Friday, February 21, 2020

Bukan Ditolong, Malah Diketawain

Tepat jam 08:30 WITA, akhirnya si kecil terlelap setelah seharian bermain dan tidak punya waktu untuk tidur siang.
Aku merasa sangat senang saat Livia mau bermain dengan teman-teman sebayanya. Hanya saja, aku sedikit cerewet saat pakaiannya mulai kotor. Aku paling tidak suka dia bermain kotor. Bukan karena pakaian yang kotor sulit untuk dibersihkan, tapi karena dia selalu menangis karena tubuhnya gatal-gatal usai bermain kotor. Terlebih, saat ada acara, mamanya sibuk rewang dan anaknya tidak terlalu terperhatikan. Tapi, aku selalu berusaha mengawasi Livia agar tidak bermain pasir atau tanah berlebihan. Selain tubuhnya yang gatal-gatal usai bermain. Aku juga merasa menjadi ibu yang tidak becus jika membiarkan anakku tak terurus. Sekali pun sibuk, aku sesekali mengecek kondisi anakku.

Terkadang, dia yang datang menghampiriku ketika menginginkan sesuatu. Misalnya, minta makan, minum atau ingin ke toilet.

Seharian, ia bermain dengan teman-temannya. Sementara, mamanya sibuk di dapur membantu tuan rumah yang sedang melaksanakan hajatan. Otomatis, aku tidak bisa mengawasi Livia secara instens. Asal dia tidak menangis, artinya ia masih baik-baik saja.

Siapa sangka, kalau ternyata ada cerita yang begitu menyentuh di balik permainan anak-anak itu. Aku bahkan tidak tahu jika Livia tidak bercerita saat ia minta diantar buang air kecil ke toilet.

Usai buang air kecil, Livia langsung berkata,"Ma, tadi aku jatuh di depan."
"Oh ya? Sakit nggak? Ada yang lecet atau nggak?" tanyaku pada Livia.
"Nggak lecet. Tapi tulangku sakit," jawab Livia sambil memegangi pinggangnya.
"Tapi nggak nangis kan?" tanyaku lagi.
Livia menggelengkan kepala. "Nggak. Tapi aku malah diketawain sama temen-temen," jawabnya kesal sambil berlinang air mata.
"Masa sih? Nggak ada yang nolongin?"
"Nggak ada," jawab Livia sambil menggeleng sedih.
"Duh, kasihannya anak Mama," ucapku sambil mengusap ujung kepala Livia.
Livia terlihat murung karena saat jatuh, ia justru ditertawakan oleh teman-temannya. Kemudian, aku teringat pada materi di sekolahnya tentang penerapan sikap saling tolong menolong, tentang perbuatan baik dan tidak baik. Aku langsung bertanya pada Livia.
"Di sekolah. Diajarin apa kalau ada teman jatuh? Diketawain atau ditolongin?"
"Ditolongin," jawab Livia lirih.
"Kalau gitu, teman-teman Livia anak yang baik atau nggak?"
"Nggak," jawab Livia sambil menggeleng.
"Anak yang nggak baik nggak boleh diikutin ya!" pintaku.
Livia menganggukkan kepala.
"Nanti, kalau ada teman yang jatuh, Livia harus tolongin ya! Nggak boleh diketawain. Kan katanya Livia mau jadi anak baik, kan?"
Livia menganggukkan kepala.
"Kasih tahu juga sama teman-teman yang lain. Kalau ada teman jatuh, harus diapain?" tanyaku untuk memastikan Livia mendengarkan nasehatku.
"Ditolongin."
"Iya, bener. Nggak boleh diketawain ya! Karena anak baik harus selalu menolong," pintaku sambil tersenyum.
Livia menganggukkan kepala.
"Gitu dong! Baru anaknya Mama yang baik. Cium dulu!" pintaku sambil menyodorkan pipiku ke arah Livia.
Livia langsung mencium pipiku dan kami keluar dari toilet bersama-sama.

Ada satu hal yang aku pelajari dari obrolan kecil ini. Mendidik anak menjadi baik memang tidak mudah. Tapi, sebagai orang tua kita harus berusaha menjadikan anak kita selalu berbuat kebaikan. Sekalipun lingkungan sekitar tidak mengajarkan hal yang baik. Terlebih, yang membuatnya peka terhadap keadaan sekitar adalah praktik langsung di kehidupan sehari-hari. Di sekolah, Livia diajarkan menjadi anak yang baik, bertanggung jawab, saling tolong-menolong dan berbagi.

Oleh karenanya, sebagai orang tua, aku harus selalu mengingatkan dan menerapkan pelajaran moral yang diberikan di sekolahan. Tidak hanya di-aplikasikan ketika berada di sekolah. Tapi juga bisa diterapkan di dalam kehidupan sehari-sehari agar anak terbiasa dengan kepribadian yang baik.

Aku juga tidak mengerti, sejak kapan budaya "Tertawa di saat teman jatuh" menjadi salah satu kebiasaan orang-orang di Indonesia. Tapi, sejak aku kecil pun sudah merasakan hal seperti itu. Akhirnya, muncul sikap saling bully karena kebiasaan dari kecil. Terlebih, saat masih kecil, ada anak yang sering melakukan kesalahan dan terlihat ceroboh. Karena setiap anak memiliki karakter yang berbeda-beda, punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Aku hanya berharap, Livia bisa melihat setiap hal dari sudut pandang yang berbeda. Tentunya adalah sudut pandang yang positif. Karena kebiasaan akan menjadi budaya yang secara tidak sadar dapat menumbuhkan moral negatif pada diri anak kita sendiri. Andai aku tidak memberikan pengertian yang baik pada Livia. Mungkin, ia terus berpikir kalau ada teman terjatuh, ia akan tertawa. Karena itu menjadi salah satu kebiasaan di lingkungan teman sepermainan dan tidak lagi dianggap sebagai hal yang buruk alias masih wajar-wajar saja. Tapi bagiku, pola pikir Livia sejak ia masih kecil, akan berpengaruh pada saat ia sudah dewasa nanti. Saat ini, yang paling penting adalah bisa membedakan perbuatan baik dan buruk. Membuatnya selalu ingin menjadi anak yang baik, bukan memilih menjadi anak yang nakal karena terlihat jauh lebih hebat. Sebab, masih ada jalan mulia yang bisa ia tempuh untuk menjadi anak yang hebat. Tidak harus menang berkelahi, tidak harus terlihat paling kuat. Yang terpenting, dia bisa bersikap baik dan terus berprestasi. Sebab, tidak semua orang bisa menanamkan rasa empati ke dalam hati anak-anaknya sejak dini.

Oke, cukup di sini aja tulisan dari aku. Semoga bisa menjadi sebuah pelajaran kecil untuk kita sebagai orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Karena waktu sudah malam dan sudah ngantuk, aku akhiri sampai di sini sebelum ceritanya makin ngelantur. Hahaha ...

Jangan lupa follow dan sibscribe blog aku ya!
Semoga bisa menginspirasi dan memberikan pelajaran berharga untuk kita semua ... aamiin ...

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas