Hasilnya bagus, yang di depan yang dipuji. Kalau jelek, kita yang dicaci maki.” ucap Roby beberapa bulan lalu saat panggung pertunjukkan ambruk diterpa hujan deras dan angin kencang.
Aku hampir gila menghadapi cacian, semua menyalahkan aku karena dianggap aku lalai. Padahal, aku sudah berusaha semaksimal mungkin agar panggung tetap aman dari guncangan cuaca ekstrem. Tapi masih saja panggung yang berbahan Rigging itu masih ambruk sebagian. Bersyukurnya tidak ada korban luka akibat kejadian itu.
Aku menepis semua pikiran negatif itu sesampainya di dalam ruangan, tempat Pak Zoel menungguku. Beberapa panitia yang lain sedang menikmati makan malam usai memastikan semua sound sudah masuk ke dalam ruangan agar mereka tidak perlu tidur di atas panggung, entah makan apa jam segini? Ini sudah tengah malam, bukan malam lagi.
“Kamu ngapain di atas!?” sentak Pak Zoel dengan suara yang membahana di seluruh ruangan.
Aku menarik napas, menghadapi beliau membuatku bingung. Entah dia marah sungguhan atau hanya acting. Kalau soal acting, memang dia senior dalam dunia perfilman. Sedangkan aku, tidak bisa acting sama sekali.
“Kenapa diam!?” Pak Zoel menggebrak meja karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Anu ... Pak,”
“Anu-Anu apa!? Pacaran terus kau sama Roby, hah!?”
Mataku terbelalak mendengar ucapan dari Pak Zoel. Sejak kapan ada isu aku dan Roby pacaran? Ini kerjaan siapa pula?
Sementara Roby masuk ke dalam ruangan dengan santainya sambil cengengesan. Meraih satu kotak nasi kemudian bergabung dengan yang lain. Aku melirik sinis ke arahnya. “Awas kamu ya!” batinku. Aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Roby.
“Kenapa diam!? Kamu nggak menghargai saya lagi ngomong!”
“B ... bukan gitu, Pak. Saya masih mikir ....” Aku ingin memaki diriku sendiri. Kenapa kalimat ini yang keluar dari mulutku? Kalau udah gugup, nggak karuan menghadapi Pak Zoel.
“Mikir-mikir! Masih bisa kamu mikir!? Kamu nggak mikir kalau lagi ada masalah!?”
“Masalah apa?” Pikiranku melayang-layang, mencari sudut-sudut bayangan selama pertunjukkan. Aku merasa semuanya baik-baik saja. Entah apa yang dilihat oleh Pak Zoel sehingga ia terlihat marah. Sementara timku semuanya baik-baik saja. Tidak ada laporan kendala selama pertunjukkan berlangsung.
“Kamu koordinator acara dan nggak tau masalahnya apa? Ndak becus!”
Aku menarik napas berkali-kali. Mencoba menenangkan perasaanku. “Maaf, Pak. Kali ini saya bener-bener nggak tau masalahnya apa.”
Pak Zoel langsung berceramah panjang lebar kali luas kali tinggi. Aku hanya mendengarkan sambil menggaruk keningku. Sudah menjadi hal biasa seperti ini. Hatiku mulai kebal menghadapi kemarahannya.
“Kamu tahu tanggung jawabku, kan?” tanya Pak Zoel kemudian.
Aku menganggukkan kepala.
“Jadi, udah tahu masalahnya apa?”
Aku menggelengkan kepala. Asli, aku nggak bener-bener nyimak Pak Zoel ngomong apa dari tadi.
“Masih nggak tau!?” Pak Zoel terlihat naik pitam.
Aku menunduk, menggelengkan kepala. Kali ini aku hanya bisa menatap kakiku sendiri, tak lagi menatap wajah Pak Zoel yang sepertinya semakin emosi.
“Kamu nggak makan dari pagi sampai sekarang, apa kamu pikir itu bukan masalah!?” Pak Zoel mendelik ke arahku.
Aku mengangkat kepalaku, menatap wajahnya yang mendelik sambil tersenyum. Aku terkekeh geli.
“Astaga ...!” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Sementara teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjaiku.
“Makan dulu! Kita masih ada agenda pertunjukkan selanjutnya. Saya nggak mau kamu jatuh sakit. Pertunjukkan malam ini, sangat memuaskan dan selanjutnya saya ingin lebih baik lagi.” Pak Zoel kini merendahkan nada bicaranya.
“Baik, Pak.” Aku melangkahkan kakiku menghampiri teman-teman yang sedang berkumpul di pojok ruangan sembari menikmati makanan.
“Pak Zoel kok tahu aku belum makan dari tadi pagi?” tanyaku pada Shella.
Yang ditanya hanya meringis, menunjukkan gigi-giginya yang tersusun rapi.
“Kamu ya?” selidikku.
“Ya, kita khawatir kali kalau kamu nggak makan dari pagi. Udah gitu sibuk lari sana, lari sini. Sebagai seksi konsumsi pasti aku memperhatikan sejak pagi kamu belum makan apa-apa. Hanya minta air mineral saja.”
“Iya ... tapi nggak usah ngadu ke Pak Zoel juga kali. Kamu nggak tahu, jantungku hampir copot dibentak-bentak. Dah gitu, sialnya aku nggak tahu kalau dia cuma acting,” celetukku.
Aku akhirnya membuka nasi kotak yang sudah aku pegang. Tidak ada semangat untuk menikmatinya, terlebih ini sudah tengah malam.
Aku sedikit lega karena akhirnya pertunjukkan bisa berlangsung dengan baik. Semua pasti lelah dan ingin segera beristirahat. Karena esok sudah ada pekerjaan lain, membereskan area panggung juga membersihkannya. Usai malam pertunjukkan berlangsung, pengunjung selalu meninggalkan sampah-sampah berserakan. Panitia harus bekerja ekstra untuk mengangkut sampah-sampah yang membanjiri lapangan acara. Andai saja penonton bisa lebih bijak dalam mengelola sampah dari makanan yang mereka makan. Misalnya, membuangnya di tempat sampah yang sudah disediakan atau menyiapkan kantong sendiri sampai menemukan tempat sampah jika memang tempat sampahnya sulit untuk dijangkau. Pastilah pekerjaan kami akan terasa lebih ringan.
Sampah-sampah yang ditinggalkan saat event menjadi bagian dari tanggung jawab kami yang bekerja di belakang panggung. Memanglah sangat lelah karena harus menyiapkan dan membereskan banyak hal. Tapi, aku sudah terlanjur masuk ke dalamnya dan harus menikmatinya. Awalnya memang dipaksa dan terpaksa. Tapi lama-lama jadi terbiasa dan aku menikmatinya dengan bahagia.

Tulisan ini telah saya posting untuk Kompasiana.

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas